Resensi: Kiai Sholeh Darat


Kiai Sholeh Darat merupakan salah satu tokoh ulama penting di abad ke-19. Ia termasuk salah satu mata rantai dari jaringan ulama Nusantara yang sudah terbangun sebelumnya, baik di Nusantara maupun di Jazirah Arab.

Kiai Sholeh Darat hidup di antara dua masa revolusi Indonesia: Revolusi Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang terjadi di abad ke-19 dan Revolusi di abad ke-20 yang terjadi ketika Indonesia merebut kemerdekaan pada 1945 dalam Perang Dunia II. Ia adalah anak seorang ulama sekaligus pejuang. Darah ulama dan pejuang sudah ia warisi dari ayahnya; Kiai Umar; yang pernah menjadi pimpinan pertempuran melawan penjajah di wilayah utara Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Saat Kiai Sholeh Darat pulang dari pengembaraan intelektualnya di Makkah pada abad ke-19, kondisi politik Indonesia saat itu sudah stabil; dalam arti tidak ada huru-hara yang berarti. Ketika Kiai Sholeh Darat menginjakkan kakinya di Semarang pasca kepulangannya dari Makkah dan membangun pesantren di Kampung Melayu Darat, imperialisme Belanda telah berhasil membangun sistem pemerintahan yang mapan. Saat inilah Indonesia —atau Jawa secara formal-struktural— berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Sehingga revolusi fisik —dalam arti pemberontakan massal sebagaimana yang terjadi pada Perang Jawa— tidak terjadi lagi.

Dalam kondisi yang mapan karena berada di dalam cengkeraman rezim penjajahan tersebut, maka Kiai Sholeh Darat mengubah pola strateginya dalam melawan penjajah. Ia tidak memimpin perang secara fisik sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya, melainkan membangun gerakan pendidikan dan pemikiran serta menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat. Singkatnya, revolusi yang dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat di masa hidup bukanlah revolusi fisik, melainkan revolusi intelektual.

Paling tidak ada tiga hal yang dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat dalam gerakan revolusi intelektualnya di abad ke-19 tersebut: pertama adalah mendidik masyarakat dan mencetak kader-kader ulama yang nasionalis dan mempunyai semangat anti penjajahan. Ketika pulang dari Makkah, ia langsung berdakwah untuk mencerdaskan masyarakat Jawa yang kala itu masih terkungkung oleh kebodohan; terutama dalam bidang keagamaan. Kemudian melalui pesantrennya, ia mendidik dan mempersiapkan kader-kader pejuang yang terdiri dari para santri dan kiai untuk masa-masa berikutnya. Sehingga pada abad ke-20 —ketika revolusi 1945 meletus, para ulama dan santri hasil didikannya banyak yang menjadi tokoh pejuang kemerdekaan.

Yang kedua adalah melakukan pencerahan terhadap masyarakat melalui gerakan literasi dan kultural. Ia menciptakan banyak karya yang bertulisan Pegon. Selain sebagai upaya untuk mencerdaskan masyarakat yang umumnya awam dengan bahasa Arab, juga dalam rangka perjuangan melawan dan menyiasati hegemoni kaum penjajah di bidang keagamaan. Selain itu, ia juga melakukan perlawanan kultural terhadap sistem kolonial. Melalui perlawanan kultural ini, ia menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan semangat perlawanan terhadap kolonialisme di kalangan masyarakat; terutama terhadap para santrinya; seperti melarang masyarakat meniru berpakaian gaya penjajah dan masuk ke kantor pemerintahan Belanda dengan kaki kiri. Strategi perlawanan kultural terhadap kaum kolonial ini juga berpengaruh besar terhadap kaum santri dalam peran sertanya mempertahankan kemerdekaan RI, salah satunya yang tercermin dalam revolusi jihad NU pada 22 Oktober 1945.

Yang ketiga di dalam bidang keagamaan. Kiai Sholeh Darat berperan besar dalam upaya mensinergikan antara syariah dan tasawuf. Kepiawaian Kiai Sholeh Darat dalam berda’wah ini tidak lepas dari penguasaan beliau terhadap fiqhud da’wah. Artinya, ada nilai-nilai budaya lokal yang mampu beliau sinergikan dengan syariat Islam. Tentu saja hal ini adalah dimaksudkan bahwa nilai-nilai positif dari kearifan lokal tersebut menjadi kekayaan budaya baru dalam warna Islam di Nusantara. Jadi, kemampuan Kiai Sholeh Darat dalam mensinergikan syariah dan budaya lokal bukanlah kekhasan Islam Nusantara. Sebab, Rosululloh SAW pun melakukan hal yang sama terhadap budaya Arab sebelum kenabian, seperti halnya dalam aqiqoh. Jadi, saya sekaligus mengoreksi Penulis terhadap tujuan dibuatnya buku ini.

Daftar Isi
Bab I—Latar Belakang dan Historis
Konteks Kelahiran
[‘Cahaya’ dari Pantai Utara | Kiai Umar: Ulama Nasionalis dan Sahabat Perjuangan Diponegoro | Lahirnya Sang Pencinta Ilmu]
Konteks Pengembaraan Intelektual
[Pengembaraan Intelektual ke Pesantren-pesantren | Pengembaraan Intelektual ke Mekkah | Kembali ke Tanah Air: Mendarat di Darat, Semarang | Mendirikan Pesantren | Lika-liku Keluarga]

Bab II—Gerakan Intelektual dan Perlawanan terhadap Penjajah
Menebar Pencerahan Pemikiran
[Menyemai Benih-benih Nasionalisme | Haram Menyerupai Kaum Penjajah]
Karakter Pemikiran Keagamaan
[Anti Puritanisme | Cenderung Sufistik dan Dekat dengan Local Wisdom | Integrasi Fikih dan Tasawuf: Al-Ghazali-nya Jawa]

Bab III—Goresan Pena Sang Kiai
[Karya-karya Kiai Sholeh Darat | Pegon: Sebuah Strategi Perjuangan | Pelopor Penerjemahan Alquran ke dalam Bahasa Jawa | Kado Terjemahan Alquran untuk Kartini]
Bab IV—Perginya Sang Guru
[Meninggal dan Nasib Pesantren | Haul Mbah Sholeh Darat | KOPISODA: Upaya Merevitalisasi Pemikiran Kiai Sholeh Darat | Karomah Kiai Sholeh Darat]

Bibliografi
Judul: Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M
Penulis: Taufiq Hakim
Tebal: xxi+242 hlm.
Dimensi: 15,5x22 cm
Cetakan: I, November 2016
ISBN: 979-602-74816-8-8


Posting Komentar

0 Komentar