Resensi: Mengislamkan Tanah Jawa

Selama ini sejarah Walisongo hampir lenyap di balik selubung legenda dan dongeng yang beraneka warna. Sementara fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya tentang diri tokoh Walisongo ―khususnya tentang Walisongo sebagai gerakan dakwah― jarang diulas. Padahal, banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik dari kiprah dakwah mereka: bagaimana sekelompok kecil da’i dapat mengIslamkan masyarakat Jawa yang sebelumnya memeluk Agama Hindu, Buddha, dan aninisme?

Inilah satu-satunya buku yang mencoba mengeksplorasi metode dakwah Walisongo secara ekstensif. Berbeda dengan buku-buku tentang Walisongo yang pernah terbit, buku ini membahas tuntas strategi dan perjuangan dakwah Walisongo, baik secara pribadi maupun sebagai lembaga dakwah yang memenuhi kualifikasi keorganisasian yang utuh. Sebab Walisongo pada dasarnya merupakan kepala kelompok dari sejumlah besar da’i Islam yang mengadakan dakwah di daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam pada abad ke-15, pada masa Kesultanan Demak.

Pemahaman tentang Walisongo sebagai Lembaga Dakwah inilah yang lebih dikembangkan dan dielaborasi dalam buku ini. Dengan rujukan yang luas dari sumber-sumber kuno berbahasa Arab, Belanda, Inggris, dan Jawa. Widji Saksono mengungkap banyak hal yang selama ini belum diketahui umum mengenai Walisongo.

Istilah “Walisongo”, umumnya dimaknai sebagai dua kata yang terdiri dari kata “Wali” dan “songo”, di mana kata “songo” disandarkan pada akar bahasa Jawa yang berarti sembilan. Jadi, secara umum dapat diartikan bahwa para wali pembawa agama Islam (da’i) di Nusantara berjumlah sembilan orang. Tentang jumlah ini, Prof. K.H.R. Moh. Adnan berpendapat bahwa kata “songo” merupakan kerancuan pengucapan dari kata “sana”. Kata itu dipungut dari bahasa Arab tsana’ (mulia) yang searti dengan mahmud (terpuji), sehingga pengucapan yang betul adalah “Wali Sana” yang berarti Wali-wali Terpuji. Pendapat Prof. Adnan ini diperkuat oleh R. Tanojo. Hanya saja, ada perbedaan dalam memaknai kata sana oleh R. Tanojo. Menurut R. Tanojo, kata sana bukan berasal dari kata Arab tsana’, tetapi berasal dari kata Jawa Kuno, sana yang berarti tempat, daerah, atau wilayah. Dengan interpretasi ini, Wali Sana berarti wali bagi suatu tempat, penguasa daerah, atau penguasa wilayah (h.18). Sehingga songo bukanlah bermakna jumlah, tetapi bermakna tempat.

Jika menelusuri keberadaan Walisongo sebagai pribadi, akan ditemukan jumlah yang lebih dari sembilan tokoh. Paling tidak ada duapuluh satu wali yang masuk dalam lingkaran lembaga dakwah ini, yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Sayyid Zain (Sunan Gunung Jati), Makhdum Ibrohim (Sunan Bonang), Masaih Munat (Sunan Drajat), Raden ‘Alim Abu Huroiroh (Sunan Majagung), Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), Raden Syahid (Sunan Kalijogo), San ‘Ali Anshor (Syaikh Siti Jenar), ‘Utsman Hajji (Sunan Ngudung), Raden Santri ‘Ali (Sunan Gresik), Raden ‘Umar Sa’id (Sunan Muria), Raden Sayyid Muhsin (Sunan Wilis), Raden H. ‘Utsman (Sunan Manyuran), Raden Fatah (Sunan Bintoro), Raden Jakandar (Sunan Bangkalan), Kholif Husein (Sunan Kertosono), Ki Gede Pandan Arang (Sunan Tembayat), Ki Cokrojoyo (Sunan Geseng), Sunan Giri Prapen, dan Sunan Padhusan. (h.23-24)


Tentang nasab atau silsilah para Wali, sepertinya sudah banyak yang memaparkan. Dan di sini akan kita fokuskan pada dakwah para Sunan itu sendiri, yakni menerapkan prinsip dakwah Rosululloh saw dengan memberi nasihat dalam kelompok-kelompok, di pasar-pasar, mengunjungi rumah-rumah, memerintahkan sahabat berhijrah, mengirim delegasi, menyurati raja-raja atau dengan usaha lainnya. Yang tak kalah penting adalah menjadikan amalan-amalan pribadinya sebaik mungkin dan hal itu akan menjadi magnet pesona bagi target dakwahnya. Selain itu, para Wali juga menggunakan metode kerja dalam organisasi dan lembaga-lembaga politik.

Patut disimak catatan Sir Thomas Arnold dalam karyanya The Preaching of Islam:
“The spread of this faith over so fast a portion of the globe is due to various causes, social political and religious, but amongst these, one of the most powerful factors at work in the production of this stupendous result has been the unremitted labors of Muslim missionaries, who the Prophet himself as their great example, have spent themselves for the conversion of unbelievers.” (h.94)

Tiap Sunan memiliki keahlian masing-masing sebagai bentuk kebermanfaatan mereka terhadap dakwah. Maulana Malik Ibrohim memiliki keahlian sebagai ahli irigasi dan pertanian, sebab Majapahit saat itu sedang mengalami krisis pangan hebat pasca Perang Paregreg. Sunan Ampel (putra Maulana Malik Ibrohim) sangat menguasai ilmu tata negara, sehingga ia diberikan amanah untuk mendidik putra-putra bangsawan (Majapahit) untuk membenahi ketatanegaraan Majapahit ―di samping maraknya pemberontakan. Sunan Ngudung dan Sunan Kudus (ayah dan anak) yang berasal dari Palestina sangat lihai dalam hal kemiliteran, sehingga mendapat amanah untuk menjadi trainer kemiliteran di Kerajaan Majapahit. Selain itu, Sunan Kudus juga menguasai perundang-undangan dan mahkamah kehakiman. Sunan Giri adalah gembong dalam urusan politik kenegaraan. Tak ada penguasa wilayah Islam saat itu yang berani menetapkan suatu nama untuk dipromosikan kecuali sudah mendapat restu dari Sunan Giri. Pengaruh Sunan Giri bukan hanya berpendar se-Jawa, tetapi hingga ke Maluku. Sehingga orang-orang Portugis saat itu menyamakan posisi Sunan Giri laksana Paus bagi agama Katholik. Sedangkan Sunan-sunan yang lain, lebih banyak mengambil bidang dakwah dalam hal budaya dan kemasyarakatan. Sebab, masyarakat Jawa saat itu lebih nyaman dan dapat menerima nasihat jika dikemas dengan hiburan. Oleh karenanya, Sunan Kalijogo pun mencipta wayang kulit, Sunan Bonang mencipta alat gamelan, Sunan Drajat berfokus pada pemberdayaan ekonomi umat, Sunan Muria memaksimalkan potensi masyarakat dalam hal pertanian dan kelautan.

Kelengkapan kisah dakwah para Wali ini semakin menunjukkan titik terang ―dari segala mitos yang meramaikan kisah para Wali― adalah dengan diketemukannya buku catatan Sunan Bonang yang saat ini teramankan di Universitas Leiden, Belanda. Kitab yang terdiri dari dua jilid ini diberi judul “Het Boek van Bonang”; atau umum berkembang di lingkungan sejarawan Indonesia dengan istilah “Primbon Sunan Bonang”. Secara umum, peran para Wali adalah memberikan solusi atas segala permasalahan umat melalui risalah keislaman. Bagaimana pun, hadirnya Walisongo dalam mewarnai Nusantara tidak lepas dari hasil penjelajahan Ibnu Bathuthoh ke Nusantara yang kemudian catatan-catatan tersebut ia serahkan kepada Sultan Muhammad I di Turki. Oleh kholifah, dikumpulkanlah para da’i yang mempunyai kompetensi yang dibutuhkan oleh Nusantara. Maka terutuslah para du’at yang bukan saja menguasai dasar-dasar keislaman, tetapi juga mumpuni dalam hal disiplin ilmu vokasi.

Jika mempelajari isi dari Primbon-primbon tersebut, terdapat rujukan kitab-kitab klasik yang digunakan oleh Walisongo, seperti Ihya’ ‘Ulumuddin karya Al-Ghozali, Tahmid fi Bayanit Tauhid wa Hidayati lu kulli Mustarosyid wa Rosyid dari Abu Syakur bin Syu’aib Al-Kasi Al-Hanafi As-Salimi, Talkhis Al-Minhaj dari Nawawi, Quth Al-Qulub dari Abu Tholib Al-Makki, Ar-Risalah Al-Makkiyah fi Thoriq As-Sada As-Sufiyah dari ‘Afifuddin At-Tamimi. Maka dengan mempelajari Primbon Sunan Bonang (Primbon I dan II) dapat ditetapkan bahwa Walisongo termasuk ahlussunnah yang dengan tegas dan konsekuen menentang bidah (culas, mengada-ada tak sesuai sumber Islam) dan dholalah (sesat). Mereka bergerak serempak dalam barisan mujahid di bawah panji-panji Al-Islam.

Al-Qur’an surat Yunus (10): 62-63 memberikan ta’rif atau definisi dan syarat Wali-wali Alloh ialah orang yang tidak takut dan tidak pula berduka cita, yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Alloh. Kriteria yang dijabarkan dari ayat ini agaknya telah terpenuhi. Berita dan bukti sebagai saksi sejarah telah terpenuhinya syarat itu ialah antara lain masjid yang dibangun Walisongo antara lain ialah Masjid Agung Demak. Dengan masjid, itu mereka membuktikan dirinya ittiba’ (mengikuti) sunnah Rosul dalam pembinaan Masjid Quba sebagai suatu langkah pertama sebelum langkah selanjutnya dilaksanakan. Selanjutnya ditinjau dari kitabulloh, masjid tersebut tidak lain dari lambang bakti dan takwa kepada Ilahi. Dalam Al-Qur’an surat At-Taubah (9): 18 dinyatakan bahwa hanya orang-orang yang beriman kepada Alloh dan hari kemudian yang memakmurkan masjid Alloh serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Alloh; atau dalam ayat 108 surat yang sama dinyatakan, bahwa masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih patut bagi kita untuk sholat di dalamnya. Dalam kebisuannya, masjid-masjid warisan itu mempersaksikan tentang ketakwaan para Walisongo. Di samping itu, ucapan Sunan Kalijogo kepada Adipati Pandan Arang ketika ia memohon berguru ilmu agama mengisyaratkan pula pancaran takwa dan bakti Wali ini kepada Ilahi,
Sunan Kalijogo berkata lembut, “Saya minta tanda bukti (bahwa tuan-tuan betul berniat berguru kepadaku) empat perkara: ibadahlah selama hidupmu, tegakkanlah iman, Islamkanlah (dakwahkan) penduduk Semarang, didirikanlah jama’ah Islamiyah, ajak umat dan dirikan sholat dengan bedug dan langgar (surau). Adapun syarat yang keempat, zakatlah tuan dengan ikhlas.  Itulah kewajiban bagi si kaya...”

Penulis adalah seorang aktivis keislaman yang bersama beberapa rekannya (Sujoko Prasojo dan Sularso dari Fakultas Pedagogi UGM, Shalahuddin Sanusi dari IAIN Sunan Kalijaga, Brigjen Sudirman, Brigjen M. Sarbini, Jenderal (Pol.) Sutjipto Judodihardjo dari tokoh-tokoh militer, dan A. Marwan dari pengusaha) mendirikan Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI). Buku ini merupakan pralihan dari hasil skripsi S1 Widji Saksono. Sehingga jika dibandingkan dengan kualitas saat ini, skripsi berjudul “Mengislamkan Tanah Jawa” ini setara dengan S3.

Daftar Isi
Bab I―Mengenal Walisongo: Biografi dan Legenda
[Mawlana Malik Ibrahim dan Wali Keturunannya | Sunan Ampel, Sunan Gresik, dan Sunan Majagung | Syaikh Mawlana Ishaq dan Wali Keturunannya | Syaikh Siti Jenar]

Bab II―Potensi Pribadi dan Karier Dakwah
Pendidikan Para Wali | Status Ekonomi dan Reputasi Sosial | Metode Dakwah Walisongo | Alat dan Fasilitas Dakwah]

Bab III―Kiprah dalam Politik dan Kebudayaan
[Gagasan dan Aksi Politik | Peran dan Tanggung Jawab Kebudayaan]
Bab IV―Ajaran-ajaran Walisongo
[Primbon Sunan Bonang Teks Schrieke | Primbon Sunan Bonang Teks Gunning | Perbandingan Kraemer terhadap Primbon I dan Primbon II]

Bab V―Karya dan Hasil Dakwah Walisongo
[Iman dan Takwa Walisongo | Akhlak, Amalan, dan Kompetensi Religius | Mazhab dan Ajaran Walisongo | Karya dan Hasil Dakwah Walisongo | Sukses dan Ekses Dakwah Walisongo | Memahami Ekses Dakwah Walisongo]

Bab VI―Kesimpulan

Apendiks
[Bagan Silsilah Walisongo | Daftar Silsilah Sultan I Kerajaan-kerajaan Jawa]

Bibliografi
Judul: Mengislamkan Tanah Jawa; Telaah atas Metode Dakwah Walisongo
Penulis: Widji Saksono
Tebal: 263 hlm.
Dimensi: 15 x 21 cm
Cetakan: I, Januari 1995
ISBN: 979-433-0660-4

Penerbit: Mizan, Bandung

Posting Komentar

0 Komentar