Resensi: Djakarta 1945; Awal Revolusi Kemerdekaan

Saya lebih suka mendengar kalimat atau pernyataan-pernyataan yang menunjukkan kegagalan sang tokoh daripada kalimat-kalimat sarat sanjungan serta pujian.” —Mochammad Hatta

 

Jakarta.

Secara keseluruhan, buku ini menyoroti peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan dan apa yang terjadi di Jakarta saat itu.

Membaca buku ini, kita seolah dibawa pada kondisi di masa itu dan menghayati situasi saat itu melalui tuturan yang runut dan detail. Terlebih, penulis sengaja menyuguhkan tulisan dengan ejaan lama.

Selain pada kisah naratif, penulis juga senantiasa mengenalkan sekilas profil tokoh yang akan dibicarakan pada paragraf berikutnya. Sehingga, kita mendapatkan informasi lebih untuk dapat memahami situasi yang dialami sang tokoh.

Jika sejauh ini kita mendapati buku-buku berkisah tentang seputar Proklamasi, Perang Surabaya, Agresi Militer, Palagan Ambarawa, buku ini seolah merangkum semua peristiwa-peristiwa beragam judul di atas.

Dalam buku ini, kita akan menjumpai tuturan para saksi mata terkait sejarah Sunda Kelapa terkait kesejarahan Jakarta sebagai sentral pembahasan dalam buku ini dan latar belakang Perang Asia Timur Raya, di mana keberadaan Jepang lebih banyak dibahas dalam bab-bab buku ini.

Kekhawatiran dan ketegangan urat saraf atau pertikaian para tokoh bangsa untuk berani mengambil keputusan merdeka melalui proklamasi di tengah masa transisi kekalahan Jepang dan datangnya Sekutu menghiasi awal-awal bab dalam buku ini. Bagaimana ketika Soekarno naik pitam dan mengeluarkan tekadnya untuk di penggal kepalanya kepada tokoh pemuda akibat ejekan Wikana —tokoh Kiri— yang mendesak dan mengejek sikap Soekarno yang tidak segera memproklamirkan kemerdekaan.

Kita juga disuguhkan drama menegangkan saat-saat di maka aksi penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok karena khawatir Soekarno mengalami keterpengaruhan terhadap Jepang ketika para tokoh pemuda menghendaki disegerakan pernyataan kemerdekaan dan kekhawatiran terjadinya instabilitas di Jakarta saat itu yang ternyata tak terbukti. Artinya, aksi penculikan dua hari tersebut sia-sia dan sempat memancing kemarahan Fatmawati; istri Soekarno.

Di sisi lain, kisah Rengasdengklok tak berhenti sampai di situ. Tokoh pemuda dan unsur pemuda terlatih mampu merebut wilayah tersebut dari pendudukan Jepang. Bendera Merah-Putih pertama kali ditegakkan di sana diiringi lagu Indonesia Raya. Praktis, Rengasdengklok merupakan wilayah basis pertama Republik Indonesia yang bebas dan merdeka sebelum proklamasi dibacakan.

Saat merumuskan proklamasi, kita mengetahui bagaimana dilemanya tentara pendudukan Jepang terhadap tuntutan kemerdekaan pihak Republiken. Sebab, pihak Jepang sudah berjanji akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia, tetapi Jepang ditaklukkan Sekutu sebelum tanggal pemberian kemerdekaan itu tiba. Selain itu, kita mendapatkan informasi pemicu mengapa muncul istilah “saudara tua” dan “saudara muda” ketika Jepang membujuk Indonesia.

Kita juga akan disuguhkan selingan kisah-kisah lucu seperti seorang staf Maeda; Nishijima; yang ketiduran hingga bangun kesiangan setelah kelelahan membantu pihak Republiken berkoordinasi ke sana-ke mari dan menyediakan tempat untuk para tokoh bangsa malam itu, sehingga ia melewatkan momen penyusunan naskah proklamasi.

Dikisahkan pula bagaimana para barisan mahasiswa menyiapkan rencana B untuk menghadapi kemungkinan yang tak diharapkan saat pembacaan proklamasi. Mereka menyiapkan momen paralel di Asrama Prapatan 10, di mana susunan acara dan waktunya selalu dikabarkan dari ruang kerja Soekarno.

Kebesaran hati para tokoh bangsa pun diuji sehari setelah proklamasi, yakni memilih keutuhan bangsa atau memaksakan kehendak sepihak atas beberapa pasal dalam rumusan Undang-undang Dasar 1945. Meski ketegangan sempat mewarnai rumusan UUD 1945, selalu saja ada tokoh yang bisa menjadi penengah dan menghadirkan kebersamaan demi kemanfaatan yang lebih besar.

Bagi seluruh rakyat Indonesia, keberanian Soekarno-Hatta mengambil keputusan memproklamirkan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia menjadi tonggak penting. Namun begitu, beberapa bulan setelah proklamasi, Tangerang memiliki kisah pengkhianatan sendiri. Chairoen melakukan aksi perebutan kekuasaan dan memecat semua pamongpraja, juga kepolisian dan mendirikan pemerintahan komunis sekaligus memutus hubungan dengan Republik. Tokoh PKI ini memiliki sejarah pemberontakan yang sama pada 1925.

