Resensi: Sekolah Nir Kekerasan

Siapa sih yang tidak menginginkan iklim belajar di sekolah anak-anak kita yang menyenangkan? Menjadi sebuah impian banyak orangtua ketika mendapati anaknya sangat bersemangat untuk hadir ke sekolah dan pulangnya selalu menularkan cerita keasikan saat belajar bersama teman-teman dan guru di sekolah. Penggambaran suasana semacam itu terwakili dengan ungkapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2014-2016;

“Sekolah yang baik itu sekolah yang membuat anak-anak datang dengan senang hati, berada di sekolah dengan senang hati, dan pulang dengan berat hati. Bukan sebaliknya.” —Anies Rasyid Baswedan

Perwujudan suasana sekolah semacam itu dipaparkan dalam buku ini; “Sekolah Nir Kekerasan”; dengan beragam kekhasannya masing-masing. Sayangnya, suasana sekolah yang menyenangkan tersebut masih sangat langka di temui di Indonesia. Sebab, buku ini ditulis para diaspora Indonesia yang mengungkapkan rasa kagumnya saat mereka menyekolahkan anak-anak mereka di belahan dunia lain.

Setidaknya ada 26 tulisan terkait pengalaman mereka menyekolahkan anak-anak mereka di luar negeri. Ketakjuban ketika kita membaca bagaimana sekolah-sekolah di tiap benua begitu menaruh perhatian serius terhadap pendidikan. Yang tidak kalah penting adalah harapan para diaspora tersebut ketika memimpikan sekolah yang menyenangkan bagi anak-anak Indonesia.

Kata kunci “Siswa harus bebas dari rasa takut dan tertekan (beban pelajaran, guru, persaingan, bahkan ancaman perundungan)” menjadi sebuah tantangan yang amat serius dan tidak bisa dianggap ringan bagi perubahan dunia pendidikan di Indonesia. Tetapi di Norwegia, upaya menjaga iklim sekolah nir-kekerasan adalah dengan menerapkan program “kakak asuh” (di sana disebut “faddertime” yang bermakna waktu istirahat bersama teman). Seorang murid kelas 1 mendapat dua kakak damping dari kelas 6. Saat istirahat, mereka akan berkumpul. Fungsi kakak damping adalah menjaga dan membimbing adiknya. Waktu istirahat dapat dimanfaatkan dengan aktivitas apapun dengan tujuan utamanya agar adik kelas merasa nyaman di sekolah. Di Norwegia, peringkat kelas dan pencapaian akademis di tingkat SD bukan menjadi prioritas. Ujian tiap semester dilaksanakan  untuk memetakan kemampuan akademis siswa. Hasil akhir (rapor) hanya berisi grafik disertai komentar guru. Hal tersebut diterapkan agar belajar menjadi kegiatan sukacita,  bukan semata-mata mengejar angka. Sosialisme pergaulan, kebahagiaan, ketenangan, dan rasa aman ketika siswa di sekolah menjadi fokus pendidikan Norwegia, khususnya pendidikan dasar sebagai pondasi utama (hlm. 9-10).

Secara pribadi, saya tertarik dengan metode nir-kekerasan yang diterapkan di Australia —dan memang pengalaman belajar yang dikisahkan dalam buku ini dominan diceritakan oleh mereka yang mengenyam studi di Australia. Sekolah di sana memiliki motto yang dipahami dan ditegakkan oleh semua guru; respectful (saling menghargai), responsibility (bertanggung jawab), dan engaged learning (keterlibatan dalam pembelajaran). Mereka menerapkan apresiasi tanda penghargaan (reward) yang diberikan pihak sekolah berupa kartu (dengan penjenjangan), piagam, maupun medali. Dan nama-nama mereka ditulis dalam majalah pekanan sekolah disertai alasan mendapat penghargaan. Dan jika terjadi perundungan, mereka memiliki mekanisme yang tetap menjaga kebaikan bagi semua.

