Resensi: Pendidikan Karakter di Sekolah

“Hanyalah karakter yang menjadi ukuran yang paling baik dalam menilai individu. Maka karakter pulalah yang menjadi ukuran yang paling baik dalam mengukur keberhasilan suatu negara.” —Thomas Lickona

Ada pelajaran menarik dari konsep “Taman Belajar” Ki Hadjar Dewantoro tentang sistem “among” untuk menciptakan sekolah yang membekaskan rasa indah dan nyaman untuk belajar. Belajar dengan rasa nyaman tanpa ada tekanan batin akan membuat pembelajaran jauh lebih bermakna. Sistem “among” tersebut merupakan metode pembelajaran yang didasarkan pada konsep asih, asah, dan asuh (care and dedication based on love). Detail sistem “among” ini dapat kita temui dalam buku Sekolah Nir Kekerasan yang penerapannya dialami oleh para diaspora.

Pada implementasi sistem “among” dalam institusi pendidikan di luar negeri, kakak asuh bertanggung jawab membangun rasa aman, nyaman, dan komunikasi kepada adik asuhnya. Teknis pemenuhannya sangat tergantung kebutuhan di lapangan, seperti menemani adik asuh saat jam istirahat, menjadi teman sharing, melindungi dari potensi ancaman, dan lain sebagainya. Bahkan, sistem yang awalnya dibangun sebatas kebutuhan di lingkup sekolah, terbawa hingga di rumah, seperti bermain bersama dan belajar bersama. Sehingga bonding antara kakak asuh dengan adik asuh begitu kuat dan manfaatnya dirasakan oleh orangtua.

Untuk memotivasi sistem tersebut, pihak sekolah memberikan apresiasi kepada kakak asuh yang berhasil membangun semangat rindu ke sekolah pada adik asuhnya dengan piagam karakter yang diberikan saat upacara atau makan siang bersama Kepala Sekolah.

Penyusun buku ini memang berniat mengangkat program pendidikan karakter di sekolah-sekolah kabupaten Sukabumi yang telah berlangsung sekira 15 tahun dengan mengakomodir kearifan lokal. Hal tersebut dapat kita temui dari halaman pendahuluan buku ini dengan adanya Pengantar dari Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Karakter, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI; Dr. Arie Budhiman, M.Si. Tak tertinggal pula testimonial dari beberapa pejabat pemerintahan, dinas pendidikan, dan akademisi terhadap pentingnya pendidikan karakter di institusi pendidikan.

Ide-ide yang berangkat dari pembangunan karakter positif mesti diberikan ruang dan kesempatan untuk dikaji dan ditindaklanjuti dalam program yang terencana dan masif untuk diimplementasikan di tingkat satuan pendidikan.

Kabupaten Sukabumi melalui Peraturan Bupati Nomor 33 tahun 2008 tentang Program Standardisasi Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah menerapkan program “10 Pembiasaan Akhlak Mulia” yang meliputi berbakti kepada orangtua dan guru, berbusana Muslim, memelihara adab belajar, membaca dan menghafal Al-Quran, memelihara kebersihan lingkungan dan berperilaku sehat, mendirikan sholat, melaksanakan taklim, melaksanakan infak, melaksanakan puasa, dan cinta tanah air.

Yang tak kalah penting dari upaya habituasi pendidikan karakter di sekolah adalah keteladanan. Masih bertalian erat dengan prinsip sistem “among”, yakni ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.


Resume

Bab: 1. Tantangan Dunia Pendidikan

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 dikatakan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Tujuannya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Permasalahan karakter bangsa disebabkan karena kuatnya pengaruh budaya lingkungan yang kurang baik serta kurangnya mutu pembelajaran yang terintegrasi dengan pendidikan karakter.

Frekuensi perlakuan kasar terhadap anak paling sering terjadi di lingkup keluarga dan sekolah dibandingkan di lingkup masyarakat. “Tujuh dari sepuluh siswa di Asia pernah mengalami kekerasan di sekolah” (Felicia: 2015).

Kekerasan emosional sering di alami anak selama di rumah, diikuti kekerasan fisik. Ini disebabkan tingkat depresi orangtua —dengan beban kerja tinggi— yang mempengaruhi tingkat bonding terhadap anak. Sedangkan kekerasan di sekolah terjadi selain karena latar belakang kultur pendidikan keluarga yang heterogen, juga penerapan kurikulum pembelajaran berfokus pada bidang akademik.


Bab: 2. Hakikat Pendidikan Karakter

Dalam kamus Poerwodarminto, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain.

 “Pengetahuan akan memberimu kekuatan, tetapi karakter memberimu kehormatan.” —Bruce Lee

Menurut Budimansyah (2011: 56-57), pendidikan karakter secara terpadu didasari oleh kebutuhan sosiokultural, pewarisan nilai sosio-psikologis, peranan institusi pendidikan sebagai kepanjangan tangan orangtua, urgensinya bagi kehidupan bermasyarakat. Sedangkan Lickona (Suyatno, 2010: 5) berpendapat karena kurangnya kesadaran nilai moral, nilai moral sebagai pondasi peradaban, dan adanya komitmen kerjasama antara orangtua dan institusi pendidikan. Semua itu bertujuan agar tercipta kondisi kehidupan yang memberikan rasa aman dan nyaman.

Dalam konteks pendidikan nasional, pendidikan karakter mesti memuat empat dimensi, yakni olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development) untuk memenuhi kebutuhan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (Husein, A. dkk, 2010: 23) dengan memfungsikan seluruh potensi manusia yang meliputi kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik dalam konteks interaksi sosial kultural.


Bab: 3. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Berbagai Teori

a. Teori pengkondisian klasik (Ivan Pavlov) dimaksudkan, bahwa perilaku terbentuk melalui proses pembiasaan.

b. Teori interaksionisme simbolik (G. Herbert Mead), yakni bentuk kemampuan adaptif karena pengaruh kebiasaan lingkungan yang berbeda-beda dalam menyikapi masalah.

c. Teori kognitif sosial (Albert Bandura) dimaksudkan, bahwa proses pembentukan perilaku ditentukan oleh faktor kognitif dan faktor sosial (imprinting).


Bab: 4. Nilai-nilai Karakter

Menurut Lickona, dimensi nilai moral —jika dilihat dari substansi dan prosesnya— yang perlu dikembangkan adalah karakter yang baik (good character) yang memenuhi tiga dimensi nilai moral, yakni wawasan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Sedangkan publikasi dari Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 9-10) menyebutkan 18 nilai karakter, yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab yang disarikan dari nilai-nilai agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional.

Pemerintah Indonesia melalui Permendikbud nomor 23 tahun 2015 menetapkan landasan Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) di lingkup institusi pendidikan. Ki Hadjar Dewantoro menyebut budi pekerti dengan istilah adab atau akhlak. Di mana dalam memberikan beragam pengajaran bertujuan agar jiwa anak pun menjadi terdidik seiring pendidikan jasmaninya sebagai mana konsep “taman belajar”-nya Ki Hadjar Dewantoro yang mengandung makna, bahwa sekolah itu sebaiknya merupakan tempat indah dan nyaman untuk belajar. Itu sebabnya, Ki Hadjar Dewantoro memperkenalkan sistem among, yakni konsep saling asah, asih, dan asuh (care and dedication based on love).

Titik tekan penerapan Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) di sekolah meliputi pembiasaan internalisasi sikap moral dan spiritual, menjaga semangat kebangsaan, interaksi sosial positif terhadap orang dewasa dan sesama murid, memelihara lingkungan sekolah, apresiasi pada keunikan potensi orang lain, dan menguatkan peran orangtua serta masyarakat sebagai mitra sekolah.


Bab: 5. Implementasi Pendidikan Karakter

Karakter bisa dibangun atau dibentuk. Hanya saja perlu waktu dan proses. Karakter dibelajarkan dengan beberapa pertimbangkan, di antaranya karena banyak keluarga yang kurang membelajarkan dan adanya beberapa anak yang harus mendapatkannya. Sebab membangun karakter dilandasi dengan sikap hormat dan rasa tanggung jawab dengan modal nature (fitrah) dan nurture (sentuhan lingkungan) dari tiap anak. Umumnya, karakter terbentuk oleh temperamen dasar, keyakinan, pendidikan, motivasi hidup, dan perjalanan.

Implementasi pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan —Koesoema (2007: 212), yakni pengajaran, keteladanan, menentukan skala prioritas, praksis prioritas, dan refleksi.

Kementerian Pendidikan Nasional menyusun Desain Induk Pendidikan Karakter yang meliputi 1) pengembangan karakter melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil; 2) pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar (learning experience); 3) harus ada komitmen bersama seluruh sektor kehidupan; dan 4) evaluasi hasil untuk perbaikan berkelanjutan.