Setidaknya, ketegangan dalam buku ini disajikan sampai akhir tahun 1945, yakni pada Perang Surabaya. Di mana bagi pihak Republiken, apa yang dilakukan Sekutu di Surabaya sudah melampaui amanah yang ditugaskan kepada mereka; mengamankan, mendeportasi tentara pendudukan Jepang, dan membebaskan tawanan interniran. Pada kenyataannya mereka meneror rakyat Surabaya, mempersenjatai para tawanan interniran, dan mendaratkan ribuan tentara di sana. Tanah ini pula yang dinilai Kerajaan Inggris sebagai tempat kesialan dan membuat malu di mata dunia. Sebab, Inggris —di bawah komando Mallaby— menjadi pemenang Perang Dunia II. Kenyataan pahit terjadi ketika Mallaby tewas di Surabaya. Tempat di mana rakyatnya tidak terlatih, tak memiliki senjata perang canggih, terlebih ada di negara yang baru saja lahir. Tentu ini menjadi tamparan keras dan memalukan. Lebih detail terkait pertempuran di Surabaya, dapat dibaca dalam buku “Pertempuran Surabaya November1945” tuturan Des Alwi.

Meski tak sedetail buku-buku yang khusus membahas tiap peristiwa, seperti Seputar Proklamasi, Agresi Militer, Perang Ambarawa, Perang Surabaya, buku ini setidaknya mampu menanamkan rasa patriotik dan menjadi benang merah bagi wawasan kesejarahan generasi saat ini.

Buku ini direkomendasikan untuk para pelajar dalam mendukung proyek literasi pelajar Pancasila dengan memberikan tugas kepada tiap kelompok untuk membaca, mendiskusikan, dan mempresentasikan di depan kelas masing-masing satu bab.

 

Resume

Bab: Menunggu Musim Berganti

 Pada 22 Juni 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut Fadillah Khan alias Fatahillah; menantu Sultan Trenggono dari Demak. Keberhasilan mengusir kekuasaan Portugis ditandainya dengan memberikan sebuah nama baru bagi Sunda Kelapa. Dia menamakannya Jayakarta. Sampai sekarang, tanggal itulah yang dirayakan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta.” —Prof. Dr. Soekanto

Awal abad XVII, Belanda berhasil menguasai Jayakarta. Pada 1618, Jan Pieterszoon Coen diangkat jadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Ia mengganti nama Jayakarta dengan Nieuw Hoorn —diambil dari nama kota kelahirannya di Belanda. Tapi tidak disetujui atasannya di negeri Belanda, dan lebih setuju dengan nama Batavia.

Jauh sebelum Pearl Harbour diserang, Jepang sudah mempelajari ilmu hukum, peta-peta kota di Jawa, hingga nama-nama anggota Dewan Kota-Kabupaten. Bahkan sekitar 1930-an, pakar antropologi budaya Jepang mulai mempelajari persamaan ciri fisik dan budaya Jepang dengan masyarakat Malayo-Polinesia. Sehingga mereka ciptakan keyakinan, bahwa leluhur mereka bermigrasi ke Selatan (Jawa). Oleh karenanya mereka menyebut “Saudara Tua” terhadap masyarakat Jawa.

8 Maret 1942, pasukan Jepang membuang nama Batavia (dialek setempat: Betawi) dan mengembalikan menjadi Jakarta.

Menurut sejarawan Universitas Nagoya; Aiko Kurusawa Inomata; sejak awal pendudukan, penguasa Jepang dengan sikap teguh memegang prinsip tidak akan memberikan kesempatan merdeka kepada rakyat Indonesia.

Penguasa Jepang memanfaatkan ramalan Joyoboyo sebagai alat propagandanya menguasai “Hindia-Belanda”; “Orang-orang berkulit kuning akan datang dari Utara untuk membebaskan Pulau Jawa dari perbudakan bangsa kulit putih.”

Segera setelah pemerintah Hindia-Belanda bubar, warga masyarakat setempat mengibarkan bendera Merah Putih dengan perasaan bangga.

20 Maret 1942, Jepang mengeluarkan keputusan pembubaran semua partai politik, organisasi massa, dan organisasi mahasiswa di Jawa. Aktivitas politik dilarang, bendera Merah Putih dilarang dikibarkan, lagu “Indonesia Raya” tidak boleh dinyanyikan. Masyarakat Jawa pun tertipu.

Untuk meraih simpati, tentara pendudukan Jepang membuat organisasi massa di Jawa dan Sumatera dengan nama “Putera” (Pusat Tenaga Rakyat) dengan Soekarno sebagai ketua.

Kebijakan garis lunak yang diterapkan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura kepada Soekarno, mendapat tentangan banyak pihak dari pemerintah Jepang. Hingga kemudian Imamura dimutasi ke Papua.

5 September 1943, Saiki Shikikan; Panglima Militer Wilayah XVI; meresmikan lembaga Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) dengan ketuanya Soekarno. Dan Jepang memobilisasi pemuda Indonesia ikut Heiho (pembantu tentara) serta pada Oktober 1943 membentuk PETA (Pembela Tanah Air).

Menyadari kekeliruannya tidak mengundang Indonesia dalam Konferensi Asia Timur Raya pada November 1943, Jepang mengundang Soekarno, Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang bertemu Tenno Heika. Sepulang dari Jepang, perwakilan Indonesia tidak mendapat kepastian kapan diberi kemerdekaan.

Awal 1945, Sekutu telah mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Markas Besar Armada Selatan II Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Makassar mendapat serangan berhari-hari, memaksa Laksamana Yaichiro Shibata; Panglima Armada Selatan II; memindahkan markasnya ke Singaraja, Bali Utara.

15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito menyerah atas gempuran Sekutu.

 

Bab: Perjalanan Panjang Menuju Kemerdekaan

 Masyarakat Indonesia belum memiliki kesatuan pendapat mengenai bentuk negara seandainya kemerdekaan berhasil dicapai. Sebuah kelompok menghendaki federasi, tetapi yang lain menginginkan negara kesatuan. Melalui perdebatan panjang, akhirnya tercapai kesepakatan untuk memilih bentuk negara kesatuan.” —Shigetada Nashijima (staf Kantor Penghubung Kaigun Jakarta)

Mei 1945, tentara pendudukan Jepang membentuk PPOPKI (Panitia Penjelidik Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat.

Pada masa pendudukan Jepang, Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah komando; Jawa dan Madura di bawah kendali Osamu Shudan (Angkatan Darat XVI) di Jakarta, Sumatera di bawah Tomi Shudan (Angkatan Darat XXV) di Bukittinggi, dan selainnya di bawah kendali Dai Ni Nankenkantai (Angkatan Laut) di Makassar. Dua angkatan militer tersebut di bawah kendali Terauchi yang bermarkas di Dalat (sekarang Vietnam).

Laksamana Yaichiro Shibata; Panglima Armada Selatan II Kaigun; bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Oleh karenanya, ia membongkar gudang senjata di Surabaya untuk pejuang republiken menghadapi gempuran Inggris pada November 1945.

Pada sidang PPOPKI kedua 11-17 Juli 1945 dibahas bentuk negara (suara terbanyak menghendaki Republik) dan luas negara dengan tiga pilihan; mencakup seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda, seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda ditambah Semenanjung Malaya tanpa Papua, dan seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis, Papua, dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Dan hasil voting dominan pada pilihan ketiga. Hal yang tak disangka oleh Jepang yang baru dikonsep sebatas kemerdekaan Jawa saja.

2 Agustus 1945, Markas Besar Militer di Tokyo membentuk Panitia Pembimbing Persiapan Kemerdekaan.

6 Agustus 1945, bom atom menghancurkan Hiroshima. Dan 9 Agustus 1945, Nagasaki luluhlantak oleh bom atom.

7 Agustus 1945, PPOPKI dibubarkan dan langsung didirikan Dokuritsu Junbi Inkai; Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); dengan ketuanya Soekarno.

12 Agustus 1945, Marsekal Hisaichi Terauchi; Panglima Tertinggi Militer Jepang di Asia Tenggara; menyatakan bahwa urusan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya diserahkan kepada rakyat Indonesia.

 Kami orang-orang Jepang tidak menjadi ibu yang akan melahirkan anaknya. Kami hanya bertindak sebagai bidan.” —Yasuo Ichibangase

 Peranan Dai Nippon Teikoku dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia tidak lebih dari peranan seorang bidan.” —Soekarno

 

Bab: Penggal Kepalaku Sekarang Juga

Soekarno memiliki sifat keras kepala dan ujub (membanggakan diri sendiri). Oleh karenanya, ia sangat menyukai sanjungan dan membenci orang-orang di sekitarnya yang tak sepaham dengannya.

Maret 1943, dibuka Sekolah Tinggi Kedokteran oleh Jepang yang ia beri nama Ika Daigaku. Kebijakan pemerintah Jepang yang mewajibkan semua mahasiswa harus digunduli menimbulkan reaksi perlawanan dari mahasiswa Indonesia. Bahkan tak jarang mahasiswa Indonesia yang harus meringkuk dalam sel sempit karena melawan kebijakan kampus dengan hukum Jepang tersebut. Soedarpo, Soedjatmoko, Sanjoto, Daan Jahja, Soeroto Koentho, Poerwoko, Petir Moeharto, Oetarjo, dan Soebianto di keluarkan dari kampus.

Daan Jahja dan Oetarjo masuk PETA, Soebianto dan Soeroto Koentho masuk Sekolah Tinggi Islam, Petir Moeharto jadi guru kemudian masuk militer Angkatan Udara, Sanjoto bekerja di Kyo Keiko (Jawatan Kepenjaraan).