Metode cukup unik juga diterapkan di Kanada. Siswa SD dididik untuk saling menghormati tak hanya antarteman, tapi juga semua jenis pekerjaan. Seminggu sekali siswa diajak bermain peran terkait aktivitas keseharian dan beberapa pekerjaan tertentu. Setting bermain dibuat seolah nyata dengan menyelipkan nilai-nilai moral dalam permainan. Dari sinilah siswa belajar menghormati orang lain, sabar mengantre, saling menolong, sopan santun, dan bertanggung jawab (hlm.122).

Sekolah tingkat dasar di mancanegara memperlakukan dan mendidik anak-anak dengan penuh perhatian. Dengan kondisi seperti itu tentu sekolah akhirnya menjadi taman yang menyenangkan bagi anak. Hal tersebut, sejatinya sembilan dekade silam pernah dilontarkan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantoro. Taman merupakan metafora tempat menyenangkan yang menjadi bagian dari proses tumbuh kembang sang anak.

Di titik ini sepatutnya kita renungkan goresan indah seorang pendidik dan ahli konseling keluarga tersohor, Dorothy Law Nolte dalam puisi bertajuk Children Learn What They Live. Anak-anak akan belajar dan tumbuh berkembang dari lingkungannya. Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia belajar memaki. Sebaliknya, jika anak dibesarkan dengan pujian akan belajar menghargai.

Buku ini menarik karena terdiri dari pengalaman praktis para orangtua dan pemerhati pendidikan dalam melihat upaya sekolah mengurangi terjadinya kekerasan. Sekolah bisa menerjemahkan inspirasi di buku ini menjadi inisiatif-inisiatif nyata dalam keseharian. Orangtua bisa menjadikan buku ini sebagai momentum untuk terus mengingat perannya sebagai pendidik terpenting. Adik-adik kita juga bisa menjadikan buku ini sebagai bahan bacaan dan inspirasi agar langkah-langkah kecilnya setiap pagi tak lagi sekadar menuju bangunan sekolah, melainkan mewujud menjadi sekolah yang hangat dan menyenangkan. Kelak, mereka akan bercerita dengan bangga masa-masa menyenangkan di sekolah.

 

Resume

Bab: Sekolah yang Aman dan Nyaman

Di Australia, guru dilarang menyentuh murid dengan alasan apapun. Terlebih dengan maksud menghentikan perilakunya yang mengganggu proses belajar-mengajar. Jika itu terjadi, orangtua murid dapat membuat laporan atas tuduhan child abuse (penyiksaan anak). Pendidik juga dilarang berduaan dengan murid dalam satu ruangan. Jika ada pembicaraan yang bersifat pribadi, harus dilakukan di ruang terbuka atau menyertakan pihak ketiga. Murid yang ke toilet, harus didampingi teman. Penjemput murid pun harus yang sudah terdaftar dalam buku sekolah. Jika ada perubahan penjemput, orangtua harus memberitahukan ke pihak sekolah dengan memberikan identitas penjemput anaknya. Intonasi pendidik tidak boleh keras atau berbahasa kasar yang dapat menyebabkan murid merasa dilecehkan. Pendidik pun dilarang mengambil foto maupun video para murid tanpa seizin orangtua, meski untuk kepentingan sekolah.

 

Bab: Surga Bernama Sekolah

Norwegia menerapkan sistem rayon untuk pendidikan dasar dan menengah. Dan semua sekolah adalah sekolah favorit.

Peringkat kelas dan pencapaian akademis bukan prioritas. Ujian tiap semester hanya untuk memetakan kemampuan akademis siswa. Sehingga tidak ada nilai, apalagi istilah juara kelas.

Tujuan kebijakan untuk pendidikan di Norwegia adalah sekolah harus terlebih dulu menjadi tempat yang nyaman dan aman. Siswa harus bebas dari rasa takut dan tertekan (beban pelajaran, guru, persaingan, bahkan ancaman perundungan).

Sekolah di Norwegia menerapkan program siswa untuk siswa berupa “faddertime” (waktu bersama teman) yang diadakan sepekan sekali selama dua jam pelajaran untuk anak kelas 1 SD. Setiap anak kelas 1 didampingi dua orang kakak kelasnya dari kelas 6. Kegiatannya dapat beragam, dengan tujuan si adik kelas merasa nyaman di sekolah.

Di awal program, orangtua murid kelas 1 akan mendapat pesan tertulis dari kakak kelas pendamping, “Selamat datang, Fatih. Kami akan jadi temanmu bermain selama setahun ke depan. Kita pasti akan gembira. Tertanda Vegard dan Daniel.”

Tak jarang, efek program ini tidak berhenti ketika tahun ajaran berakhir. Bahkan di luar lingkungan sekolah.

Sekolah juga menyediakan mata pelajaran menata emosional; Zippy’s Friends (Zippi Si Belalang dan teman-temannya); pada anak usia 5 sampai 7 tahun. Tujuannya untuk meningkatkan kesehatan mental dan emosional. Mereka diajarkan bagaimana mengenal permasalahan, menyampaikan perasaannya, dan bagaimana mencari solusi.

Pertemuan orangtua murid dengan pihak sekolah dilakukan tiga bulan sekali. Pertanyaan tentang iklim sekolah, kenyamanan anak, dan apresiasi anak bersosialisasi selama jam istirahat menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan. Pembinaan mental berkesinambungan adalah jawabannya. Karena fokus pendidikan dasar di Norwegia adalah menanamkan budi pekerti yang baik, kedisiplinan, kemandirian, dan kecintaan pada sesama manusia dan alam sekitar.

 

Bab: Kekerasan di Sekolah, No Way!

Rahni baru kelas 1 SD di sebuah sekolah di Leeds, Inggris. Saat bermain, kerudung Rahni disingkap temannya dan menjadi bahan ejekan karena rambut Rahni pendek seperti laki-laki. Perundungan —yang di Indonesia dianggap sepele— tersebut mendapat perhatian serius. Rasa aman dan nyaman yang terganggu, akan mendapat penanganan serius oleh pihak sekolah, bahkan Kepala Sekolah. Mereka memanggil orangtua para perundung dan memberikan ‘hukuman’ kepada perundung sebuah “Thinking Room” bagi para perundung selama jam istirahat untuk merenungi kesalahan yang mereka lakukan dengan pengawasan guru dari kejauhan. Dan progres atas trauma Rahni selalu diperhatikan oleh pihak sekolah sampai Rahni benar-benar merasa aman, atau sampai pelaku perundungan benar-benar menyadari kesalahannya.

 

Bab: Guru dan Orangtua, Mari Menjadi Sahabat

Di Australia, sekolah sangat memperhatikan pencapaian karakter “5 Kunci Sukses” yang mereka jadikan acuan pendidikan, yakni confidence, persistence, organization, getting along, dan emotional resilience. Selain itu, komunikasi orangtua dengan guru pun memiliki dampak positif bagi kepercayaan diri anak didik.

 

Bab: Sebuah Arti Pita Merah

Sekolah di Melbourne menerapkan Polisi Sekolah. Petugas tersebut dipilih dari antara murid sekolah tersebut dengan ditandai pita merah yang dikenakan di seragam mereka. Tugas tersebut dipercayakan kepada mereka atas persetujuan pihak sekolah dan kepada mereka diberikan hak sebagai penengah jika terjadi perselisihan. Hal tersebut sebagai cara memupuk rasa tanggung jawab.

 

Bab: Ya Ibu, Saya Senang Hari Ini

Salah sebuah sekolah di Australia, menerapkan sistem pengaturan jam istirahat tiap jenjang kelas secara berbeda. Hal tersebut ditempuh untuk menghindari kemungkinan terjadinya ketidaknyamanan adik kelas oleh perlakuan kakak kelasnya jika jam istirahat disatuwaktukan.

Sekolah tersebut memiliki motto yang dipahami dan ditegakkan oleh semua guru; respectful (saling menghargai), responsibility (bertanggung jawab), dan engaged learning (keterlibatan dalam pembelajaran).

Tanda penghargaan (reward) yang diberikan pihak sekolah berupa kartu, piagam, maupun medali. Dan nama-nama mereka ditulis dalam majalah pekanan sekolah disertai alasan mendapat penghargaan.

Jika pun terjadi perundungan, pihak sekolah akan menghadirkan pelaku, korban, dan penengah dalam “meja bundar”. Secara bersamaan, pihak sekolah menghadirkan Kepala Sekolah, guru, dan konselor, murid, dan kadang orangtua murid untuk menyelesaikan kasus tersebut.

 

Bab: Lima Belas Menit Setiap Hari Relaksasi yang Menyenangkan Hati dan Mengurangi Agresivitas Anak-anak

SD Clayton North Primary School Melbourne. Mereka menerapkan program Smiling Minds (pikiran yang tersenyum) tiap setengah jam sebelum istirahat siang.

Guru akan mengajak murid sekelas untuk melakukan gerakan menegangkan otot tubuh dan melemaskannya secara berulang. Kemudian, anak-anak diminta mencari posisi ternyaman untuk istirahat. Dalam istirahat tersebut, anak-anak diminta memejamkan mata sambil membayangkan tempat atau suasana terindah menurut mereka sambil diputarkan musik lembut. Sebelumnya, pastikan suhu ruangan mendukung tujuan relaksasi tersebut. Setelah 15 menit, anak-anak dibangunkan dan guru meminta feedback dari pengalaman yang baru saja mereka alami.

Program ini bertujuan untuk menghindari terjadinya burn out (titik jenuh), membuat perasaan anak-anak menjadi nyaman, dan pikiran jadi gembira. Sedangkan manfaatnya untuk mengelola emosi dan perilaku anak yang akhirnya berdampak pada menurunnya agresivitas dan kekerasan yang mungkin dilakukan anak-anak. Dan semua guru di sekolah tersebut sudah mendapatkan pelatihan yang menyenangkan ini.

 

Bab: Konsep Buddy untuk Mengurangi Praktik Perundungan di Sekolah

Masih di SD yang sama di Clayton. Mereka menerapkan program buddy (bahasa slang Inggris yang artinya “teman”) bagi murid baru dan dari luar Australia.

Jika di Indonesia dikenal MPLS (masa pengenalan lingkungan sekolah), yang diterapkan di Clayton ini mirip, tetapi dalam bentuk pendampingan langsung.

Tujuan program ini adalah untuk mendapatkan pengalaman menyenangkan selama proses belajar.

Buddy adalah sosok yang akan membantu proses adaptasi anak baru dengan suasana kelas yang baru. Buddy ini biasanya satu tahun lebih tua dari anak baru. Jadi, anak yang lebih senior mendapatkan latihan memberikan perlindungan kepada yang lebih lemah. Menjadi kuat tanpa menindas yang lemah.

Ada lima tahapan (5 Finger Rules) di sekolah ini jika terjadi perundungan, yakni langsung lapor ke guru kelas, berani mengatakan kepada perundung ungkapan ketidaksukaan dengan perilaku perundungan, tinggalkan/jangan layani si perundung, dan abaikan perundung.

Ukuran prestasi adalah ketika mereka dapat menjadi buddy yang baik bagi adik kelasnya. Dan mereka akan mendapat apresiasi berupa sertifikat. Dan ini sudah menjadi budaya di sekolah tersebut.

 

Bab: Melawan Cyberbullying dengan Teknologi

Di Australia, anak-anak bahkan diakrabkan dengan teknologi. Pemanfaatan teknologi ini berupa akses menggunakan email gmail. Di mana guru akan memberikan tugas dalam bentuk game online Matematika memanfaatkan mathletics. Bahkan game tersebut dapat berupa kompetisi antar-daerah di Australia. Mereka yang menyelesaikan permainan mathletics akan mendapatkan poin. Game lain yang dimanfaatkan sebagai pembelajaran adalah Minecraft untuk melatih critical thinking dalam hal merencanakan aktivitas di bidang konstruksi.

Tentu saja celah keburukan dari teknologi ini diupayakan untuk ditekan dengan metode kontrak belajar; tidak melakukan cyberbullying, dilarang rasial, pembatasan waktu, dan tugas dalam bentuk kelompok. Jika pun ada yang kurang fokus atau lambat dalam mengikuti pembelajaran, disediakan pojok kreativitas (creativity corner). Kegiatannya dapat berupa mengecat atau membuat prakarya yang disukai agar tidak mengganggu orang lain.

Sekolah ini pun menggandeng kemitraan dengan pihak kepolisian untuk memberikan pemahaman tentang apa, bagaimana membedakan, dan cara penanganan sampai hal-hal yang harus dilakukan jika mengalami perundungan dalam program cybersmart.

Pada aktivitas ini, peran guru sebagai pencipta budaya, bukan pencipta keterampilan.

 

Bab: Menyemai Benih Nir Kekerasan Sejak Dini

Praktik pembelajaran di pre-school —masih— di Clayton, sesungguhnya sudah diterapkan di Indonesia, yakni memberikan suguhan pembelajaran melalui permainan dan prakarya. Selain itu, memupuk pembiasaan berkata santun, bertanggung jawab dengan perlengkapan bermain atau berkaryanya, dan mengajari disiplin mengantre dan memberikan kalimat penghargaan bagi anak-anak yang sabar dalam belajar mengantre.

Sekolah juga memperlakukan semua murid dengan sama dan istimewa. Bahkan orangtua murid dengan autis kelas ASD, dengan besar hati menyediakan waktu untuk menyampaikan kepada orangtua lainnya terkait keterlambatan perkembangan anaknya agar menjadi pemahaman bersama saat bersosialisasi dengan anak tersebut.

 

Bab: Menyoal Kekerasan terhadap Siswa

Secara prinsip, bab ini mempertegas dari bab Sekolah yang Aman dan Nyaman di awal buku ini. Di mana di Australia memiliki code of conduct yang jelas. Tidak ‘abu-abu’ seperti di Indonesia.

 

Bab: Pendidikan Inklusif: Say No To ‘Kekerasan Intelektual’

Pemberlakuan mekanisme evaluasi belajar NAPLAN (The National Assessment Program Literacy and Numeracy) di Australia untuk mengukur kemampuan siswa dalam hal baca-tulis. Bagi siswa dan orangtua, hasil tes ini untuk bahan diskusi tentang kemajuan siswa. Bagi guru, hasil tersebut sebagai bahan untuk menentukan perlakuan guru yang tepat. Bagi sekolah, berguna untuk memetakan kemajuan siswa sekaligus menentukan tujuan akhir sekolah. Semua kurikulum pembelajaran dibuat menyenangkan dan sekolah tidak membebani murid dengan banyak tugas di bangku Sekolah Dasar (learning should be fun and learning by doing).

Tujuan perluasan konsep inklusivitas dalam pendidikan adalah agar segala bentuk kebijakan, kebijaksanaan, dan segala hal yang ada di sekolah dan lingkungan terkait menjadi lebih pro-siswa atau student friendly.

 

Bab: Peran Cerita dalam Menyebarkan Pesan Kekerasan dan Kebaikan

Memanfaatkan cerita-cerita dengan pesan moral dapat diterapkan kapan pun. Dan pemilihan bacaan sebagai sumber cerita yang baik harus melalui seleksi agar tak menjadi masalah baru.

Institusi pendidikan dapat melakukan pelatihan memilih buku cerita sekaligus mengulasnya agar dapat disampaikan kepada anak. Dapat juga dilakukan pementasan drama atau opera terkait nilai-nilai moral. Atau diadakan kompetisi menulis cerita yang menarik dan mengandung unsur kasih sayang, toleransi, dan empati.

Atau dibuat pesan-pesan afirmasi di lingkungan sekolah oleh guru-guru.

 

Bab: My Body Belongs To Me

Menanamkan prinsip menjaga diri kepada anak terhadap perlakuan melihat dan menyentuh bagian pribadi oleh orang lain. Atau mengambil foto tanpa persetujuan yang bersangkutan. Budaya melaporkan kepada orangtua atau guru menjadi prinsip ikutan selanjutnya.

Sekolah prep di Australia menegaskan peraturan di sekolah, yakni yang boleh ada di sekolah (selama jam sekolah) hanya murid dan guru, petugas kebersihan bekerja sebelum jam masuk sekolah dan pulang sebelum jam masuk sekolah, siswa ke toilet harus dengan teman, siswa boleh pulang setelah dipastikan penjemputnya terdaftar dalam database sekolah, guru piket m mastikan anak yang bermain sembari menunggu dijemput sekaligus memastikan sekolah dalam keadaan kosong sebelum ditutup, orangtua diberikan surat edaran untuk tidak mengambil foto anak dalam pakaian kurang pantas dan tidak diunggah di media sosial, dan siswa diajarkan berani melaporkan kejadian-kejadian yang dirasa tidak lazim ke guru dan orangtua.

 

Bab: Bermain Peran: Bukan Sekadar Permainan Tanpa Makna

Di Kanada, kurikulum sekolah menekankan pendidikan karakter melalui seni peran, di mana temanya selalu berganti tiap pekan. Seperti aktivitas peran di pom bensin untuk melatih siswa disiplin mengantre, membayar, mengucapkan terima kasih, dan melayani dengan sebaik mungkin. Setelah bermain peran, siswa masuk dalam ruangan untuk mendiskusikan nilai-nilai positif kegiatan tadi.

“The highest result of education is tolerance.” —Hellen Keller

 

Bab: Pojok Kreativitas di Sekolah Sebuah Pojok Harapan untuk Mengurangi Agresivitas di Sekolah

Di Melbourne, sekolah-sekolah memiliki program parent helper (orangtua sukarelawan). Di mana sekolah menawarkan melalui surat, baik secara reguler maupun insidental. Bagi yang reguler, dapat membantu membacakan buku anak-anak dari prep (persiapan SD) sampai kelas 2 SD. Bagi yang ikut insidental, membantu penjualan buku, makanan, program berkebun, dan staf administrasi sekolah.

Seperti dijelaskan di bab sebelumnya, sekolah di Melbourne terdapat pojok kreativitas untuk anak-anak yang kurang bisa konsentrasi selama 15 menit.

 

Bab: Parang dan Hanako

Berkisah tentang pengalaman di Jepang dan di Indonesia tidak naik kelas yang menjadi tekanan mental bagi murid yang bersangkutan. Sehingga nyaris berakibat kriminal.

 

Bab: Sekolah Menyenangkan di Amerika

Di Amerika, guru menempatkan diri sebagai sahabat bagi para peserta didik. Pihak sekolah —meskipun negeri— sangat hormat kepada orangtua murid. Sebab, mereka menempatkan para orangtua sebagai warga pembayar pajak (tax payer).

Pelayanannya juga prima. Jika anak tidak masuk sekolah, wajib memberitahukan ke pihak sekolah. Pihak sekolah akan berusaha membantu meringankan kesulitan yang menghambat anak tidak masuk sekolah sebatas kemampuan sekolah. Jika tidak mengabari, pihak sekolah berhak melapor ke polisi sekolah yang akan segera memeriksa ke tempat tinggal siswa.

Bahkan untuk urusan transportasi, pemerintah memberikan privilege untuk bus sekolah. Semua kendaraan harus memprioritaskan bus sekolah. Untuk sekitar pintu bus sekolah pun disiapkan petugas patrol dari pihak siswa agar siswa yang naik dan turun bus terjamin keamanannya.

Pada libur musim panas, siswa diharuskan magang bekerja sesuai dengan minatnya. Bagi yang tidak magang, bisa mengikuti summer camp yang diselenggarakan pihak institusi lain. Waktu yang dimanfaatkan untuk banyak aktivitas menjadi sebab terhindarnya dari hal-hal yang negatif.

 

Bab: Social is Fun, I Don’t Like A Holiday: Sepotong Pengalaman Menyekolahkan Anak di Sydney, Australia

Sekolah dasar di Sydney, anak-anak kelas bawah diajarkan bagaimana bergaul dengan teman-teman serta bagaimana bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat.

Mereka sangat serius terhadap anasir-anasir perundungan. Tetapi mereka juga menyuguhkan program mengumpulkan donasi dari pihak luar untuk mereka salurkan kepada yang membutuhkan. Para siswa juga diwajibkan membaca sebuah buku bacaan setiap malam. Buku monitoring baca tersebut harus ditandatangani orangtua. Setiap kelipatan 25 kali membaca, akan mendapat penghargaan dari guru.

Terkait hukuman, sekolah di Sydney akan meminta dengan baik-baik kepada siswa yang melakukan perundungan untuk duduk terpisah dari siswa lainnya. Ia diminta merenungi kesalahannya tanpa kekerasan verbal maupun fisik dari guru. Jika perlu, yang bersangkutan diminta untuk minta maaf kepada yang ia sakiti. Dan poin kepribadiannya berkurang. Sebaliknya, setiap perilaku baik akan menambah poin kepribadian. Jika sampai pada poin tertentu, ia akan mendapat penghargaan atau berkesempatan makan siang bersama Kepala Sekolah.

 

Bab: Menggunakan IT secara Bijaksana: Belajar dari Kasus Video Porno Siswa SMP Jepang

Di Jepang, definisi “malu” sangat berbeda dengan di Indonesia. Jika di Indonesia rasa malu sangat erat kaitannya dengan moral, tidak begitu jika di Jepang. Pembuatan video pornografi di Jepang sah-sah saja. Asal ada izin dari pihak perekam dan pihak yang direkam secara tertulis. Mereka bisa terjerat hukum jika ada pihak yang menyebar video porno tanpa persetujuan pelaku porno. Sehingga di Jepang, pendidikan cara memanfaatkan IT yang bijak menjadi titik tekan pendidikan dibandingkan dengan moral itu sendiri.

 

Bab: Kakak Kelasku, Sahabatku

Sekolah dasar di Jepang menerapkan sistem pair atau tandem untuk murid baru. Biasanya yang menjadi tandem murid baru adalah kakak kelas. Seorang anak kelas 1 akan mendapat satu tandem dari kelas 6, dan berjalan selama 1 tahun. Di tahun berikutnya (saat kelas 2), ia akan mendapat tandem dari kelas 5. Pendampingan ini seputar kegiatan di sekolah, baik orientasi toilet, waktu makan bersama, cara penggunaan perpustakaan, dan semacamnya. Hal ini mengasah pribadi anak menjadi pelayan dan pelindung yang bertanggung jawab.

 

Bab: Konformitas Kelompok, Pemicu atau Pencegah Ijime?

Perilaku ikut-ikutan untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma dalam suatu kelompok (konformitas) menjadi sebuah budaya di kalangan pelajar di Jepang. Perbuatan merundung tersebut disebut ijime. Di Jepang, ijime di tingkat pelajar sangat tinggi sering disebabkan berbeda dengan mayoritas (jika di tempat kita seseorang yang berbeda dianggap mencari sensasi).

Deteksi dini dan segera mengambil langkah preventif terhadap anasir ijime dengan mengingatkan kembali komitmen bertutur kata baik, sopan, dan saling menghargai harus dimiliki oleh institusi. Di sini, konformitas dapat dimanfaatkan secara positif untuk mencegah aksi intimidasi dan kekerasan.

 

Bab: Let’s STAMP Out Bullying!” Pertunjukan Sulap dan Komedi untuk Meningkatkan Bullying Awareness di Moreland Primary School

Melbourne, Australia. Saat istirahat, tidak boleh ada siswa yang menikmati jam istirahat di dalam kelas. Semua harus terpantau di halaman atau taman sekolah.

Selesai jam belajar, anak-anak hanya diperbolehkan bermain selama 15 menit di halaman sekolah untuk kemudian pulang. Bagi yang belum dijemput, mereka akan didaftarkan dalam program after school dengan pengawasan guru khusus.

Pesan anti-perundungan dikemas dalam bentuk pertunjukan seni dengan menekankan prinsip STAMP, yakni Stay away (jauhi anak-anak yang suka merundung), Tell someone (laporkan orang yang suka merundung), Always help (bantu teman), Make friends (ayo berteman), Play nice (pastikan kita bukan orang yang suka merundung).

 

Bab: Sepotong Kenangan Indah dalam Kardus Wakuwaku Matsuri

Sekolah di Jepang menggunakan program kreativitas menjadi bagian yang berkesan untuk menjadi objek proyek dan masuk dalam sebuah pameran karya di sekolah.

 

Bab: Praktik Baik Desain Perubahan Budaya Sekolah Melalui Perubahan Mental Siswa, Guru, dan Kepala Sekolah (Sekolah-sekolah Tingkat SMA di Pulau Saparua, Maluku Tengah)

Belajar telah dimaknai begitu sempit, yakni agar kelak dapat mencari pekerjaan di kota, dan melupakan pembangunan kampung halaman.

Ratusan riset pendidikan karakter telah membuktikan, keberhasilan pendidikan karakter terletak pada role model dan lingkungan yang menstimulasi tumbuhnya karakter positif tanpa paksaan.

Keprihatinan atas hasil literasi siswa sekolah di Indonesia oleh Bank Dunia (2010) dan PISA (2013) dan berbasis ilmu dari mata kuliah “Instructional Design (ID)” —yakni bagaimana membuat desain perubahan perilaku pada anak, maka dibuatlah program pendampingan guru dan Kepala Sekolah selama 7 bulan terkait perubahan perilaku di Saparua, Maluku.

Program di awal workshop adalah membongkar sekat-sekat psikologis dalam bentuk jabatan. Peserta diajak memasuki wilayah egaliter melalui metode value alignment antarpeserta.

Best practice yang dimunculkan harus memenuhi 4 kriteria, yakni partisipatif, kolaboratif, berkelanjutan, dan perubahan perilaku negatif ke positif.

 

Bab: Pembelajaran Literasi Media di Sekolah

Kurikulum kelas 5 di Australia mengajarkan media online bagi siswanya tanpa khawatir berlebihan akan apa yang kemungkinan mereka alami dari mengakses media online tersebut. Sebab, pihak sekolah mengarahkan mereka untuk memanfaatkan media internet untuk berkegiatan literasi media dengan membuat catatan harian (diary) berkaitan dengan media yang siswa akses dalam sepekan

Siswa diharuskan menuliskan daftar tayangan televisi, media online, dan media cetak yang mereka akses dalam sepekan dengan menuliskan judul acara atau berita disertai kolom penanda apakah tayangan atau bacaan tersebut sesuai atau tidak dengan mereka.

Hasil catatan tersebut akan dibahas dan didiskusikan di kelas sembari memberikan penguatan atas berita atau tayangan tersebut.

Setelah itu, siswa diminta menuliskan satu kata yang menggambarkan perasaan mereka setelah melihat konten negatif di media.

Penguatan dapat dikemas dalam bentuk permainan peran sebagai korban perundungan, dan guru dapat memberikan peran kepada siswa sebagai problem solver pada beberapa korban perundungan.

 

Bibliografi

Judul: Sekolah Nir Kekerasan

Penulis: Novi Poespita Candra, dkk

Tebal: xvi+232 hlm.

Genre: Pendidikan

Cetakan: I, September 2016

ISBN: 978-602-73558-2-8

Penerbit: Ifada Press, Yogyakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar