Resensi: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir


Tegang! Itu kesimpulan saya setelah merampungkan baca buku #sangpangerandanjanissaryterakhir ini. Seperti halnya saat Pangeran Diponegoro begitu mendidih darahnya ketika meresapi kezholiman yang dilakukan penguasa kacung penjajah terhadap rakyatnya sendiri; Mataram. Hingga percobaan pembunuhan terhadap Pangeran Diponegoro di goa Selarong jelang maghrib itu begitu dekat dengan berpura-pura sebagai prajurit penjaga yang berhasil menangkap tersangka.

Upaya kolonial untuk menaklukkan Pangeran Diponegoro begitu penuh evaluasi. Segala cara mereka gunakan. “Terima kasih, Tuan Patih. Menurut saya, tinggal selangkah lagi kita akan bisa membuatnya tak punya pilihan selain mengobarkan pemberontakan, lalu kita bisa meringkusnya dengan sah dan mudah seperti apa yang terjadi pada mertuanya, Ronggo Prawirodirjo III, lima belas tahun lalu.” Patih Danurejo IV (h.316)

Dan motif keagamaan di balik perjuangan pangeran Diponegoro-lah yang sangat dibenci oleh kolonial. “Tuan Pangeran Diponegoro, saya kira zaman semakin berubah. Masa depan dunia ada di tangan ilmu pengetahuan, bukan agama. Ini adalah masanya untuk pikiran yang terbuka dan keberanian untuk meninggalkan dogma serta doktrin-doktrin agama yang kaku. Agama di zaman ini hanya akan menjadikan kita mandek, bahkan tersesat di arus kemajuan.” Chevallier (h.309)

Dalam novel sejarah ini pula, Penulis mencoba menyampaikan beberapa pesan yang pernah digaungkan beberapa tokoh bangsa, seperti prinsip-prinsip HOS Cokroaminoto dengan “setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”, pesan syaikh Palestina tentang harapan dan ciri-ciri bangsa yang belum mendapat amanah kejayaan Islam; dari ‘Timur’ (dua poin ini saya lupa ada di halaman berapa), dan pesan Rib’i bin Amir kepada panglima Rustum (Romawi) “...untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju peribadahan kepada Gusti Alloh semata; membebaskan manusia dari kesempitan dunia menuju luasnya dunia-akhirat; dan membebaskan manusia dari penindasan oleh agama-agama menuju keadilan Islam...” (h.532)

Membaca buku #sangpangerandanjanissaryterakhir karya ustadz Salim A. Fillah mengingatkan saya pada paparan dalam novel Detektif Kasim yang berjudul “KudetaPasukan Yeniceri” dan “Misteri Batu Ular”; tentang kultur dan profil Turki. Saya terbantu mengilustrasikan latar Turki dalam novel sejarah ini. Semata-mata karena novel detektif itulah yang pertama kali saya baca dengan latar Turki. Tentang insiden Basah Nurkandam yang terjebak di dalam ruang mandi uap pun nyaris sama yang dialami oleh Detektif Kasim.

Terkejut sekaligus bungah saat di akhir bab Sembilan dan pada bab Sepuluh ada fragmen Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang ikut dilibatkan dalam novel ini. Tokoh Minangkabau yang dibahas dalam buku “Tuanku Rao” karya Mangaradja Onggang Parlindungan dan diperbincangkan secara kritis pula oleh Buya HAMKA dalam buku “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao”. Mereka berkumpul dengan Syarif Gholib dan Musthofa Pasha pada acara tasyakur aqiqohan Nurkandam; yang kelak menjadi salah satu Janissary Terakhir. Mereka sempat bersitegang membahas ajaran Muhammad ibn ‘Abdil Wahhab yang ditekadkan untuk ditegakkan di tanah Sumatera (Barat).

Akhir bab Dua Belas menjadi gambaran atau alasan terjadinya Perang Jawa yang menelan korban 200.000 jiwa selama lima tahun. Sedangkan pada bab Tujuh Belas, terkisah bagaimana pihak pahlawan terfitnah sebagai pesakitan. Dan penjahat yang memfitnah itu sedang pada posisi sebagai penguasa.

Pada bab Delapan Belas, di sana digambarkan bagaimana mekanisme syuro itu berjalan dan bagaimana sikap pemimpin terpilih ketika dibebankan amanah yang sangat berat. Forum yang melibatkan rakyat hingga ulama. Di mana permasalahan dan kekuatan itu dibicarakan dengan rinci ―terutama tentang motif pribadi― agar beban itu di usung bersama. Dan di ujung bab Sembilan Belas, ada pesan yang begitu dalam bagaimana adab seorang pemimpin yang amanah; mengadu dan memasrahkan segala beban permasalahan hanya kepada Alloh SWT.

Tentang bahasa yang digunakan dalam novel ini, Penulis menyisipkan beberapa istilah asing beserta terjemahannya, baik bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Turki, bahasa Perancis, maupun bahasa Jawa. Sedang dialek percakapan dalam novel sejarah ini, Penulis seakan ingin menyampaikan pesan, bahwa beginilah dialek orang Jawa saat menggunakan bahasa Indonesia. Dan dengan diangkatnya rasa kedaerahan ini pula ―barangkali― yang ingin diangkat oleh Penulis bahwa bukan hanya sisi kebahasaan tetapi juga psikologi orang Jawa yang jika tak sengaja kakinya terinjak, bisa dengan senyum dan kalimat halus menyampaikan ‘musibah’ itu kepada pelaku agar hatinya tidak terluka.

Pesan-pesan kepahlawanan yang sebagian sempat terpotret dalam novel ini adalah “Jika yang memegang pedang sekaligus juga memegang uang, akan bagaimanakah nanti? Bencana!” Ali Basah Kertopengalasan (h.248); “Air wudhunya sebagai santri tetap kalah kalah kental daripada darah birunya sebagai Pangeran.” Raden Adipati Abdulloh Danurejo (h.283)

Pesan yang begitu kuat dan dalam,
“Kekalahan itu ketika kita ditinggalkan Gusti Alloh meskipun kita menang perang ataupun punya banyak kawan serta pengikut. Sebaliknya, yang disebut kemenangan adalah tetap bersama Gusti Alloh meskipun kita ditinggal sendirian, atau bahkan binasa dalam perjuangan.” Pangeran Diponegoro (h.443)

Kita mendapat keuntungan banyak dengan membaca buku ini, di antaranya adalah sejarah budaya Turki, sejarah Janissary, sejarah aneksasi Belanda ke Indonesia, sejarah pahlawan Indonesia, sejarah Jogja, filosofi ayam ingkung, filosofi keris, strategi perang menggunakan tombak, cara menyajikan kopi ala Turki, romantisme rumah tangga, persahabatan, pengkhianatan, perselisihan, hingga bahan merayu pasangan Anda; ditularkan Penulis di buku ini. Review yang sekelumit ini memang belum menggambarkan keseluruhan keseruan dari buku ini. Recommended.

Sedikit kisah beberapa tokoh di akhir cerita:
Cao Wan Jie; Muslim; standar ganda; gay (‘kekasih’ Chevallier); mati ditembak Kapten Prager.
Kapitan Joost; Kristen; kubu Belanda; mati tergulung air bah.
Murod; Muslim; Janissary; kubu Pangeran Diponegoro; syahid ditikam Prager.
Siauw C en Kwok; Muslim; kubu Pangeran Diponegoro; syahid dipenggal tentara Prager.
Fatmasari; Muslimah; kubu Pangeran Diponegoro; syahidah tertembak.
Ali Basah Kertopengalasan; Muslim; kubu Belanda.
Ali Basah Sentot Prawirodirjo; Muslim; kubu Belanda.

Bibliografi
Judul: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Penulis: Salim A. Fillah
Tebal: 632 hlm.
Dimensi: 16x23,5 cm
Cetakan: 1, November 2019
ISBN: 978-623-7490-06-7
Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta


Posting Komentar

0 Komentar