2 Oktober 1945 diresmikan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dengan Ketua Umum Harsono Tjokroaminoto (yang masih dalam tahanan Kenpeitai) yang sekaligus putra dari Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan mendapat restu dari Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Rencananya, kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk hadiah dari Jepang akan segera diberikan. Tetapi ditentang oleh Soebadio dan Soebianto yang semestinya Soekarno menyatakan kemerdekaan Indonesia atas nama rakyat, bukan karena pemberian Jepang.

Malam itu, Soekarno didesak untuk membuat pernyataan kemerdekaan dan terjadi diskusi panas. Di tengarai, di kalangan pemuda terdapat empat faksi, yakni faksi Soekarni, faksi Sjahrir, faksi pelajar dan mahasiswa, dan faksi Kaigun.

Karena alotnya debat antara kaum muda dengan Soekarno-Hatta, muncul ide menculik Soekarno-Hatta dijauhkan dari keberadaan pihak Jepang di sekitarnya yang dikhawatirkan mempengaruhi keinginan merdeka atas nama rakyat —di luar skenario Jepang— ke Rengasdengklok pada 16 Agustus dini hari.

 

Bab: Rengasdengklok, Daerah Pertama Republik

Operasi PETA menjemput paksa Soekarno dilakukan dini hari 16 Agustus 1945 yang bertepatan dengan bulan Romadhon dengan sangat cepat.

Langkah tersebut diambil oleh aktivis pemuda dari hasil rapat di Asrama Mahasiswa jalan Cikini 71 pada jelang tengah malam 16 Agustus 1945 karena Soekarno menolak desakan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dan pemindahpaksaan Soekarno dan Hatta bertujuan agar tidak dipengaruhi Jepang.

Yang bertugas menculik Soekarno-Hatta: Soekarni, Singgih, Moewardi, dan Joesoef Koentho. Sedangkan Chaerul Saleh dan Wikana menyiapkan massa pemuda di Jakarta.

Moewardi menjemput Soekarno. Saat meninggalkan rumah, Soekarno diminta berkamuflase dengan seragam PETA dengan membawa Fatmawati dan Guntur (usia 9 bulan). Sedangkan Soekarni dan Singgih menjemput Hatta.

Hatta khawatir akan keselamatan revolusi jika Jepang tahu Soekarno-Hatta mengkhianati Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang sudah diagendakan akan dilaksanakan rapat pada pukul 10:00 untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia pada 19 Agustus 1945 dan mereka tidak ada di Jakarta.

Dengan kendaraan power wagon, Fatmawati dan Guntur duduk di samping sopir, sedangkan Soekarno-Hatta duduk jongkok di bak belakang bersama 20 aktivis pemuda berseragam prajurit PETA menuju markas PETA di Rengasdengklok.

Aktivitas di Rengasdengklok untuk pertama kali adalah membakar bendera Jepang; Hinomaru; kemudahan an diikuti upacara penaikan benderah Merah Putih dengan menyanyikan Indonesia Raya. Selesai upacara, Hadipranoto yang menjabat Camat, segera dinobatkan sebagai Wedana Rengasdengklok; daerah pertama Republik Indonesia yang sudah mereka bebaskan dari pendudukan Jepang. Dalam waktu setengah hari, PETA Rengasdengklok berhasil membangun wilayah basis pertama Republik yang bebas dan merdeka.

Kondisi di Jakarta, rapat PPKI terpaksa batal karena unsur pimpinan (Soekarno-Hatta) tidak hadir. Di sisi lain, aktivis pemuda mempersiapkan strategi menguasai Jakarta mulai pukul 01:00 Jum’at dini hari, 17 Agustus 1945.

Tetapi karena kondisi Jakarta ternyata aman terkendali —dan Soekarno-Hatta sudah dijemput Ahmad Soebardjo untuk kembali ke Jakarta dengan jaminan keselamatan, pukul 19:00 tanggal 16 Agustus tersebut, Soekarno sekeluarga dan Hatta kembali ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta —pukul 20:00, segera tokoh pergerakan tersebut rapat di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda.

 

Bab: Merancang Naskah Proklamasi

Pada 16 Agustus siang itu, Jepang sudah dicabut kekuasaannya dari Indonesia oleh Sekutu. Sehingga, janji Dai Nippon untuk memerdekakan Indonesia tidak mampu mereka penuhi. Andai rapat PPKI jam 10:00 terlaksana, Jepang masih memiliki kewenangan membantu memerdekakan Indonesia.

Sehingga jika pihak Republiken bertekad memerdekakan diri, kewenangan Sekutu dan Jepang (yang sudah tunduk kepada Sekutu) untuk menghalangi keinginan tersebut.

Tapi rencana pemberontakan sudah terlanjur matang dan siap eksekusi di Jakarta. Malam itu, Soekarni sibuk keliling Jakarta bersama Sajuti Melik dan Shigerada Nishijima —perwira staf Maeda— untuk membatalkan pemberontakan karena Soekarno-Hatta siap menyatakan kemerdekaan Indonesia atas nama rakyat.

