Tentang sejarah hidup Nabi Muhammad, Sayyid Al-Qimni —dalam
buku ini— sengaja memformulasikan dari sisi politik; fase-fase dalam pendirian
sebuah daulah berbasis siroh karya Ibnu
Ishaq dan Ibnu Hisyam. Tentu saja, paparan dalam buku ini tidak mendetailkan
tahapan-tahapan kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dibedah oleh KH.
Moenawar Chalil dalam “Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW.” Tetapi penulis
berusaha berfokus pada peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan
peperangan pemerintahan Rosululloh SAW yang berkontribusi merintis dan
mendirikan pemerintahan untuk seluruh warga Jazirah Arab. Sehingga mengubah
sisi dunia dan menyelaraskan sejarah dengan jalur perjalanan yang logis.
Menariknya dari buku ini adalah penulis memberikan
paparan yang mesti dipahami para pembaca sebelum masuk pada fase-fase pembentukan
sebuah daulah dengan menjelaskan penguasaan Makkah oleh para aristokrat dengan menggunakan
ritual peribadatan sebagai penentu sektor ekonomi, Jalur Sutra perdagangan
Makkah-Syam, tradisi dalam masa-masa atau musim-musim haram (dimuliakan), perubahan
sosial, pola pikir orang-orang Makkah, dan pola pikir masyarakat Yatsrib. Di sinilah
fase awal pendirian sebuah pemerintahan, yakni munculnya otoritas kenabian di
Makkah.
Pada bab-bab selanjutnya, penulis mulai masuk pada fase kedua
yang merupakan manifestasi kesiapan Yatsrib untuk mengimani kepercayaan
monoteistik yang dibawa Nabi Muhammad dibanding rakyat Makkah. Sedangkan fase
ketiga dari rangkaian fase pembentukan pemerintahan Islam adalah pembentukan
komunitas pertama yang solid melalui seleksi beberapa peristiwa antara hijroh
ke Madinah hingga Perang Badar Kubro. Fase keempat adalah berubahnya komunitas
Islam menjadi prajurit perang sempurna pada peristiwa Perang Badar, Perang
Uhud, Piagam Madinah, Perang Khondaq, penaklukan kabilah-kabilah sebagai jalan
eksistensi sebuah pemerintahan yang diperkuat dengan Perjanjian Hudaibiyah, dan
diakhiri dengan pembebasan Makkah.
Buku ini akan lebih nyaman jika format footnote ditempatkan
di bawah halaman bersangkutan, dibandingkan di akhir buku.
Resume
Bab: Pendahuluan
Mala’ —yang Alloh sebut dalam surat
Al-Mu’minun ayat 24— bermakna tokoh terkemuka yang kaya dan berpengaruh
(aristokrat). Di masyarakat Quroisy, mereka mengendalikan politik dan kekuasaan
(oligark). Mereka mempersatukan kabilah-kabilah dagang di Makkah. Pada tahap
berikutnya, Quroisy menjalin kerjasama dengan kabilah-kabilah di luar Makkah.
Pada rekonsiliasi ketiga, membangun kerjasama antara Quroisy dengan dua
imperium besar.
Selain itu, Quroisy memberlakukan cukai, baik kepada
pedagang, begal dan korbannya.
Tradisi Arab juga dikenal bulan-bulan yang diharamkan
untuk melakukan peperangan. Dan karena Makkah memiliki pusat peribadahan
masyarakat global (Ka’bah), ditempatkanlah berhala-berhala yang masing-masing
memiliki derajat sama di sekitaran Ka’bah. Dan puncak peribadahan tahunan
tersebut menjadi salah satu sumber pemasukan finansial untuk masyarakat Makkah
secara umum. Bagi keluarga trah Quroisy, sudah menjadi tradisi, bahwa mereka
memiliki amanah lebih saat puncak ibadah tahunan di Ka’bah. Seperti peran ‘Amru
—buyut Nabi Muhammad— yang melayani jama’ah haji yang fakir dengan jamuan
makanan roti yang dijadikan bubur (tsarid).
Oleh karenanya beliau dijuluki Hasyim (meremuk roti).
Pola pikir masyarakat Makkah saat itu bagaimana pun
peribadahan diupayakan menjadi sumber pemasukan kas negara. Tak cukup dengan
itu, para pemimpin dan tokoh masyarakat Quroisy berupaya meninggikan pula
kedudukan tuhan mereka sesuai dengan derajat ketokohan mereka dalam strata
sosial Quroisy. Sebaliknya, para fakir dan budak menolak keberadaan arbab (tuhan-tuhan) para mala’ yang dianggap tidak adil dalam
pembagian rezeki. Pada fase tersebut, Alloh munculkan sebuah otoritas, yakni
otoritas kenabian yang disandarkan pada Alloh yang Mahatinggi, Maha Pemelihara,
dan Mahakuasa. Sebab —pada masa lalu, perbaikan hanya dapat dilakukan oleh para
pejabat dan para nabi. Namun begitu, para mala’
tidak mengetahui tujuan utama dakwah yang akan memuliakan bersama. Yang terjadi
—ibarat pepatah— “Menolong anjing terjepit”. Mereka yang derajatnya dibela oleh
Nabi malah berpandangan sempit tentang orientasi dakwah Nabi.
