Kalau ada buku yang amat mempengaruhi saya
untuk segera menulis adalah buku yang tengah saya buat resensinya ini, ada
begitu banyak alasan mengapa buku ini juga yang telah memberikan sentuhan
tersendiri bagi saya tatkala menikmati dan mencoba tenggelam dalam lautan
buku-buku yang berkutat tentang masalah identitas keislaman seseorang di tengah
masyarakat atau masyarakat itu sendiri yang tengah bertransformasi menuju
masyarakat Islami. Identitas selalu
menjadi kebanggaan tiap
orang, identitas yang meliputi simbol, slogan-slogan, bendera, dan lain-lain
tanpa jelas bagaimana hakikatnya yang kabur atau bahkan merupakan simbol-simbol
yang merupakan penghinaan terhadap agama Alloh dan RosulNya.
Buku yang berjudul “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim” ini menurut yang menulisnya, yakni Salim A. Fillah pada mulanya merupakan karya pertama
yang ia buat sebelum karya-karya lain muncul dan berinduk pada buku ini. Mungkin bagi sebagian pembaca yang telah
lebih dahulu membaca buku-buku akan benar-benar dibuat penasaran pada beberapa
tema yang penjelasan berikutnya ia rahasiakan dan rahasia tersebut beliau
rekomendasikan agar para pembaca untuk bersabar dan menantikan kejutannya pada
buku beliau yang satu ini.
Yang membuat karya ini selalu berkesan bagi
saya adalah bagaimana buku ini disampaikan dengan gaya bahasa yang ringan, nyastra, kepandaian sang penulis dalam merangkai kata hingga kata-kata
tersebut dapat rukun duduk satu tema hingga ke judul-judul yang terletak di
bawah beberapa tema besar bagai kita tengah menyimak sebuah buku fiksi atau
kumpulan puisi. Ternyata menulis memang bukan sekedar urusan bakat atau hanya
terhenti pada semangat yang menggebu tanpa diimbangi dengan kontinuitas amal
yang berkesinambungan setidaknya penjabaran dari konsep tadi sudah ditunjukkan
oleh sang penulis buku ini yang dengan piawai merangkai kata-kata hingga
membuat tema agak rigid dan usang
seperti ketika sang penulis dalam salah satu babnya “Menggelas Benang Lelayang”
menjadi nikmat bahkan kita seakan tak rela untuk melepaskan begitu saja halaman
demi halaman.
Antara dalil-dalil dalam Qur’an dan Sunnah atau kisah-kisah anbiya’ serta hikmah yang tercecer dalam pelbagai
literatur kesusastraan seperti karya-karyanya Leo Tolstoy, seorang pengarang besar
dari Rusia dan namanya dicatat dalam Merriam Webster’s Encyclopedia of Literature.
Melibatkan beberapa karya Tolstoy seperti
Anna Karenina, War and Peace, The Death of Ivan Ilyich bercorak realisme
psikologis bahkan mungkin paling mempesona di antara seluruh karya sastra Leo
Tolstoy ke semua hal tersebut
dirangkai dengan sangat apik dan menyentuh jiwa serta mampu kembali
membangkitkan gairah bagi siapa saja yang membaca buku karya Salim A. Fillah ini untuk semakin semangat mencintai
Islam dan ikut serta dalam pergerakan Islam sebagai lokomotif dakwah, lokomotif
tempat orang-orang yang merindu kebangkitan peradaban Islam berkumpul dan berjama’ah menjalankan kereta dakwah.
Karena yang dibedah oleh Salim A. Fillah dalam buku ini tak hanya melulu
berkaitan dengan keislaman dan amal ibadah namun sejatinya bila kita membaca
urut dari Bagian Pertama yang diberi judul “Kain-kain Rombeng” kemudian pada bagian kedua
yang diberi judul “Memintal Seutas Benang” yang
bertutur akan dimensi ruhiyah yang bersumber dari bangganya kita terhadap
identitas sebagai seorang Muslim. Kebanggaan yang pekat mengental saat kita
mendeklarasikan di hadapan dunia bahwa kita adalah Muslim, atau ada kerinduan tak tertahan pada
sesosok Nabi saw dan
perjuangan beliau bersama para sahabat yang saling mengisi dan melengkapi atau
kekaguman tiap insan pada mukjizat yang dibawa olehnya, Al-Qur’an.
Hikmah istimewa untuk para muallaf
yang rela melepas ikatan buhul jahiliyah kembali pada pangkuan Islam dan sentuhan Tarbiyah nampak dengan
tulus diikatkan pada bagian akhir bagian ini seperti “Tarbiyah Menyejarah”, “Afiliasi”, “Partisipasi”. Bagi penulis, pada “Partisipasi” ini sedikit membuka
kenangan indah di SMA, di sebuah majelis menjadi penyeimbang kehidupan remaja
SMA sarat dengan hedonisme dan hura-hura.
Bagian Pertama: Kain-kain
Rombeng
Bila kita membaca secara urut buku ini. Ada sebuah rancangan yang memang didesain
sang penulis untuk menunjukkan urutan kerja amal seorang Muslim. Dari mana
ia memulai, sampai kapankah pekerjaan tersebut dimulai, dan hendak ke mana arah amal ini? Tentunya ibda’
bi nafsik. Itulah yang
hendak disampaikan oleh sang penulis, memulai dari diri sendiri dan singkirkan
pernak-pernik jahiliyah yang mengikat karena seperti yang pernah ditegaskan
oleh kholifah ‘Umar ibn
Khoththob, “Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu persatu, manakala di
dalam Islam terdapat orang yang
tumbuh tanpa mengenal jahiliyyah.”
Jahiliyah yang tak selalu berarti
keterbelakangan atau primitif dan kuno karena ternyata jahiliyah mampu bertranformasi
dan menyesuaikan diri menyusup dalam budaya paganisme yang menjelma mata rantai
membentang sejarah dan antara satu sama lain dihubungkan dengan satu benang
merah: “Syirik”! Bentuk serta periode zaman pun bisa berubah
seperti bentuk yang berlaku di masa para anbiyya seperti jahiliyahnya penduduk
Aikah, kaumnya Bani Syua'ib atau jahiliyyah yang berbentuk
penyimpangan seksual kaum Luth dan lain-lain.
Namun ia juga bisa bertransformasi dalam
bentuk yang canggih sekali pun serta kerap diselubungi kedok ilmiah dan
berbasis empiris namun nyatanya hanya kumpulan utopia yang direkayasa sedetail
mungkin agar tetap menjadi justifikasi dalam tataran yang lebih global, tataran
atau ranah saat manusia hampir tak memiliki arti dan darah begitu tercecer murah
dan di saat yang sama Stalin mempersembahkan pembantaian 20 juta petani kulak
Rusia sebagai tafsir karyanya dan ideologi yang diusung olehnya tak lain tak
bukan titisan konkrit dan sederet jahiliyah yang dibungkus oleh kesan ilmiah
dan sejalan logika dalam bentuk yang lain Jahiliyah bertukar pakaian agar mampu
kian tampil elegan di putaran zaman dari hanya saja ada seikit modifikasi di
sana-sini seperti yang ditampilkan pada salah satu tulisan di bagian pertama.
Seperti halnya kupu-kupu, ia mampu berubah
bentuk berdasarkan proses dari hanya seekor ulat menuju kepompong kemudian
dengan sempurna bertransformasi menjadi kupu-kupu. Agar keberadaanya tetap
dapat diterima, agar eksistensi jahiliyah yang berakar dari kedunguan tetap
bertahan lalu diterima mentah-mentah oleh segelintir golongan yang terpukau
olehnya kemudian mencoba mengimplementasikan dalam ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
‘Abdulloh ibn
Saba’ seorang Yahudi yang
memasukkan kultus individualisme kepada sesosok ‘Ali ibn
Abi Tholib hingga sejarah dengan
gemilang mengenang Syi’ah simbol dendam politik bernuansa mistisme psikologis bangsa Iran lalu
di alamatkan pada sejumlah peristiwa seperti
Asyura, Karbala, dan hari-hari besar ummat Syi’ah
lainnya yang memang dibuat beda sebeda mungkin dengan umat Islam umumnya. Walau
penyusupan kultus individualisme bukan
hal baru terjadi
dalam sejarah keagamaan jauh sebelum itu, seperti yang pernah diutarakan oleh
Karen Armstrong, Paulus seorang Yahudi, hidup sebagai Yahudi dan bahkan mati pun
sebagai seorang Yahudi.
Karen Armstrong, seperti yang dikutip oleh
Salim A. Fillah, mencatat “saya
kini mengetahui bahwa surat-surat rosul
Paulus merupakan dokumen Kristen yang paling
awal yang masih ada dan bahwa Injil, yang semuanya ditulis bertahun-tahun
setelah kematian Paulus sendiri, ditulis oleh orang-orang yang telah mengadopsi
versi Kristennya Paulus.”
Hingga Karen Armstrong menyimpulkan
“bukannya Paulus menyimpangkan Injil, namun Injil itu sendiri mendapat visi dari Paulus.”
Bagian Kedua: Memintal Seutas Benang
Setelah kita berpuas diri menjelajah aspek
Jahiliyah dengan segenap fenomena-fenomena
di sepanjang peradaban sejarah, tentang Jahiliyah yang tak berhenti dan terpaku
pada arti akan keterbelakangan namun ternyata dalam ranah yang lebih kompleks
lagi dan canggih ia bertransformasi agar tetap dapat tampil lebih eksotik dan
elegan maka rumah pemujanya pun berubah bentuk serta tempat menuju
gedung-gedung mall megah dimana disanalah konsumerisme dipuja oleh masyarakat
jahiliyah kiwari. Maka
pada bagian ini, Salim A. Fillah lebih mencoba secara halus dan masih
bersama gaya bahasa yang indah, seperti pada judul yang diberikan pada bagian
ke dua ini lebih banyak mengajak para pembaca memulai memintal benang jati
dirinya sebagai seorang Muslim.
Seorang Muslim yang bila didefinisikan dalam ejaan Melayu untuk hamba yang
menyerahkan diri padanya terasa lebih menggetarkan walau akan sama bila kita
menemukan terjemahan untuk kata Muslim
sebagai who submit to Alloh.
Muslim juga tidak selalu berarti berhenti pada lambang serta slogan demi slogan
yang tersebar sebagai kaos, emblem, jilbab, sarung, koko, dan lain-lain akan
tetapi bukan berarti disini telah ternafikkan segala hal tadi karena
dalam tulisan dari Salim A. Fillah
ini juga disebutkan bahwa esensinya segala hal tadi tetap perlu bahkan sangat
penting. Sebagai pembeda, sebagai penjelas, dan pemisah antara Muslim dan kafir sebagaimana yang
dicontohkan Nabi saw.
“Baguskanlah pakaian-pakaianmu dan baguskan kendaraan-kendaraanmu agar
kamu menjadi (ibarat) tahi lalat di tengah-tengah manusia.” (HR.
Al-Hakim dari Sahl ibn Ar-Robi)
Dalam banyak hal, seperti yang disebutkan
dalam buku ini, bahwa
seorang Muslim tatkala telah mengikrarkan diri sebagai seorang Muslim maka di sana terletak konsekuensi
yang mengikat. Karena demikian adanya tatkala ikrar
dikumandangkan maka ada yang dilepas dan ada pula yang dicencang kuat, ada yang
bebas dan ada pula yang di kekang termasuk di antaranya tatkala ikrar menuju
pembebasan jati diri manusia sesungguhnya hanya menghamba pada Alloh saja.
Walau ada banyak butir-butir sepanjang jalan
yang menempa kedewasaan dan keteguhan iman, walau ada banyak duri yang harus
disingkirkan, dan saat yang sama mereka segera berpisah selamanya dari
kegelapan pikiran menuju pencerahan, dari suramnya kehidupan yang disertai
dengan sejuta kesuntukan untuk kembali pada mutiara iman yang membangkitkan
gairah dan nafas dari tiap detik kehidupan insan.
Perpisahan yang jua terkait dengan perbedaan,
bukan diskriminasi bukan pula
mendiskriminasikan antara si Muslim
dengan non-Muslim namun sejatinya ia
memang berbeda bagai bumi dengan langit dan bagai air tanah dengan minyak. Berbeda dalam jalinan aqidah, berbeda dalam zhohir dan makhfi bahkan dalam hal sepele pun
perbedaan menjadi urgen karena ia menyangkut identitas dan ia terkait ke arah mana bandul peradaban umat Islam mengarah? Berkiblat pada kemurnian budaya yang
dibangun dari kekokohan prinsip Tauhid atau membebek mentah-mentah pada budaya
jahiliyah yang berlapis filsafat Yunani dan legenda Romawi atau telah berubah
bentuk di era modern menjelma materialisme pemikiran lalu secara jaringan yang
melembaga di pelbagai belahan dunia ada Freemansonry, jejak hitam kaum Yahudi
pun pernah tercium di negeri kita tercinta ini.
Dan dalam kondisi seperti ini yang
diperlukan adalah pembersihan kembali jiwa-jiwa Muslim yang kini entah tengah dibuai segala
keuntungan atau dijepit dengan segala kesulitan yang membelenggu karena
menjadi seorang Muslim berarti menjadi kain putih lalu Alloh mencelupnya menjadi warna ketegasan,
kesejukan, keceriaan, dan cinta;
rohmat bagi semesta alam. Aku
jadi rinu pada pelangi itu. Pelangi yang memancarkan celupan warna Ilahi. Telah tiba saatnya derai berkilau Islam tak lagi terpisahkan dari pendar
menawan seorang Muslim. Dan saksikanlah
bahwa aku seorang Muslim.
Bagian 3: Menggelas Benang Lelayang
Pada bagian ketiga yang merupakan
kelanjutan dari bagian kedua lebih banyak berbicara tentang hakikat ibadah yang
diikat dengan tiga ikatan dan antara satu dengan yang lain mengikat kuat sebagaimana
yang pernah diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Barangsiapa
menyembah Alloh
dengan cinta
saja maka sunguh ia Zindiq;
Barangsiapa
menyembah Alloh
dengan harap saja maka ia adalah Murji;
Barangsiapa
menyembah Alloh
dengan takut saja maka ia Haruri.
Mukmin
bertauhid menyembah Alloh
dengan ketiganya: Takut, Harap, dan Cinta.
Ibadah yang hakikatnya segala kegiatan
manusia dan dialamatkan dalam rangka mencari keridhoan
Alloh, tatkala kita
mengetahui bahwa kehidupan yang fana ini terlalu sederhana dengan hanya
berbagai kehidupan tanpa tujuan yang jelas dan sasaran yang pasti bagai
seseorang yang berjalan tanpa arah maka ia hanya melelahkan dirinya sendiri. Seperti yang telah saya jelaskan pada
awal-awal tulisan ini bahwa permasalahan
ibadah dalam Islam
yang tampak bagi kebanyakan orang merupakan hal yang berat dan banyak
membutuhkan waktu dengan ringan permasalahan tersebut dibedah dari segi esensi
dan ketiga hal tadi yang mendasari mengapa dan karena
apa seorang Muslim beribadah dan bukan
bagaimana atau mengapa tatkala kita berbincang tentang takut, harap, dan cinta namun luruskanlah dalam wangi
surga karena
apa kita berkata berkata cinta lalu mengharap amalnya diterima dan tak menjadi
buih-buih semata atau takut pada bayangan surge-nerakanya dan berpuncak pada sikap. Sikap
yang membuat kita semakin mengerti bahwa Alloh sama sekali tak pernah mengharap apapun
dan sekecil apapun jua dari hamba-hambaNya karena
Dialah yang Maha Kaya lagi Maha Sempurna.
Beberapa judul memang sangat benar-benar
terkait dengan permasalahan ibadah
dalam Islam seperti sikap Ihsan yang harus dibangun atas kebersamaan
dengan Alloh yang senantiasa
menyertai tiap langkah kehidupan manusia “An
Ta’budallooha
ka’annaka taroohu.
Fa in lam takun taroohu,
fainnahuu yarooka”; hendaknya
engkau beribadah kepada Alloh
seakan-akan engkau melihatnya bila engkau tak melihatnya maka yakinlah bahwa
Alloh melihatmu. Ma’iyah; inilah yang hendak ditekankan oleh sepanjang tulisan yang diberi judul besar “Menggelas
Benang Lelayang”, kebersamaan bersama kehadiranNya yang
senantiasa tak lena mengawasi dan mencatat gerak-gerik kehidupan
hamba-hambaNya.
Ternyata tatkala kita berbincang
permasalahan ibadah dalam Islam
juga tak terbatas pada titik
ibadah mahdhoh
ritual melainkan pula bagaimana ada dimensi lain dalam ibadah yang tak boleh
diabaikan. Bahwa ia lebih luas dan
memang universal dari itu semua. Tentang
harta misalnya, bagaimana harta yang diperoleh seorang Muslim dengan mudah dialihkan untuk
kepentingan umat, secara filosofinya agama
Islam bukan hendak menganjurkan umatnya menjauhi harta kekayaan lalu terkonsentrasi pada satu posisi yakni berkutat hanya
pada ibadah-ibadah formal melainkan agama
Islam mengatur bagaimana agar harta kekayaan atau aset-aset kekayaan yang kita
miliki diletakkan pada tempat yang sesuai yakni di dalam genggaman bukan dalam
dada apalagi hati kaum Muslimin.
Terlebih lagi bahkan sangat diutamakan
adalah bagaimana harta kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin
bagi kelangsungan dakwah
dan jihad. Harta kekayaan tersebut dapat dengan mudah
didistribusikan untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh
Baginda Nabi saw,
bagaimana fasilitas yang digunakan selama jihad bukan fasilitas bila di zaman sekarang
sesuatu yang murahan. Let we see
bagaimana peralatan perang yang digunakan oleh Baginda Rosul merupakan peralatan yang berkualitas
tinggi, kecepatnnya mengagumkan, dan sangat tangkas seperti duldul keledai beliau hadiah dari Muqoiqus, atau ada pedang komando yang hingga kini masih tersimpan di
salah satu museum Turki yang bernama Dzul Lujjain yang tak perlu lagi diragukan
kualitas logamnya, tempaannya, serta kehalusan pembuatannya.
Bagian 4: Menenun Jalinan Cinta
Seperti yang telah dibahas pada tulisan
sebelumnya tatkala kita berbincang tentang bangunan kepribadian seorang Muslim, rasanya akan ada yang janggal dalam bangunan tersebut. Bangunan yang bermula dari utuhnya
integritas keimanan individual seorang Muslim
kemudian dilanjutkan pada tataran keluarga hingga masyarakat lalu puncaknya
adalah terbentuknya sebuah khilafah Islamiyah
yang akan mampu menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.
Hingga esensinya, yakni Islam sebagai agama yang rohmatan lil alamiin
benar-benar terimplementasikan
begitu indah dan menjadi hujjah terkuat yang takkan mampu dibantah oleh siapa
pun. Cinta inilah tema tak habis oleh perubahan
cuaca, tak lekang oleh
pergantian zaman, dan tak usang dilalui beribu-ribu tragedi hingga, kata ustadz Anis Matta dalam tulisan-tulisannya
di majalah Tarbawi menulis “maka kekallah Jalaludin Ar-Rumi, Rabindrath Tagore,
Chairil Anwar hingga Hasan Al-Banna kerana cinta telah terejawantah yang tidak
saja bertebaran dalam puisi mereka.
Disini cinta yang suci akan berpulang kembali pada
pangkuannya yang suci pula, yakni Pernikahan. Penulis buku ini, Salim A. Fillah bercerita bagaimana idenya menggelar
indahnya pernikahan di usia yang masih belia sebagaimana disini beliau juga
adalah pelakunya, mendapat tantangan yang hebat dari sejumlah ikhwah dengan
alasan bahwa belum saatnya hal-hal berbau pernikahan dibicarakan sedangkan di
sisi yang sama fakta di lapangan kian berkembang pesat bahwa 70% anak kelas 4-6 SD di Jakarta, Surabaya, dan Bandung sudah mengakses materi-materi
Pornografi.
Dan memang tatkala hari ini pun sejatinya pernikahan merupakan sebuah tema yang masih
sangat relevan. Karena
memang cinta yang sejatimya
fitrah manusia adalah hal yang janggal bila kita umbar syahwat tanpa batas atas
nama cinta maka oleh karena ini Salim A. Fillah
dalam bagian ini menekankan bahwa ada garis tipis yang memisahkan cinta murni dan tulus serta bersih dengan nafsu syahwat yang bercampur
dengan bisikan setan.
Karena pernikahan pun merupakan manhaji. Sebuah ikhtiar memulai serta membina rumah
tangga Muslim sebagai pilar yang
integral dan utuh dari keseluruhan jalan panjang menegakkan Islam sampai
tegaknya khilafah. Sebagai warisan Alloh
pada umat Islam yang telah sekian lama jatuh ke tangan orang yang tak berhak
mengelolanya. Demikian Imam Asy-Syahid
Hasan Al-Banna menjabarkan dengan jelas pasal tuntutan yang perlu dipenuhi oleh
tiap-tiap Muslim.
Karena pernikahan pun tak sekedar bicara masalah cinta dan sejumlah kata-kata puistis yang
biasa orang lakukan bila telah bersiap pada pernikahan. Nyatanya ia membutuhkan kesiapan material
dan kemantapan niat yang matang, kemampuan menanggung tiap risiko perjalanan rumah tangga, dan yang paling terpenting adalah orientasi. Demikianlah
setidaknya yang amat ditekankan oleh Akh Salim Fillah dalam berbagai
tulisan-tulisan beliau di bagian keempat ini. Menenun Jalinan Cinta.
Bagian Kelima: Menjahit Pola-pola
Pada bagian ini yang menjadi pemaparan
Salim A. Fillah adalah bagaimana
sebaik-baiknya interaksi bermuamalah sesama Muslim
di tengah-tengah masyarakat. Adakah
di sana hak-hak yang harus ditunaikan dan adakah di sana kewajiban yang segera
dilaksanakan dan adakah pula ketika seorang Muslim berinteraksi sesama Muslim atau bukan Muslim sudahkah kita perhatikan poin-poin
penting atau titik-titik vital yang haris dikuasai seorang Muslim.
Ada beberapa judul tulisan dalam bagian ini
yang benar-benar membuat kita terpincut saat membacanya bahkan tak rela rasanya
kita segera berganti halaman. Ya, memang demikian adanya walau jujur Salim A. Fillah mengakui ada bagian tertentu berat
dijelaskan namun dengan pertimbangan bahwa akan lebih baik manfaatnya diketahui
khalayak ramai terutama kader dakwah seperti pada tulisan berjudul “Setampan
dan Sewangi Mush’ab”. Atau tulisan yang lain tak sekedar membahas
dengan formal seperti pada kebanyakan
buku lainnya namun gagasan kemanusian fitrah agama Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh siroh Nabawiyah, seperti
yang dititahkan Alloh swt dalam kitab suciNya dan Sunnah Nabi saw sebagimana yang tampak pada tulisan Aqobah dan Hilful Fudhul.
Dalam posisi yang lain, juga dibedah sumber
dari skill-skill kehidupan agar dalam
bahasanya Reza M.
Syarief, Life Excellent; kehidupan yang semakin baik dan mempesona
jiwa lalu bersinar terang di tengah-tengah kegelapan sumber daya manusia yang
pekat. Antara lain yang diangkat oleh beliau
adalah tentang budaya membaca dan menulis buku, khutbah
Jum’at yang sudah semestinya dikemas ulang
dan menarik, penampilan seorang Muslim
yang semestinya indah secara zhohir
maupun akhlaknya yang membat semua orang tersentuh dan dapat merasakan gairah
keimanan karena, yang mampu dinikmati dari keimanan kita
adalah buahnya. Buah akhlak yang
bersumber sebesar dan sedalam mana keimanan seorang Muslim hidup di tengah-tengah kehidupannya.
Bagian keenam: Menata Busana Bertiara
Inilah bagian terakhir dari keseluruhan bagian dalam buku. Sebuah puncak dari tujuan dakwah dari
gerakan dakwah hingga Negara dan bagaimana susunan yang sistematis bermula dari
diri pribadi mensibghoh
diri dengan nilai-nilai Islam
lalu membentuk keluarga Islami
dan berlanjut bagaimana membangun suasana berkeluarga yang baik di tengah
masyarakat hingga keluarga-keluarga Islami
itu bersinergi menjadi
sebuah komunitas kecil di suatu masyarakat global merangkak lebih dalam menjadi
masyarakat itu sendiri hingga bila dari akar telah tertancap kokoh nilai-nilai Islam lalu berangsur sesuai pergerakan zaman
ia melembaga menjadi sebuah masyarakat yang telah hidup, dihidupkan, dan
menghidupkan dirinya.
Pada bagian yang terdiri dari 9 tulisan dan
kesemuanya bernuansa wacana akan kembalinya khilafah Islamiyah setelah runtuh pada tahun 1924 H, bahkan sejatinya seluruh pergerakan Islam yang kini bekerja lalu mendakwahkan Islam ke seluruh permukaan bumi adalah
merupakan satu arah mengembalikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa.
Agak utopia, memang. Namun
ke semua akan selalu utopia karena
pandangan dan daya pandang sejak awal pun sudah bernuansa pragmatis sebagaimana
yang pernah diungkapkan M. Anis
Matta dalam bukunya yang fenomenal “Mencari Pahlawan Indonesia” titik yang
mempertemukan garis idealisme yang
utopis dengan realita yang pragmatis
adalah optimisme.
Ya. Optimis
berarti mencoba tak kenal henti karena kita yakin akan tujuan tengah menanti di
hadapan walau hari ini ujian berlalu lalang menghadang mulai dari penjegalan
RUU yang mengarah pada peraturan bernuansa syari’at dan memagari kebebasan yang selama ini
terumbar dengan bebasnya seperti RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, hingga RUU Perbankan
Syari’ah yang mempermudah
ketentraman masyarakat ketika menyetor uangnya di Bank-bank Syari’ah, sampai tulisan ini tengah diketik belum
juga terdapat sinyal positif ke arah sana.
Menjadi
Muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Alloh
mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan,
dan cinta rahmat bagi semesta alam. Aku jadi rindu pada pelangi itu, pelangi
yang memancarkan celupan warna ilahi.
Telah
tiba saatnya, derai berkilau Islam tak lagi terpisahkan
dari pendar menawan seorang Muslim. Dan saksikan,
bahwa aku seorang Muslim.
“Kau
belum tahu yang aku mau. Dan kau tak tahu apa yang Allah mau. Sedang aku
melakukan yang ia mau. The show must
go on! Baca buku ini agar
kau tahu apa yang Allah mau!” (Yoyoh Yusroh (1962-2011), ibu dari 13 putra,
Aktivis Dakwah)
“Ini
buku yang mencerdaskan dan mencerahkan ditulis dengan bahasa yang halus dan
indah. Selain mengajak mencintai Islam, buku ini
mengajak pembacanya menjadi Muslim sejati yang
cerdas.” (Habiburrahman El Shirazy,
Pemerhati Islam & Novelis)
“Renungan-renungan
ringan tapi nampol. Setiap kali membaca, kita bakal ngedapetin warna baru dari
halaman demi halamannya. Yang jelas, buku ini
memberikan kita semangat ‘Gw bangga jadi Muslim!’
yang gak ketulungan: karena kita Muslim, maka kita bisa meraih prestasi apa
saja!” (Shofwan Al-Banna, Mahasiswa
Berprestasi Utama Nasional 2006, Dosen Fisip UI)
“Meski
belum sempurna, tapi buku ini cukup lumayan untuk menyegarkan komitmen
kemusliman kita di tengah berbagai krisis yang telah mendera, termasuk krisis
identitas…” (M. Ismail Yusanto, Juru Bicara
Hizbut Tahrir Indonesia)
“…
Sungguh, buku ini sarat akan perenungan yang kontributif bagi setiap langkah
kehidupan.
Selamat
menikmati.” (Cahyadi Takariawan, Penulis buku
“Yang Tegar di Jalan Dakwah”, ketua Wilda DPP PKS)
Buku
ini cocok dibaca para aktivis dakwah ketimbang Muslim
secara umum, dikarenakan ada istilah-istilah berbahasa Arab yang tidak
diberikan artinya sehingga pembaca umum akan kebingungan mengenai apa artinya.
Judul: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim
Penulis: Salim A. Fillah
Tebal: 394 hlm.
Dimensi: 15x21,5 cm
Cetakan: VIII, Juli 2011
ISBN: 979-1061-03-3
Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta
Bingkisan dari Pro-U Media sebagai tanda terima kasih atas sejumlah erata pada judul "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim" cetakan VIII. |
0 Komentar