Resensi: Pendidikan Berwawasan Kebangsaan


“Jika Anda berpikir menetap di suatu tempat selama beberapa tahun, mulailah bertanam padi. Jika Anda berpikir menetap untuk waktu lebih lama lagi, mulailah bertanam pohon. Akan tetapi jika Anda mau menetap untuk selamanya, mulailah mendidik manusianya.” —Confucius

Dalam konteks penjajahan kolonial tempo dulu, pendidikan berorientasi pada kepentingan melawan penjajahan kolonial. Sedangkan konteks saat ini, ke manakah pendidikan nasional seharusnya diarahkan? Tentu saja, pendidikan nasional mesti memperhatikan faktor keberagaman di Indonesia.

Peter L. Berger dalam teorinya tentang Konstruksi Sosial mengingatkan, bahwa pembangunan yang dilakukan secara drastis dengan mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal akan menjadi problem.

Moralitas menjadi kata kunci dari konsep kearifan lokal yang merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa.

Jika ditilik pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), setidaknya ada dua indikator penting, yakni ketuntasan dan keberlanjutan jenjang pendidikan serta kualitas pendidikan yang salah satunya dipengaruhi oleh kualitas buku. Menurut Sri Redjeki (1997), isi buku teks beberapa mata pelajaran tertinggal 50 tahun atau tidak mengalami pembaruan dan penyesuaian.

Buku ini berbicara tentang sejarah pendidikan di wilayah Yogyakarta. Pendidikan dan pengajarannya dipengaruhi oleh penguasaan pihak asing di Yogyakarta, yakni ketika dikuasai oleh korporasi dagang, Belanda, Inggris, Jepang.

Pendidikan yang dimaksud adalah upaya mencerdaskan pikiran, menghaluskan budi pekerti, memperluas cakrawala pengetahuan serta memimpin dan membiasakan anak-anak menuju ke arah kesehatan badan dan kesehatan ruhani bangsanya.

Jauh sebelum adanya formalisme pendidikan yang mendorong tumbuhnya kompetisi kecerdasan satu sama lain, pendidikan mengarah pada kesejahteraan keluarga. Artinya, pendidikan berpusat pada kesejahteraan dan keutuhan hidup bersama orangtua. Sebab, pendidikan menjadi tanggung jawab orangtua.

Konsep pendidikan anak saat itu (1755) di Yogyakarta adalah membentuk jiwa calon ibu dan calon ayah melalui nasihat. Agar anak perempuan nantinya berbakti kepada suami, dan bagi anak lelaki agar memiliki rasa tanggung jawab kepada keluarga. Tujuan adalah kepada terwujudnya kesejahteraan keluarga. Selain nasihat, pendidikan karakter juga ditempuh melalui pendekatan lagu-lagu daerah yang berisi pesan moral.

Tradisi lokal kerap mewariskan pendidikan yang secara tidak langsung mengajarkan pertalian sejarah melalui beragam momen. Sedangkan pengenalan baca-tulis saat itu memanfaatkan beberapa di antara mereka sebagai guru (pendidikan oleh teman sejawat) melalui perkumpulan-perkumpulan kecil. Untuk keterampilan, anak laki-laki dan perempuan umumnya diarahkan pada kaderisasi usaha orangtuanya sesuai pembagian tugas dalam institusi keluarga.

Sekitar tahun 1757 di lingkup keraton, mulailah dirintis institusi sekolah dengan beberapa mata pelajaran bahasa, sejarah, kesenian, tata negara, hukum perdata, mengaji, dan life skills. Kurikulum tersebut bertahan hingga 1830. Seiring waktu, kurikulum tersebut tereduksi. Dan pada 1892, keraton meminta kepada pihak Hindia Belanda agar menerima para putra-putra keraton sebagai murid di sekolah-sekolah Belanda. Meski begitu, penguasa Yogyakarta tetap mempertahankan pendidikan karakter berbasis budaya lokal. Sehingga saat kemerdekaan, para putra keraton yang berpendidikan Barat tersebut mudah menyesuaikan diri dengan alam kemerdekaan.

Sultan Hamengku Buwono IX termasuk pelopor yang tangguh dalam bidang pendidikan pada abad ke-19. Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan dan siapa sekolah-sekolah rakyat itu didirikan. Di mana saat itu, institusi sekolah tersedia gedung, alat-alat belajar, kitab-kitab, guru, daftar pelajaran (membaca, menulis, bahasa, berhitung, nembang).

Saat itu, terdapat dua jenis sekolah yang masih menerapkan kastanisasi, yakni kelas I untuk keturunan ningrat dan anak abdi dalem, sedangkan kelas II untuk anak pegawai menengah dan rendah. Tahun 1909, lahir sekolah rakyat dengan 6 jenjang kelas. Mulai dari jenjang kelas 3 sudah diajarkan pelajaran bahasa Belanda. Tahun 1920 dibuka lagi sekolah HIS.

Setelah pemerintah Hindia-Belanda jatuh, berdiri Sekolah Tinggi Agama Islam di Jakarta sebagai buah upaya Bung Hatta. Pasca proklamasi, Sekolah Tinggi ini pindah ke Yogyakarta yang kemudian berganti menjadi Universitas Islam Indonesia.

Abad ke-20 —di Yogyakarta, mulai tumbuh sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan beragam afiliasi untuk mengakomodir kebutuhan pendidikan rakyat dengan kelas sosial di bawah garis kecukupan.

Ki Hajar Dewantoro atau bernama asli RM Suwardi Suryodiningrat mendirikan Taman Siswa pada 1922, yang pada tahun-tahun selanjutnya mampu mengembangkan sayap lebih luas. Selain itu, menjamur sekolah-sekolah dengan beragam afiliasi keagamaan.

Sejarah kebudayaan beserta perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari jalannya sejarah daerah di mana bangsa atau suku bangsa itu hidup dan berada. Tokoh-tokoh yang melegenda di daerah masing-masing, memiliki “laku” unik sebagai bentuk penempuhan jalan keprihatinan mencapai derajat kewibawaan guna membangun basis masyarakat berperadaban tinggi, baik pada bidang seni tari, pewayangan, alat musik.

Fungsi pendidikan telah diperluas sebagai hak asasi manusia yang mendasar; modal ekonomi, sosial, dan politik. Pendidikan juga merupakan alat pemberdayaan kelompok yang kurang beruntung, landasan budaya damai, dan sebagai jalan utama menuju masyarakat yang maju. Pendidikan menengah merupakan langkah terpenting bagi pembangunan kualitas moral sebuah bangsa yang berbudaya dan bermoral.

Dinamika pendidikan dewasa ini ditandai oleh suatu revolusi transformasi pemikiran tentang hakikat pengajaran agama. Titik sentral setiap peristiwa mengajar terletak pada “suksesnya muridnya organisasi pengalamannya, bukan pada kebenaran murid dalam melakukan replikasi atas apa yang dikerjakan guru agama”. Dalam konteks pendidikan agama, perubahan transformatif muncul sebagai konsekuensi atas perubahan mainstream keagamaan masyarakat.

Oleh karenanya, perlunya eksplorasi student’s concept oleh guru, yakni konsep konstruksi lingkungan keagamaan murid yang merefleksikan berbagai kenyataan masalah keagamaan yang terjadi di masyarakat tempat murid bergaul. Hal ini untuk mengasah sensibilitas, koherensi, dan kebermaknaan pengertian dirinya tentang dunia dan masyarakatnya.

Permasalahan di dunia pendidikan memang sangat kompleks. Bahkan dikatakan, dunia pendidikan di negeri ini seperti benang kusut yang sulit memulainya dari mana.

Pemerintah dan pelaku dunia pendidikan wajib memahami masa perkembangan anak untuk dapat menentukan model kurikulum. Sedangkan sebagai bentuk integrasinya pendidikan nasional dengan potensi dan kearifan lokal, perlu diperhatikan pula keterlibatan muatan lokal pada kurikulum.

Bahasan dalam buku ini dapat dikatakan sudah terpenuhi jika dibaca pada masa kini. Sebab, buku ini terbit ulang pada sepuluh tahun lalu.

Ada beberapa hal yang perlu dikomentari pada buku ini. Pertama, fungsi editor kurang maksimal terutama pada penggunaan ejaan yang bercampur dengan Van Ophuijsen —terutama penggunaan huruf “j” dan kesalahan penulisan. Kedua, penjelasan bab tidak menjawab atau memaparkan judul bab. Misal, bab X tentang Nilai Pendidikan dalam Pewayangan menjelaskan kronik pedalangan dari masa ke masa dan tidak menyentuh pada pembahasan “nilai pendidikannya”.

 

Bibliografi

Judul: Pendidikan Berwawasan Kebangsaan; Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme

Penulis: HM. Nasruddin Anshoriy Ch dan GKR Pembayun

Tebal: xiv+210 hlm.

Genre: Otonomi Pendidikan

Cetakan: II, 2012

ISBN: 978-979-1283-625

Penerbit: LKiS, Yogyakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar