Resensi: Barus; Seribu Tahun yang Lalu


Barus. Apa yang pertama kali terlintas dalam benak Anda ketika membaca nama tersebut? Sebuah nama yang tidak asing lagi bagi warga Indonesia. Nama tersebut senantiasa identik dengan zat kapur yang berbau harum, pada umumnya kita menyebutnya “kapur Barus” atau kamper.

Ternyata Barus adalah nama tempat asal zat kapur tersebut. Letaknya di Kabupaten Tapanuli Utara. Sebuah kecamatan yang yang dahulunya berjaya dan menjadi pusat peradaban pada abad 1 hingga 17 M. Barus merupakan tempat di mana kamper dan rempah-rempah menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi. Bahkan permintaan kapur Barus -yang berasal dari getah pohon- di wilayah Cina, India, Arab, dan Persia sangat tinggi. Selain untuk pengharum, juga sebagai campuran resep pengobatan. Barus menjadi kota yang kerap dikunjungi oleh banyak saudagar-saudagar di seluruh dunia. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah perabadan Melayu lewat Hamzah Fansyuri, penyair sufi terkenal. Bahkan Fansuri menjadi nama lain dari Barus.

Seperti yang dikutip dalam kata pengantar, penerbitan buku berjudul “Barus Seribu Tahun yang Lalu” ini merupakan salah satu hasil kegiatan kerja sama antara École française d’Ectrême-Orient dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Indonesia.

Buku ini mengungkapkan usaha memecahkan rahasia sejarah Barus yang pernah menjadi emporium di Nusantara tempo dulu yang sudah dilakukan sejak hampir satu setengah abad yang lalu, khususnya dalam bidang epigrafi dan pembahasan sumber-sumber tertulis. Namun, penelitian yang mendalam di lapangan baru mulai dilakukan pada akhir tahun 1980-an atas usaha Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Kemudian pada tahun 1995, berkat persetujuan Prof. Dr. Hasan M. Ambary (yang ketika itu menjabat sebagai kepala lembaga PPAN), bersama dengan École française d’Ectrême-Orient diluncurkan sebuah program penelitian arkeologi di Barus, khususnya di Lobu Tua, dimana pernah ditemukan banyak benda kuno, seperti perhiasan dan mata uang dari emas dan perak, prasasti-prasasti, serta fragmen arca.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa Lobu Tua pernah menjadi tempat perdagangan asing pada pertengahan abad ke-9 M yang didirikan oleh pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Mereka disusul oleh para pedagang dari Timur Tengah dan Jawa. Lobu Tua berfungsi sebagai tempat persinggahan dan tempat pemuatan bagi pedagang asing yang mencari bahan baku, wangi-wangian, dan obat-obatan dari pedalaman.

Namun demikian, sejak zaman itu kaum pedagang tidak hanya menjalankan perdagangan tetapi juga ikut serta dalam pembudidayaan pulaunya, termasuk penambangan emas, dengan kerja sama orang Jawa dari kerajaan Mataram, Kediri, dan Banten. Lobu Tua ditinggalkan secara tiba-tiba pada awal abad ke-12 akibat serangan musuh yang masih belum jelas asalnya.

Barus akhirnya menjadi sebuah titik temu budaya Nusantara, India, dan Timur Tengah yang khas dan mewah. Dari tempat-tempat seperti ini muncullah peradaban dan bahasa Melayu Modern.

Di dalam teks Xintang shu, yang disusun pada pertengahan abad ke-11 M berdasarkan sumber-sumber yang lebih tua yang menurut Wolters -Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Srivijaya, Ithaca, N.Y., Cornell University Press- menggambarkan satu zaman sebelum 742 M, Sriwijaya dibagi menjadi dua kerajaan yang mempunyai pemerintahan sendiri dan “yang paling barat disebut Lang-po-lu-si [“Barus”]. Kerajaan ini menghasilkan banyak emas, air raksa, dan kamper” (h.36).

Buku ini merupakan judul ke-9 dalam seri Terjemahan Arkeologi. Dan sebenarnya buku ini merupakan terjemahan dari buku berbahasa Prancis yang berjudul Histore de Barus: Le Site de Lobu Tua II. Étude archéologique et Documents, terbitan Association Achipel, Paris, 2003.

Buku “Barus Seribu Tahun yang Lalu” ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memuat penggambaran teknis penggaliannya, beserta kesimpulan sejarah mengenai berbagai aspek kehidupan pelabuhan Barus pada Abad Pertengahan. Bagian kedua memberikan tumpuan kepada uraian temuan-temuan yang didapatkan selama penggalian tersebut.

Buku “Barus Seribu Tahun yang Lalu” terdiri dari 14 bab. Hampir di setiap bab membahas hasil temuan-temuan. Pada bab ketiga, membahas tentang temuan tembikar yang berasal dari Asia Selatan. Dalam bab ini menjelaskan, Barus jelas bukan satu-satunya daerah di Dunia Melayu, tempat ditemukannya tembikar Asia Selatan.

Sedangkan pada bab kelima, buku ini menginformasikan beragam temuan tembikar yang berasal dari Timur Tengah.

Sementara pada bab terakhir buku ini oleh penulis Ludvik Kalus, diangkat tema bersumber Epigragrafi Islam di Barus. Bab ini menyebutkan, sumber-sumber epigrafi di Barus hanya berbentuk batu nisan.

Ludvik Kalus menyebutkan, ada sebuah tempat di perbukitan di wilayah Barus yang masih disebut-sebut masyarakat setempat dan memerlukan perhatian khusus. “Makam terpencil yang ditandai dengan dua batu nisan vertikal ini dipercaya sebagai makam seorang sufi atau seorang wali,” sebut Ludvik.

Yang dimaksud oleh Ludvik adalah makam “Papan Tenggi” yang memang berada di atas bukit setinggi 215 meter di atas permukaan laut. Menuju makam tersebut harus melewati 730 anak tangga. Konon di makam ini, ada sebuah guci yang airnya terus ada walau di musim kemarau. Namun belakang guci itu pecah karena tak terawat.

Ludvik menyebutkan, dari segi bahasa, hampir di setiap batu nisan utama bertuliskan dalam bahasa Arab, sementara di satu sisi dalam bahasa Persia. “Hal ini sangat jarang ditemukan, bukan hanya di Barus tetapi di seluruh Nusantara pada umumnya.”

Pada kesimpulan dari Barus yang merupakan kota bisnis dan bandar transito yang terkenal, bahwa Barus lebih banyak berfokus pada pusat perdagangan daripada pusat perpolitikan. Sebab, tidak ditemukan bangunan atau pun unsur kerajaan di sana.

Bagi para penggemar sejarah, buku yang memiliki sampul berwarna kuning ini layak menjadi bahan bacaan. Pasalnya, buku yang ditulis oleh sembilan penulis ini memaparkan kekayaan masa lalu di Barus, yang tidak lain bagian dari kekayaan Nusantara.

Tentang tampilan buku ini sendiri, tidak seperti umumnya. Dengan ukuran buku yang relatif besar, KPG memilih menggunakan dua kolom untuk memuat bahan kajian penelitian ini. Barangkali pertimbangan untuk menyajikan gambar konstruksi hasil temuan arkeologi secara utuh dan realistiklah sehingga memilih ukuran buku yang relatif besar. Sebab, memang di dalam buku ini ditampilkan foto-foto temuan sekaligus sketsa taksiran bentuk atau ornamen benda temuan. Menjadi hal yang memudahkan dalam buku ini adalah pada catatan kakinya (footnote). Dan beberapa kekurangan dalam penulisan pada buku ini, secara umum tidak begitu berpengaruh pada keseluruhan paparan.

Daftar Isi
Bab I - Penggalian;
Bab II - Kesimpulan Sejarah;
Bab III - Tembikar dari Asia Selatan;
Bab IV - Keramik Cina;
Bab V - Tembikar Asal Timur Tengah;
Bab VI - Kendi dengan Bahan Halus;
Bab VII - Tembikar “Lokal”;
Bab VIII - Kaca;
Bab IX - Manik-manik;
Bab X - Logam;
Bab XI - Mata Uang dan Emas;
Bab XII - Batu;
Bab XIII - Batu Bata;
Bab XIV - Sumber-sumber Epigrafi Islam di Barus.

Judul: Barus Seribu Tahun yang Lalu
Penulis: Claude Guillot, Marie-France Dupoizat, Untung Sunaryo, Daniel Perret, Heddy Surachman dengan partisipasi Mohamad Ali Fadillah, Sugeng Riyanto, Ludvik Kalus, Sonny Ch. Wibisono
Penerjemah: Daniel Perret dan Atika Suri Fanani
Tebal: 352 hlm.
Dimensi: 21 x 30 cm
Cetakan: I, Januari 2008
ISBN: 979-91-0092-5
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Posting Komentar

0 Komentar