Di tempat Maeda, telah berkumpul anggota PPKI untuk merumuskan naskah proklamasi. Hatta mendiktekan redaksi proklamasi, Soekarno yang menulis kalimat Hatta tersebut

Teks tersebut dikehendaki Hatta dan Soekarno ditandatangani semua yang ikut rapat. Tapi Soekarni mendesak hanya dua orang saja sebagai atas nama rakyat Indonesia. Karena secara prinsip, Soekarni tidak sudi disejajarkan dengan PPKI yang ia nilai sebagai kolaborator Jepang.

Teks proklamasi ditandatangani Soekarno dan Hatta sekitar pukul 04:00 pada 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia. Lokasi proklamasi yang sedianya disiapkan di Lapangan Gambir, seketika di interupsi Soekarno. Dan beliau menginginkan pembacaan proklamasi di halaman rumah beliau.

 

Bab: Proklamasi Kemerdekaan

Saat Jum’at dini hari itu tokoh-tokoh bangsa sedang menyiapkan proklamasi kemerdekaan, Fatmawati mendapat amanah menjahit dengan tangan bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat proklamasi nanti.

Dini hari itu —atas perintah Hatta, salinan naskah proklamasi sudah disebar ke pemancar Kantor Berita Domei sebagai jalan preventif jika pihak Jepang menggagalkan acara pembacaan proklamasi di Pegangsaan Timur No.56.

Pagi itu, di Lapangan Gambir sudah siap untuk acara pembacaan proklamasi dan dijaga ketat pasukan Rikugun (Angkatan Darat). Tetapi para Republiken telah mempersiapkan tempat definitif di Pegangsaan Timur No.56.

Kondisi Soekarno pagi itu sedang demam karena sejak penculikan hingga selesainya pembuatan konsep proklamasi, ia belum istirahat. Dan Hatta dipahami oleh Soekarno sebagai pribadi yang disiplin dan selalu tepat waktu.

Susunan acara yang sudah siapkan untuk proklamasi pukul 10:00:

Pertama, pembacaan proklamasi, dilanjutkan pidato singkat Soekarno.

Kedua, pengibaran Sang Saka Merah Putih.

Ketiga, sambutan Soewirjo; Ketua Panitia Penyelenggara.

Keempat, sambutan Dr. Moewardi; Kepala Keamanan.

Peristiwa yang spontan terjadi adalah menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sesaat setelah bendera dikibarkan. Dan acara tersebut tanpa protokoler. Semua dilakukan atas inisiatif dari yang hadir.

Karena sangat singkat dan mendesaknya proklamasi itu harus dibacakan, beberapa elemen pemuda dan tokoh terlambat mendapat berita, dan juga terlambat datang (setelah prosesi upacara selesai). Dan Soekarno menegaskan, bahwa proklamasi hanya sekali diucapkan dan berlaku untuk selamanya.

Momen penting tersebut sempat diabadikan oleh Frans Mendur yang hanya membawa tiga lembar filmplaat (bukan film rol).

Pasca pembacaan proklamasi, Soekarno didatangi pembesar Jepang; Kepala Polisi Jakarta dengan dua anak buahnya. Ancaman kepada Soekarno dari pihak kepolisian dapat diatasi. Dan Soekarno segera membentuk Barisan Berani Mati untuk barikade sekitar rumahnya.

 

Bab: Ketika Kemerdekaan Indonesia Diproklamasikan

Sejak malam, pasukan PETA segera mengamankan “ring 1” tempat pembacaan proklamasi esok hari.

Dalam waktu bersamaan, pembacaan proklamasi dilakukan juga secara paralel di Asrama Prapatan 10 oleh barisan mahasiswa yang digerakkan Aboe Bakar Loebis sebagai antisipasi jika acara di Pegangsaan Timur dibubarkan Jepang. Momen paralel tersebut tersambung secara live melalui telepon di kamar Soekarno oleh Mamahit. Sedangkan pembaca proklamasi di Prapatan 10 adalah Eri Soedewo; mahasiswa kedokteran.

Jika di Pegangsaan Timur sebagai pengibar benderanya adalah Latief Hendraningrat, di Prapatan diserahkan pada Moehandoko.

Siang itu, peristiwa dan redaksi proklamasi sudah termuat dalam media massa di Surabaya. Di Semarang —jelang adzan Jum’at, pembacaan proklamasi diperdengarkan melalui radio yang disambungkan pada pengeras suara di Masjid Besar. Bukittinggi mengetahui proklamasi pada Sabtu tengah hari (18 Agustus).

Pasca proklamasi, seluruh elemen PETA segera ambil inisiatif mengamankan persenjataan untuk menghadapi perkembangan pasca proklamasi.

Jum’at malam, Hatta menerima tamu seorang intelijen Kaigun yang menyampaikan keresahan warga timur Kaigun (Indonesia timur) atas tujuh kata dalam rumusan Undang-undang Dasar. Di mana UUD tersebut telah ditandatangani seluruh Panitia Sembilan, salah satunya Mr. Maramis. Tetapi demi cita-cita mempersatukan bangsa, Hatta bertekad menghilangkan atau merumuskan ulang dengan bijak ketujuh kata tersebut.

Sabtu itu, Mr. Sartono menyiapkan naskah Undang-undang Dasar.

Masa menunggu pasca proklamasi yang tak kunjung terbit instruksi revolusi, Dr. Moewardi, Latief Hendraningrat, dan Soediro berencana melumpuhkan tentara Jepang penjaga istana agar Soekarno-Hatta menempati singgasana tersebut.

Para mahasiswa dari Asrama Prapatan bertekad memanggil Soekarno-Hatta untuk segera menginstruksikan aksi pengambilalihan pemerintahan pada 19 Agustus.

 

Bab: Sesudah Proklamasi Kemerdekaan

Sabtu, 18 Agustus 1945, media massa Asia Raya memasang judul besar di halaman depan: “Pengangkatan Kepala Negara”, “Indonesia Merdeka”, dan “Soekarno dan Drs. Moh. Hatta”.

Media massa milik Jepang memilih menyensor berita tersebut. Sebab, Jepang beranggapan, bahwa ia menyerah pada Sekutu per-15 Agustus 1945. Dan wilayah pendudukan Jepang dialihkan dalam pengawasan dan kekuasaan Sekutu. Oleh karenanya, proklamasi kemerdekaan dinilai sebagai langkah ilegal.

Tentara pendudukan Jepang lupa, bahwa Perdana Menteri Koiso di Tokyo pernah menyatakan di depan parlemen Jepang pada 7 September 1944, bahwa Kerajaan Dai Nippon sudah memperkenankan kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari.

Sabtu itu, Hatta yang telah lebih dari 25 tahun berjuang demi mencapai Indonesia merdeka, bersatu, dan tidak terbagi-bagi, mengumpulkan Ki Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk membahas isi rancangan UUD 1945 —Piagam Jakarta— sebelum sidang PPKI. Sekitar 15 menit, diskusi panas untuk mendahulukan nasib bangsa dan persatuan di atas segala-galanya dengan mengganti tujuh kata dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Pada sidang PPKI dihasilkan keputusan mengganti istilah “Allah” dengan “Tuhan” (atas permintaan Mr. I Goesti Ketoet Poedja), istilah “Hukum Dasar” menjadi “Oendang-oendang Dasar”, menghapus tujuh kata pada pasal 29 ayat 1, dan mencoret kata “yang beragama Islam” pada pasal kriteria Presiden.

Pada sidang tersebut, Soekarno dan Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden secara aklamasi. Dan Soekarno menegaskan batas wilayah Indonesia meliputi bekas wilayah Hindia-Belanda.

Sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 sengaja mengagendakan pemilihan gubernur di tiap provinsi dan organisasi negara; Komite Nasional Indonesia (KNI). Selesai rapat, PPKI membubarkan diri karena tugas utamanya sudah selesai.

Seiring melemahnya pengaruh Jepang, pejuang Republiken bersiap membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada Senin, 20 Agustus 1945 dan membubarkan PETA. Dan BKR tiap daerah direkomendasikan bekerjasama dengan Komite Nasional Indonesia (KNI). Di mana pada waktu berikutnya, KNI ini membentuk partai politik; Partai Nasional Indonesia (PNI); dengan Soekarno sebagai Ketua Umumnya. Partai ini hanya bertahan dua pekan.

11 September 1945, hasil pertemuan pengelola radio Surabaya, Malang, Jogja, Semarang, dan Jakarta memutuskan dibentuk Persatuan Radio Republik Indonesia, dan meminta semua pemancar Hoso Kyoku diserahkan pada Indonesia.

 

Bab: Sejarah Akan Membersihkan Namaku

1 September 1945, dibentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) —yang pada perkembangannya berubah jadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Setelah itu, dibentuk Barisan Rakyat (Bara) dan Barisan Buruh Indonesia (BBI). Ketiga organisasi tersebut di bawah naungan Komite Aksi yang bermarkas di jalan Menteng 31.

Isi manifesto Komite Aksi yang meneguhkan eksistensi kemerdekaan Indonesia atas Jepang, mendasari aksi-aksi massa selanjutnya. Seolah menegaskan isi teks proklamasi “...pemindahan kekuasaan dan lain-lain”.

Pasca proklamasi, dibentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberikan nasihat mengenai penyelenggaraan pemerintahan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Anggota DPA saat itu adalah sembilan orang tokoh pergerakan yang paling disegani

Untuk membantu pembangunan ekonomi negara, dibuatlah perbankan nasional, yakni Bank Negara Indonesia.

2 September 1945 diumumkan terbentuknya kabinet presidensial yang masih mengadopsi sistem Jepang.

Kecenderungan Soekarno kepada kebijakan Jepang dalam program romusha merupakan catatan kelam. Tetapi Soekarno menyatakan, bahwa seluruh hidupnya ia orientasikan untuk Indonesia. Hal negatif apapun yang tersematkan pada beliau, ia tak peduli. “Sejarah pasti akan membersihkan namaku.”

 

Bab: Naar de Republiek Indonesia

Filosofi warna bendera Indonesia menurut Soekarno berdasarkan awal mula penciptaan manusia; darah seorang perempuan berwarna merah, darah seorang lelaki berwarna putih. Ia adalah perlambang keberanian dan kesucian.

Kompleks Monumen Nasional (Monas) dahulu —di masa Hindia-Belanda— bernama Champ de Mars (zaman gubernur Herman William Daendels), kemudian berubah nama menjadi Koningsplein. Tetapi masyarakat terbiasa menyebutnya lapangan Gambir (dekat stasiun Gambir). Sebagian lapangannya digunakan arena olahraga untuk Ikatan Atletik Djakarta (Ikada). Sebagian masyarakat menyebutnya lapangan Ikada. Saat pendudukan Jepang, lapangan tersebut diganti nama menjadi Hoko Hiruba. Tempat yang digunakan sebagai rapat raksasa inisiasi Ilyas Husein (nama samaran Tan Malaka) dalam rangka “memperingati satu bulan proklamasi kemerdekaan” pada 19 September 1945, sekaligus untuk menguji ada-tidaknya dukungan rakyat Jakarta terhadap kepemimpinan Soekarno-Hatta.

Tan Malaka bernama asli Sutan Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka. Idenya untuk merangkul umat Islam di wilayah terjajah atas kapitalisme menjadikannya diasingkan oleh para komunis doktriner.

Rapat raksasa di lapangan Gambir akhirnya terlaksana dengan singkat pada sore hari.

 

Bab: Kedatangan Inggris dan Hari Depan Kemerdekaan

Jabatan Panglima Besar Sekutu dipegang oleh Jenderal Douglas MacArthur.

Panglima SEAC (Southeast Asia Command) dijabat oleh Louis Mountbatten yang wilayahnya membentang dari Burma sampai Papua, dari Hanoi sampai Pulau Timor.

Ia blasteran Inggris-Jerman. Terlahir dengan nama Albert Victor Nicholas Louis Francis, dengan gelar Prince Louis Battenberg. Oleh karenanya, ia diberi nama Jerman “Battenberg”. Pada 1917, terjadi perang Inggris dengan Jerman, maka unsur Jerman pada nama beliau diganti dari “Battenberg” (“berg” semakna dengan “mount” yang berarti gunung) menjadi Mountbatten.

Saat mendengar Jakarta telah memproklamirkan kemerdekaan, 24 Agustus 1945 disetujui penggunaan NICA (Netherlands Indies Civil Affairs Administration) kepada Mountbatten dalam melaksanakan tugas melucuti bekas pasukan Jepang di Jawa dan Sumatera.

8 September 1945, Sekutu mengirim tim pendahulu di Kemayoran di bawah pimpinan Mayor Alan Greenhalgh.

15 September, dikirim Resimen 29 Seaford Highlanders di Pelabuhan Tanjung Priok.

22 September, Letnan Jenderal Sir Philip Christian mendarat di Jakarta bersama Divisi India III. Disusul pendaratan Divisi India V di bawah komando Mayor Jenderal H. Mansigh di Pelabuhan Tanjung Perak, dan Divisi India XXVI di bawah komando Mayor Jenderal A.H. Chambers di Pelabuhan Belawan, Medan.

Kedatangan Sekutu ke Jawa dan Sumatera membawa tiga tujuan, yakni melindungi dan menyelamatkan para tawanan perang Sekutu, melucuti tentara Jepang dan mengembalikan mereka ke negaranya, dan memelihara hukum dan menjamin ketertiban.

Kedatangan Sekutu yang diperintah harus menguasai sejumlah kota (Jakarta, Surabaya, Medan, dan Padang) tanpa berpikir menguasai seluruh Indonesia menimbulkan multitafsir bagi pihak Republiken dan Belanda. Bagi Belanda, Inggris tidak sepenuhnya membantu sekutunya (Belanda), dan bagi Indonesia dianggap sebagai langkah tersembunyi Belanda kembali berkuasa.

Selain itu, datangnya kekuatan militer Inggris dan Belanda yang makin gencar di Tanjung Priok makin menaikkan suhu kewaspadaan pihak Republiken.

Kenyataan Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya sangat mengejutkan Mountbatten.

Dengan keterbatasan pasukan dan logistik, Mountbatten memfokuskan kekuatannya di Jakarta dan Jawa Barat. Akibatnya, pertahanan pasukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur makin menguat.

Hubertus van Mook merancang konsep Negara Indonesia Timur yang bertujuan menghancurkan Republik Indonesia melalui dua agresi militer di Yogyakarta. Dan gagal. Jenderal Soedirman pun mampu mengusir pasukan Inggris dari Jawa Tengah dalam Palagan Ambarawa.

Surabaya pada November 1945 justru menjadi ladang pembantaian lebih dari 500 anggota resimen Fighting Cock dan dua jenderal; Mallaby dan Loder-Symonds.

Keberadaan Badan Keamanan Rakyat (BKR) makin tidak definitif, apakah sebagai polisi yang menjaga ketertiban atau militer yang wajib bertempur. Akhirnya pada 5 Oktober 1945, Soekarno menandatangani dekrit Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dan pada akhir Oktober, Jenderal Oerip Soemohardjo membagi Jawa menjadi 10 divisi: divisi I (Banten dan Bogor), divisi II (Jakarta sampai Cirebon), divisi III (Priangan), divisi IV (Pekalongan, Semarang, Pati), divisi V (Kedu dan Banyumas), divisi VI (Madiun dan Kediri), divisi VII (Surabaya, Madura, Bojonegoro), divisi VIII (Malang dan Besuki), divisi IX (DIY), dan divisi X (DI Surakarta). Di mana seluruh divisi di Jawa di bawah tiga komandemen (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), dan ditambah satu komandemen Sumatera.

Pada sidang “koboi” TKR di Jogja, menetapkan Soedirman sebagai Panglima Besar TKR dan segera merencanakan strategi “capit urang/udang” untuk memukul mundur pasukan Inggris di Magelang, Ambarawa, dan Banyubiru.

 

Bab: Djakarta, Kota Tak Bertuan

Aksi teror oleh tentara Belanda yang tergabung dalam pasukan NICA di Jakarta, membuat Soekarno marah. Terlebih pihak Inggris (Sekutu) seolah membiarkan hal itu terjadi dengan tetap berdalih akan bertanggung jawab atas terjaminnya hukum dan ketertiban di Jakarta.

Dengan demikian, pihak Republiken otomatis menghadapi tiga pihak sekaligus; pasukan NICA, tentara Jepang, dan tentara Inggris.

Dalam kondisi semacam itu, pihak Republiken sempat dibuat repot dengan selebaran maklumat perang misterius yang berisi ajakan memerangi Indo-Belanda, Ambon, dan Manado yang dianggap sebagai marsose (marechaussee); antek-antek Belanda. Dan sempat terjadi perang horizontal. Perang produk kontraintelijen tersebut hasil karya pihak Belanda.

Ambon semasa kedatangan Jan Pieterszoon Coen tahun 1621 mendapat perlakuan untuk menihilkan laki-laki; dibantai atau dijadikan budak ke Jawa. Ribuan pohon pala dan cengkeh dimusnahkan sebagai upaya mengendalikan harga rempah-rempah. Itu sebabnya, sebagian warga Ambon memiliki mental tunduk kepada penjajah.

Medio Oktober 1945, terjadi aksi perebutan kekuasaan di Tangerang oleh KH. Achmad Chairoen. Ia memecat semua pamongpraja, melumpuhkan kekuatan kepolisian, mendirikan pemerintahan komunis, dan memutuskan hubungan dengan Republik. Dalam sejarahnya, Chairoen pernah memimpin pemberontakan PKI pada 1925.

Selain itu, pasukan Inggris bergerak ke Bandung untuk membebaskan warga negara Sekutu yang ditahan dan melebarkan wilayah aman. Mereka mendapat perlawanan dari pihak Republiken. Dan rakyat Bandung memilih membumihanguskan kota daripada diduduki Sekutu.

Di saat yang sama, diadakan dekrit atas keberadaan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada fungsi eksekutif menjadi legislatif; sejajar dengan Presiden. Tetapi kabinet Soekarno tersebut tidak berumur lama; hanya 10 pekan. Sebab, rakyat yang siap mempertahankan kemerdekaan tidak sejalan dengan langkah politik Soekarno yang terkesan tak memiliki keberanian di depan penjajah.

 

Bab: Ekspres Malam Menuju Djogja

Awal 1946, Soekarno-Hatta sekeluarga meninggalkan Jakarta dengan sembunyi-sembunyi menuju Yogyakarta dengan Kereta Luar Biasa —beroperasi di luar jadwal— agar tidak diketahui pihak Inggris.

Awal Desember 1956, Hatta memutuskan pengunduran diri sebagai Wakil Presiden untuk menjadi warga negara biasa. Namun begitu, hubungan Hatta dengan Soekarno tetap terjaga baik. Bahkan dua hari sebelum Soekarno mangkat, Hatta membesuk Soekarno yang kondisi kesehatannya sangat menurun. Persahabatan itu tetap terjaga hingga akhir hayat.

 

Bibliografi

Judul: Djakarta 1945; Awal Revolusi Kemerdekaan

Penulis: Julius Pour

Tebal: xii+464 hlm.

Genre: Sejarah

Cetakan: I, 2013

ISBN: 978-602-249-326-6

Penerbit: Bhuana Ilmu Populer, Jakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar