Konon, masjid Demak
sudah berdiri, namun ternyata para wali masih berdebat tentang arah kiblat.
Karena soal penentuan itu tidak dibahas sebelum membangun. Mereka saling
mengajukan pendapat, sementara masjid sudah berdiri. Perdebatan pun riuh,
karena terjadi banyak pendapat yang saling bertentangan. Namun, kemudian dengan
bijak Sunan Kalijogo tampil memberikan penyelesaian. Sunan Kalijogo bersedia
menentukan arah kiblat dengan cara tangan kanan memegang Ka’bah di Makkah
sementara tangan kirinya memegang puncak masjid Demak.
Peristiwa itu mestinya
jangan dipahami begitu saja kejadiannya. Apa makna dari kisah ini? Ia adalah
sebuah kiasan yang sarat pemaknaan pembelajaran. Bahwa perihal perdebatan soal
kiblat, adalah perlambang dari persoalan iman. Sebab kiblat Ka’bah adalah
tempatnya Muslim menghadapkan wajah ketika sholat. Sedangkan masjid Demak
menjadi perlambang orang Islam di Jawa. Sementara puncak masjid Demak
dimaksudkan sebagai pemukanya pamong praja, atau penguasa.
Dengan demikian, kisah
tersebut diartikan bahwa Islam yang bermula dari Makkah, harus disesuaikan
dengan keadaan masyarakat Islam di Jawa dalam permulaan perkembangannya. Dan
dengan berdirinya masjid agung Demak, yang akan menjadi pusat penyebarannya.
Dengan kesultanan Demak sebagai penguasa yang akan menjadi pelindungnya.
Itu adalah sepenggal
legenda seputar kisah Walisongo yang harus dimaknai dengan benar.
Buku lawas nan tipis ini
berkisah tak terlalu detail tentang tokoh-tokoh dakwah yang tergabung dalam
lembaga bernama Walisongo ini, sebagaimana memang sedikitnya catatan tentang
mereka. Sehingga tak sedikit yang kemudian mengisi ‘missing link’ ini dengan
cerita-cerita sesuai tafsir-tafsir yang terkesan hiperbolis.
Penemuan dan pembacaan
pada beberapa nisan dengan tulisan Arab masih menjadi patokan sejarawan Muslim
tentang masuknya Islam di Nusantara; tak terkecuali Solichin Salam; baik pada
nisan bertulis Maulana Malik Ibrohim (1419 M) maupun Fatimah binti Maimun bin
Hibatalloh (1082 M).
Selain itu, memaparan teori-teori
yang menyebutkan asal masuknya Islam ke Nusantara juga disebutkan oleh Penulis,
» Teori Persia oleh
Prof. Dr. P.A. Hoesien Djajadiningrat dan Oemar Amin Hoesin;
» Teori Gujarat oleh Dr.
R.M. Soetjipto Wirjosoeparto;
» Teori Makkah oleh Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Berawal dari demografi
Kerajaan Majapahit yang berlatar keagamaan Hindu dan Buddha, di mana Hindu tak
lepas dari sistem kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Syudra. Kasta Brahmana
terdiri dari kelas pada pendeta dan pendidik, kasta Ksatria terdiri dari kelas
Raja dan panglima, kasta Waisya terdiri dari kelas saudagar dan tukang-tukang,
dan kasta Syudra terdiri dari kelas kuli dan hamba sahaya. Di samping itu, ada
golongan yang dianggap lebih rendah dari kasta Syudra, yakni Paria.
Pada agama Buddha,
kehadirannya menjadi harapan baru bagi penganut Hindu. Sebab, pada ajaran
Buddha meniadakan pembagian masyarakat atas kasta-kasta.
Hingga pada akhirnya,
masyarakat Jawa kala itu menyatukan dua agama yang saling bertentangan itu menjadi
agama baru; Syiwa-Buddha. Dan ini hanya terdapat di Indonesia.
“Syiwa Buddha yang hanya
ada di Indonesia, dan dianggap sebagai agama resmi oleh Raja Kertanegara dari
Singosari pada akhir abad ke-13. Apabila di India agama Syiwa dan agama Buddha
saling bertentangan, berdasarkan toleransi bangsa Indonesia, dua agama itu
dipersatukan menjadi satu agama yang baru disebut Syiwa Buddha. Bhinneka
Tunggal Eka dengan mengambil dewa besar Syiwa dan Buddha menjadi dua aspek dari
Tuhan semesta alam. Kedudukan dewa besar ini yang sama diketemukan dalam
rumusan “Bhinneka Tunggal Eka” yang sesungguhnya merupakan rumusan yang
diketemukan dalam kitab kuno SUTASOMA” (h.10)
Tetapi agama yang
memenuhi dasar-dasar kemanusiaan, kebenaran, keadilan, persamaan, dan persaudaraan
belum sepenuhnya memuaskan penganutnya. Hingga datang agama yang menjadikan
ketaqwaan kepada Alloh sebagai parameter kemuliaan seseorang sebagai pilihan
yang pas; Islam.
Sekitar 700 tahun kasta
Waisya dan —utamanya— kasta Syudra menjalani hidup yang dihinakan, Islam adalah
pembebas. Oleh karenanya, sejarah dakwah para Wali disesaki oleh syahadat para
kaum jelata.
Sedikit dikupas tentang
hubungan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam Demak, Solichin Salam
menyebutkan bahwa peperangan kedua kerajaan dengan latar agama yang berbeda ini
bukan disebabkan Demak yang memulai, tetapi Prabu Brawijoyo V (ayah Raden
Patah; Sultan Demak) sudah terlanjur mengizinkan para Wali untuk berdakwah di
Majapahit, di sisi lain juga sudah menyatakan takluk di bawah Girindra Wardhana
(Brawijaya VI) dari Keling, bahkan Girindra Wardhana pun telah mengirim surat
kepada Prabu Brawijaya V untuk angkat senjata menumpas para Muslimin.
Dilema ini membayangi
Prabu Brawijaya V yang akhirnya mengambil keputusan untuk melarikan diri ke
lereng Gunung Lawu. Jika kita menelusuri lereng Gunung Lawu, kita akan
menemukan jejak-jejak bangunan, tempat ibadah, dan masyarakat yang identik
dengan kepercayaan Syiwa Buddha ini.
Pertempuran pun terjadi.
Dan kejatuhan Majapahit bukanlah murni kuatnya Kerajaan Demak, tetapi juga
karena faktor internal Majapahit karena krisis kepemimpinan, krisis pangan,
krisis militer, dan krisis keagamaan. Jadi, posisi Demak saat itu adalah
defensif atas serangan Majapahit.
Hingga berdirinya
Kerajaan Islam Demak (1478 M) dan pendirian masjid Agung Demak (1401 Saka/1479
M) menjadi penanda eksistensi dakwah Islam. Hal tersebut tak lepas dari peranan
para da’i yang tergabung salam Walisongo, yakni Maulana Malik Ibrohim, Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijogo, Sunan Kudus,
Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Sedangkan Sunan-sunan yang lain seperti
Sunan Tembayat, Sunan Prawoto, Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Benang, Sunan
Mojoagung, Syekh Siti Jenar, Syekh Subakir, Maulana Ishaq dan tang lain adalah
anggota lembaga dakwah ini. Hanya saja, masyarakat —tak lepas pula dari peranan
sejarawan— lebih menganggap sembilan nama di awal yang lebih populer.
Pada buku ini tidak
disebutkan bahwa keberadaan para Wali ini sebagai misi yang tersusun rapi dan
dikirim oleh Sultan Muhammad I dari Turki ‘Utsmani. Barangkali memang sumber
penelitian dan penyusunan karya Solichin Salam saat itu belum selengkap
sekarang yang sudah mengalami perkembangan lumayan maju terkait penelusuran
jejak dakwah para Wali seperti yang dipaparkan Widji Saksono dalam judul
“Mengislamkan Tanah Jawa” (1961) dan Rachmad Abdullah dalam
judul “Walisongo” (2018).
Ada sedikit perbedaan
nasab antara silsilah para Wali dalam buku ini dengan yang dipaparkan oleh
Widji Saksono.
Buku ini dilengkapi
dengan dokumentasi situs-situs peninggalan para Wali sesuai dengan nama-nama
Wali yang tenar.
Sedikit mengenal penulis
buku ini, bahwa Solichin Salam adalah seorang pengarang dan wartawan kelahiran
Kudus, Jawa Tengah pada 17 Oktober 1933. Beliau pernah mengikuti kuliah di
Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (1961-1963) dan
pendidikan jurnalistik tingkat Editors di International Advanced Course of
Journalism di Berlin, Jerman Barat (1970) serta latihan kepemimpinan di The
University of The Philippines, Manila (1969).
Daftar Isi
I—Pendahuluan
II—Kedatangan Islam di Indonesia
III—Beberapa Pendapat tentang Masuknya Islam di
Indonesia
IV—Jatuhnya Kerajaan Majapahit
V—Berdirinya Kerajaan Islam di Demak
VI—Berdirinya Masjid Agung Demak
VII—Wali Sanga
VIII—Maulana Malik Ibrahim
IX—Sunan Ampel
X—Sunan Bonang
XI—Sunan Giri
XII—Sunan Drajat
XIII—Sunan Kalijaga
XIV—Sunan Kudus
XV—Sunan Muria
XVI—Sunan Gunung Jati
XVII—Syekh Siti Jenar
XVIII—Antara Legende dan Filsafat
XIX—Wali dan Wayang Kulit
Bibliografi
Judul: Sekitar Walisanga
Penulis: Solichin Salam
Tebal: 70 hlm.
Dimensi: 14,5x20,5 cm
Cetakan: 1960
Penerbit: Menara Kudus,
Kudus
0 Komentar