Resensi: Islam di Jawa Abad XIII-XVI M

Membaca buku berjudul “Islam di Jawa Abad XIII-XVI M” ini, tentu saja menjadi sebuah tantangan tersendiri. Terlebih didalamnya mengupas tentang dakwah para wali di Jawa (istilah pada masa itu untuk menyebut Nusantara atau kemudian hari bernama Indonesia). Pertanyaan pertama ketika saya membaca judul buku ini sesaat setelah terbitnya: Apa bedanya bahasan buku ini tentang dakwah para wali dengan buku-buku serupa dari penulis dan penerbit lainnya?

Buku setebal 450 halaman tentu saja menyuguhkan kajian yang tidak biasa. Subjudulnya pun menjadi daya tarik untuk segera mengetahui isinya; “Pergulatan Diri Manusia Jawa”. Sangat provokatif.

Dakwah mempunyai makna mengajak. Makna secara istilah, yakni mengajak manusia kepada Alloh. Meski tidak ditentukan detail jalannya, akan tetapi seluruh cara dan sarananya tidak boleh melanggar kepatutan dalam menuju penghambaan manusia kepada Alloh.

Bab I membahas tentang “Generasi Jawa, Muslim Jawa, dan Masalah Pendekatan Sinkretis”. Dapat kita bayangkan, bagaimana metode dan cara dakwah para wali saat itu yang dapat ‘menaklukkan’ kerajaan adidaya Majapahit dengan agama resmi Syiwa-Buddha dan membawa nyaris seluruh rakyatnya menjadi muslim. Tentu saja melibatkan proyek dakwah yang tidak sebentar.

Mereka yang terlibat dalam proyek besar dakwah di Jawa bukanlah orang lokal. Mesir, Palestina, Uzbekistan, Persia, Maroko, Yaman, dan beberapa wilayah lainnya. Kedatangan mereka ke Jawa tentu saja tak lepas dari pertalian sejarah dakwah sebelum sampai ke Jawa. Dalam bab II dipaparkan hegemoni dakwah dari Delhi hingga Palembang sejak abad XIII. Kisah lain dari Palembang, masyarakatnya lebih banyak pendatang dari Guangdong dan Zhangzhou yang saat itu melarikan diri dari penguasa Tiongkok.

Keseruan pada bab III sampai IV, yakni terkait paparan krisis yang terjadi di kerajaan Majapahit hingga misteri terkuburnya kerajaan penguasa Nusantara saat itu dengan istilah “Bumi Jawa Murka; Memendam Kerajaan Jawa”.

Sekilas cerita terkait Majapahit, krisis politik Majapahit tertulis dalam prasasti Surodakan: “karena merusak dharma raja” tahun 1447 M di masa Raja Dyah Kertawijaya. Dan ini menyebabkan perang saudara yang disebut Perang Paregreg (dengan pengucapan “pareg-reg” di mana bunyi “e” serupa pengucapan “segera” yang bermakna kalah-menang bergantian) antara Majapahit Timur (berpusat di Blambangan: raja Bhre Wirabhumi) dan Majapahit Barat (berpusat di Tumapel: raja Wikramawardhana).

Yang perlu dipahami, Perang Paregreg tidak ada hubungannya dengan motif keagamaan sebelum Islam dan Islam itu sendiri.

Membahas bagaimana para wali dapat “mengislamkan” Jawa, ada sembilan prinsip tata sosial kemasyarakatan yang dibangun para wali dalam hubungan penghambaan manusia kepada Alloh:

• Mendidik manusia berakal;

• Adanya Al-Muslihun dalam masyarakat;

• Mendahulukan musyawarah, ittifaq (konsensus bersama), dan taat pada peraturan negeri;

• Dijaminnya hak berpendapat dan oposisi;

• Adanya mekanisme tabayun (verifikasi);

• Lapang dada (samahah/tasamuh) dalam menerima keputusan;

• Dicapainya jalan damai;

• Keadilan, keridhoan, dan kemaslahatan;

• Mendapat ampunan Alloh (wa robbun ghofuur).

Jika mengacu pada prinsip dakwah Nabi Muhammad SAW, prinsip-prinsipnya masih sangat relevan. Dan hal ini menunjukkan para wali begitu dalam pemahamannya tentang fiqhud dakwah:

• Memberi keteladanan dalam berdakwah;

• Mengikat hati sebelum menjelaskan;

• Mengenalkan sebelum memberi beban;

• Bertahap dalam pembebanan;

• Memudahkan, bukan menyulitkan;

• Yang pokok sebelum yang cabang;

• Membesarkan hati sebelum memberi ancaman;

• Memahamkan, bukan mendikte;

• Mendidik, bukan menelanjangi;

• Muridnya guru, bukan muridnya guru.

Beberapa catatan setelah membaca buku ini, yakni begitu banyak tanda baca koma (,). Memang lebih tepat ketika penjelasannya disampaikan melalui tutur lisan. Oleh karenanya, perlu penyesuaian bahasa lagi ketika dituangkan dalam bentuk tulisan. Selain itu, konsistensi dalam tulisan perlu di perhatikan, seperti penulisan nama Aris Munandar/Arif Munandar, syeh/syaikh/sech/syekh, dhandanggula/dandhanggula. Atau penggunaan bahasa Jawa tanpa dibubuhkan makna (seperti “diaturi”). Atau terkait dengan standardisasi penulisan sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Sisi positif dari buku ini, melibatkan banyak referensi populer, di mana sebagian kecilnya ada dalam perpustakaan keluarga saya, seperti “Suma Oriental”, “The History of Java”, “Babad Tanah Jawi”. Beberapa dokumen terkait serat maupun suluk, saya dapatkan dalam bentuk elektronik.

 

Daftar Isi

Bagian I—Islam di Jawa Abad XIII-XVI M: tentang Generasi Jawa, Muslim Jawa, dan Masalah Pendekatan Sinkretis

Bagian II—Islam di Jawa Abad XIII-XVI M: tentang Perubahan di Kawasan Barat Pulau Jawa

Bagian III—Islam di Jawa Abad XIII-XVI M: Krisis Internal Kerajaan Jawa dan Munculnya Islam di Kalangan Bangsawan Jawa

Bagian IV—Islam di Jawa Abad III-XVI M: Krisis Kerajaan Jawa, Para Wali Membangun Jati Diri Manusia Jawa

Bagian V—Islam di Jawa Abad XIII-XVI M: ke Arah Interpretasi Al-Quran tentang Tata Rukun Sosial dan Kebudayaan

 

Bibliografi

Judul: Islam di Jawa Abad XIII-XVI M; Para Wali, Pribumisasi Islam, dan Pergulatan Jati Diri Manusia Jawa

Penulis: Nur Khalik Ridwan

Tebal: xiv+450 hlm.

Cetakan: I, September 2021

ISBN: 978-623-95458-4-0

Penerbit: Buku Langgar, Yogyakarta

Posting Komentar

0 Komentar