Makkah dan Yatsrib selalu bersaing sebagai kota
metropolitan. Namun begitu, potensi kedua daerah tersebut berbeda. Penopang
perekonomian adalah perdagangan, sedangkan Yatsrib unggul dalam pertanian.
Kekhawatiran potensi pertanian dan perkebunannya dijarah pihak lain, masyarakat
Yatsrib mendirikan tembok-tembok tinggi, tentu saja dibarengi dengan kemampuan
berperangnya.
Dalam hal pemikiran, dua negeri ini memiliki perbedaan.
Jika Makkah telah melalui ragam kepercayaan dalam waktu lama hingga ritual
kepercayaan menjadi penentu sektor ekonomi, Yatsrib bertahan dengan kepercayaan
ortodoksi dalam rangka menyambut nabi yang akan menyelamatkan mereka. Oleh
karenanya, kepercayaan di Yatsrib relatif bersih dari pengaruh pagan.
Proses bai’atul Aqobah merupakan fase kedua —setelah fase
kemunculan otoritas kenabian di Makkah— yang merupakan manifestasi kesiapan
mereka (Yatsrib) untuk mengimani kepercayaan monoteistik yang dibawa Nabi
Muhammad dibanding rakyat Makkah. Sedangkan fase ketiga dari rangkaian fase
pembentukan pemerintahan Islam adalah pembentukan komunitas pertama yang solid
melalui seleksi beberapa peristiwa antara hijroh ke Madinah hingga Perang Badar
Kubro. Fase keempat adalah berubahnya komunitas Islam menjadi prajurit perang
sempurna.
Ka’bah menjadi simbol kejayaan perekonomian Makkah ketika
Makkah dikuasai para mala’. Oleh
karenanya, agama tauhid yang dibawa Nabi Muhammad merupakan ancaman
perekonomian Quroisy saat itu.
Bab: 1. Perang
Badar Kubro; Sebuah Pembacaan Berbeda
Membandingkan peristiwa Talut dengan Nabi Muhammad, saat
Samuel memilih Saul sebagai raja karena memang desakan untuk memilih raja.
Sedangkan para mala’ di Makkah
memiliki kriteria derivatif dalam hal ketokohan. Meski Nabi Muhammad menjadi
jutawan setelah menikahi Khodijah, tidak otomatis masuk dalam jajaran mala’. Apalagi mereka menganggapnya
memiliki ambisi mengambilalih kekuasaan.
Keputusan untuk mencegat kafilah Makkah di jalur utama
menuju/dari Syams, melahirkan rasa keterancaman. Kafilah Quroisy mengalihkan
rute di sepanjang pantai untuk menghindari rute utama yang dijadikan tempat
pencegatan. Di satu sisi, para mala’
Quroisy memiliki harga diri cukup tinggi. Menghindari pencegatan dari jalur
utama dapat meruntuhkan popularitas ketangguhan kaum Quroisy. Namun begitu,
keputusan menjaga harga diri tersebut tidak sepenuhnya didukung masyarakat
Makkah. Keluarga besar ibunda Nabi Muhammad tidak ikut keluar menanggapi
rencana pencegatan pasukan Nabi Muhammad di Badar.
Sempat Nabi khawatir saat bai’at Aqobah kedua terkait
janji perlindungan kaum Anshor dipahami sebatas perlindungan di dalam Yatsrib
dan tidak berlaku ketika terjadi perang di luar Yatsrib. Dan kaum Anshor
meyakinkan Nabi, bahwa mereka akan mendengar dan taat.
Kekuatan kaum Muslim di Yatsrib makin solid ketika Alloh
turunkan status kehalalan ghonimah,
terutama bagi mereka yang mengalami masalah ekonomi.
Strategi perang yang dirancang Nabi Muhammad dalam Perang
Badar disusun secara seksama dan dengan disiplin tinggi. Setiap pasukan
(Muhajirin, ‘Auz, dan Khozroj) memiliki sandi-sandi sendiri. Informasi ‘telik
sandi’ (intelijen) dibarengi dengan kecerdasan di medan perang, saat bertemu
orang Arab tua untuk mengumpulkan informasi pusat-pusat dua kekuatan yang berseteru
dan anak-anak dari budak Quroisy tentang jumlah kekuatan pihak Quroisy.
Selain itu, usulan Habbab bin Mundzir Al-Jamuh (pasukan
Anshor) untuk menutup sumur-sumur yang terdekat dengan pasukan Quroisy dan
menduduki sumur-sumur lain sebagai tempat pertahanan kaum Muslimin di Badar
mendapat restu dari Alloh melalui malaikat Jibril.
Di medan
Badar, pasukan Muslim telah sampai lebih dulu di lokasi. Dan pasukan Muslim
menempati atas bukit Badar, sedangkan pasukan Quroisy belum sampai (meski pada
waktu berikutnya mereka berada di bawah bukit).
Pasukan
Muslim membuat tenda komando di atas bukit untuk ditempati Nabi Muhammad dan
Abu Bakar.
Bahkan sekitar tenda mendapat penjagaan ketat dari kaum Muslim, juga disiapkan
kendaraan kuda untuk antisipasi jika keadaan tidak menguntungkan kaum Muslim
untuk digunakan nabi Muhammad kembali ke Madinah.
Saat malam di
musim dingin itu, Alloh turunkan hujan deras. Peristiwa tersebut menguntungkan
kamu Muslim karena tanah menjadi lebih padat dan tidak berdebu. Sedangkan bagi
pasukan Quroisy, hujan tersebut mendatangkan umpatan. Karena air secara alamiah
mengalir dari atas bukit ke arah bawah yang makin merepotkan pasukan Quroisy.
Kedatangan
pasukan Quroisy diperlihatkan formasi yang dikehendaki sebagai serangan mental
bagi kaum Muslim. Tapi karena kelihaian strategi perang Nabi Muhammad, mereka
menyangka pasukan Muslim belum tiba di lokasi. Dan mereka malam itu berpesta
pora sebelum besok memulai perang.
Saat patroli
malam itu, salah seorang pasukan Quroisy melihat beberapa personil pasukan
Muslim terlihat di balik bukit. Seketika terjadi kepanikan yang luar biasa dan
soliditas di tingkat pimpinan pasukan Quroisy pun goyang. Perang doa pun
terjadi malam itu antara Nabi Muhammad dengan Abu Jahal.
Pertempuran di medan Badar diawali dengan duel tiga
jagoan pada tiap kubu seperti umumnya tradisi Arab saat itu.
Utbah bin Robi’ah, Syaibah bin Robi’ah, dan Walid bin
Utbah mewakili pasukan Quroisy. Sedangkan dari kubu Muslim, diwakili Ubaidah
bin Harits, Hamzah bin ‘Abdul Mutholib, dan ’Ali bin Abi Tholib. Ubaidah
terluka oleh Utbah. Dan ketiga jagoan Quroisy itu tuntas dikalahkan jagoan
Islam.
Kemenangan pasukan Muslimin di Perang Badar merupakan
buah dari perencanaan yang baik dan persiapan teliti didalam strategi dan tekad
yang kuat dari panglimanya.
Peristiwa di Badar menewaskan 70 orang dari Quroisy dan
14 orang dari pihak Muslim. Instruksi dari Nabi, seluruh jenazah kaum Quroisy
dimasukkan ke dalam sumur. Peristiwa ini sekaligus simbol tumbangnya aristokrat
yang keras.
Peristiwa terkait penebusan tawanan perang, sempat
menegang. Sebab, Rosululloh SAW dinilai sebagian kaum Muhajirin seolah
diskriminatif dengan memberi toleransi penebusan kepada pamannya yang menjadi
tawanan; ‘Abbas bin ‘Abdul Mutholib. Seseorang di antara kerabat Nabi yang
membela Nabi saat terintimidasi. Meski pamannya tersebut berikrar (syahadat)
saat tertawan, tetap diberlakukan membayar tebusan. Sedangkan mereka (kaum
Muhajirin) rela berseberangan dengan keluarganya demi berdiri di sisi Nabi
Muhammad. Memang, fase kestabilan pemerintahan baru tersebut masih tergoyahkan
dengan banyak masalah.
Hukuman bagi beberapa tawanan kaum Muslim dengan cara
membunuhnya memiliki beberapa alasan, selain tidak beriman, mereka salah satu mala’ Quroisy.
Perang Badar mengirimkan pesan kepada Romawi dan bangsa
lain di luar Arab, bahwa pusat Arab telah berpindah ke kota lain. Pemegang
kekuasaan di Arab juga telah jatuh ke tangan lain, dan sistem baru yang
dijalankan berbeda dari sebelumnya.
Dalam membaca heroisme Perang Badar, kita diminta untuk
lebih teliti lagi terhadap ungkapan yang terkesan hiperbolis, baik karena
dipengaruhi emosi perowi yang mengalami sendiri atau pun peran mukjizat, agar
kita tidak terjebak pada cerita dongeng.
Perlu juga kita teliti dan menganalisis keberadaan
turunnya malaikat saat Perang Badar agar kita dapat menjelaskan secara logis
kejadian-kejadian di medan Badar kepada mereka yang mengkritik dan yang masih
ragu.
Perang Badar telah menetapkan bahwa kebijakan dan
keputusan Abu Hakam (Abu Jahal) tidak tepat yang berdampak pada kekalahan.
Faktor pelemah pihak Quroisy:
- Tidak adanya kesepakatan antara keluar ke Badar atau tetap di Makkah (Ahmad Ibrahim Syarif).
- Perasaan bersalah dan berdosa akibat penduduk Makkah akibat aksi hijroh (Dr. Syarif).
- Kondisi psikologis pasukan Quroisy karena terombang-ambing dari keputusan para mala’.
- Menyempalnya sepertiga pasukan Quroisy dari Bani Zuhroh (dari pihak ibu Nabi Muhammad) tidak ikut perang karena memprioritaskan keselamatan investasi dagang.
- Berbaliknya Bani Kinanah dari pasukan Quroisy jelang medan Badar.
- Kalahnya tiga pembesar, sesepuh, dan mala’ utama Quroisy pada laga duel awal perang.
- Teriakan penyemangat Nabi Muhammad kepada prajurit Islam.
- Pasukan Quroisy didominasi usia tua, sedangkan pihak Yatsrib didominasi kaum mudah yang terlatih.
- Keterlambatan datang ke Badar berdampak pada hilangnya kesempatan menempati posisi perang yang strategis.
- Awal sampai lokasi, pihak Quroisy kelelahan dan kehausan, dan tertemui sumur sudah disumbat.
- Perselisihan pendapat dari setiap kepala suku akibat tidak hadirnya seorang panglima; Abu Sufyan (Shokhr bin Harb).
- Saling bunuh karena tidak ada tanda pengenal di antara pasukan Quroisy.
Faktor penting kemenangan pasukan Islam:
- Kepercayaan prajurit muda Muslim pada urusannya.
- Keyakinan bahwa Alloh berpihak kepada pihak yang dizholimi.
- Bantuan kaum Anshor yang terkenal ahli perang dan pembuat senjata perang handal.
- Janji pertolongan Alloh dengan tentara langit.
- Peralihan kesetiaan; dari kekabilahan ke persaudaraan Islam, dari kekeluargaan kepada Alloh dan Rosul, dari saudara kandung dan sepupu kepada keumatan.
- Dorongan mendapatkan ghonimah (harta rampasan perang).
- Berperang di bawah satu kepemimpinan dan terorganisir dengan baik.
- Keuntungan sampai di medan Badar lebih awal untuk mengambil posisi perang yang strategis.
- Penguasaan sumber air.
- Ketika hendak terjun ke medan perang, Nabi merahasiakan arah yang akan beliau tempuh, bahkan kepada orang terdekatnya, dengan tujuan menyerang musuh secara tiba-tiba (Dr. Ahmad Syalabi).
Hikmah Perang Badar:
- Tunduknya kepala kaum musyrik dan munafik (Al-Baihaqi).
- Hancurnya eksistensi kaum mala’ Quroisy.
- Warga Yatsrib yang turut dalam Perang Badar dan yang gugur mendapat kedudukan lebih tinggi di banding kaum Muslim lainnya.
- Menguatnya tonggak dan kekuatan pemerintahan yang baru muncul.
- Diakuinya keberadaan kepemimpinan Nabi Muhammad beserta wilayah pemerintahan.
- Kepentingan yang kemanfaatannya lebih besar mesti didahulukan.
Bab: 2. Perang
Uhud dan Dendam Quroisy
Perkembangan politik pasca Badar Kubro diwarnai dengan
penyerbuan Nabi Muhammad ke Bani Salim setelah tujuh malam tinggal di Yatsrib.
Tapi penduduk Bani Salim sudah meninggalkan tempat sebelum datangnya Nabi.
Di Makkah, penduduknya terbakar dendam atas terbunuhnya
pasukan Quroisy. Abu Sufyan bernazar yang tercatat dalam siroh sepenggal kisah
Perang Sawiq. Belum genap sebulan, terjadi Perang Dzu Amr sebagai upaya Nabi
mendisiplinkan Bani Ghothofan yang bekerjasama dengan Bani Sulaim.
Sebakda Perang Badar, pasukan Muslim makin menunjukkan
kekuatannya dengan mengerahkan kekuatan untuk memutus jalur ilaf, menghancurkan perdagangan
regional, serta mengintimidasi kabilah-kabilah untuk memutuskan hubungan dengan
Makkah.
Posisi Yatsrib kini setara dengan Makkah. Namun begitu,
kondisi di internal Yatsrib belum sepenuhnya tunduk kepada sang pemangku
dakwah. Politik standar ganda orang-orang Yahudi Yatsrib harus dipertegas
dengan perjanjian hingga terjadi Perang Bani Qoinuqo’.
Quroisy pun bangkit, bersiap melindungi perdagangan dan
masa depannya serta membalas dendam atas kemuliaan mereka yang telah hancur
dalam Perang Uhud.
Perang Uhud merupakan fase keempat dari fase-fase perkembangan
pemerintahan Islam.
Sebagaimana kondisi pasukan Quroisy di Perang Badar,
perpecahan terjadi di barisan Muslim pada Perang Uhud —dengan jumlah pasukan
yang sama tak sebandingnya dengan pasukan Quroisy.
Berbalik mundurnya kaum munafik dari barisan Muslim
disebabkan mengandalkan kalkulasi militer yang tidak menguntungkan pasukan
Muslim. Di satu sisi, ia meragukan pertolongan Alloh kepada Nabi-Nya.
Bagi para pemuda Muslim, bahwa bentuk kekurangadaban
adalah mendesak dan memaksa Nabi untuk menyongsong ke medan Uhud tanpa
memberikan ruang bagi Nabi menentukan sesuai wahyu. Dan ketika logika militer
para pemuda tersebut mulai stabil, pantang bagi seorang Nabi —yang telah
mengenakan zirah perang— melepas zirah sebelum turun perang. Dan pada kondisi
pasca mendisiplinkan kaum Yahudi di Yatsrib, pantang meminta bantuan kepada
mereka pada Perang Uhud.
Ketidakpatuhan terhadap instruksi, menghadirkan kekalahan
yang menimbulkan banyak kerugian.
Uhud adalah cobaan, pengklasifikasian, dan ujian bagi
kaum beriman sejak dorongan menyongsong lawan di luar Yatsrib, kelemahan disiplin,
rentan provokasi, hingga pasukan kocar-kacir hanya memedulikan diri sendiri.
Faktor kekalahan kaum Muslim dipengaruhi oleh perekrutan
kader baru yang tidak/belum matang sehingga menyerang dan membunuh teman
sendiri tanpa adanya komando, keberadaan kader yang belum terwarnai ukhuwah dan
masih memelihara fanatisme kekabilahan jahiliyah untuk membalas dendam kepada
saudaranya, adanya pengecut di dalam barisan yang memilih berlindung saat
terdesak, menguatnya peran setan untuk melemahkan mental kaum beriman,
terjangkitnya rasa ragu terhadap kerosulan Muhammad.
Kekalahan kaum Muslim di Uhud makin meningkatkan kelancangan
orang-orang munafik di Yatsrib, dan juga menebarkan keragu-raguan atas kenabian
Muhammad SAW.
Pihak Quroisy berkeyakinan, bahwa pemerintahan baru di
bawah Nabi Muhammad belumlah setanding dengan kekuatan Quroisy. Jalur bisnis ke
Syam, kembali mereka buka dan kuasai.
Psikoterapi bagi kekalahan Muslim di Uhud, Rosululloh SAW
mengabarkan kenikmatan yang Alloh hadiahkan bagi mereka yang syahid. Kabar
tersebut bermaksud untuk menguatkan kembali keimanan, kesetiaan, dan ukhuwah.
Sehari setelah Perang Uhud, Nabi dan sisa pasukan Uhud
keluar menuju Hamro’ Al-Asad untuk tujuan psywar terhadap pasukan Quroisy
yang sedang berpesta dengan pesan, bahwa pihak Muslim masih memiliki pasukan
lain yang belum turun ke Uhud yang kini akan menuntut balas. Hingga kemudian
mereka bersegera kembali ke Makkah.
Pasca Perang Uhud, kaum Muslim mulai memberikan ketegasan
hukum bagi kaum munafik. Kaum Muslim mulai melakukan penyisiran di Yatsrib
untuk memberantas anasir dan praktik apapun yang bertujuan melemahkan
pemerintahan dan merongrong militer saat perang.
Bab: 3. Alur
Sejarah
Pada fase pembangunan, Nabi Muhammad membangun Yatsrib
dengan menciptakan keamanan dan menyatukan kabilah-kabilah Arab di bawah
bendera satu, pemerintahan, satu pemimpin, dan satu peribadatan.
Pemerintahan mala’
berbentuk semi republik yang bertujuan menguatkan kekuasaan aristokrat saudagar
Makkah dalam berbagai aspek dengan menyatukan kabilah-kabilah, kemudian
membangun jejaring sosial sepanjang jalur utama perniagaan yang menghubungkan
dengan Persia dan Romawi. Konsekuensinya, pungutan cukai yang bermuara pada
aristokrat Makkah jadi marak. Hal ini menggeser paradigma dari loyalitas
kekabilahan kepada loyalitas status sosial.
Pergeseran tersebut menimbulkan dua kelompok besar,
kelompok aristokrat dan kelompok miskin yang keduanya berpotensi besar menolak
Tuhan yang mereka sembah di sekitar Ka’bah. Di mana pihak aristokrat mulai
merasa mulia dan sepantasnya mempunyai Tuhan yang ‘hebatnya’ di atas
tuhan-tuhan di Ka’bah, yakni Tuhan yang Esa. Sedangkan pihak tertindas merasa
terdiskriminasi oleh ‘ketidakadilan’ pembagian rezeki oleh tuhan.
Dan mulailah muncul keinginan akan datangnya seorang
utusan yang dapat menjembatani persaingan kontradiktif tersebut dan dapat
diterima oleh semua orang.
Munculnya Nabi Muhammad di tengah kerusakan bangsa Arab
—terutama Makkah, memberikan arus baru sekaligus paradigma baru. Syukur dan
qona’ah menjadi parameter kekayaan di tengah budaya Makkah yang menyimpan emas
dan perak. Menjadikan keimanan dan ukhuwah sebagai parameter ‘circle’ di tengah budaya aristokrasi.
Hijroh ke Yatsrib menjadi tonggak ditetapkannya
masyarakat urban kualitatif melalui Piagam Madinah. Setelahnya, secara
terencana menjatuhkan sistem mala’
Makkah dan pemerintahan semi republik. Selanjutnya, menghancurkan sistem
sentral di Khurosan dengan memutus jalur perdagangan ilaf dekat Yatsrib, serta aksi perang konstitusional untuk
mendirikan pemerintahan Rosul di Yatsrib.
Revolusi besar yang dibawa oleh dakwah direpresentasikan
pada penolakan paradigma nomadik yang dimiliki orang Arab pada fase pra-Islam.
Perubahan tersebut diletakkan pada sistem sosial baru
yang mengalihkan seseorang dari kesetiaan kekabilahan kepada kesetiaan keumatan.
Pokok utama dari berdirinya umat tersebut adalah keimanan yang baru.
Syarat menjadi umat adalah pernyataan Muhammad sebagai
rosul terakhir yang diteladani, dan menjadikan Alloh sebagai satu-satunya
sesembahan. Namun begitu, umat mana pun harus memiliki akar sejarah yang dalam
dan sejarah yang panjang sebagai bahan membangun peradaban, seperti persebaran
dakwah para nabi yang diikat dalam akidah tauhid.
