Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2019

Resensi: Kepulauan Rempah-rempah

Bicara Maluku, bicara juga kesohorannya dalam sejarah Nusantara sebagai penghasil rempah-rempah dunia di masa lalu. Tanah yang menjadi ajang rebutan bagi bangsa-bangsa di luar Nusantara dengan berbagai dalihnya. Umumnya kita mengetahui di abad ke-16, Maluku kedatangan Portugis, disusul Spanyol, kemudian Belanda. Mereka beradu kekuatan untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah ini. Dan catatan tentang sejarah Maluku pun tak banyak. Sebab arah penulisan sejarah saat itu membuntuti arah perhatian Belanda; dari Maluku ke Jawa, lalu ke Sumatera. Sewaktu-waktu perhatian beralih ke daerah lain jika Belanda harus menghadapi perlawanan setempat, seperti di Makassar, Banjarmasin, Lombok, dan seterusnya. Jadi, sesungguhnya kisah sejarah tanah air di masa pra-kemerdekaan lebih banyak mengikuti perhatian pemerintah Batavia! Buku “Kepulauan Rempah-rempah” telah mencakup berbagai informasi penting mengenai daerah Maluku Utara selama 700 tahun, dan mencakup kurun waktu yang dimulai pa

Resensi: Sejarah Islam di Tanah Jawa

Menurut Teori Makkah yang dikemukakan oleh HAMKA, Islam masuk ke Nusantara melalui para pedagang Muslim dari Arab pada abad ke-7. Hal itu dikuatkan dengan dominasi mazhab yang dianut kaum muslimin di Nusantara, yakni mazhab Syafi’i, yang memang sedang pada puncak keemasannya di abad itu. Bila teori tersebut benar, Islam mulai masuk ke Nusantara ketika Tanah Jawa dikuasai oleh Kartikeyasingha dan Ratu Jay Shima dari Kerajaan Kalingga. Namun, bila teori Gujarat dan Persia yang benar, maka Islam yang masuk ke Nusantara pada abad ke-13 tersebut bertepatan dengan Tanah Jawa masih dalam kekuasaan Singhasari atau mulai dalam kekuasaan Majapahit. Sudah lazim dipahami keagamaan masyarakat Nusantara sebelum Islam masuk di Nusantara yang berakar dari kepercayaan animisme dan dinamisme, masih menyisakan praktik-praktik ritual agama purba dalam agama baru mereka; Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Hal ini yang kemudian sengaja dimunculkan sebagai salah satu ciri identitas “Islam Nusantara”

Resensi: Mari Bermain Bersama Anak-anak di Asia

Umumnya kita mengenal cara suit ada dua, yakni suit khas Indonesia dengan memainkan jari jempol, telunjuk, dan kelingking. Jempol mewakili Gajah, telunjuk mewakili Manusia, dan kelingking mewakili Semut. Di mana Gajah menang ketika melawan Manusia, Manusia menang ketika melawan Semut, dan Semut menang ketika melawan Gajah. Yang kedua adalah suit Cina dengan Kertas-Gunting-Batunya. Di mana telapak tangan membuka penuh dengan jejari rapat mewakili Kertas, tangan menggenggam dengan telunjuk dan jari tengah mengembang mewakili Gunting, dan tangan mengepal penuh mewakili Batu. Kertas kalah dengan Gunting, Gunting kalah melawan Batu, dan Batu kalah melawan Kertas. Begitu normanya. Yang serupa dengan Cina adalah Korea, yakni Kawi-Pawi-Po (Gunting, Batu, Kain). Ternyata ada beberapa jenis suit semacam itu di beberapa negara. Dengan awalan yang sama, yakni menyembunyikan tangan yang akan di mainkan di belakang kepala atau punggung, permainan di Burma disebut Komandan-Harimau-Prajurit. N

Resensi: Kiai Sholeh Darat

Kiai Sholeh Darat merupakan salah satu tokoh ulama penting di abad ke-19. Ia termasuk salah satu mata rantai dari jaringan ulama Nusantara yang sudah terbangun sebelumnya, baik di Nusantara maupun di Jazirah Arab. Kiai Sholeh Darat hidup di antara dua masa revolusi Indonesia: Revolusi Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang terjadi di abad ke-19 dan Revol usi di abad ke-20 yang terjadi ketika Indonesia merebut kemerdekaan pada 1945 dalam Perang Dunia II. Ia adalah anak seorang ulama sekaligus pejuang. Darah ulama dan pejuang sudah ia warisi dari ayahnya; Kiai Umar; yang pernah menjadi pimpinan pertempuran melawan penjajah di wilayah utara Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Saat Kiai Sholeh Darat pulang dari pengembaraan intelektualnya di Makkah pada abad ke-19, kondisi politik Indonesia saat itu sudah stabil; dalam arti tidak ada huru-hara yang berarti. Ketika Kiai Sholeh Darat menginjakkan kakinya di Semarang pasca kepulangannya dari Makkah dan mem

Resensi: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir

Tegang! Itu kesimpulan saya setelah merampungkan baca buku #sangpangerandanjanissaryterakhir ini. Seperti halnya saat Pangeran Diponegoro begitu mendidih darahnya ketika meresapi kezholiman yang dilakukan penguasa kacung penjajah terhadap rakyatnya sendiri; Mataram. Hingga percobaan pembunuhan terhadap Pangeran Diponegoro di goa Selarong jelang maghrib itu begitu dekat dengan berpura-pura sebagai prajurit penjaga yang berhasil menangkap tersangka. Upaya kolonial untuk menaklukkan Pangeran Diponegoro begitu penuh evaluasi. Segala cara mereka gunakan. “Terima kasih, Tuan Patih. Menurut saya, tinggal selangkah lagi kita akan bisa membuatnya tak punya pilihan selain mengobarkan pemberontakan, lalu kita bisa meringkusnya dengan sah dan mudah seperti apa yang terjadi pada mertuanya, Ronggo Prawirodirjo III, lima belas tahun lalu.” Patih Danurejo IV (h.316) Dan motif keagamaan di balik perjuangan pangeran Diponegoro-lah yang sangat dibenci oleh kolonial. “Tuan Pangeran Diponegoro,

Resensi: Kepulauan Rempah-rempah

Bicara Maluku, bicara juga kesohorannya dalam sejarah Nusantara sebagai penghasil rempah-rempah dunia di masa lalu. Tanah yang menjadi ajang rebutan bagi bangsa-bangsa di luar Nusantara dengan berbagai dalihnya. Umumnya kita mengetahui di abad ke-16, Maluku kedatangan Portugis, disusul Spanyol, kemudian Belanda. Mereka beradu kekuatan untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah ini. Dan catatan tentang sejarah Maluku pun tak banyak. Sebab arah penulisan sejarah saat itu membuntuti arah perhatian Belanda; dari Maluku ke Jawa, lalu ke Sumatera. Sewaktu-waktu perhatian beralih ke daerah lain jika Belanda harus menghadapi perlawanan setempat, seperti di Makassar, Banjarmasin, Lombok, dan seterusnya. Jadi, sesungguhnya kisah sejarah tanah air di masa pra-kemerdekaan lebih banyak mengikuti perhatian pemerintah Batavia! Buku “Kepulauan Rempah-rempah” telah mencakup berbagai informasi penting mengenai daerah Maluku Utara selama 700 tahun, dan mencakup kurun waktu yang dimulai pad