Pernah terpikir membuat konsep
drama sekolah berkisah tentang dakwah Wali Songo (tsana) di Nusantara. Dari sejak Ibnu Bathuthoh melakukan rihlah,
melaporkan rekam-jejak demografi Nusantara kepada Sultan Muhammad I di Turki,
hingga diutusnya para da’i internasional itu ke Nusantara. Gambaran umumnya
sudah ada. Hanya mendetailkan dalam segmen-segmen, agaknya butuh waktu tersendiri.
Buku ini mempunyai napas yang sama, yakni berisi alur kisah perjuangan
Diponegoro dalam bentuk drama/opera.
Maka terasa pas ketika Peter Carey mengawali bab Pendahuluan dengan
kutipan Kahlil Gibran,
“Setelah makan dan minum, kebutuhan terbesar manusia adalah mendengarkan
cerita-cerita yang didongengkan.”
Melalui narasi ini, Landung mengangkat babak dari awal kelahiran Sang
Pangeran, pengaruh-pengaruh dari sikap Sang Pangeran, situasi politik Perang
Jawa, hingga saat-saat terakhirnya di pengasingan.
Pembacaan pertama, mengisahkan bagaimana peta kekuatan Pangeran
Diponegoro yang mulai menyusut. Perang Jawanya mulai melelahkan dukungan
rakyat, satu persatu orang terdekatnya meninggal, pengkhianatan oleh Patih
setianya sendiri; Raden Adipati Abdullah Danurejo, dan kondisi luka serta
malaria yang diderita Sang Pangeran.
Pahitnya kekalahan telak harus ditelan oleh Diponegoro. Terlebih saat di
perbukitan Selarong, Sang Pangeran mendapat wangsit: perjalanan perjuangan
takkan mencapai tujuan. Yang tersisa hanya menjemput maut di jalan Tuhan,
melepas nyawa di kancah pertempuran. Tekanan psikologis itu makin menyudutkan
jiwanya ketika pamannya; Pangeran Ngabehi; seorang panesihat handal, panglima
perang, sangat berpengalaman di medan perang dan kedua putranya; Joyokusumo dan
Adikusumo; itu tewas di tengah kepungan pasukan pribumi dari Ternate. Ya, dari
Nusantara yang sama yang menjadi kacung Kompeni di bawah komando Kapten Kooy. Kepalanya
di penggal, dicucuk bambu runcing di pucuknya, lalu dipancang. Tubuh mereka
bertiga dibuang ke jurang.
Sarto mijil
wespaneki/rumaos kantun pribadyo/lawan ing Tanah Jawane/rumaos Tan saged
noto/lamun amrih salaminyo/mengkono Jeng Sri Nalendro; Merebaklah air
matanya/merasa sendirian/di Tanah Jawa/segala yang terjadi bakal terjadi/atas
mereka yang tertinggal pun takkan mampu ia mengendalikan/demikianlah Sang
Pangeran.
(Tembang Asmorodono)
Di tahun-tahun akhir Perang Jawa itu, diangkatlah seorang ulama berdarah
Arab; Kiai Haji Samparwedi yang juga disebut Tuan Syarif Samparwedi; menjadi
pimpinan Barjumungah; pasukan pengawal Sang Pangeran; dengan pangkat Basah
Hasan Munadi. “Basah” adalah istilah yang diadaptasi dari istilah “Pasya” dari
kekholifahan Turki saat itu; setingkat lebih rendah dari Alibasah (Ali Pasya).
Basah Hasan Munadi pernah coba bertanya jika seandainya Sang Pangeran
menyerahkan diri ke Belanda, kepada Gubernemen dengan hadiah penghiburan
sehamparan Yogyakarta.
Tidak! Tidak akan pernah kuserahkan diri kepada Gubernemen! Aku akan
sangat malu jika rencanaku menjadi ‘Raja seluruh Jawa’ gagal.”
Bagaimana sekiranya beliau ditunjuk sebagai Sultan Yogya?
“Maka berarti aku hanya separo berhasil menunaikan rencanaku. Dan semua
pengurbanan kita akan sia-sia.”
Sedangkan mengenai orang-orang Eropa, Sang Pangeran berkata, mereka
boleh tetap tinggal di Jawa, tapi hanya sebagai saidagar, dan itu pun hanya di
kota-kota pelabuhan yang dikhususkan untuk keperluan itu di pantai Utara yaitu
di Batavia dan Semarang. Pemerintah daerah pedalaman di Jawa adalah untuk Sanga
Pangeran, hanya Sang Pangeran, Sunan, dan sultan di bawahnya.
Pada pembacaan kedua, berkisah tentang kelahiran Sang Pangeran. 11
November 1785, bayi yang kelak memimpin Perang Jawa itu dipeluk sang kakek
buyut; Sultan Mangkubumi. Ibundanya; Raden Ayu Mangkorowati; membawa sang bayi
ke kediaman pribadi sang sultan (Proboyekso) dan di depan Mangkubumi mengatakan
bahwa panglima Perang Jawa itu nantinya akan menimbulkan lebih banyak kerusakan
bagi Belanda dan bahkan lebih daripada yang ia lakukan dalam Perang Giyanti
(1746-1755). Namun hanya Tuhan yang Maha Kuasa yang tahu akhir ceritanya.
“Mbok Ratu (Ageng), cicitmu ini ketahuilah kelak sudah kehendak Yang
Maha Kuasa jalan hidupnya ditakdirkan jadi lakon luarbiasa.”
Sangat jarang ada sebuah opera berwarna tradisi Melayu. Umumnya, opera
berwarna Yunani kuno. Tentu hal ini sangat alternatif. Terlebih naskah ini
bersumber dari naskah akademis yang dikerjakan selama 40 tahun oleh Peter Carey
dan Babad Diponegoro; sebuah babad otobiografi asli Diponegoro yang ditulis
dalam puisi Jawa; yang sekarang diakui UNESCO sebagai karya dunia (Memory of
the World) pada 21 Juni 2013.
Landung Simatupang. Lahir di Yogyakarta, 25 November 1951. Sejak 1971
sering melakukan pembacaan publik untuk cerita pendek, esai, dan tulisan
kreatif lainnya. Beliau mengaku mendapat ‘wisik; bisikan’ dari Pangeran
Diponegoro mengenai bacaan-bacaan drama yang mereka tawarkan; bahwa Sang
Pangeran membenci pelawak-pelawak —hal yang lazim dengan humornya yang sinis—
namun sangat menghargai karya penyair jalang Chairil Anwar “Diponegoro” (1946)
yang sudah melanggengkan kepahlawanan Perang Jawa:
“Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar, lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati.”
Membaca buku ini seperti dibacakan sebuah dongeng fiksi. Ini adalah
tokoh non-fiksi. Kisah kepahlawanannya yang termasyhur ditambah cara
penyampaian kisahnya bisa menjadi cara penulisan sejarah yang baru.
Daftar Isi
• Aku Diponegoro!: Suatu Pengantar Peter Carey
• Sang Pangeran di Magelang dan Batavia:
Penangkapan dan Pengasingan
• Sang Pangeran di Tegalrejo: Nujum Sang Eyang
Buyut
• Sang Pangeran di Fort Rotterdam: Menyongsong Ajal
Bibliografi
Judul: Aku Diponegoro!; Tiga Naskah Tuturan Dramatik
Judul: Aku Diponegoro!; Tiga Naskah Tuturan Dramatik
Penulis: Landung Simatupang
Tebal: xviii+110 hlm.
Dimensi: 13,5x20 cm
Cetakan: I, Februari 2015
ISBN: 978-979-91-0821-0
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
0 Komentar