Kepemimpinan Nabi Muhammad di Yatsrib tak lepas dari
skenario Alloh yang menempatkan Nabi sesaat setelah perang Bu’ats —konflik
antara ‘Auz dan Khozroj di awal hijroh Nabi Muhammad. Banyak pemimpin dan
pembesar kedua kabilah tersebut gugur. Sehingga terjadi kekosongan tokoh
karismatik di Yatsrib. Selain itu, adanya hubungan kekerabatan Nabi dengan
kabilah Khozroj (paman dari garis ibu). Dan pada saat yang hampir bersamaan,
lahir sifat munafik dari relung hati kabilah ‘Auz. Kebencian kepada Nabi
sekaligus Muhajirin.
Pemilihan Yatsrib sebagai basis pemerintahan Nabi karena
terpenuhi beberapa faktor utama, seperti di Yatsrib terdapat keluarga Nabi dan
sekutu keluarga Hasyimi, adanya kelompok Yahudi dengan kisah para nabi dan
kitab sucinya, dan prediksi Taurot yang mutawatir
tentang datangnya nabi akhir zaman.
Turunnya wahyu terkait kehalalan ghonimah menjadi solusi
bagi pasukan Muslim yang memiliki kendala finansial. Pada tahap ini,
pemerintahan Islam di Yatsrib memasuki fase militer dan politik dengan
meruntuhkan pengaruh dan wibawa pemerintahan mala’ Makkah.
Pada tahap berikutnya, ditetapkan hukum yang bersifat
moderat guna menyikapi kondisi yang terjadi saat itu. Perubahan kebijakan
politik merupakan bentuk kemoderatan itu sendiri. Sebakda Perang Uhud —saat
kaum Yahudi dan munafik mulai lancang, diterbitkan shohifah al-ma’aqil (Piagam Madinah).
Dengan panduan wahyu, kebijakan politik Nabi Muhammad
untuk mengendalikan keganasan Quroisy dan kelancangan Yahudi dengan cara
mengurangi keberpihakan terkait ibadah dari penghormatan kepada tradisi Bani
Isroil kepada tradisi positif Quroisy di bawah satu kepemimpinan Nabi Muhammad
dan ketaatan pada satu sesembahan; Alloh ‘Azza wa Jalla.
Bab: 4. Diyat Bani
‘Amir: Peristiwa dari Uhud sampai Khandaq
Faktor ekonomi dan senjata kaum Muslim makin menguat
seiring gencarnya sariyah (peperangan
tanpa disertai Nabi).
Pembunuhan puluhan Muslim utusan Nabi di Bi’r Ma’unah tak
lepas dari rencana persekongkolan Bani Salim —yang sering jadi sasaran target sariyah Yatsrib— dengan Bani ‘Amir.
Sedangkan antara Nabi dengan Bai ‘Amir sudah terikat perjanjian. Selain itu,
rencana pengkhianatan Bani Nadhir kepada Nabi berbuah pengusiran —cikal masuknya
Bani Nadhir ke Palestina.
Jelang Perang Khondaq, Nabi Muhammad telah membersihkan
Yatsrib dari para munafik, musyrik, dan Yahudi (Bani Qoinuqo’ dan Bani Nadhir)
yang pada kesempatan berikutnya terjadi koalisi besar kaum Arab dan Quroisy
(10.000 prajurit) untuk melenyapkan kaum Muslim untuk selamanya.
3.000 pasukan Muslim segera membuat parit di sekitar
Madinah atas usul Salman Al-Farisi (strategi perang defensif ala Persia).
Strategi khondaq
(parit) menyelamatkan beberapa aspek: 1) hilangnya momentum pasukan ahzab yang ingin menghancurkan kaum
Muslim; 2) strategi khondaq adalah
pertahanan militer yang belum dikenal bangsa Arab; 3) strategi khondaq memberikan solusi ideal berupa
jaminan kaum Muslim untuk tidak berhadapan langsung dengan pasukan ahzab; 4) strategi khondaq mengisolir potensi khianat kaum munafik di dalam Yatsrib;
5) strategi khondaq mengubah
permasalahan berskala kota ke permasalahan berskala nasional sekaligus
mengobarkan rasa nasionalis; 6) strategi khondaq
telah membuat jalan pertempuran (ofensif-defensif); 7) strategi khondaq mengubah perbandingan kuantitas
pasukan menjadi perbandingan nasionalis.
Mukjizat yang terjadi di Perang Khondaq antara lain
percikan saat batu besar dipukul gancu oleh Nabi Muhammad di mana tiga kali
percikan mengisyaratkan kemenangan kaum Muslim di masa depan (Ibnu Ishaq,
An-Nasa’i, Baihaqi). Mukjizat kedua adalah kurma yang hanya untuk dikonsumsi
beberapa orang, menjadi berlipat jumlahnya setelah ditutupi kain oleh Nabi
Muhammad dan mengenyangkan seluruh pasukan tanpa mengurangi jumlah awalnya
(Sa’id bin Mina). Selain itu, mukjizat terkait sajian makanan yang cukup untuk
beberapa orang, menjadi tercukupi untuk seluruh pasukan Muslim tanpa berkurang
sedikit pun dari volume awalnya setelah didoakan keberkahan oleh Nabi Muhammad
(Ibnu Ishaq dan Jabir). Di akhir pengepungan, Alloh kirimkan cuaca sangat
dingin dan angin kencang yang memporak-porandakan tenda kaum ahzab.
Atas desakan Huyay bin Akhthob —pemimpin Bani Nadhir,
penjaga gerbang belakang Yatsrib sekaligus penjaga perjanjian Piagam Madinah
dari Bani Quroizhoh itu pun mengkhianati Piagam Madinah.
Eksekusi mati dijatuhkan Nabi atas dasar kehendak Alloh
kepada sekitar delapan sampai sembilan ratus lelaki Bani Quroizhoh (sesiapa
saja yang telah mengalami mimpi basah). Eksekutor yang diutus Nabi adalah ‘Ali
bin Abi Tholib dan Zubair bin Awwam (Al-Waqidi) di rumah Abu Jahal (Al-Baihaqi).
Begitulah efek domino dari diyat Bani ‘Amir yang diikuti
pengusiran Bani Nadhir. Kemudian terjadilah persekutuan ahzab dan penumpasan Bani Quroizhoh.
Bab: 5. Pengakuan
Berdirinya Pemerintahan (Daulah)
Serbuan terhadap ternak Nabi oleh Bani Ghothofan memicu
dilakukannya sariyah (delegasi perang
tanpa disertai Nabi) beruntun di bawah beberapa komando sahabat Nabi
menaklukkan kabilah-kabilah hingga mencapai daerah Utara; Romawi.
Hal yang membuat para sahabat menahan amarah ketika
provokasi keji yang disebar ‘Abdulloh bin Ubay bin Salul sebakda Perang Bani
Mushtholiq terhadap Nabi malah dibalas dengan kemaafan oleh Sang Nabi.
Perubahan besar terjadi dari sariyah kecil dan ghozwah
(perang yang disertai Nabi) yang gencar dilakukan setelah Nabi bermimpi thowaf
di Ka’bah dengan aman di bulan Dzul qo’dah itu. Kemudian beliau bersegera
memerintahkan 1.600 orang untuk berangkat umroh, dan beliau membawa 70 unta
untuk kurban menuju Makkah. Parade tersebut membuat pihak Quroisy di Makkah
curiga dan bersiap dengan pasukan perang.
Hudaibiyah; suatu tempat dekat Makkah; memiliki sejarah
tentang bai’at Ar-Ridhwan atas kabar angin terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan saat
diutus ke Makkah dan ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata selama 10
tahun; Perjanjian Hudaibiyah.
Beberapa mukjizat sepanjang masa itu pun terjadi. Sumur
di Hudaibiyah yang kering, segera penuh kembali setelah diguyur air sisa wudhu
Nabi. Keluarnya air dari jemari Nabi di dalam bejana yang dapat mengenyangkan
1.500 orang. Melimpahnya makanan saat kaum Muslim kelaparan.
Hikmah dari Perjanjian Hudaibiyah adalah tingkat
kelemahan Quroisy tampak dari utusan yang dikirim silih berganti, untuk pertama
kalinya mala’ Makkah dan pemimpin
Hijaz secara tertulis mengakui kedaulatan Yatsrib dan kepemimpinan Nabi
Muhammad, Nabi Muhammad diakui sebagai satu-satunya pemimpin di Arab, batasan
kunjungan ke Makkah selama tiga hari cukup untuk menunjukkan profil pengikut
Nabi Muhammad, pecahnya persekutuan Makkah dan beralihnya dukungan sebagian
orang-orang unggul Makkah kepada Islam, keberadaan dakwah Nabi Muhammad
sejatinya untuk memuliakan Quroisy dengan mereka cukup tunduk kepada Nabi
Muhammad (mengacu perkataan ‘Utbah bin Robi’ah), terbitlah stempel
pemerintahan, Nabi mendapat jaminan keamanan dari Quroisy.
Pada kesempatan berikutnya, pasukan Muslim melakukan
serangan senyap ke Khoibar yang dilindungi benteng-benteng yang dipimpin
langsung Nabi Muhammad. Pada perang inilah, Nabi menginstruksikan pembuatan dan
penggunaan manjaniq (pelontar batu
besar) pertama kalinya. Khoibar pun takluk dengan menduplikasi perjanjian Bani
Nadhir; keluar dari negeri tanpa membawa harta serta darah dan nyawa mereka
dalam perlindungan Nabi. Tetapi Nabi mengajukan syarat tambahan terkait harta
benda karena indikasi ketidakjujuran pemimpin Yahudi Khoibar. Dan terbukti
upaya kebohongan mereka. Hukuman mati dijatuhkan kepada tujuh puluhan pemimpin
Yahudi Khoibar karena kedustaannya hingga membatalkan isi perjanjian.
Di pihak Quroisy, para mala’ kebingungan atas dua berita yang mereka dapatkan, bahwa
(berita pengecoh dari Al-Hajjaj bin Ilath) Nabi kalah di Khoibar dan tertawan
kemudian dipulangkan ke Makkah untuk di eksekusi oleh Makkah dan (bisik-bisik
Al-Hajjaj bin Ilath kepada ‘Abbas bin ‘Abdul Mutholib) tentang kemenangan Nabi
Muhammad atas Khoibar.
Selang beberapa hari setelah penyerbuan Khoibar, Nabi
diracun dari hidangan kambing panggang yang kelak —setelah tiga tahun— efek
racun tersebut merenggut nyawa Sang Nabi.
Bab: 6. Fath
Al-Futuh (Pembuka Berbagai Kemenangan)
Dengan perjanjian Hudaibiyah, terjamin keamanan dagang
dan para sekutu Quroisy. Tetapi struktur dan tugas militer pemerintahan Yatsrib
yang mengurus ghonimah menuntut
adanya penggerakan prajurit. Sehingga operasi sariyah tetap berjalan di luar konteks perjanjian Hudaibiyah.
Hingga tiba waktu setahun dari penandatanganan perjanjian
Hudaibiyah, saatnya 2.000 kaum Muslim melaksanakan umroh dan —sesuai
perjanjian— kaum Quroisy meninggalkan Makkah selama tiga hari. Tetapi
sebagiannya tetap di Makkah karena dihinggapi rasa penasaran terhadap Nabi
Muhammad dan kaum Muslim. Ritual umroh berbeda dengan keumuman kaum musyrik
saat beribadah di Ka’bah.
Setelahnya, dimulailah kembali sariyah beruntun, hingga menyentuh pinggiran Syam (pinggiran
wilayah Romawi). Pertempuran terjadi beberapa kali yang berakhir dengan
kekalahan di pihak Yatsrib.
Tiba waktunya saat pihak Quroisy melanggar perjanjian
Hudaibiyah, hingga Nabi mengerahkan pasukan sebanyak 10.000 orang tanpa
diketahui pihak Makkah. Dengan membagi menjadi empat brigade, pasukan besar
kaum Muslim memasuki Makkah dengan formasi mengepung. Dan Makkah menyerah pada
pemerintahan Nabi tanpa perlawanan.
Misi berikutnya adalah menaklukkan koalisi Hawazin dan
Tsaqif di Hunain dengan membawa 12.000 pasukan. Selain penggabungan para thulaqo’ (simpatisan Makkah yang masih
lemah tekad), kekalahan pasukan Islam di Hunain di awal perang juga dilenakan
karena jumlahnya yang besar. Hingga pada beberapa saat berikutnya, pasukan inti
mulai bergabung kembali dan memenangkan pertempuran atas bantuan para malaikat.
Pasukan koalisi Hawazin dan Tsaqif melarikan diri dan
bergabung ke Thoif. Meski pengepungan Thoif sempat berlangsung lama, Rosululloh
menangguhkan peperangan dengan Thoif. Keputusan tersebut seakan pengabulan doa
beliau untuk memberi kesempatan warga Thoif untuk memeluk Islam.
Bab: 7. Berdirinya
Negara Kesatuan Arab
Seperti kebiasaan Rosululloh saat melakukan penyerbuan ke
target utama, pengerahan 30.000 infanteri dan 10.000 kavaleri menuju Tabuk
(versus Romawi) pun tak ada yang diberi tahu. Hal itu untuk meminimalisir
potensi mental munafik di barisan kaum Muslim. Setelah turun wahyu QS. Al-Isro’
ayat 76-77 tentang upaya konspirasi para munafik, Nabi segera kembali ke
Madinah untuk memporak-porandakan upaya pengkhianatan kaum munafik (termasuk
pendirian masjid Dhiror) dan memberikan ketegasan atas eksistensi pemerintahan
berdaulat tersebut.
Turunnya surat Al-Baro’ah (At-Taubah) secara
berangsur-angsur memberikan penegasan terhadap kelakuan para kaum munafik dan
musyrik. Bahkan teks paling menonjol pada piagam Baro’ah terdapat pada ayat 28;
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa).
Karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Harom setelah tahun ini.”
Setelah penegasan dan penghimpunan pasukan yang cukup
besar, langkah satu-satunya yang Nabi tempuh untuk menjaga persatuan adalah
mencari ghonimah. Dan piagam dari
wahyu Baro’ah diturunkan untuk mendorong semuanya memeluk Islam, bersatu, dan
melakukan ekspansi ke luar Jazirah Arab.
Setelah penaklukan Makkah dan Hunain, mulailah berdatangan
pada delegasi Arab dari berbagai penjuru mendatangi Nabi untuk menyatakan
ketundukan.
Di masa-masa itu, muncul pula seorang tokoh kaum bernama
Musailamah bin Tsumamah (Al-Kadzab) yang mengaku sebagai nabi, mendatangi Nabi
Muhammad untuk meminta pembagian wilayah kekuasaan. Penolakan keras dari Nabi
Muhammad melahirkan gerakan separatis di Yaman yang digerakkan oleh Musailamah.
Hingga tiba masanya, saat surat An-Nashr turun sekaligus
menjadi penanda akhir masa Nabi Muhammad. Dan sakit dari efek racun kuat wanita
Yahudi tiga tahun sebelumnya, mulai memperparah kondisi kesehatan Nabi.
“Kemarilah,” pinta Nabi kepada ‘Umar bin Khoththob, “Aku
akan menuliskan surat kepada kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya.”
Wasiat yang tak tertunaikan hingga Nabi menghembuskan napas terakhir disebabkan
perselisihan dan berbantahan ahli bait di dekat Nabi sehingga menghalangi
ditulisnya wasiat terakhir Rosululloh kepada mereka. #Selesai
Bibliografi
Judul buku: Jalan
Politik Muhammad SAW Mewujudkan Daulah Rasul
Penulis: Sayyid Al-Qimni
Penerjemah: Rony Nugroho
Tebal: viii+504 hlm
Genre: Sejarah/Biografi
Cetakan: I, Desember 2021
ISBN: 978-623-220-124-8
Penerbit: Pustaka Alvabet, Tangerang Selatan
0 Komentar