Implementasi pendidikan karakter pada tataran mikro, Kemendiknas menatanya dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas dengan pendekatan terintegrasi (embedded approach), kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school culture), kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstrakurikuler, dan kegiatan keseharian di lingkungan rumah.

Pemerintah Kabupaten Sukabumi membuat Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 tahun 2008 tentang Program Standardisasi Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah pada bidang bakti kepada orangtua dan guru, berbusana Muslim, memelihara adab belajar, membaca dan menghafal Al-Quran, memelihara kebersihan lingkungan, mendirikan sholat, melaksanakan taklim, melaksanakan infak, melaksanakan puasa, dan cinta tanah air.


Bab: 6. Hubungan Karakter dan Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan kepada suatu tujuan yang akan dicapai. Sedangkan kepemimpinan —menurut John Locke— mesti memenuhi empat syarat, yakni 1) memiliki motif dan bakat; 2) berpengetahuan; 3) memiliki keahlian dan berkemampuan; dan 4) memiliki visi dan kemampuan mengimplementasikannya.

Warren Bennis mempunyai formulasi tersendiri tentang sifat-sifat dasar kepemimpinan, yakni visioner (guiding vision), berkemauan kuat (passion), integritas (integrity), amanah (trust), keingintahuan (curiousity), dan berani (courage).

Karakter kepemimpinan merupakan sifat atau watak yang padanya melekat nilai-nilai kebaikan dan terpatri dalam pikiran, hati, dan tindakan dalam diri seorang pemimpin. Menurut Rivai dan Arifin (2009: 23), karakteristik kepemimpinan Rosululloh SAW adalah kejujuran yang teruji dan terbukti. Kejujuran adalah perilaku kunci yang sangat efektif untuk membangun kepercayaan (kredibilitas) sebagai seorang pemimpin.

Sudewi (2011: 176) merinci nilai pembentuk karakter pemimpin, yakni adil, bijaksana, kesatria, tawadhu, sederhana, visioner, solutif, komunikatif, dan inspiratif.

Rivai dan Arifin (2009: 123) mengklasifikasikan model-model kepemimpinan menjadi tiga, yakni kepemimpinan partisipatif dan pendelegasian, kepemimpinan karismatik, dan kepemimpinan transformasional. Di mana fungsi kepemimpinan —menurut Stephen R. Covey— sebagai perintis (pathfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (empowering), dan panutan (modelling).


Bab: 7. Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal

Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata dirinya sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.

Dalam konteks memaknai budaya Sunda, nilai-nilai karakter yang tercermin dalam makna kata “Sunda” adalah optimis, pemelihara, loyal, proaktif, lapang dada, tahu diri, bermanfaat, berkecukupan, kredibel, waspada, proporsional, peduli, beretika, qona’ah, cerdas yang dijabarkan dalam 25 makna kata “Sunda”.

Nilai-nilai karakter yang tercermin dalam pandangan hidup orang Sunda terdapat pada hubungannya dengan pribadinya, dengan masyarakat, dengan alam, dengan Tuhan, dan dengan ambisinya. Sehingga nilai-nilai budaya Sunda dapat ditemui pada nilai keharmonisan, penghargaan terhadap waktu, kepada lingkungan, dan penghormatan kepada leluhur.


Bab: 8. Hubungan Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 37 ayat 1 menegaskan, bahwa pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mengandung misi sosio-kultural, yakni mengembangkan struktur budaya dan misi substantif-akademis, yakni mengembangkan struktur pengetahuan yang saling menguatkan antara nilai prinsip Pancasila dengan kearifan lokal.


Bab: 9. Evaluasi Implementasi Pendidikan Karakter

Pedoman penilaian pendidikan karakter memuat hakikat dan prinsip penilaian, prosedur dan mekanisme penilaian, pengembangan indikator, kisi-kisi, dan instrumen penilaian. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah mesti dilaksanakan oleh pihak pemerintah. Dan pendidikan karakter harus menjadi gerakan bersama.


Bibliografi

Judul: Pendidikan Karakter di Sekolah

Penulis: Ujang Syarip Hidayat, Rizki Muhammad Ramdhan

Tebal: xx+192 hlm.

Genre: Pendidikan

Cetakan: I, April 2016

ISBN: 979-602-73452-6-3

Penerbit: Yayasan Budhi Mulia, Sukabumi

 

Posting Komentar

0 Komentar