Sejarah telah menjadi saksi, bahwa Islam pernah mengalami
masa keemasan yang gilang gemilang. Zaman kejayaan tersebut, salah satunya
ditandai dengan menyuburnya berbagai kajian ilmiah dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga pada masa itu, dari kalangan umat Islam
banyak lahir para pakar, cerdik cendekia yang ahli dalam berbagai ilmu
pengetahuan. Di saat yang sama, keadaan bangsa Eropa tengah diliputi kegelapan.
Berbagai kajian ilmiah mengalami hambatan karena dijegal oleh fatwa-fatwa dari
pihak gereja. Bahkan tidak hanya itu, tindakan gereja ternyata sampai pada
pembantaian besar-besaran terhadap kalangan cendekiawan pada masa itu. Maka pantaslah
jika daratan Eropa diliputi suasana gulita yang teramat pekat sekali.
Daratan Eropa mulai tersibak saat Pasukan Salib Kristen
melakukan bumi hangus dan pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam di
Cordova. Padahal pada saat itu Cordova merupakan kiblat ilmu pengetahuan. Maka akibat
dari penyerbuan yang tak kenal perikemanusiaan tersebut, Cordova mengalami porak-poranda.
Berbagai kitab hasil pemikiran dan penelitian para pakar Islam dirampok,
kemudian diangkut oleh Pasukan Tentara Salib Kristen ke Eropa. Dan ada beberapa
bagian yang dihancurkan.
Begitulah sekilas kisah, betapa Islam telah
melahirkan berbagai tokoh yang ahli dalam ilmu pengetahuan. Dan salah satunya
adalah Jabir ibnu Hayyan. Ia seorang ahli kimia. Dan ia pula yang menjadi peletak
dasar dari berbagai teori ilmu kimia yang berkembang. Namun nama ini kini
nyaris redup dan tak lagi menjadi kebanggaan umat Islam.
Hayyan bin ‘Abdulloh adalah salah satu penjual
wewangian dan obat-obatan herbal di kota Thorthus, sebelah utara kota Antokia
di Syam (sekarang Syria). Ia hidup di masa pemerintahan Kholifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz. Thorthus adalah kota tua yang dibangun oleh bangsa Arab tahun 15
Hijriyah atau 636 Masehi oleh sahabat ‘Ubadah bin Shomit pada zaman
pemerintahan Kholifah ‘Umar bin Khoththob.
Karena firasat bahwa akan ada kudeta atas
pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Hayyan sekeluarga pindah domisili dari Thorthus
ke desa Thus; timur laut negeri Iran; pada awal abad kedua Hijriyah.
Pada tahun 102 Hijriyah atau 720 Masehi,
perkiraan Hayyan tentang tumbang dan tumbuhnya pemerintahan baru di Syam
benar-benar terjadi. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz wafat, Syam jatuh di tangan Yazid
II dengan mengembalikan tata kelola pemerintahan seperti pendahulunya yang
ditumbangkan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di saat itu, jauh dari Syam, lahirlah
Jabir; putra Hayyan bin ‘Abdulloh.
Jabir sangat cerdas. Pada usia di mana
teman-teman sebayanya asyik bermain, ia sudah serius memperhatikan keadaan alam
untuk ia renungi. Banyak lahir pertanyaan-pertanyaan yang kemudian ia tanyakan
kepada ayahnya. “Ayah, mengapa timah itu timah? Mengapa perak itu perak, dan
mengapa emas itu emas?” yang kemudian dijawab sang ayah sedapat mungkin dengan
tetap menjaga keilmiahan. Tetapi karena tidak puas, Jabir pun menanyakan lagi, “Tapi
mengapa emas yang paling mahal diantara hasil tambang itu?”
Jabir pun tertarik dengan ilmu yang dengannya
dapat memberikan banyak pengaruh bagi objek-objek lainnya; Kimia. Dan sang ayah
dengan sedikit pengetahuan kimia yang dipunyainya, membimbing Jabir untuk melakukan
percobaan mewarnai berbagai kain dengan larutan kimia.
Di saat perebutan kekuasaan antara Bani Umayyah
dan Bani Abbasiyah makin memanas, Hayyan masuk dalam barisan Bani Abbasiyah. Dan
ia berpesan kepada Jabir ―yang sudah menginjak usia 20 tahun― yang hendak ikut
perang,
“Alloh tidak menciptakan orang-orang cerdik
sepertimu untuk memanggul senjata maupun berpolitik, wahai anakku. Cendekiawan
itu adalah pewaris para Nabi, di berbagai negara di sepanjang zaman. Kusarankan
agar engkau tetap menuntut ilmu ke daerah barat. Di sana saat ini sedang
berkembang ilmu pengetahuan. Tak ada kesempatan di sini bagi intelektual untuk
mengembangkan ilmunya.”
Bani Umayyah pun tumbang oleh Bani Abbasiyah
yang dipimpin oleh Abul Abbas. Pusat pemerintah pun dipindah dari Damsyik ke
Al-Aubar, kota di tepi sungai Eufrat. Jabir saat itu
berusia 30 tahun.
Jabir pun tiba masanya untuk merantau dalam
rangka menuntut ilmu. Sang ibu ingin tetap mendampingi Jabir, dan kakak dan
adik Jabir tetap tinggal di Thus. Kota pertama untuk singgah dan menuntut ilmu
adalah Kufah. Kota yang dibangun oleh Sa’ad bin Abi Waqqosh. Kota yang pada
awalnya sebagai pusat konsentrasi tentara Muslim ini, pada kemudian hari dipilih
oleh Kholifah ‘Ali bin Abi Tholib sebagai pusat pemerintahan di masanya.
Baru beberapa tahun tinggal di Kufah, Kholifah
Abul Abbas meninggal dan digantikan oleh Abu Ja’far Al-Manshur. Kegiatan keseharian
Jabir adalah membaca buku-buku di perpustakaan pribadinya. Setiap buku yang ia
baca, selalu diberi komentar dan catatan kaki sebagai pembahasan dan analisis
Jabir. Buku-bukunya penuh di setiap rak yang diatur mengelilingi seluruh
dinding kamar Jabir yang luas.
“Kimia. Ilmu kimia yang aku kejar. Ayahku pernah
berpesan apabila aku sudah sampai ke Kufah, aku harus bersungguh-sungguh dapat
menciptakan sesuatu. Sebagaimana pak Ja’far sebagai orang yang ahli di bidang
Fiqih,” jelas Jabir saat sahabat ayahnya dari Madinah; Ja’far Ash-Shodiq;
menanyakan tentang tujuan akhir Jabir mempelajari ilmu pengetahuan.
Kepemilikan kitab Al-Qorootis ―terjemahan Kholid bin Yazid dari kitab-kitab
kedokteran dan kimia dari Yunani― oleh Ja’far Ash-Shodiq, menggembirakan Jabir.
Dan Jabir mengajukan permohonan untuk meminjamnya.
“Sudah seharusnya seorang ilmuwan itu dilandasi dengan
akhlak yang bersumber dari ajaran agama serta penguasaan bahasa yang baik. Dengan
penguasaan bahasa yang baik, maka ilmuwan akan mudah untuk menuliskan ilmunya
dalam buku-buku. Dan lebih penting lagi, tulisannya mudah dimengerti oleh orang
lain yang membacanya,” demikian Ja’far memberikan pesan kepada Jabir yang
semakin bergairan untuk segera mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya.
Sepenerimanya kitab kiriman Ja’far, Jabir begitu
bersemangat membacanya. Ia juga menelaah tulisan-tulisan ahli kimia dari Persia,
India, dan Cina. Bahkan ia juga berkunjung ke tempat-tempat para pembuat
barang-barang kimiawi yang telah ditekuni turun-temurun. Kecintaannya pada
buku-buku dan eksperimen-eksperimen menjadikan harta yang ia bawa dari Thus
nyaris habis. Untuk menutupi kebutuhannya itu, ia pun membuka kedai di sisi
dinding rumahnya untuk berjualan minyak wangi. Siang hari ia gunakan untuk
berjualan, malam hari ia gunakan untuk menelaah buku-buku dan eksperimen. Hingga
sampai melewati masanya, Jabir belum juga menikah. Dan akhirnya sang ibu menemukan
jodoh bernama Dzahab dari Kufah. Dari
pernikahannya ini, Jabir dikaruniai tiga putra; ‘Abdulloh, Musa, dan Isma’il.
Jabir pun mampu membuat sendiri laboratorium
sendiri yang luas dengan ventilasi dan pencahayaan yang sangat kaya. Setiap Jabir
membutuhkan peralatan baru, ia lebih memilih membuat sendiri alat-alat
tersebut. Hidupnya begitu tertib. Setiap melakukan percobaan, ia selalu
mencatat proses-proses dan hasilnya. Dari sanalah ia dapat mengoreksi
kitab-kitab yang pernah ia baca. Dalam praktik kerja ilmiahnya, Jabir
memberikan langkah-langkah pembuka bagi praktik laboratorium secara modern, misalnya
evaporation (penguapan), filtration (penyaringan), sublimation (penghalusan), melting (pencairan), distillation (penyaringan), dan crystallization (pengkristalan). Dan kini,
langkah-langkah ini diakui validitasnya. Hingga pada suatu saat, Jabir
menemukan formulasi baru, yakni mencairkan emas dengan asam nitrat dan garam
pekat.
“Inilah yang disebut air emas. Yang dilarutkan
oleh asam nitrat dan garam pekat menjadi air raja (aqua regia),” gumam Jabir
kegirangan.
Malam itu, menemukan dua buah temuan penting:
1. Air Al-Maliki (air raja atau aqua regia),
yang mengabadikan namanya selama berabad-abad sebagai penemuannya.
2. Air emas. Penemuan ini kemudian diakui oleh
para industriawan selama berabad-abad sesudahnya.
“Bahwa kimia itu meliputi dua jenis, yakni kimia
organik dan kimia tak organik. Sedangkan logam adalah hasil persenyawaan
zat-zat dan unsur-unsur kimia,” kata Jabir.
Logam merupakan persenyawaan zat dan unsur-unsur
kimia. Hasil tambang bisa meleleh jika dipanaskan dalam api yang bersuhu
tinggi. Jika dipanaskan, maka logam-logam itu akan mudah ditempa untuk dibentuk
menjadi berbagai bentuk. Hasil-hasil pemrosesan logam itu, antara lain timah
(bahan peluru), besi, emas, kuningan, dan perak. Sedangkan unsur-unsur yang
dibutuhkan untuk memroses logam itu antara lain air raksa, arsenikum, kanfer,
amonia, belerang, dan racun (arsentioksida).
Air raksa sendiri sebenarnya adalah merupakan
logam dalam bentuk cair. Air raksa terdiri dari dua macam, yakni air raksa yang
berasal dari tambang dan air raksa yang berasal dari berbagai unsur kimia. Persenyawaan
yang berasal dari air raksa bersifat racun yang sangat kuat. Setiap unsur
senyawa kimia bisa terbakar sebagaimana racun tikus, belerang, dan minyak cat. Tetapi
ada juga unsur lainnya yang tidak mudah terbakar, misalnya air raksa, kapur
barus, dan amonia.
Ada lagi unsur-unsur yang bisa bercampur dengan
benda lainnya, misalnya air raksa, belerang, dan minyak cat. Namun tidak semua
unsur-unsur itu memiliki sifat yang sama. Ada unsur yang tidak bisa dicampur
dengan benda lainnya, yakni amonia dan kapur barus. Sedangkan zat-zat kimia
berhasil mencampurkan antara hasil tambang dengan unsur lain (gas). Jika percampuran
itu berlangsung, maka gas yang dihasilkan akan menguap. Sedangkan benda yang
masih tinggal adalah beberapa jenis permata (batu mulia), magnesium, pelumas,
lazuardi, dan lain-lain.
“...Saya berhasil menciptakan timbangan angin. Timbangan
ini merupakan alat timbangan yang terdiri dari dua sayap, kiri dan kanan,”
jelas Jabir dengan penemuan barunya.
Sebakda meninggalnya sang ibu, Jabir melakukan
eksperimen dan menghasilkan penemuan baru; percampuran air raksa dan belerang, Az-Zanjafir atau belerang air raksa. Unsur
logam yang sangat kuat.
Lima abad setelah Jabir meninggal, bangsa Eropa
mulai menerjemahkan karya-karya Jabir ke dalam bahasa Latin. Buku hasil
karangan Jabir yang terkenal, Al-Kholish
(Murni), Al-Istitmaam (Kelengkapan), Al-Istifaa (Pengobatan), dan At-Takliis (Pengapuran).
“Aku belum pernah melihat buku-buku yang lebih
populer di abad pertengahan, seperti buku-buku Jabir.” (Holmyard; Kimia di
Zaman Dalton)
Daftar Isi
Jabir ibnu Hayyan Ahli Kimia
[Jatuhnya Pemerintahan Kholifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz | Meninggalkan Syam]
Lahirnya Calon Intelektual
[Pesan Ayah]
Perjalanan Menuntut Ilmu
[Kedatangan Ja’far Membuka Cakrawala
Jabir]
Meneliti Hasil Tambang
[Laboratorium Pertama | Air Raja]
Proses Hasil Tambang
Ilmu Takar
[Pesan Pak Ja’far | Eksperimen Besar]
Murid Pertama
[Kurikuluk Jabir | Teori Jabir]
Penemuan Jabir
Melarikan Diri dari Baghdad
Pertemuan Terakhir
Pakar Sepanjang Masa
Bibliografi
Judul: Jabir ibnu Hayyan; Pakar Kimia (Jabir ibnu Hayyan; Abul Kimiyaa)
Penulis: Sulaiman Fayyadh
Penerjemah: Mustafa Mahdamy
Tebal: 99 hlm.
Dimensi: 13x18,5 cm
Cetakan: I, 1986
Penerbit: Pustaka Mantiq, Solo
0 Komentar