Langsung ke konten utama

Resensi: Puasa pada Umat-umat Dulu dan Sekarang

“Kuasai dan tahanlah perut besarmu. Karena itulah yang merusak tubuhmu. Ia mendatangkan penyakit dan menyia-nyiakan sholat.” —‘Umar bin Khoththob

Masih menjadi misteri bagi sebagian kaum Muslim tentang bagaimana puasa kaum terdahulu seperti yang tersebut dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 183; “...sebagaimana telah diwajibkan pada umat-umat sebelumnya.”

Jejak-jejak syariat puasa sebelum turunnya perintah puasa wajib di bulan Romadhon, di dapatkan dalam ibadah umat Yahudi. Di mana Yahudi mewajibkan puasa sehari pada tanggal 10 Tishri sebagai momen peringatan terselamatkannya Nabi Musa dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun yang bertepatan dengan penanggalan Islam di 10 Muharrom atau Asyuro. Dan bagi kaum Muslim —sebelum turun wahyu tentang puasa wajib di bulan Romadhon, Nabi Muhammad melakukan puasa Asyuro sebagai puasa wajib di tahun pertama setelah hijroh ke Madinah. Menginjak tahun kedua, turun ayat tentang waktu khusus puasa wajib, yakni di bulan Romadhon selama satu bulan.

Sebab turunnya ayat ke-187 surat Al-Baqoroh menyimpan makna, bahwa waktu berpuasa sebelum turunnya perintah wajibnya puasa di bulan Romadhon, puasa wajib dilaksanakan dari sejak Isya hingga Maghrib esok harinya. Kira-kira durasi puasa saat itu sekitar 21-22 jam.

Saat perintah puasa wajib di bulan Romadhon, rentang waktu berbuka yang hanya singkat di awal-awal pelaksanaan perintah tersebut menjadi sebab turunnya ayat ke-187 tentang masa berbuka dan aktivitas yang dibolehkan di dalamnya.

Dalam buku ini, saya lebih tertarik pada mengulik pasal puasa pada umat terdahulu dalam bingkai agama Abrahamic —meski pun tak banyak dikupas tentang hal tersebut.

Untuk memperkaya wawasan terkait puasa selain yang lazim ditemui pada syariat Islam, Penulis menjelaskan bagaimana tradisi puasa itu sudah ada pada masa Mesir Kuno —terlepas dari latar belakang kesyariatan dalam agama Abrahamic.

Beragam motif puasa dikupas dalam buku ini dari puasa umat Hindu, Buddha, hingga Tasawuf. Meski ada keunikan terhadap keteladanan puasa dari Buddha Gautama yang tak boleh ditiru oleh pengikutnya disebabkan kadarnya yang ekstrem. Padahal apa yang dilakukan pengasas mestilah terukur karena akan menjadi hukum yang berlaku bagi pengikutnya.

Pada bab terakhir, Penulis menambahkan tinjauan puasa dari ilmu pengetahuan dan korelasinya dengan pancagatra sosial; ipoleksosbudhankam. Selain itu, adanya pergeseran motif dan tata cara puasa di zaman kini yang dilatari oleh motif agar langsing, lebih cantik, lebih atletis, demi peran seni, jelang persiapan karya, aksi solidaritas sosial. Fenomena semacam ini perlu di edukasi terkait prinsip dasar syariat puasa yang bernilai ibadah agar tak salah orientasi.

 

Resume

Bab: 1. Puasa dan Pengertiannya

Puasa (Sanskrit= upawasa; Pali= vassa; Arab= shoum/shiyam; Inggris= fasting; Belanda= onthauding) bermakna “berpantang” (abstinance) atau tenang di tempatnya, diam.

 

Bab: 2. Puasa Pemeluk-pemeluk Agama Kuno

• Puasa telah ada pada peradaban manusia terdahulu (QS. Al-Baqoroh: 183)

• Belum ada catatan yang valid tentang awal mula ajaran puasa.

Berpantang atau menahan diri dari makan buah khuldi —saat Nabi Adam masih di surga— barangkali bentuk puasa Adam dan Hawa.

• Adam berpuasa 3 hari setiap bulan sepanjang tahun (Ibnu Katsir) dan tidak ada petunjuk tentang bagaimana bentuk puasa Adam dan generasi sesudahnya.

• Tradisi puasa orang-orang Mesir Kuno (paganis) diwujudkan dalam persembahan sesaji dan penumbalan bagi dewa-dewa. Lama puasa mereka antara tujuh hari sampai enam pekan setiap tahun.

• Puasa pemeluk agama Yunani Kuno terinspirasi dari Mesir Kuno dalam bentuk tirakat (bertapa). Plato berpuasa 10 hari tiap bulan dengan motif keutamaan hidup. Bentuk Pythagoras dengan bertapa (‘uzlah) dan menempuh hidup zuhud (sederhana/prihatin).

• Puasa para pemeluk agama Romawi Kuno dalam bentuk penyelenggaraan upacara dan pengorbanan.

• Para pemeluk agama Zoroaster berpuasa untuk tolak bala. Tetapi dalam kitab Al-Milal wan Nihal, agama Zoroaster melarang seseorang berpuasa.

• Puasanya pemeluk agama Manu dengan menempuh hidup zuhud dan menjauhi hiruk-pikuk dunia serta mematikan nafsu birahi; asketisme.

• Puasanya pemeluk agama kuno di China dan Jepang dilaksanakan pada momen atau peristiwa tertentu, seperti ketika terjadi banyak fitnah dan bencana.

 

Bab: 3. Puasa Suku-suku Terasing

• Tradisi puasa pada suku terasing (primitif) bertujuan untuk menghormati kekuatan alam. Umumnya puasa dilakukan dalam rangka peningkatan dan penghormatan urusan magis dan religiusitas.

• Dalam dunia syamanisme (spiritualitas pagan/dukun), untuk mencapai tahap syaman dan konsekuensi dari strata tersebut dicapai dengan berpuasa (tirakat atau bertapa). Syaman berperan sebagai medium untuk dunia roh.

 

Bab: 4. Puasa Umat Sabain

• Sabain disandarkan pada umat negeri Saba’ di masa Nabi Ibrohim —yang lebih tenar di masa Nabi Sulaiman AS— yang berdiam di negeri Babil. Mereka menyembah dewa matahari dan bulan. Dan sebagai bentuk peribadatannya, mereka berpuasa satu bulan demi menghormati matahari dan bulan dengan tidak makan dan minum selama terbit matahari.

 

Bab: 5. Puasa Umat Yahudi

• Yahudi melakukan puasa pada momen-momen bersejarah yang mereka alami, seperti terebutnya Yerusalem, matinya raja Herodes, dan lainnya.

• Total puasa kaum Yahudi dalam setahun ada 35 hari. Jika hari bersejarah jatuhnya pada hari Sabat, maka puasanya digeser pada hari berikutnya. Sedangkan waktu puasa mereka dihitung 24 jam dalam sehari selama 3 hari berturut-turut tanpa boleh tidur.

 

Bab: 6. Puasa Umat Kristen

• Tidak ada penyebutan tata cara puasa dalam syari’at Kristen yang spesifik.

• Yesus berpuasa dua kali sepekan (Lukas 18:12).

• Syari’at di masa setelah Nabi ‘Isa, puasa wajib dilaksanakan 6 pekan terkecuali hari Ahad (Lent), sehingga total puasanya sejumlah 36 hari atau sepersepuluh hari dalam satu tahun.

• Setiap sekte Kristen memiliki perbedaan jumlah hari puasa, antara 15 sampai 49 hari dalam satu tahun.

• Dalam hadits disebutkan, bahwa umat Nasrani pada mulanya berpuasa di bulan Romadhon. Kemudian pendeta mereka mengubah waktunya (antara musim panas dan musim dingin) dengan jumlah 50 hari puasa.

• Orang Katholik Roma mempuasai diri dari makanan berprotein, yang kemudian hukum puasa mengalami degradasi hukum. Kewajiban puasa mengikat umat berusia 21 sampai 59 tahun yang hanya dibolehkan satu kali makan sehari.

• Di kalangan Gereja Ortodoks (Katholik Yunani), puasa sebanyak 266 hari setahun. Di mana hari Sabtu tidak dianggap pantangan.

• Puasa umat Protestan tergolong agama yang tak terlalu ketat dalam hal puasa. Bahkan status hukum puasa menempati posisi sunat atau mubah.

• Puasa kaum Advent berdasarkan hukum Taurot (Perjanjian Lama), yakni berpantang daging, ikan bersisik, dan darah. Hari Sabat sebagai hari berpantang.

 

Bab: 7. Puasa Umat Hindu

• Puasa umat Hindu —terlepas dari sekte yang melatarbelakanginya— umumnya bertujuan untuk menaklukkan jasmani bagi nafsu jiwa dan untuk meraih derajat tertinggi di nirwana.

• Puasa umat Hindu umumnya dilaksanakan pada hari kesebelas dari bulan baru, saat suami berperang, sepekan atau 40 hari dalam setahun.

• Berbeda dengan umat Hindu di India, puasa Umat Hindu di Bali dilaksanakan pada perayaan Nyepi, pergantian tahun Çaka, Hari Kuningan.

 

Bab: 8. Puasa Umat Buddha

• Puasa dalam Buddhisme dilakukan dari tengah hari sampai pagi hari berikutnya. Tapi dalam puasanya tersebut, dibolehkan minum.

• Konsep puasa Buddhisme: makan satu kali sehari, hanya makan beberapa kepal sedekah, dan menolak pemberian makan lebih lanjut. Itu untuk masyarakat umum. Sedangkan yang dijalani Buddha Gautama adalah mempuasakan fisik sampai pada titik matinya. Dan uniknya, Buddha Gautama tak menganjurkan apa yang ia jalani untuk ditiru umatnya.

 

Bab: 9. Puasa Penganut Tasawuf dan Kebatinan

• Pada umat Islam yang berfokus pada dunia tasawuf (kaum sufi), secara umum mirip dengan tempuhan Buddha Gautama dalam menetapi peribadahan; peribadahan yang diberat-beratkan untuk diri sendiri secara totalitas. Tak terkecuali dalam hal puasa.

• Bagi penganut kebatinan (cukup menghayati keberadaan Sang Maha Pencipta tanpa mengikuti syariat nabi), puasa dilakukan dengan bervariasi dengan beragam motif dan tata cara dari sang pembuatnya. Model puasa kaum kebatinan pun memiliki cara yang tak kalah ekstrem dari kaum sufi.

 

Bab: 10. Puasa Umat Islam

• Awalnya, puasa wajib pada umat Nabi Muhammad (sebelum turunnya perintah puasa Romadhon) dilaksanakan pada 10 Muharrom (Asyuro); sejalan dengan penanggalan Yahudi memperingati Hari Raya Yom Kippur (10 Tishri). Atau dalam riwayat lain disebutkan puasa dilaksanakan tiga hari tiap bulan (puasa purnama).

• Nabi SAW puasa wajib Asyuro pada tahun pertama pasca hijroh. Pada Sya’ban tahun kedua, turun ayat tentang wajibnya puasa di bulan Romadhon dengan hitungan waktu antara 29 sampai 30 hari.

• Awal pelaksanaan puasa Romadhon, waktu berbuka hanya dari tenggelamnya matahari sampai sekitar waktu isya, hingga turun ayat 187 surat Al-Baqoroh. Hal tersebut karena menjadi syariat puasa pada umat sebelum Nabi Muhammad.

• Puasa kaum Muslim dimulai sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (Maghrib). Sedangkan Syi’ah melakukan puasa di bulan Romadhon jua. Hanya saja waktu bukanya sedikit telat karena menunggu matahari benar-benar tenggelam.

• Selain puasa wajib di bulan Romadhon, terdapat puasa di luar bulan Romadhon dan berhukum Sunnah (dianjurkan), seperti puasa 6 hari di bulan Syawal, puasa hari Arofah, puasa hari Asyuro, puasa Sya’ban, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari di tengah bulan (puasa purnama), puasa Rojab, puasa Dawud.

• Niat puasa wajib harus dilakukan jelang shubuh, sedangkan niat puasa sunnah boleh dilakukan siang hari asalkan dari sejak bangun belum mengonsumsi makanan.

• Larangan puasa saat hari ‘Id (Fitri dan Adha), tasyrik (11-13 Dzulhijjah), hari jelang awal Romadhon, hari ke-16 Sya’ban.

• Keringanan untuk tidak berpuasa berlaku bagi orang yang sakit, dalam perjalanan, wanita haid dan nifas, wanita menyusui, wanita hamil, pingsan, ayan kambuh, pekerja berat (semua harus melunasi puasa di lain waktu), dan orang lanjut usia (diganti dengan bayar fidyah).

 

Bab: 11. Puasa dan Ilmu Pengetahuan

“Kuasai dan tahanlah perut besarmu. Karena itulah yang merusak tubuhmu. Ia mendatangkan penyakit dan menyia-nyiakan sholat.” —‘Umar bin Khoththob

“Apabila kita berpuasa, maka semua alat pencernaan makanan beristirahat dan tidak membutuhkan darah yang berlebih-lebihan. Maka darah yang tidak dibutuhkan oleh alat-alat pencernaan dapat mengalir dan kembali ke dalam alat-alat tubuh yang lain, misalnya ke dalam otak. Dan bilamana otak sudah terisi penuh darah, maka mudahlah ia menjalankan kewajibannya untuk berpikir dan belajar.” —Dr. Med. Ahmad Ramali

“Puasa mengandung maksud pembersihan jasmani (tubuh). Tubuh hanya makan makanan yang bersih dan suci. Karena itu agar senantiasa sehat jasmaninya, dia harus memperhatikan pola makannya dan menghindari makanan tertentu.” —W. Robertson Smith

“Puasa menurunkan tekanan darah, mengurangi aktivitas jantung, mengurangi hormon endorfin yang biasa mempengaruhi emosi.” —R.L. Scott dan M.G. Lanberg

“Puasa dapat menurunkan fungsi kelenjar gondok (low thyroid activity) yang mengakibatkan penurunan berat tubuh. Puasa selama 31 hari dapat membuat penderita menjadi segar.” —B.T. Walsh

“Bagi penderita penyakit kronis yang ada hubungannya dengan makan (diet), puasa jelas sangat membantu. Misalnya penderita diabetes ringan, hiper kolesterolemi, penyakit koroner bahkan penderita gastritis (maag).” —dr. H. Bakir Abisudjak, DPH

• Kesimpulan eksperimen Vladimir N. Nikitin: Menahan makan pada waktu-waktu tertentu dengan diet (puasa) dengan membatasi penggunaan lemak dan karbohidrat menambah panjangnya umur binatang hampir dua kali. Diketahui juga bahwa mengurangi suhu badan rata-rata sebanyak 1-2 derajat kemungkinan bertambahnya umur antara 10-20 tahun.

“Puasa merupakan upaya pencegahan diri dari masuknya makanan ke dalam tubuh, sehingga akan mempertajam inspirasi.” —W. Robertson Smith

• Puasa ditinjau dari segi psikologi (ilmu jiwa) mengandung arti dan manfaat yang besar bagi perkembangan jiwa, watak, tingkah laku, dan kepribadian orang yang berpuasa.

• Dalam hubungannya dengan pancagatra sosial ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan) memberikan dampak kestabilan dan langkah progresif.

 

Bab: 12. Bentuk-bentuk Puasa Lain

• Masa-masa kini, motif dan tata cara puasa (diet) makin beragam, misalnya ingin langsing, lebih cantik, lebih atletis, demi peran seni, saat persiapan karya, aksi solidaritas sosial. Sehingga perlu dipahamkan terkait prinsip dasar syariat puasa agar tidak salah orientasi.

 

Bibliografi

Judul: Puasa pada Umat-umat Dulu dan Sekarang

Penulis: H.M. Susmono, BA.

Tebal: vi+318 hlm.

Genre: Ibadah

Cetakan: I, Agustus 2010

ISBN: 978-978-110-297-1

Penerbit: Republika, Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim

Kalau ada buku yang amat mempengaruhi saya untuk segera menulis adalah buku yang tengah saya buat resensinya ini, ada begitu banyak alasan mengapa buku ini juga yang telah memberikan sentuhan tersendiri bagi saya tatkala menikmati dan mencoba tenggelam dalam lautan buku-buku yang berkutat tentang masalah identitas keislaman seseorang di tengah masyarakat atau masyarakat itu sendiri yang tengah bertransformasi menuju masyarakat I slami. Identitas selalu menjadi kebangg a an tiap orang, identitas yang meliputi simbol, slogan-slogan, bendera, dan lain-lain tanpa jelas bagaimana hakikatnya yang kabur atau bahkan merupakan simbol-simbol yang merupakan penghinaan terhadap agama All o h dan R o sulNya . Buku yang berjudul “Saksikan b ahwa Aku Seorang Muslim ” ini menurut yang menulisnya , yakni Salim A. Fillah pada mulanya merupakan karya pertama yang ia buat sebelum karya-karya lain muncul dan berinduk pada buku ini. Mungkin bagi sebagian pembaca yang telah lebih dahulu membaca b

Resensi: Sejarah Peradaban Islam

Buku Sejarah Per a daban Islam yang dikarang oleh Dr. Badri Yatim , MA ini membahas sejarah perkembangan atau peradaban Islam mulai zaman klasik (Nabi Muhammad), pertengahan (Khulafaurr o syidin dan tabi’in), dan modern (saat ini). Pada masa klasik, peran b angsa Arab sangat dominan , sebab memang Islam lahir di Arab. Pada masa pertengahan , muncul tiga kerajaan besar yang mewakili tiga kawasan budaya, yaitu Kerajaan ‘ U t smani di Turki, kerajaan S y afawi di Persia, dan kerajaan Mugh o l di India. Pembahasan pada masa pertengahan ini dititikberatkan pada persaingan politik yang terjadi. Pada masa modern , yang dibahas adalah kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia). Perlu diketahui bahwa pembahasan kerajaan Islam di Indonesia walaupun mendapat porsi besar di dalam buku ini tetapi sebenarnya Islam di Indonesia belum termasuk dalam satu kesatuan kajian sejarah peradaban Islam. Buku menitikberatkan pada masalah percaturan politik karena politik adalah salah satu ikon penting adan

Resensi: Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri

Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir. Demikian tertulis dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Tapi, buku-buku sejarah umumnya tak menjelaskan lebih lanjut, mengapa dan bagaimana Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan dari negara lain, merupakan syarat penting berdirinya sebuah negara. Dan untuk itu, bangsa ini pantas berterima kasih kepada tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Sebab, merekalah yang melobi agar pemerintahnya mendukung kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Ikhwanul Muslimin yang saat itu jaringannya telah tersebar, juga menggalang dukungan negara-negara Arab lainnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Dan setelah Mesir, negara-negara Timur Tengah lain pun mendukung kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin Mesir dan negara-negara Arab saat itu, bahkan membentuk Panitia Pembela Indonesia. Mereka mendorong pembahasan soal isu Indonesia di berbagai lembaga internasional, seperti Perserikatan Bangsa-bangsa dan Liga Arab. Dal