Resensi: Mengislamkan Jawa


Kali ini, saya akan membuat resensi buku berjudul “Mengislamkan Jawa” karya M.C. Ricklefs. Buku ini saya baca sudah sekitar hampir sepuluh tahun lalu dari sejak diterbitkannya. Termasuk telat juga sih jika diukur dari penikmat buku baru. Hehehe...

Resume kali ini sengaja saya sajikan apa adanya saat mengikuti program “membaca tiap hari” dan harus membuat resume apa yang sudah dibaca. Selamat menyimak...


Bab 1¾Jalan Berliku Menuju Islamisasi yang Lebih Dalam, Hingga Sekitar 1998

• Peran islamisasi di Jawa (maksudnya Pulau Jawa dan etnis Jawa) selalu diperankan oleh kalangan elit (top-down). Jarang sekali terjadi perubahan religius yang sifatnya bottom-up.

• Perkembangan Islam di Jawa tidak terdokumentasi dengan baik. Tapi berdasarkan manuskrip-manuskrip abad XVI, jejak Islam dapat ditemui pada budaya Jawa.

• Secara umum, kehadiran Islam di Jawa tidak mendapatkan hambatan dari masyarakat lokal. Terlebih dari pendekatan dakwah yang dibawa oleh para wali.

• Mencuplik kesaksian Tome Pires dari buku “Suma Oriental” (tadinya saya mau baca buku “Suma Oriental”, ternyata ada godaan buku “The History of Java” sama “Mengislamkan Jawa”), figur istana Majapahit menggunakan: senjata keris, pedang, tongkat, pijakan kaki kuda, pelana, pakaian yang semuanya tersepuh emas.

• Awal abad XVII, dinasti Mataram (sekarang berpusat di Yogyakarta) di bawah Sultan Agung merekonsiliasi Islam dengan tradisi (mistis) Jawa.

• Pada beberapa dasawarsa kemudian, fenomena yang terjadi pada Islam di Andalusia berulang di Mataram; hukum Islam hanya bersifat formalitas di bawah Pakubuwono II.

• Secara umum, rukun Islam diimplementasikan oleh masyarakat Jawa akibat peran kalangan elit. Sehingga muncul anggapan, bahwa “menjadi orang Jawa berarti menjadi Muslim”.

• Polarisasi masyarakat Jawa mulai terjadi pasca takluknya perlawanan Padri di Sumatera Barat (1838) dan berakhirnya Perang Jawa (1830), di mana penganut agama Kristen mulai mendapat sambutan. Terlebih disebabkan peran Conrad Laurens Coolen (Rusia-Jawa) sebagai Kiai Kristen Jawa pertama, diikuti Kiai (Ibrahim) Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach yang seorang penginjil asli pribumi. Pada 1900, perkiraan pemeluk Kristen di Jawa Tengah dan Jawa Timur sekitar 20.000 orang (tidak sampai 0,1% populasi orang Jawa).

• Takluknya pribumi pasca Perang Jawa, melahirkan strategi Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) oleh pihak kolonial. Dan di satu sisi, berdampak pada tumbuhnya kelas menengah pribumi. Pada 1850 tercatat 48 orang orang Jawa yang pergi haji. Delapan tahun kemudian, berlipat menjadi 2.283 orang naik haji.

• Banyaknya muslim Jawa yang ke Makkah, membawa pengaruh pan-Islamisme sepulangnya dari ibadah haji.

• Praktik-praktik pan-Islamisme saat itu lebih berfokus pada pemurnian ajaran Islam dan sentimen kolonial.

• Kaum religius Jawa terpecah: putihan (puritan dan terdidik) dan abangan (tradisional-konservatif). Dan secara umum, kelas masyarakat Jawa terpecah tiga; santri, priyayi, dan abangan.

 

Bab 2¾Di Bawah Pemerintahan Kolonial: Masyarakat Jawa dan Islam pada 1930-an

• Pemerintah kolonial kerepotan untuk memenuhi komitmen Politik Etis dalam bentuk pelayanan pendidikan karena menurunnya sumber keuangan (krisis). Tercatat hanya ada sekitar 178 orang Indonesia yang mampu menempuh jenjang kuliah pada tahun 1930.

• Dari sisi budaya Jawa, krisis yang terjadi pada pemerintah kolonial di segala sektor bisnis tidak mempengaruhi animo masyarakat untuk menikmati dan mengekspresikan diri mereka terhadap seni lokal yang telah terwarnai sentuhan Islam.

• Secara umum, keberadaan organisasi-organisasi yang berafiliasi kebangsaan dengan pengurus dari kalangan akademisi jarang mendapat sambutan masyarakat, dikarenakan selalu dalam pengawasan pemerintah kolonial. Sebaliknya, tren positif berpihak pada tema-tema Islam saat itu.

• Reformasi yang terjadi pada dasawarsa 1930-an (tahun di mana mengacu pada hasil sensus yang dinilai lumayan valid) terjadi ketika lahirnya Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan untuk “menjaga iman umat” dengan ciri khas masyarakat intelektual. Pijper menyebutnya “kaum ortodoks yang tercerahkan”.

• Muhammadiyah dipandang sebagai sebuah “serangan balasan terhadap upaya-upaya Kristenisasi oleh kaum Protestan dan Katolik.” (G.F. Pijper; pakar Islam dari Belanda)

• Kelahiran Nahdhotul Ulama memiliki juga peran untuk memerangi kolonialisme dengan corak organisasi Islam tradisional. Pijper menyebutnya “kalangan ortodoks lama”.

• Kelahiran Taman Siswa untuk melestarikan kaum intelektual Jawa yang tidak mudah dipengaruhi budaya Belanda. Meski begitu, Ki Hadjar Dewantoro tak begitu menyukai peran-peran agama pada sisi aturan syariatnya.

• Persatuan Islam (Persis) lahir dengan motif ingin memurnikan ajaran Islam. Itu sebabnya, Pijper menyebutnya “reformis Islam puritan”.

• Setiap orang yang pergi haji, kepulangannya akan memberikan perubahan bagi lingkungan dan bangsanya. Tentu saja ini tak lepas dari pendar pan-Islamisme di Timur Tengah yang menghidupkan jiwa kemerdekaan atas kezholiman.

• Potret masyarakat Jawa pada dasawarsa 1930-an: miskin, buta huruf, terpolarisasi secara sosial tetapi terdepolitisasi oleh kolonial.

 

Bab 3¾Perang dan Revolusi, 1942-9: Pengerasan Batas-batas

• Antara 1930-1950 adalah masa pergolakan atas penjajahan Jepang dan Revolusi Indonesia.

• Hal yang diprioritaskan Jepang saat menduduki Indonesia: mengontrol warga, melarang segala aktivitas politik, memadamkan segala gejolak, dan mengatur ketertiban masyarakat. Saat sudah tercapai, mereka memobilisasi rakyat Jawa sebagai bagian pertahanan Jepang.

• Tokoh muslim modernis (melek politik) di perkotaan tidak mendapat banyak simpati dari warga desa. Umumnya memiliki tuntutan politik yang radikal. Berbeda dengan tokoh muslim tradisional yang memiliki jaringan sosial luas dan dihormati di pedesaan (tidak modernis), kurang terdidik, dan tidak menyentuh urusan politik.

• Politik Jepang menempatkan para kiai tradisional dengan perhatian khusus, yang mengubah NU menjadi sebuah partai politik. “Politisasi kalangan ulama adalah aspek terpenting dari kebijakan Islam yang diambil Jepang pada 1943.” (Harry J. Benda) Hal ini menggiring NU pada tuduhan sebagai pihak yang mengambil posisi politik oportunis.

• Gayung bersambut dengan prinsip masyarakat muslim tradisional yang menganggap, bahwa adanya pemerintahan —meski tidak sempurna— jauh lebih baik daripada anarki dengan berpegang pada surat An-Nisa ayat 59.

“Kedua, pemberian penghormatan yang selayaknya kepada para pemimpin agama Islam yang memegang posisi sosial, religius, dan di beberapa tempat, juga politik penting. Perhatian khusus harus diberikan ketika berhubungan dengan mereka, dan tindakan-tindakan seperti mencela mereka dengan mempertunjukkan keungguan Jepang atau campur tangan ke dalam kehidupan pribadi mereka, mesti dihindari.” (Prinsip-prinsip untuk Menyelenggarakan Administrasi Militer di Jawa 1943 oleh Jepang)

• Jepang membuat kanal politik Islam dengan pendirian Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) di akhir 1943, di mana tokoh NU (kaum tradisional) ditempatkan pada posisi utama, dan tokoh Muhammadiyah (kaum modernis) ditempatkan pada posisi kedua.

• Langkah Jepang dirasa sangat ambigu; karena di satu sisi Jepang berkehendak memanfaatkan pengaruh sosial para kiai, tetapi di satu sisi Jepang sendiri tidak sepenuhnya percaya dengan loyalitas para kiai terhadap Jepang. (Kurasawa)

• Energi besar perlawanan rakyat dimanfaatkan Jepang dengan dibentuknya Peta (Pembela Tanah Air) dengan mengakomodir pejabat, guru, kiai, dan tentara pada korps perwiranya. Dan Masyumi memiliki kelompok bersenjata; Barisan Hizbulloh (unsur di dalamnya sebagai cikal terbentuknya Banser/Barisan Anshor Serba Guna milik NU).

• Masa-masa revolusi memetakan beberapa fenomena politik; Islam modern-Islam tradisional, priayi-rakyat, santri-abangan, nasionalis-komunis. Tapi pada titik tertentu dengan musuh bersama, mereka dapat bersatu dalam komando teriakan takbir (Perang Surabaya).

• Masa-masa revolusi juga mengabadikan bentuk ketegangan internal, dari ketegangan kaum santri vs kaum abangan menjadi tentara vs komunis.

• Keberhasilan tentara dan kaum santri membendung pemberontakan kaum Komunis (abangan) tidak berarti mendekatkan angkatan darat dan Masyumi, meskipun dua unsur ini memiliki musuh yang sama. Hal ini terjadi karena pasca pemberontakan PKI di Madiun, terjadi pemberontakan yang dipimpin S.M. Kartosoewirjo; selaku pimpinan Hizbulloh; yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia atau Darul Islam (DI).

• Polarisasi dan politisasi umat Islam kini lebih besar skalanya, terlebih diwarnai dengan pertumpahan darah.

 

Bab 4¾Eksperimen Kebebasan Pertama: Politik Aliran dan Oposisi Komunis terhadap Islamisasi 1950-66

• Dipilihnya NU sebagai Menteri Agama sejak awal Revolusi hingga sebelum 1952, menjadi prestise tersendiri bagi NU yang notabene kaum Islam tradisional. Seolah NU dengan jabatan Menteri Agama tak dapat dipisahkan. Hal ini semakin mempertegas eksistensi kaum Islam tradisional atas kaum Islam modernis (Muhammadiyah).

• Kabinet baru tahun 1952 menempatkan Muhammadiyah menjadi Menteri Agama. Hal ini menambah sentimen antara NU-Muhammadiyah. NU pun menarik diri dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Selain itu, NU melebarkan sayap organisasinya (subsider); sayap pemuda, sayap perempuan, sayap petani, sayap buruh, sayap pelajar, sayap penerbitan dan media.

• Perpecahan religius (skisma) ikut membelah masyarakat. Di mana masing-masing membersihkan diri dari gaya ritual ciri pihak lain.

• Lambat-laun, ortodoksi dalam NU makin terkikis. Kebijakan NU terkait hijab putra-putri pun mulai hilang sebagaimana Muhammadiyah.

• PKI pandai mengeksploitasi ketakutan dan isu sentimen agama untuk meningkatkan simpati rakyat. Isu Islam agama impor pun digulirkan kaum abangan.

• Angka melek huruf di masa itu lumayan tinggi. Surat kabar pun memiliki pengaruh besar. Tapi masyarakat lebih termotivasi rumor, takhayul, slogan, dan para politikus demagog. Sehingga masyarakat saat itu mudah dibenturkan.

• Terjadi polarisasi sosial, religius, budaya, dan politik jelang Pemilihan Umum.

• “Segala sesuatu pada saat ini adalah persoalan politik. Engkau bahkan tidak bisa mati tanpa menjadikannya persoalan politik.” (Bisikan orang tua renta kepada Clifford Geertz—1954)

 

Bab 5¾Eksperimen Totalitarian (I): Persaingan dari Kebatinan, Kalangan Kristen, dan Pemerintah serta Akhir dari Politik Aliran 1966-80-an

• Bab ini membahas awal mula Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Di mana salah satu kebijakan politiknya adalah membersihkan pemerintah dari anasir Komunis. Sistem yang dibangun pun menganut otoritarian yang monolitik.

• Dimunculkan paranoia Orde Baru terhadap partai politik Islam (Masyumi) terhadap aksi pemberontakan dari tokoh pengurusnya.

• Kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden juga sebagai bentuk penguasaan golongan priayi sekaligus abangan (kebatinan). Ruth McVey menyebutkan gaya kepemimpinan Soeharto bersifat abangan, sekuleris, modern, korup, amoral, dan materialis.

• Hancurnya PKI, bagi kaum santri, berarti hilangnya penghalang utama bagi proses Islamisasi. Mereka membayangkan Islam mendapat tempat yang selayaknya: keyakinan dan berbagai praktik Islam dapat mendominasi masyarakat, dan tak ada yang menghalangi jalan mereka menuju pembentukan sebuah negara dan masyarakat Islam.

• Sempat mendapat kesempatan dalam pemilu 1971, rezim Orde Baru kemudian membonsai partai politik Islam dan membatasi kegiatan Islam politik. Namun menurut Ricklefs, kebijakan ini berakibat ganda; meski tertekan, posisi kaum santri semakin kuat di tatanan akar rumput.

• Sadar bahwa tak ada prospek nyata dalam berpolitik, para pemimpin kaum santri mengalihkan perhatian pada upaya Islamisasi di bawah. Mereka memiliki banyak institusi yang mempromosikan, menguatkan, dan membela cara hidup religius: dari masjid sampai pesantren, rumah sakit hingga panti asuhan. Organisasi-organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, DDII, dan Persatuan Islam juga menunjukkan eksistensinya.

• Ricklefs menyimpulkan bahwa Islamisasi pada masa Orde Baru semakin mendalam. Masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya semakin Islami. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kelas menengah yang menaruh perhatian pada Islam, tumbuhnya sekolah-sekolah Islam modern, hingga pemakaian jilbab. Bahkan secara anekdot Ricklefs menunjuk maraknya penamaan dari bahasa Arab dan popularitas lagu-lagu bernada dakwah dari raja dangdut Rhoma Irama.

• Bersamaan dengan itu, gerakan revivalisme Islam juga tumbuh. Ricklefs menyebut tiga tokoh di balik gerakan pemurnian Islam pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, yang kebetulan menggunakan nama awalan sama: Abdullah Marzuki, Abdullah Thufail, dan Abdullah Sungkar. Nama terakhir bersama sejawatnya Abu Bakar Baasyir menjalankan agendanya dengan cara radikal sehingga selalu bermasalah dengan penguasa. Hingga kini, para pengikut Abu Bakar Baasyir terus beraksi.

 

Bab 6¾Eksperimen Totalitarian (II): Islamisasi Akar-Rumput dan Perkembangan Islamisme, Sekitar 1980-an-98

• Peleburan warna ideologi partai politik menjadi dua kanal besar; Partai Persatuan Pembangunan (religius) dan Partai Demokrasi Indonesia (sekuler-kiri). Sedangkan keberadaan Golongan Karya seolah menempati kasta priayi (tertinggi) dalam kamar politik. Dan tentu saja memiliki previlage tersendiri. Ia tidak disebut sebagai ‘partai’, tetapi peran dan fungsinya mencakup semua urusan politik.

• Eksistensi Islam dalam perpolitikan menjadi masalah tersendiri bagi upaya monolitik pemerintah. Peristiwa pembajakan pesawat udara tahun 1981 tentu saja kental muatan politiknya. Diciptakan untuk menjadi trauma kolektif bangsa terhadap eksistensi Islam di Indonesia.

• Jumlah kelas menengah Indonesia meningkat. Begitu juga tingkat melek huruf masyarakat juga menanjak.

• Kepahaman mereka tentang baca, membuat masyarakat memiliki lebih banyak akses media baca. Sehingga meningkat pula wawasannya.

• Naiknya jumlah melek huruf, menambah jumlah masyarakat yang ingin memahami agamanya melalui beragam buku-buku. Dan seiring dengan hal itu, pemahaman tentang keislaman pun makin mendalam.

• Pemahaman yang mendalam, membawa pola pikir masyarakat pada sikap lebih bijak dan berorientasi solutif.

• Konstelasi politik Islam kurun itu sangat panas. Hal ini terkait dengan pemaksaan asas tunggal oleh pemerintah; Pancasila.

• Kalangan Islam banyak yang mempertanyakan, bahkan tidak simpatik dengan keinginan pemerintah dengan asas tunggalnya.

• Penarikan diri NU dari PPP dan kembali pada khitthoh 1926; sosio-religius; menjadikan rivalitas pemerintah berkurang.

• Internal NU pun pecah, antara menerima dan menolak asas tunggal. Yang berafiliasi pro, mendapat konsesi besar-besaran dari pemerintah. Hal ini peluang pemerintah untuk menundukkan rivalitas.

• Pemaksaan asas tunggal juga menyisakan jejak-jejak perlawanan —terutama dari kalangan Islam— seperti kasus Tanjung Priok, Komando Jihad, mau pun pemboman Candi Borobudur.

• Kontrol pemerintah juga menyasar pada bidang seni terkait konten (pembersihan anasir Komunis) dan cara penyajian (oleh tokoh agama). Bahkan ada sertifikasi seniman dengan mengikuti serangkaian pelatihan terkait jenis seni tersebut.

• Revivalitas Islam di Indonesia melahirkan Darul Hadis atau Islam Jama’ah yang ekstrem tetapi berhasil ditundukkan dan berafiliasi ke Golkar, kemudian berganti nama menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Meski begitu, sepak terjang anarkis kepada internal Islam tetap dilakukan pihak LDII. Ada pula Jama’ah Tabligh yang sifatnya bertolak belakang dengan LDII.

• Embrio revivalis terstruktur berawal dari LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) di Jakarta.

• Revivalitas Islam intelektual di Indonesia sulit ditangani pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah terus mencobai strategi konvensionalnya; 'pancing-tebas’. Tetapi tidak berhasil memberangus akarnya.

• Isu Komunisme sebagai musuh utama selalu dibangkitkan sebagai penanda melemahnya pemerintah, dengan tujuan menggandeng pemerintah, kaum puritan, dan abangan.

 

Bab 7¾Konteks Sosial Politik

• Kejatuhan Soeharto dari tampuk pimpinan RI memberikan perubahan iklim politik setelah berkuasa 32 tahun; masa Reformasi.

• Komitmen reformasi diuji setelah lengsernya Soeharto; B.J. Habibie berkuasa 17 bulan, Abdurrahman Wahid berkuasa 21 bulan, Megawati berkuasa 3 tahun. Semuanya memiliki alasan untuk tidak terpilih kembali pada periode kedua.

• Survey menunjukkan, bahwa komposisi santri dan abangan di Jawa mulai mengalami polarisasi dikotomi. Hal ini menunjukkan, bahwa masing-masing mulai melebarkan permakluman atau toleransi.

 

Bab 8¾Masyarakat yang Kian Terislamkan

• Pasca-Soeharto, warna kehidupan masyarakat makin hari makin menunjukkan kesadaran akan keislaman.

• Tema keislaman bahkan menembus sekat-sekat yang sebelumnya dianggap tabu; politik. Tentu saja ini tak lepas dari menangguk kantong suara.

• Jajaran aparat pun mulai dirambah kebijakan untuk mempelajari Islam bagi anggota-anggotanya (terlepas dari kebutuhan spiritual maupun kebutuhan intel).

• Lembaga semi-pemerintah (MUI) pun mendapat tempat eksisnya hingga kini terkait fatwa-fatwa seputar permasalahan keumatan.

• Isu gender mulai ramai menjadi bahan diskusi di forum-forum kelembagaan.

• Kebangkitan warna Islam pun merambah pada bidang fesyen. Bahkan untuk satu sisi ini, terkesan kebablasan dan mengesampingkan syarat utama hijab bagi para desainer.

• Industri penerbitan media pun merebak dengan beragam ideologi yang diusungnya.

• Selain itu, mulai ada pergeseran budaya mistis takhayul ke arah (seolah-olah) sains.

• Institusi pendidikan Islam pun menjamur. Motif awalnya merespons keluhan kurangnya pendidikan agama di sekolah negeri dan banyaknya anak-anak Muslim yang bersekolah di sekolah non-muslim.

 

Bab 9¾Upaya-upaya untuk Memaksakan Kesepahaman dalam Keyakinan Islam

• Pada bab ini, Ricklefs menyebutkan MUI memerankan kendali penentu standarisasi Islam dan mampu ‘mendikte’ pemerintah (aparat) untuk melaksanakan fatwanya.

• Praktik-praktik Islam yang dianggap menyimpang (Ahmadiyah, LDII, Wahidiyah, Dhikr Al-Ghafilin, Ihsaniyyat, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Laku Dumadi Anggayuh Titi Tentrem, Dzikru Syahadatain, Islam Tauhid, Kerajaan Tuhan) ditertibkan oleh MUI dengan bantuan aparat, dan diadakan pembinaan.

• Kaum liberal menganggap bahwa aksi penertiban beragama —Islam— dengan istilah ‘memaksakan kesepahaman’. Sehingga di sini, Ricklefs mengabaikan bagaimana Islam memiliki panduan dalam keberagamaan.

• Meski begitu, apa yang menjadi jalan penertiban tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya premanisme yang cenderung represif. Dan hal seperti itu menjadi aksi yang tidak simpatik.

 

Bab 10¾Upaya Mempertahankan Diri oleh Gerakan-gerakan Modernis dan Tradisionalis Berskala Besar

• Pada bab ini, Ricklefs —seperti umumnya pengamat dari ‘luar’— kesulitan untuk mendikotomi Islam moderat dan Islam garis keras. Karena memang ada prinsip-prinsip yang ada kalanya dipegang teguh atau fleksibel pada saat yang sama oleh masing-masing gerakan atau organisasi Islam.

• Adanya aktivitas kebatinan (jampi-jampi) dalam NU dianggap Ricklefs sebagai konsekuensi sufisme, di mana Islam modernis dianggap tidak sufi karena menjadikan aktivitas tersebut kurang diterima secara logis.

• Fenomena keterlibatan kiai tradisional dalam kancah politik lambat laun melunturkan kharisma ketokohan tersebut. Terlebih, banyak yang tidak produktif dalam perpolitikan dan malah banyak yang berubah oportunis. Tentu saja, gejolak seperti itu tak banyak terjadi pada Islam modernis.

• Pada bab ini pula, Ricklefs lebih banyak mengapresiasi kehidupan dan prinsip keberagamaan Islam Tradisional —NU— dengan organisasi turunannya; Jaringan Islam Liberal (JIL). Sesuatu yang tidak ia berikan kepada Islam modernis. Karena Ricklefs menilai, sejak awal Islam modernis ingin mengembalikan ajarannya kepada Al-Quran dan Hadits dengan menghidupkan nalar, sehingga tercipta pembaruan-pembaruan.

• Ricklefs mengangkat kasus upaya ‘infiltrasi’ beberapa ideologi Islam ‘militan, ekstremis, garis keras, atau teroris’ ke dalam Muhammadiyah (oleh PKS) dan NU (oleh HTI, FPI, dan MMI).

 

Bab 11¾Upaya Pembelaan Diri Gaya-gaya Budaya Lama

• Budaya lokal yang cenderung mistik dan menjadi laku para penganut abangan, menjadi perhatian dan pembelaan dari Ricklefs. Bahkan praktik-praktik klenik (larung sesaji) sengaja digali dan diadakan oleh pemerintah daerah sebagai kekayaan budaya lokal berorientasi bisnis pariwisata dengan mengesampingkan sisi keagamaan.

• Tokoh-tokoh kebatinan yang begitu banyak tersebut, umumnya meramu sebagian dari ajaran Islam dengan ritual-ritual kebatinan buatan manusia (leluhur).

• Keberadaan seni tradisional —bahkan jenis yang lebih lama, makin hari kian redup. Muatan sakral berganti dengan entertain, bahkan mulai banyak kehilangan peminat. Tak terkecuali NU —representasi Islam tradisional— mengkhawatirkan para santrinya terkontaminasi aqidahnya dengan menyaksikan pertunjukan kuda lumping (jathilan) yang selalu diakhiri dengan adegan kesurupan; meski di sisi lain NU mempraktikkan ilmu kekebalan.

• Melemahnya seni budaya tradisional disebabkan mahalnya biaya yang harus ditanggung untuk pertunjukannya, juga makin semaraknya Islam mewarnai seni tradisional.

 

Bab 12¾Protagonis dan Totalitarian Baru: Gerakan Kaum Islamis dan Dakwahis

• Islam di Jawa tidak melulu se-‘moderat’ Muhammadiyah dan NU (menurut Ricklefs). Perjalanan Islam di Jawa diwarnai dengan ideologi Islam yang beragam. Dalam bab ini, Ricklefs khusus mengupas sisi ideologi Islam yang lebih ekstrem, tanpa ampun, dan menebar teror. Tentu saja Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar yang dijadikan simbol ideologi Islam yang semacam itu —oleh Ricklefs— dan jejaringannya. Tentu saja, jalan yang ditempuh Abu Bakar Ba’asyir tak lepas dari latar bagaimana rezim Orde Baru memperlakukan Islam dan umat Islam.

• Sepak terjang Islam ‘garis keras’ di Jawa pada prinsipnya menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, baik tempat maksiat maupun menghadang aksi Kristenisasi. Tak jarang, aksi kekerasan sosial FPI (Front Pembela Islam) mendapat pendampingan dari aparat militer. Dan pada situasi lain, aksi FPI kerap dijumpai sebagai pelopor relawan gigih di tempat bencana.

• Jalan kekerasan dalam menegakkan ajaran Islam di Jawa tentu saja tidak sesuai konteks kultur masyarakat Jawa yang lebih mengedepankan persuasi.

• Islam di Jawa juga diwarnai dengan aksi dakwah kalangan intelektual yang —oleh Ricklefs— termasuk radikal tetapi tetap elegan; HTI dan PKS.

• Ricklefs kesulitan memformulasikan mengenai penyebab fenomena ideologi Islam ‘garis keras’. Tentu saja, aksi tersebut tidak tiba-tiba berangkat dari niat mengadopsi kondisi —misal— di Palestina ke Indonesia tanpa sebab. Aksi-aksi tersebut seiring dengan ketidakkonsistenan penegakan hukum positif itu sendiri.

• Perjalanan Islam di Jawa dengan beragam tribulasi ideologi internalnya, menjadikan masyarakat lebih selektif dan meluaskan wawasannya.

 

Bab 13¾Oposisi yang Masih Tersisa: Mengupayakan Ruang Publik yang Lebih Netral

• Saat ini, tidak ada lagi perlawanan signifikan terhadap proses Islamisasi di Jawa. Tetapi masih menyisakan perbedaan pendapat tentang bentuk kehidupan keberagamaan seperti apa yang akan dibangun.

• Berbagai terpaan ujian kepada Islam di Jawa telah mendewasakan masyarakat dalam menerima informasi dan bersikap.

• Bagaimana pun penentangan beberapa pihak Islam yang relatif keras dan juga para ateis, perlu memahami bahwa Pancasila merupakan payung hukum warga negaranya wajib berketuhanan yang Maha Esa. Bahkan MUI mengharamkan sekulerisme dan liberalisme.

 

Bab 14¾Islamisasi Masyarakat Jawa dalam Tiga Konteks

• Upaya mengislamkan Jawa telah dimulai beratus tahun yang lalu. Namun selama itu selalu terdapat pihak yang cukup kuat untuk mengimbanginya; pemerintah kolonial, bangsawan keraton, dan para priayinya. Kemudian kaum nasionalis, sosialis, dan komunis menjadi penyeimbang.

• Jalur politik maupun aksi terorisme berkedok agama, dinilai gagal mewarnai kebijakan atau pun menggulingkan pemerintah dengan warna agama.

• Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah cukup sampai disini? Ataukah orang Jawa akan semakin konservatif lagi di masa depan, sehingga memberi kemungkinan lebih besar bagi pihak-pihak yang menginginkan berdirinya atau ditegakkannya syariat Islam? Apakah konsekuensi dari masyarakat yang semakin Islami, semakin buruk atau baikkah?

• Ricklefs tidak yakin apakah Islamisasi dapat dihentikan, karena ia telah menginfiltrasi semua bidang kehidupan di Indonesia saat ini selain terus melakukan upaya dari akar rumput. Namun ia mengingatkan, bahwa secara filosofis, suatu negara dalam mencapai tujuannya  terdapat dua pilihan, yaitu berlandaskan kebebasan atau keadilan (yang merupakan alasan agama). Pilihan terakhir besar kemungkinan mengorbankan yang pertama. Karena itu, perlu berhati-hati dalam melakukan pilihan.

• Menurut Ricklefs, telah banyak contoh bahwa negara-negara yang masyarakat atau pemerintahnya terlalu religius bukanlah negara yang ideal. Konservatifisme agama pada umumnya diikuti dengan pembatasan kebebasan berpikir dan bertindak, pengaturan yang terlalu jauh atas kehidupan pribadi, diskriminasi gender, intoleransi dan lainnya. Berdasarkan penelitian, negara-negara yang paling baik perlakuannya terhadap warga negaranya dan maju di segala bidang adalah negara yang bersifat sekuler.

 

Bibliografi

Judul: Mengislamkan Jawa; Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang

Penulis: M.C. Ricklefs

Tebal: 887 hlm.

Cetakan: I, November 2013

ISBN: 978-979-024-408-5

Penerbit: Serambi Ilmu Semesta, Jakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar