Resensi: Aku Diponegoro!; Tiga Naskah Tuturan Dramatik

Pernah terpikir membuat konsep drama sekolah berkisah tentang dakwah Wali Songo (tsana) di Nusantara. Dari sejak Ibnu Bathuthoh melakukan rihlah, melaporkan rekam-jejak demografi Nusantara kepada Sultan Muhammad I di Turki, hingga diutusnya para da’i internasional itu ke Nusantara. Gambaran umumnya sudah ada. Hanya mendetailkan dalam segmen-segmen, agaknya butuh waktu tersendiri.

Buku ini mempunyai napas yang sama, yakni berisi alur kisah perjuangan Diponegoro dalam bentuk drama/opera.

Maka terasa pas ketika Peter Carey mengawali bab Pendahuluan dengan kutipan Kahlil Gibran,
“Setelah makan dan minum, kebutuhan terbesar manusia adalah mendengarkan cerita-cerita yang didongengkan.”

Melalui narasi ini, Landung mengangkat babak dari awal kelahiran Sang Pangeran, pengaruh-pengaruh dari sikap Sang Pangeran, situasi politik Perang Jawa, hingga saat-saat terakhirnya di pengasingan.

Pembacaan pertama, mengisahkan bagaimana peta kekuatan Pangeran Diponegoro yang mulai menyusut. Perang Jawanya mulai melelahkan dukungan rakyat, satu persatu orang terdekatnya meninggal, pengkhianatan oleh Patih setianya sendiri; Raden Adipati Abdullah Danurejo, dan kondisi luka serta malaria yang diderita Sang Pangeran.

Pahitnya kekalahan telak harus ditelan oleh Diponegoro. Terlebih saat di perbukitan Selarong, Sang Pangeran mendapat wangsit: perjalanan perjuangan takkan mencapai tujuan. Yang tersisa hanya menjemput maut di jalan Tuhan, melepas nyawa di kancah pertempuran. Tekanan psikologis itu makin menyudutkan jiwanya ketika pamannya; Pangeran Ngabehi; seorang panesihat handal, panglima perang, sangat berpengalaman di medan perang dan kedua putranya; Joyokusumo dan Adikusumo; itu tewas di tengah kepungan pasukan pribumi dari Ternate. Ya, dari Nusantara yang sama yang menjadi kacung Kompeni di bawah komando Kapten Kooy. Kepalanya di penggal, dicucuk bambu runcing di pucuknya, lalu dipancang. Tubuh mereka bertiga dibuang ke jurang.

Sarto mijil wespaneki/rumaos kantun pribadyo/lawan ing Tanah Jawane/rumaos Tan saged noto/lamun amrih salaminyo/mengkono Jeng Sri Nalendro; Merebaklah air matanya/merasa sendirian/di Tanah Jawa/segala yang terjadi bakal terjadi/atas mereka yang tertinggal pun takkan mampu ia mengendalikan/demikianlah Sang Pangeran.
(Tembang Asmorodono)

Di tahun-tahun akhir Perang Jawa itu, diangkatlah seorang ulama berdarah Arab; Kiai Haji Samparwedi yang juga disebut Tuan Syarif Samparwedi; menjadi pimpinan Barjumungah; pasukan pengawal Sang Pangeran; dengan pangkat Basah Hasan Munadi. “Basah” adalah istilah yang diadaptasi dari istilah “Pasya” dari kekholifahan Turki saat itu; setingkat lebih rendah dari Alibasah (Ali Pasya).

Basah Hasan Munadi pernah coba bertanya jika seandainya Sang Pangeran menyerahkan diri ke Belanda, kepada Gubernemen dengan hadiah penghiburan sehamparan Yogyakarta.

Tidak! Tidak akan pernah kuserahkan diri kepada Gubernemen! Aku akan sangat malu jika rencanaku menjadi ‘Raja seluruh Jawa’ gagal.”

Bagaimana sekiranya beliau ditunjuk sebagai Sultan Yogya?
“Maka berarti aku hanya separo berhasil menunaikan rencanaku. Dan semua pengurbanan kita akan sia-sia.”

Sedangkan mengenai orang-orang Eropa, Sang Pangeran berkata, mereka boleh tetap tinggal di Jawa, tapi hanya sebagai saidagar, dan itu pun hanya di kota-kota pelabuhan yang dikhususkan untuk keperluan itu di pantai Utara yaitu di Batavia dan Semarang. Pemerintah daerah pedalaman di Jawa adalah untuk Sanga Pangeran, hanya Sang Pangeran, Sunan, dan sultan di bawahnya.

Pada pembacaan kedua, berkisah tentang kelahiran Sang Pangeran. 11 November 1785, bayi yang kelak memimpin Perang Jawa itu dipeluk sang kakek buyut; Sultan Mangkubumi. Ibundanya; Raden Ayu Mangkorowati; membawa sang bayi ke kediaman pribadi sang sultan (Proboyekso) dan di depan Mangkubumi mengatakan bahwa panglima Perang Jawa itu nantinya akan menimbulkan lebih banyak kerusakan bagi Belanda dan bahkan lebih daripada yang ia lakukan dalam Perang Giyanti (1746-1755). Namun hanya Tuhan yang Maha Kuasa yang tahu akhir ceritanya.
“Mbok Ratu (Ageng), cicitmu ini ketahuilah kelak sudah kehendak Yang Maha Kuasa jalan hidupnya ditakdirkan jadi lakon luarbiasa.”

Sangat jarang ada sebuah opera berwarna tradisi Melayu. Umumnya, opera berwarna Yunani kuno. Tentu hal ini sangat alternatif. Terlebih naskah ini bersumber dari naskah akademis yang dikerjakan selama 40 tahun oleh Peter Carey dan Babad Diponegoro; sebuah babad otobiografi asli Diponegoro yang ditulis dalam puisi Jawa; yang sekarang diakui UNESCO sebagai karya dunia (Memory of the World) pada 21 Juni 2013.

Landung Simatupang. Lahir di Yogyakarta, 25 November 1951. Sejak 1971 sering melakukan pembacaan publik untuk cerita pendek, esai, dan tulisan kreatif lainnya. Beliau mengaku mendapat ‘wisik; bisikan’ dari Pangeran Diponegoro mengenai bacaan-bacaan drama yang mereka tawarkan; bahwa Sang Pangeran membenci pelawak-pelawak —hal yang lazim dengan humornya yang sinis— namun sangat menghargai karya penyair jalang Chairil Anwar “Diponegoro” (1946) yang sudah melanggengkan kepahlawanan Perang Jawa:
“Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar, lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati.”

Membaca buku ini seperti dibacakan sebuah dongeng fiksi. Ini adalah tokoh non-fiksi. Kisah kepahlawanannya yang termasyhur ditambah cara penyampaian kisahnya bisa menjadi cara penulisan sejarah yang baru.

Daftar Isi
• Aku Diponegoro!: Suatu Pengantar Peter Carey
• Sang Pangeran di Magelang dan Batavia: Penangkapan dan Pengasingan
• Sang Pangeran di Tegalrejo: Nujum Sang Eyang Buyut
• Sang Pangeran di Fort Rotterdam: Menyongsong Ajal

Bibliografi
Judul: Aku Diponegoro!; Tiga Naskah Tuturan Dramatik
Penulis: Landung Simatupang
Tebal: xviii+110 hlm.
Dimensi: 13,5x20 cm
Cetakan: I, Februari 2015
ISBN: 978-979-91-0821-0
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta


Posting Komentar

0 Komentar