Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) menggugat
kandungan buku karya Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan berjudul “Tuanku Rao”.
Banyak kejanggalan isi buku tersebut sehubungan dengan sejarah yang dipaparkan
Mangaradja Onggang Parlindungan. Hingga pada kesimpulan akhir, Buya Hamka
menyebutkan dalam Pendahuluan buku ini,
“Kurang lebih 80% dari isi buku itu tidak benar, dan
secara agak kasar boleh disebut dusta (h.1).”
Bab 1 ―Buku “Tuangku Rao” dan Saya
“Dari 27 Januari 1964 sampai 23 Januari 1966 saya
meringkuk dalam tahanan sebagaimana nasib tiap-tiap orang yang berpikiran
merdeka di dalam negara totaliter ... Pada 26 Mei 1966 barulah saya bebas sama
sekali (h.5). Di waktu itulah saya mendapat kiriman sebuah buku tebal, istimewa,
dan menarik hati. Judul buku itu: “Tuanku Rao”... Di atas sekali dicetak hitam
nama pengarangnya MANGARADJA ONGGANG PARLINDUNGAN (h.6). Setelah saya baca,
hati saya terus terusik. Yang pertama dan paling utama menarik hati saya
melebihi yang lain-lain ialah kisah ketiga orang haji yang membawa perubahan
besar ke Minangkabau di permulaan abad ke-19; Haji Miskin, Haji Piobang, dan
Haji Sumanik (h.7). Keterangan yang diberikan Parlindungan dalam “Tuanku Rao” menambah
kebanggaan dan kagum saya kepada diri beliau (h.9).
Bab 2 ―”Kolonel” Haji Piobang
“Di Mekah, keluarga Haji Hasan Nasution sangat banyak
mendapat pertolongan dari seorang Minangkabau yang bernama Kolonel Haji
Piobang. Dia sudah sangat lama meninggalkan Minangkabau, naik haji di Mekah,
masuk Janitsar Cavalry/Tentara Turki
di bawah Komando Jenderal Muhammad Ali Pasya di Mesir, dan karena sangat gagah
perkasa di dalam pertempuran-pertempuran melawan Tentara Napoleon, dia kemudian
naik dengan Field Promotion sampai
akhirnya mencapai tingkatan Colonel
Cavalry Tentara Turki.” (Tuanku Rao, hal. 78)
“Sampai disitu pengaruhnya, bahwa Kolonel Haji Piobang
mendidik orang-orang Batak di dalam hal leadership,
model Pasya’s Janitsar Cavalry
Tentara Turki. Tidak pernah diperhatikan oleh Brothers from Minang very soory.” (Tuanku Rao, hal. 121)
“Tuanku Lelo mendapat penghargaan berupa sebilah
pedang scimitar Turki. Bekas hadiah dari Jenderal Muhammad Ali Pasya kepada
prajurit haji Piobang untuk jasa-jasanya dalam pertempuran Pyramides/1789.
Dengan pedang scimitar Turki itulah Tuanku Lelo 1818-1820 mengganas di Toba.”
(Tuanku Rao, hal. 141)
Utusan Rahasia Raja Abdullah bin Saud ― “First of all Colonel Haji Piobang di Kamang, menyampaikan kepada Tuanku Nan
Renceh, pesan Abdullah bin Saud/The
Master of Mekah, yakni pesan kepada seluruh umat Islam yang dijajah oleh
orang-orang kafir, supaya dengan agama Islam/Mazhab Hambali serta dengan
gerakan Wahabi, membentuk Tenaga Rakyat yang dengan bantuan ilahi niscaya cukup
kuat, mengusir Penjajah Asing atau pun untuk menghindarkan kembalinya Penjajah
Asing. In military pincer tactics
dimulailah serentak di Minangkabau dan Sulu/Filipina dan bertemu di Jawa.
Mengusir orang-orang Belanda, Spanyol, dan Inggris yang kafir. Membentuk
sesuatu “Negara Darul Islam” yang meliputi seluruh Tanah Jawi (Kepulauan
Indonesia, Semenanjung Malaya serta Kepulauan Filipina).” (Tuanku Rao, hal.
129-130)
Pembentuk Tentara Padri ― “Pembentuk tentara yang
teratur, yang dibutuhkan untuk memaksakan politik luar negeri kepada
tentangan-tentangan, oleh Tuanku Nan Renceh seluruhnya dipercayakan kepada
Kolonel Haji Piobang. Karena pengalamannya selaku bekas Perwira Janitsar Cavalry Tentara Turki, yang
membanting Tentara Napoleon di dalam Peperangan Pyramides/1798.
Dengan bantuan dari Tuanku Lintau, Kolonel Haji
Piobang mendirikan Officer Training
Centre di Benteng Batusangkar.
Kemudian Kolonel Haji Piobang mendirikan pula sesuatu General Staff and Command School di
Kamang, di bawah naungan Tuanku Nan Renceh sendiri. Seleksi untuk bisa
memasukinya sangat berat.” (Tuanku Rao, hal. 148-149)
Buya Hamka mempertanyakan isi paparan Parlindungan di
atas:
Bagaimana mungkin Muhammad Ali Pasya menjadi Panglima
yang membawahi “Colonel” Haji Piobang
sedang Muhammad Ali sendiri tidak hadir sama sekali dalam Perang Pyramide? Pada
waktu itu dia sendiri masih di kampung halamannya, Qaulah Albani.
Bagaimana Muhammad Ali Pasya dapat memberikan hadiah
pedang scimitar kepada Haji Piobang, padahal dia berkuasa baru pada tahun 1805?
Haji Piobang pulang ke Minangkabau tahun 1803, dua tahun sebelum ia berkuasa.
Semua itu diragukan kebenarannya, sebab:
1. 1803 Haji Piobang pulang ke Minangkabau.
2. 1805 Muhammad Ali pasya baru diangkat jadi Gubernur
Mesir.
3. 1808 Sultan Mahmud II memerintahkan Muhammad Ali
Pasya memerangi dan menghancurkan gerakan Wahabi yang mulai tumbuh di Tanah
Arab.
4. 1811 barulah Muhammad Ali Pasya melaksanakan
perintah Sultan itu dengan mengirimkan putranya; Amir Thousan Pasya. Tetapi
pihak Wahabi lebih kuat sehingga Thousan tidak berhasil dalam penyerbuan itu.
5. 1813 barulah Muhammad Ali Pasya sendiri memimpin
tentaranya menaklukkan Hijaz. Kemudian diteruskannya penyerbuan ke Nejd,
setelah Mekah dan Madinah jatuh (h.29).
Pada subbab Pribadi Haji Piobang menurut Parlindungan
dikupas oleh Buya Hamka bahwa banyak ketidaktepatan hitungan tahun dan
peristiwa jika mengikuti alur kisah dari Parlindungan tentang masa 16 tahun
tinggal di luar negeri (Tuanku Rao, hal. 91) dan 12 tahun bermukim di Tanah
Suci (Tuanku Rao, hal. 126). Sebab sejak 1.000 tahun yang lalu Al-Azhar
diadakan “harta wakaf” untuk beasiswa mahasiswa dan di masa Muhammad Ali Pasya
dan di masa pemerintahan kaum Mamluk, tidak ada dikenakan wajib militer. Oleh
karenanya, sangat aneh jika Haji Piobang menjalani “working student” dengan bergabung dalam Janitsar Cavalry.
Haji Piobang “not
to clever di dalam agama”, dan Haji Sumanik “bukan ahli agama” (Tuanku Rao,
hal. 126). Komentar Buya Hamka, “Di Mekah/Madinah 12 tahun, hasilnya “not to clever di dalam hal agama” dan
“bukan ahli agama”, bahwa orang-orang tersebut adalah petualang belaka, penipu
kampung halaman. Bertualang lama-lama di luar negeri, padahal tidak belajar
agama sedikit pun.” (h.34)
Bab 5―300 Tahun Syi’ah/Qaramithah Meresap di
Minangkabau, Benarkah?
“1803, agama Islam/Mazhab Syi’ah/Aliran Karmatiyah
sudah meresap di kalangan orang-orang Minangkabau, sampai ke segala
pelosok-pelosok. Itulah yang dengan pedang habis dibasmi oleh orang-orang Islam/Mazhab
Hambali, di dalam “Gerakan Islam Kaum Putih” 1803-1807. Q.E.D.” (Tuanku Rao,
hal. 123)
“Agama Islam/Golongan Syi’ah/Aliran Karmatiyah lewat
Qambay/Gujarat dan Pariaman, berkembang di seluruh Alam Minangkabau di dalam
periode 1513-1803, selama 300 tahun. (Tuanku Rao, hal. 105)
Alasan Parlindungan menyatakan hal tersebut adalah
adanya Tabut Hassan-Husin dan tradisi Basapah di Minangkabau (Tuanku Rao, hal.
126)
Buya menyebutkan bahwa merayakan ungkapan kecintaan
kepada keturunan Rasulullah saw bukanlah secara otomatis disebut Syi’ah. Jika
perayaan Tabut adalah budaya Syi’ah, ia bahkan tak ditemui sama sekali di negeri
Syi’ah (Iran) atau Irak. Sedangkah tradisi Basapah bukanlah tradisi Syi’ah.
Sebab, ia merupakan bentuk ketaatan terhadap sunnah Nabi saw atas kepercayaan
masyarakat jahiliyah yang menganggap bulan Shafar adalah bulan sial.
Menanggapi pernyataan Parlindungan tentang Syi’ah
Qaramithah berjaya 300 tahun di tanah Minang, Buya memaparkan banyak data dan
fakta. Di antara faktanya adalah tak pernah ada tradisi anak suka (berorientasi
seksual) dengan ibunya, tidak ada pembolehan homoseksual, tidak pernah ada
penghalalan tuak, tidak pernah ada syari’at yang membolehkan shalat hanya 2
kali sehari, tidak pernah ada paham di Minang yang menyebutkan haji cukuplah di
tempat tinggalnya saja, tidak pernah ada aturan pembolehan makan semua binatang
bertaring termasuk babi, semua masjid di Minang tak anti terhadap Abu Bakar,
Umar, Utsman dan memuja Ali, tak pernah ada di Minang lafazh adzan memakai “hayya ‘ala khoiril ‘amali” atau “asyhadu anna ‘Ali bin fadhal Rasulullah”
seperti syari’at kaum Syi’ah Qaramithah.
Beliau menulis buku ini jelas karena untuk bantahan-bantahan
terhadap buku “Tuanku Rao”. Jadi, jelas Buya Hamka menulis buku ini sendiri. Terkait
biografinya, memang tidak dituliskan didalam buku ini. Buya Hamka merupakan
penulis produktif dan terkenal. Barangkali karena alasan itulah, beliau tidak
mencantumkan biografinya dalam buku ini. Secara umum, buku ini bagus; dari
bahasa yang ia gunakan sudah baku meskipun terdapat beberapa kata memang belum
layaknya EYD sekarang ini, karena EYD sendiri juga mengalami perubahan dari
zaman dulu hingga sekarang. Misalnya saja dalam buku tersebut terdapat kata “j”
masih menggunakan “dj”. Selain itu, gaya tutur buku ini agaknya sangat khas
gaya bertutur lisan Buya Hamka.
Kelebihan buku ini terletak pada isinya yang
menjelaskan bagaimana runtutan Buya Hamka membantah buku “Tuanku Rao” dari
setiap bab. Dengan menyajikan fakta-fakta yang ada dan juga data dalam buku
tersebut. Asal-usul Tuanku Rao ―menurut Buya Hamka― bersumber dari catatan Belanda,
J.B. Neumann, Kontelir BB, yang menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang
Matinggi, bukan orang Bakkara. Sumber Neumann juga orang Belanda, Residen T.J.
Willer.
Didalam buku tersebut juga Hamka menyajikan beberapa
lampiran yang digunakan dalam sebuah diskusi yang terjadi kala itu untuk
membahas buku “Tuanku Rao”. Ada dua lampiran yang tercakup dalam buku ini.
Hingga kronologi kejadian mulai dari tahun yang dicantumkan membuat buku ini
menjadi rujukan yang bisa dipercaya keotentikannya. Tahap-tahapnya pun masuk
kedalam lampiran. Hal ini yang menjadikan berbeda buku ini dengan buku yang
lainnya; meskipun jika dilihat dari umur, jelas lebih tua dibanding buku-buku
sekarang yang membahas topik yang sama. Lampiran surat dari Team Perancang Isi
Museum Sejarah Tugu Nasional pun tidak luput dari lampiran yang ada. Kelebihan
yang lain yaitu terdapat Daftar Indeks.
Dengan beban sejarah yang begitu berat terkait isi yang
digugat Buya Hamka ―terlebih menjengkelkan Buya dari sandaran data Parlindungan
yang katanya lenyap karena dibakar oleh Parlindungan, buku “Tuanku Rao” yang
terbit pada tahun 1964 melalui penerbit Tandjung Harapan ditarik dari peredaran
oleh penulisnya sendiri.
Kejujuran sekaligus kepahitan yang berani dihadapi
oleh keluarga besar Parlindungan terhadap buku “Tuanku Rao” ini ditunjukkan
dalam pernyataan tertulis dalam mengawali buku cetakan ulang pertama kalinya
tahun 2007 dalam judul yang sama; “Tuanku Rao” oleh Baduraman Dorpi
Parlindungan Siregar dan Fely Hendrito Parlindungan Siregar untuk LKiS,
05. For whatever it is worth, Buku TUANKU RAO,
senantiasa selalu merupakan suatu “CONTRAVERSIAL REVELATION”.
06. Dengannya, saya mohon, Para Pembaca Yang Budiman,
read it for yourself dan Anda sendiri memutuskan bagian-bagian mana yang
Acceptable and/or Unacceptable, berdasarkan nalar SEQUENTIAL DEDUCTIVE LOGICAL
THINKING Anda.
Daftar Isi
Bab 1―Buku “Tuanku Rao” dan Saya;
Bab 2―”Kolonel” Haji Piobang;
Bab 3―Kerajaan Saudi Selanjutnya;
Bab 4―Sumber Fakta dan Data
Parlindungan;
Bab 5―300 Tahun Syi’ah/Qaramithah
Meresap di Minangkabau, Benarkah?;
Bab 6―Tuduhan kepada yang Dipertuan
Negeri Sembilan;
Bab 7―Benarkah Syaikh Burhanuddin
Bertiga?;
Bab 8―Syaikh Burhanuddin Ulakan
Hanya Satu;
Bab 9―Pemalsuan Nama Raja-raja dan
Kerajaan-kerajaan;
Bab 10―Keturunan-keturunan
Rasulullah saw Dikacaubalaukan;
Bab 11―Syaikh Abdur Rauf Hanya Satu;
Bab 12―Pemimpin Padri yang
Terkemuka;
Bab 13―Nama-nama yang Diragukan
Adanya;
Bab 14―Kehormatan Anugerah
Parlindungan terhadap Diriku.
Bibliografi Buku
Judul: Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao
Penulis: Prof. Dr. Hamka
Tebal: viii+479 hlm.
Dimensi: 13,5x20,5 cm
Cetakan: I, Mei 2017
Penerbit: Republika, Jakarta
Judul: Tuanku Rao
Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan
Tebal: vi+691 hlm.
Dimensi: 14,5x20,5 cm
Cetakan: 2007
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
0 Komentar