Ketika aku dimi’rojkan, aku bertemu dengan sekelompok
manusia yang mencakar-cakar mukanya dan mencabik-cabik dadanya dengan kukunya
yang terbuat dari tembaga. Maka aku bertanya kepada Jibril, “Siapakah mereka,
wahai Jibril?” Ia menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang suka makan daging
orang lain dan suka membicarakan cela orang lain,” demikian tutur anak angkat Nabi
Muhammad saw bernama Anas bin Malik ra saat mengenangkan kisah Sang Rosul dan
diabadikan dengan kuat oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad.
Definisi Ghibah
“Ghibah
adalah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”
Bagaimana
jika yang diceritakan itu sesuatu hal yang memang benar adanya?
“Kalau
memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak, berarti engkau
berbuat buhtan (dusta).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
Perbedaan Ghibah dengan Buhtan
“Dan
mengapakah tiada kamu katakan ketika kamu mendengarnya bahwa kita tidak
sepatutnya bercakap-cakap tentang hal ini. Mahasuci Engkau, ya Alloh, inilah
suatu (buhtan) kebohongan yang besar.”
(QS. An-Nuur: 160)
“...dan
tidak akan mengadakan kedustaan (buhtan)
yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka...” (QS. Al-Mumtahanah:
12)
“Yahudi
itu adalah kaum pendusta.” (HR.
Bukhori dan Ahmad)
Hukum Berdusta dan Ta’ridh
Pada
dasarnya, berdusta hukumnya haram. Tetapi ada berdusta yang berkaitan dengan
kebaikan menurut syari’at, dibolehkan. Ia disebut ta’ridh, yaitu suatu ucapan yang mengandung maksud tertentu yang
diharapkan dapat dipahami lain oleh lawan bicaranya. Tetapi jika yang diucapkan
tersebut menyalahi dengan apa yang ia maksudkan, ia dinamakan dusta yang
sebenarnya. Jadi, ta’ridh termasuk
dusta dilihat dari segi pemahaman dan bukan dari segi tujuan akhir yang akan
dicapai.
Rosululloh
saw memberikan contoh:
Ibrohim
tidaklah berdusta kecuali tiga bentuk dusta yang pernah ia lakukan dalam rangka
membela hak Alloh: ucapannya kepada Saroh dengan “ukhti” (saudara perempuanku), ucapannya kepada Raja dengan
mengatakan “Bahkan berhala yang besar ini yang melakukannya”, dan ucapannya “Sesungguhnya
aku ini sakit.” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)
Juga
Rosululloh saw bersabda,
“Tidaklah
termasuk dusta, orang yang meng-ishlah
antar-manusia, lalu ia mengatakan baik atau menunjukkan kebaikan.” (HR.
Bukhori, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Jadi,
tidak boleh dusta kecuali dalam tiga hal, yakni dalam rangka berbuat ishlah (mengakurkan), dalam perang, dan
dalam hal mengakurkan hubungan suami-istri. Sedangkan hukum ghibah sendiri,
disandarkan pada firman Alloh swt dalam surat AL-Hujurot ayat 12,
“Dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik
memakannya.”
Tentang Hamz (mencaci maki) dan Lamz (mencela)
Hamz dan Lamz, keduanya tergolong ghibah. Karena keduanya
mengandung cacian dan celaan kepada orang lain sebagaimana terdapat unsur itu
dalam ghibah. Bedanya, Hamz mencela
dengan pedas dan keras, sedang Lamz
mencela tanpa dibarengi dengan kekerasan.
Jenis-jenis Ghibah dan
Hukumnya
Ada
pokok yang berkaitan dengan ghibah, yakni macam atau jenis ghibah dan
menceritakan pribadi orang tertentu yang masih hidup maupun yang telah
meninggal.
Pada
jenis kemaksiatan yang dicela Alloh dan Rosul, maka kita wajib mencelanya,
seperti orang kafir, pendurhaka, orang fasik, orang zholim, orang sesat, orang
bakhil, orang hasad, tukang sihir, mata rantai riba, pencopet, pezina, orang
sombong, orang angkuh, pelaku penyimpangan seks, semua yang terlibat dalam mata
rantai khomr, dan sejenisnya. Tetapi pada
hal yang sebaliknya, Alloh dan Rosululloh saw memujinya.
Pemakluman Ghibah
1.
Orang yang mazhlum (dianiaya) boleh menceritakan
keburukan orang yang menganiayanya dalam rangka menuntut haknya, seperti yang
dilakukan Hindun,
“Ya
Rosululloh, Abu Sufyan itu lelaki pelit. Ia tak memberi nafkah yang cukup untuk
diriku dan anak-anakku!” Rosululloh saw menjawab, “Ambillah sebagian dari
hartanya yang dapat mencukupi dan menutupi kebutuhanmu dan anakmu dengan cara
yang ma’ruf.” (HR. Bukhori)
2.
Menceritakan keburukan orang lain dibolehkan jika bertujuan memberi nasihat
pada kaum Muslimin tentang agama dan dunia mereka. Hal ini terdapat dalam
dialog antara Fathimah dengan Nabi Muhammad saw,
“Ayah,
Muawiyah dan Abu Jahm telah meminangku.” Rosululloh saw menjawab, “Muawiyah itu
lelaki yang miskin, sedangkan Abu Jahm itu ringan tangan (suka memukul)
perempuan.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Dengan
menyebutkan kondisi masing-masing nama tersebut, Rosululloh saw bermaksud
menyampaikan bahwa Muawiyah dimungkinkan tidak bisa memenuhi hak Fathimah. Sedangkan
pada Abu Jahm sudah jelas perilaku tersebut tak ada yang menyukai.
‘Umar
bin Khoththob pun pernah melakukan penilaian dan nasihat terkait nama-nama yang
diusulkan masuk dalam lembaga syuro dengan menyebutkan cela mereka yang
menyebabkan mereka tidak layak jadi pemimpin.
Jadi,
memberi nasihat itu wajib dalam rangka memelihara kemaslahatan agama.
Daftar Isi
Bab I―Fatwa Syaikhul Islam tentang Ghibah
[Definisi Ghibah | Perbedaan Ghibah dengan Buhtan | Hukum
Berdusta dan Ta’ridh | Tentang Hamz dan Lamz | Beberapa Jenis Ghibah dan
Hukumannya | Beberapa Pengecualian Dibolehkannya Ghibah | Syarat-syarat
Dibolehkan Mengghibah]
Bab II―Perjuangan Mempertahankan Kesucian Diri dari
Kekotoran Berghibah
[Pertanyaan tentang Seseorang yang Mengghibah Orang Lain
dengan Mencaci Maki kemudian Bertaubat | Beberapa Hadits yang Berkaitan dengan
Ghibah]
Bab III―Penjelasan Tuntas tentang Ghibah yang Diharamkan dan
yang Dibolehkan
[Dalil Al-Qur’an dan Hadits tantang Haramnya Berghibah |
Beberapa Bentuk Ghibah yang Dibolehkan]
Bibliografi
Judul:
Ghibah
Penulis:
Ibnu Taimiyyah, Imam Suyuthi, Imam Syaukani
Penerjemah:
Abu Azzam
Tebal:
78 hlm.
Dimensi:
12,5x17,5 cm
Cetakan:
III, September 1996
Penerbit:
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
0 Komentar