Dari dunia entertainment kita mendapat secuplik sisi perih saat Jepang menduduki Indonesia —terutama di Kalimantan Barat. Dituturkan Ahmad Najmi Hidayat yang lebih tenar dengan nama panggung Ebel Cobra atau Ebel Castanyo, bahwa puting nenek beliau dipotong oleh tentara Jepang saat menduduki Kalimantan Barat. Barangkali apa yang dilakukan tentara Jepang tersebut masih tergolong ‘ringan’.
Mandor.
Istilah tersebut bukanlah profesi pengawas kerja, tetapi nama sebuah kecamatan
di bilangan Pontianak. Tempat yang dijadikan ladang pembantaian massal
tokoh-tokoh feodal lokal dan simpul-simpul massa saat itu oleh tentara
pendudukan Jepang. Peristiwa yang menjadi catatan kelam sejarah masyarakat
Kalimantan Barat akibat kekerasan dan kekejaman tentara Jepang yang luar biasa.
Dalam buku
“Djakarta 1945” dijelaskan secara singkat sejarah —lebih tepatnya mitos— yang
diciptakan pihak Jepang terkait “Saudara Tua” (Jepang) dan “Saudara Muda”
(Indonesia). Doktrin itu pula yang digaungkan pihak Jepang kepada pihak Indonesia
—saat di bawah tekanan Belanda— hadir sebagai pembebas “Saudara Muda”.
Harapan
tinggallah harapan. Hadirnya Jepang di Indonesia yang hanya 3 tahun memberikan
kenangan perih dan menyengsarakan.
Jauh
sebelum menganeksasi Kalimantan Barat, Jepang telah mengirimkan intelijen di
Borneo Barat tersebut. Dua intelijen di antaranya berkedok sebagai fotografer
yang sengaja mengambil gambar titik-titik vital dan rahasia untuk dipelajari
pihak Jepang. Sebab, Jepang memang jauh-jauh hari ingin menguasai Hindia-Belanda
sebagai lumbung rempah untuk menguasai pasar rempah dunia. Oleh karenanya,
hanya butuh waktu singkat bagi Jepang menguasai Kalimantan Barat.
Kesultanan
Pontianak dan Sambas beserta panembahan (Mempawah, Landak, Sanggau, Tayan,
Sekadau, Sintang, Kubu, Simpang, Sukadana, dan Matan) di sweeping oleh tentara
Jepang untuk dibawa ke suatu tempat, baik dimanfaatkan sebagai pekerja paksa
(romusha) atau pun dipancung. Bukan hanya tokoh feodal domestik, simpul-simpul
massa yang berpotensi melakukan perlawanan atau anti-Jepang, segera dijemput
paksa dan dibantai.
Jumlah
penduduk pribumi yang dibantai pihak tentara Jepang terhitung yang terbesar di
Asia; terbilang 21.037 jiwa. Pembersihan kaum Adam di Kalimantan Barat dengan
syarat sangat sederhana, yakni sesiapa yang berusia di atas 10 tahun.
Penjarahan
terhadap harta penduduk, pengusaha, bahkan kerajaan dilakukan pihak Jepang
dengan dalih sebagai ongkos pembuatan senjata menghadapi Belanda dan Sekutu.
Tak cukup dengan aksi perampokan, kaum Hawa tak lepas dari keganasan mereka.
Anak-anak perempuan dirayu akan disekolahkan di Tokyo. Memperkosa dan
menjadikan perempuan dan biarawati sebagai pelacur pemuas syahwat liar
dilakukan tentara Jepang.
Pada
intinya, jalan pembantaian dan pembersihan penduduk Kalimantan Barat di ladang
Mandor sebagai langkah preventif terhadap potensi perlawanan kaum pribumi.
Bagaimana
mungkin tentara Jepang sangat jeli dan detail dalam menjemput orang-orang
pribadi yang terindikasi melakukan penggalangan anti-Jepang? Sudarto; peneliti
sejarah Kalimantan Barat; menyebutkan, “Negeri ini memang sarang pengkhianat!”
(hal.142)
Dari
penguasa feodal lokal yang lolos dari aksi pembersihan etnis oleh Jepang dan
masih melanjutkan pengaruhnya adalah Sultan Hamid II; pembuat lambang Garuda
Pancasila; yang juga dinobatkan sebagai ketua kehormatan dalam peletakan batu
pertama tugu peringatan korban pembunuhan massal di Mandor. Tempat di mana
ditemukan lebih dari 3.000 kerangka manusia di mana tulang-belulangnya
berserakan di ladang Mandor karena dimakan dan diacak-acak babi hutan.
Di akhir
buku ini, penulis menyuguhkan daftar nama korban pemancungan tentara Jepang,
lengkap dengan pekerjaan dan daerah asalnya yang berhasil dihimpun penulis.
Catatan
untuk buku ini terdapat pengulangan penjelasan di beberapa bagiannya terkait
peristiwa pemboman oleh pesawat Jepang pertama kali menganeksasi Kalimantan
Barat dan ladang pembantaian massal di Mandor. Selain itu, foto dokumentasi
yang dilampirkan sangat sedikit, sehingga belum secara maksimal membantu pembaca
untuk mengimajinasikan kondisi saat itu.
Buku ini
baik dan layak dibaca untuk segala usia, terutama bagi para pelajar agar bisa
mengetahui kesejarahan di Kalimantan Barat.
Resume
Bab: Riwayat Singkat tentang Korban Massal
Pasukan Jepang di Kalimantan Barat (1942-1945)
Korban
massal di Kalimantan Barat atas kekejaman Jepang bisa disebut yang terbesar
prosentasenya sepanjang 1942-1945 —lebih tepatnya 28 Juni 1944. Kiyotada
Takahashi; Presiden Marutaka House Kogyo Co.Ltd; menyebutkan angka 21.037
orang. Berbeda angka dengan pernyataan salah seorang kepala Kempeitai;
Yamamoto; sekitar 50.000 orang.
Mandor di
sini bukanlah profesi. Tetapi nama kota di bilangan Pontianak.
Bab: 1. Di Bawah Cengkeraman ‘Saudara Tua’
10 Mei
1940 Hitler menyerang Belanda guna mengepung Perancis. 15 Mei, Belanda takluk
oleh Nazi Jerman. Nasib Hindia-Belanda dinyatakan darurat. Dan seolah
memberikan angin segar kemerdekaan bagi Hindia-Belanda. Medio September 1940,
dibentuklah panitia untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan
ketatanegaraan oleh Belanda. Lagi-lagi itu hanyalah strategi mengulur waktu.
Keadaan tersebut menggiring pilihan pihak Indonesia pada propaganda Pan-Asia
Jepang yang menjanjikan pembebasan dari kuasa orang kulit putih.
Didasari
semangat ajaran kuno Jepang; _Hokka Ichi-u_ (delapan benang di bawah satu
atap), Jepang melakukan ekspansi. Hal itu pula yang melatarbelakangi terbitnya
Memorandum oleh Tanaka yang menyerukan pembentukan suatu daerah jajahan besar
yang menjadi lumbung ekonomi bagi Jepang berbentuk kepulauan dan terdapat
tenaga pribumi yang banyak dan produktif.
Obsesi
Jepang menguasai dunia diawali dengan merebut Manchuria (China) kemudian
Indo-China. Sedangkan Hindia-Belanda, Jepang memanfaatkan jalur ekonomi;
investasi dan perdagangan secara agresif.
Invasi
Jepang dilakukan melalui tiga jalur; di timur dengan menguasai Maluku dan
Timor, di tengah dengan menguasai Kalimantan dan Sulawesi, dan di barat dengan
menguasai Sumatera (setelah Singapura ditaklukkan lebih dulu). Setelah itu,
baru menguasai Jawa.
Armada
Laut dikerahkan dari Laut China Selatan menyasar Kalimantan Utara dan Sumatera.
Sedang dari timur, menyasar Kalimantan Timur, Sulawesi, Ambon, Timor, dan Bali.
Akhir
1941, serangan Jepang pertama ke Kalimantan Utara langsung menguasai Pontianak.
Awal Maret 1942, seluruh wilayah Hindia-Belanda diduduki Jepang di bawah kuasa
Jenderal Imamura. Ia mengeluarkan maklumat larangan giat serikat, berpolitik,
menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan pengibaran bendera Merah Putih.
Selanjutnya,
wilayah selatan —termasuk Indonesia— di bawah komando Marsekal Terauchi
Hisaichi. Bermarkas di Dalat, Vietnam. Dan di masa pendudukan Jepang, beberapa
struktur pemerintahan diisi oleh kaum pribumi. Dan keberadaan Jepang di
Indonesia tidak begitu agresif menjepangkan Indonesia. Hanya beberapa hal yang
disesuaikan dengan Jepang, seperti waktu Jawa menjadi waktu Tokyo (selisih 1,5
jam), mengubah kalender Masehi ke kalender Showa (1942= 2602), penghormatan
pada bendera Hinomaru, dan mewajibkan
bahasa Jepang.
Medio
1943, di bentuk organisasi militer cadangan dari unsur pribumi. Tonarigumi terdiri 10-15 keluarga (cikal
Rukun Tetangga), gabungan 5-6 _tonarigumi_ disebut chokai (cikal Rukun Kampung). Kemudian dibentuklah barisan pengaman
desa; Keibodan (Korps Kewaspadaan)
dan Seinendan (Barisan Pemuda). Untuk para pemuda, dilatih militer sebagai
pembantu tentara (Heiho). Jepang juga
membentuk serdadu pekerja (romusha).
Antara
Oktober 1943 sampai Juni 1944, Jepang melakukan pembantaian besar-besaran
secara sistematis di Kalimantan Barat. Para wanita dipaksa jadi pelacur (jugun ianfu) sebagai hukuman atas
tindakan ayah atau suami mereka.
Perlakuan
kejam dan nista tersebut membakar semangat pribumi untuk melakukan perlawanan.
Dari pihak Jepang pun akhirnya membuka jalan kolektif bagi terbentuknya sebuah
republik.
Catatan
untuk buku ini terdapat pengulangan penjelasan di beberapa bagiannya terkait
peristiwa pemboman oleh pesawat Jepang pertama kali menganeksasi Kalimantan
Barat dan ladang pembantaian massal di Mandor. Selain itu, foto dokumentasi
yang dilampirkan sangat sedikit, sehingga belum secara maksimal membantu
pembaca untuk mengimajinasikan kondisi saat itu.
Buku ini
baik dan layak dibaca untuk segala usia, terutama bagi para pelajar agar bisa
mengetahui kesejarahan di Kalimantan Barat.
Resume
Awal 1945, perlawanan masyarakat Dayak ke Jepang pun
dilakukan. Di mana Jepang saat itu sedang sibuk menghadapi pendaratan Sekutu di
Kalimantan Timur dan Utara. Pertempuran pribumi Kalimantan dengan Jepang
tersebut meski dimenangkan Jepang, tiga bulan kemudian Indonesia menyatakan
kemerdekaannya.
Bab: 2.
Pembantaian Brutal Jepang
Borneo Sinbun terbitan Sabtu, 1 Sitigatu
2604 atau 1 Juli 1944 memuat berita pembantaian massal di kecamatan Mandor,
kabupaten Landak sebanyak 48 orang yang ditembak mati.
Selama tiga tahun menduduki Kalimantan Barat, tercatat
ada 21.037 orang yang dibantai Jepang dengan cara dipancung (catatan resmi
1977). Pembantaian tersebut didalihkan pihak Jepang sebagai bentuk pengendalian
keamanan atas aksi anti-Jepang dan pemberontakan yang dilakukan Parindra dengan
aksi khas komunisnya di wilayah Pontianak dengan memerdekakan Borneo Barat.
Pembangunan makam pembunuhan massal di Pontianak diprakarsai
oleh Sultan Hamid II.
Perda No.5 tahun 2007 provinsi Kalimantan Barat
menetapkan 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) Kalimantan Barat dengan
pengibaran bendera setengah tiang.
Bab: 3. Dampak
Zaman Cap Kapak Hingga Malapetaka Penyungkupan
Hilangnya tokoh-tokoh masyarakat, adat, dan kerajaan
disangka penduduk diasingkan ke luar daerah. Hingga diketahui sebagian warga
menyaksikan proses pembantaian ratusan pribumi oleh tentara Dai Nippon.
Pendaratan tentara Jepang di Pontianak awalnya disambut
gembira warga. Ternyata dibalas dengan hujan bom dari pesawat ‘Saudara Tua’.
Dalam pendudukan tersebut, tentara Dai Nippon melakukan aksi perampokan dan
penjarahan dengan bersenjatakan kapak, pembunuhan dan pemerkosaan tak
terkendali.
Tokoh-tokoh masyarakat dan kerajaan melakukan konsolidasi
membuat organisasi seolah berafiliasi kepada Jepang yang bertujuan untuk
menyusun kekuatan dengan memanfaatkan fasilitas dari Jepang.
Keberadaan organisasi anti-Jepang pun terendus.
Terjadilah aksi _sweeping_ oleh tentara Jepang. Hanya sedikit mereka yang
ditangkap diproses pengadilan —di mana sidang tersebut sebetulnya hanya
formalitas dari pihak Jepang. Dominannya para tahanan tersebut dipancung dengan
samurai tanpa diadili dengan cara menutup kepala dengan sungkup sebelum
dipancung.
Saat Sekutu menaklukkan Jepang, dilakukan peradilan
Mahkamah Militer kepada militer Jepang atas pembunuhan di Kalimantan Barat.
Ke-16 petinggi militer Jepang tersebut diberi hukuman mati di depan regu
tembak.
Bab: 4. Neraka
Petikah dan Pemberontakan Rakyat Kalimantan Barat
Bukan hanya di Mandor dan Sungai Durian, di dalam
belantara hutan Kalimantan Barat juga ditemukan ribuan korban terkubur oleh
Jepang saat mereka dipekerjapaksakan di pertambangan dan penebangan kayu.
Bentrok pertama kali antara pribumi dengan tentara Dai Nippon
terkenal dengan nama “Suak Garong”; perlawanan Dayak Desa yang bekerja di
perusahaan kayu Jepang.
Bab: 5. Keluarga Korban Berkisah
Istana
Kadriyah di Pontianak. 1942, dua anak perempuan Sultan Syarif Muhammad Alkadri
dan 1944 Sultan Muhammad beserta seluruh anak laki-lakinya (kecuali Syarif
Hamid/Sultan Hamid II) dan seluruh menantunya (kecuali Syarif Ibrahim Alkadri
serta seluruh keluarga besarnya diringkus oleh tentara Jepang.
Tentara
Jepang memang tanpa ampun menjarah semua perhiasan dari Istana Alkadriyah.
Setelah penjemputan paksa di Istana Kadriyah, mereka tak kembali lagi. Medio
1944, ditemukan ratusan jasad dan tulang-belulang yang terpisah-pisah di daerah
Mandor.
Istana
Mempawah. Panembahan Mohammad Taoefik Aqamaddin dijemput tentara Jepang
menghadap syutizi (residen).
Penjemputannya pun dengan sopan. Tetapi setelah itu, Panembahan Mempawah itu
tak pernah kembali. Nasib serupa dialami Panembahan Simpang. Begitupun nasib
para intelektual, tokoh agama, tokoh pergerakan, tokoh masyarakat, pedagang,
pengusaha yang usianya di atas 10 tahun, menjadi sasaran pengambilan paksa
berbasis laporan intelijen Jepang (mata-mata dari kalangan pribumi) untuk
dipancung. Praktis, Kalimantan Barat saat itu kehilangan satu generasi.
Aksi
_sweeping_ yang dilakukan Jepang, menggunakan sistem kuota. Jika kuota
pencidukan kurang dari seharusnya, truk akan segera berangkat mengangkut calon
korban sambil memungut siapa pun di tengah perjalanan untuk mencukupi kuota.
Di Mandor,
setidaknya ada 3000-an kerangka manusia yang berserakan karena dimakan babi
hutan. Sedangkan korban-korban lain —menurut tuturan saksi mata— dibuang di
Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Anak-anak
perempuan diambil paksa dengan dalih akan disekolahkan di Tokyo, ternyata
dijadikan jugun ianfu atau pemuas
nafsu bejat balatentara Jepang. Bahkan para biarawati dan suster di gereja
Katedral tak luput dari keberingasan nafsu liar tentara Jepang.
Bab: 6. Apa yang Sesungguhnya Terjadi?
Jepang
telah menyebar intelijen di Kalimantan Barat sejak Perang Dunia I untuk
mempelajari dan memetakan potensi dan kekuatan Belanda selama menduduki
Kalimantan Barat.
Honda dan
Takeda adalah intelijen Jepang yang menyamar sebagai juru foto. Berbekal peran
inilah, militer Jepang memiliki data dan dokumen pemetaan di Kalimantan Barat.
Motif yang
melatarbelakangi aksi brutal tentara Jepang dengan membantai ribuan penduduk
pribumi disebabkan ketertekanan mental karena Jepang mulai terdesak pada
pertempuran di lautan Pasifik. Selain itu, korban yang direnggut tentara Jepang
sejatinya simpul-simpul massa yang dikhawatirkan Jepang akan mempunyai potensi
ancaman bagi pihak Jepang.
Bab: Penutup
Jasa
Gubernur Kalimantan Barat periode 1972-1977; Kadarusno; yang menginisiasi
penyelidikan makam dan kerangka di Mandor dan membangun monumen.
Jepang
menganeksasi Kalimantan Barat secara tiba-tiba melalui serangan udara di akhir
1941. Selama pendudukan di Kalimantan Barat, perampasan, perampokan, pemaksaan,
penyiksaan, kebejatan dilakukan Jepang dengan tetap berpura-pura baik mengaku
sebagai ‘Saudara Tua’ bagi bangsa Indonesia.
Pihak
Jepang pun mengendalikan alur perekonomian di tanah jajahannya, baik domestik
maupun ekspor-impor, dengan mengeksploitasi penduduk pribumi. Sedangkan pada
bidang politik, pihak Jepang melarang segala organisasi massa dan politik yang
diinisiasi pribumi. Tetapi pihak Jepang membuat kanal aspirasi untuk warga
pribumi.
Sebelum
menguasai Kalimantan Barat, Jepang menguasai China melalui Manchuria. Perang
China-Jepang tersebut tentu saja menggalang warga Tionghoa di perantauan. Dan
konsolidasi pengusaha China tersebut meningkatkan sentimen negatif pihak Jepang
saat menguasai Kalimantan Barat.
Pontianak
dinilai pihak Jepang sangat strategis sebagai basis kekuatan Jepang di
Indonesia. Dan energi perlawanan dari penduduk pribumi melawan Jepang terus
muncul sporadis. Bahkan penduduk lokal yang terindikasi sebagai kolaborator
Jepang pun diburu dan di eksekusi. Hal ini menjadi dalih pihak Jepang
meningkatkan pembersihan potensi perlawanan.
Lumpuhnya
Jepang oleh Sekutu ditindaklanjuti oleh Mahkamah Militer untuk mengadili para
inisiator pembunuhan massal di Kalimantan Barat.
Dan Sultan
Hamid II mendapat kehormatan sebagai ketua dalam peletakan batu pertama
pembangunan tugu peringatan pembunuhan massal di Mandor pada akhir 1946.
Bibliografi
Judul: Peristiwa Mandor Berdarah
Penulis:
Syafaruddin Usman MHD dan Isnawita Din
Tebal: 212 hlm.
Genre: Sejarah Perjuangan
Cetakan: I, 2009
ISBN: 978-979-788-109-2
Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta
0 Komentar