Resensi: Kronik Peralihan Nusantara; Liga Raja-raja Hingga Kolonial

“Nenek moyangku seorang pelaut”. Barangkali sebagian kita menisbatkan gelar itu pada suku Bajo. Terlepas dari itu, salah satu kronik Cina yang diterjemahkan J. Takakusu (A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago, 1896), I Tsing beberapa kali menyebut nama San-fo-tsi (mula-mula disebutnya Che-li-fo-tsi) sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Nama Che-li-fo-tsi dan San-fo-tsi itu sendiri digunakan oleh Dinasti Sung (960-1279) dan Yuan (1279-1368), juga Ming (1368-1644), untuk merujuk ke sebuah kerajaan di “Laut Selatan” yang terletak antara Chen-la (Kamboja) dan She-po (Jawa), yakni Sriwijaya.

Dalam pengelanaannya (671-695) mencari “pohon pencerahan” hingga ke India, I Tsing mencatat bahwa Sriwijaya adalah kerajaan penting di bidang maritim, perdagangan, dan penyebaran agama (Buddha). Kebesaran penguasa “Laut Selatan” ini bukan sekadar imbas dari runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina, tetapi juga berkat politik bertetangga yang baik dan didukung oleh adanya armada laut yang besar. Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) menyebutkan sebagai kepiawaian Sriwijaya membentuk aliansi yang kuat. Di mana untuk menjaga wilayah kekuasaannya yang sangat strategis Sriwijaya juga membentuk semacam angkatan laut yang terorganisasi dengan baik.

Mengutip O.W. Wolters, Dick-Read menambahkan,
“... dari ibukotanya Palembang di tepi Sungai Musi, tampaknya Sriwijaya telah membangun Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut nomaden. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara.”

Bahkan, menjelang akhir masa kejayaannya setelah diserang oleh Chola pun, kronik Cina dari Dinasti Yuan dan Ming masih mengakui eksistensi Sriwijaya sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di “Laut Selatan”. “Pelabuhannya memakai rantai besi. Ibukotanya terletak di tepi air (sungai), (dan) penduduknya terpencar di luar kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratap ilalang,” demikian antara lain laporan Chau Ju Kua –pengelana laut lainnya dari Cina− tentang Sriwijaya pada 1225 Masehi.

Wilayah kekuasaan Sriwijaya tak hanya terbatas di jalur lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan Laut Jawa. Sebagai penguasa laut Nusantara –oleh sebagian peneliti− Sriwijaya diyakini pula telah berhasil menanamkan pengaruhnya hingga ke Madagaskar. Gabriel Ferrand dalam L’Empire Sumatranais Criwijaya bahkan menyimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Malagasi adalah orang-orang yang datang dari Sriwijaya. Sebab, kata Ferrand, “Hanya Sriwijaya yang memiliki pengetahuan kelautan yang handal untuk dapat mencapai Madagaskar.”

Sebagai tinjauan atas adanya informasi-informasi tersebut, setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa Sriwijaya dengan kapal-kapalnya telah memainkan peran signifikan dalam “perdagangan global”. Manguin memperkirakan, armada laut Sriwijaya yang dipakai –baik sebagai kekuatan ‘militer’ maupun berniaga− mampu mengangkut barang 450-650 ton. Bahkan −dalam perkembangan berikutnya− dengan panjang kapal mencapai 60 meter, daya angkutnya pun bertambah hingga 1000 ton (h.11-13).

Sriwijaya tampil menjadi kekuatan ekonomi yang besar dengan mengekspor antara lain timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan kamper, di mana pedagang-pedagang dari Arab dan India menjualnya ke pasaran Eropa. Rempah-rempah tersebut dibeli dari Tanjung Pura, Banggai di pantai Timur Sulawesi, serta Maluku dan Timor. Kala itu, tingkat peradaban di Cina (pada dinasti-dinasti T’ang, Sung, dan Ming) dan dunia Islam (antara abad 8 sampai 12 tahun, Bysanz dari abad 8 sampai 11), mempunyai tingkat kualitas yang lebih tinggi dibanding dengan peradaban Kristen yang baru memulai bentuknya di abad ke-8 dan ke-9 (h.10-11).

Tidak hanya orang Jawa saja yang mempunyai keahlian pengecoran logam untuk meriam atau pembuatan senapan (Arquebuss), Vaerthema, orang Italia yang pernah ke Sumatera antara tahun 1503 dan 1508 mencatat kemampuan orang setempat dalam membuat mesiu. Marsden (Marsden, 1811) menyebut bahwa: In the country of Minangkabau they have from the earliest times, manufactures arms for their own use and to supply the Northern inhabitats...etc (h.8).

Kemampuan yang sama berkenaan dengan senjata api juga tampak pada orang-orang Aceh yang berkali-kali menyerang Portugis di Malaka dan mengganggu pelayarannya, serta orang-orang di Ternate yang rajanya dikawal oleh 3000 tentara dan 1000 diantaranya bersenjata api. Hal ini cukup menggambarkan bahwa kedatangan para Portugis, Belanda, dan bangsa lain ke Indonesia, orang-orang Indonesia bukanlah sekelompok petani yang tak berdaya dan dengan gampang dapat dihabisi seperti yang terjadi di Amerika Selatan (Inca) yang ditumpas Pisaro dan Cortes.

Kenyataan bahwa Nusantara Lama begitu tersohor, tak lepas dari potensi alamnya yang melimpah (baca: Barus Seribu Tahun yang Lalu, Barus Negeri Kamper, Suma Oriental, Negeri Rempah-rempah, Portugis & Spanyol di Maluku).

Eksplorasi dan eksploitasi Spanyol dan Portugis ke seantero dunia tak lepas dari ditandatanganinya Perjanjian Tordesillas (Juni 1494) antara kedua kerajaan itu dengan ‘hakim’ tunggal, yakni Paus. Bahkan Paus menyebut perjanjian ini dengan sebutan “Inter Caetera Divinae; Keputusan Ilahi.”

Perjanjian tersebut membelah bumi menjadi dua bagian; timur dan barat. Menarik garis imajiner dari Kutub Utara ke Kutub Selatan melewati sisi barat Afrika. Barat garis, wilayah eksplorasi Spanyol; dan timur garis, menjadi wilayah eksplorasi Portugis. Hingga seteru kedua kerajaan suci Roma ini terjadi disebabkan Spanyol melanggar perjanjian dengan mengeksploitasi Maluku yang notabene menjadi ‘kekuasaan’ Portugis. Hingga dibuat resolusi dengan Perjanjian Zaragoza (April 1529). Perjanjian ini pula yang menyemangati terjadinya Perang Salib.

Mencermati pula keberadaan bangsa Cina di Nusantara (hingga kini), tak lepas dari tali sejarah yang panjang. Sebelum armada Cheng Ho mendarat di Tuban, upaya ekspansi pasukan Tartar ke Nusantara pernah terlaksana.

Tahun 1293 M, pasukan Kubilai Khan dari Dinasti Yuan (Mongol 1280-1367) mengirim pasukannya membawa kemarahan kepada Raja Kertanegara (Raja Singhasari) yang telah berani menghina dan merusak muka utusannya; Meng Khi. Pasukannya terdiri dari 20.000 orang tentara yang direkrut dari Hokkian, Kiangsi, dan Hukuang.

Setelah pasukan yang dipimpin oleh Shih Pi, Kau Hsing, dan Ike Mese tiba di Tuban, mereka segera memasuki kali Sedayu dan kali Mas. Akan tetapi mereka justru berhasil dibujuk dan di kelabui oleh Raden Wijaya —yang sedang berseteru dengan Jayakatwang— agar bersedia membantunya menggulingkan Jayakatwang di Kediri.

Sesudah Kediri berhasil dikalahkan, Raden Wijaya mohon diri untuk kembali ke Majapahit. Ike Mese dan Shih Pi mengizinkan, bahkan memberikan 200 orang tentara Mongol sebagai pengawal. Kau Hsing yang sempat curiga, tidak kuasa menentang keputusan atasannya. Setelah itu, Raden Wijaya pun berbalik menyerang pasukan Kubilai Khan yang tengah berpesta merayakan jatuhnya Kediri.

Walau berhasil dipukul oleh Raden Wijaya, pasukan Mongol pada akhirnya berhasil meninggalkan Jawa dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500.000 tahil perak. Mereka juga sempat menghukum mati Jayakatwang dan putranya, yaitu Ardharaja di atas kapal. Dan sesampainya di Cina, Ike Mese dan Shih Pi pun diganjar dengan hukuman mati karena dinilai gagal menjalankan tugas.

Sementara itu, di Jawa, banyak pula pasukan Mongol yang ditawan atau dengan sukarela memilih tinggal daripada harus melakukan pelayaran kembali ke daratan Tiongkok yang keras dan berbahaya, serta menghindari ganjaran akibat gagalnya misi penghukuman. Selain menjadi pertanda dimulainya era Majapahit, pada masa itu juga terjadi pengalihan teknologi Tiongkok secara besar-besaran ke Jawa, terutama teknologi pembuatan kapal, senjata api (mesiu), dan uang.

Orang-orang dari Tiongkok yang tertinggal setelah gagalnya invasi pasukan Mongol, pada akhirnya memainkan peranan penting dalam memajukan perdagangan untuk kurun waktu yang lama. Sebagai kekuatan maritim, Majapahit segera mengalami kemajuan pesat dengan mengandalkan pelaut, nahkoda, dan pemilik kapal yang hafal akan rute-rute pelayaran di Asia Tenggara.

Jawaharlal Nehru mengatakan di dalam buku “Glimpses of World History untuk putrinya; Indira Gandhi; “Sesungguhnya ekspedisi Tiongkok akhirnya menjadikan Jawa atau kemaharajaan Majapahit lebih kuat. Ini disebabkan oleh karena orang Tionghoa mendatangkan senjata api ke Jawa, dan agaknya dengan senjata api inilah datang kemenangan berturut-turut kepada Majapahit.”

Orang-orang Tionghoa yang mengawini perempuan-perempuan setempat dan beranak-pinak di Jawa kemudian mengajari penduduk setempat cara-cara membuat batu bata, genteng, teknologi pertanian, serta memperkenalkan bibit-bibit palawija. Mereka mengembangkan budidaya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka, dan nila atau tarum untuk dijadikan bahan pewarna. Demikian juga cara menjahit pakaian, membuat tahu, penyulingan arak dari beras yang difermentasi, serta yang lainnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwasanya orang-orang Tionghoa pada saat itu justru hidup tanpa sedikit pun mengalami resistensi dari penduduk setempat.

Kisah serangan Mongol terhadap Jawa juga tercantum di dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya Notes of the Malay Archipelago and Malaka”, Compiled from Chinese Sources (1880). Di dalam kronik Cina tersebut, nama-nama Jawa tertulis dalam ejaan Cina, antara lain Kertanegara disebut Ka-ta-ma-ka-la, Raja Wijaya disebut Tu-han-pi-ja-ya, Jayakatwang disebut Ha-ji-ka-tang, Gelang-Gelang disebut Ka-lang, Daha disebut Ta-ha, Tumapel disebut Tu-ma-pan, Tuban disebut Tu-ping-suh.

Untuk poin sejarah etnis Tionghoa ini, dapat diperkaya dengan bacaan “Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa” karya Peter Carey maupun “Masalah Cina” tulisan B.P. Paulus, SH. Atau juga ditambah dengan “Cheng Ho” karya Tan Ta Sen.

Karya seorang yang tak selesai menamatkan Strata 1 ini begitu menarik. Bahasanya mudah dipahami, bahkan sangat renyah meski melibatkan lebih dari 130 sumber penulisan. Kelebihan lain dan sekaligus kekurangan dari buku ini adalah penuturan kisahnya disusun secara naratif; sesuai urutan tahun dari tahun 414 hingga 1700 M; sehingga di satu sisi menyulitkan jika kita ingin mengetahui kisah salah seorang tokoh. Hal yang perlu diperbaiki dari buku ini adalah dari sisi kekonsistenan dalam tata tulis. Dan secara berkala, isi buku ini pun dapat dibaca juga di Salim.

Daftar Isi
Kacamata Asing terhadap Indonesia (The Other)
Kejayaan Nusantara (Era Hindu-Buddha)
Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa
Otoritas Islam di Nusantara dan Kedatangan Imperialis Eropa
Peralihan Hegemoni Nusantara ke Tangan Imperialis Eropa
Kronik Peralihan Nusantara: Liga raja-raja Hingga Kolonial

Bibliografi
Judul: Kronik Peralihan Nusantara; Liga Raja-raja Hingga Kolonial
Penulis: Bayu Widiyatmoko
Tebal: xii+596 hlm.
Dimensi: 14x20 cm
Cetakan: I, Januari 2014
ISBN: 978-602-1634-08-0
Penerbit: Mata Padi Pressindo, Yogyakarta


Posting Komentar

0 Komentar