“Saya
lebih suka mendengar kalimat atau pernyataan-pernyataan yang menunjukkan
kegagalan sang tokoh daripada kalimat-kalimat sarat sanjungan serta pujian.”
—Mochammad Hatta
Jakarta.
Secara keseluruhan, buku ini menyoroti
peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan dan apa yang terjadi di
Jakarta saat itu.
Membaca buku ini, kita seolah dibawa
pada kondisi di masa itu dan menghayati situasi saat itu melalui tuturan yang
runut dan detail. Terlebih, penulis sengaja menyuguhkan tulisan dengan ejaan
lama.
Selain pada kisah naratif, penulis juga
senantiasa mengenalkan sekilas profil tokoh yang akan dibicarakan pada paragraf
berikutnya. Sehingga, kita mendapatkan informasi lebih untuk dapat memahami
situasi yang dialami sang tokoh.
Jika sejauh ini kita mendapati
buku-buku berkisah tentang seputar Proklamasi, Perang Surabaya, Agresi Militer,
Palagan Ambarawa, buku ini seolah merangkum semua peristiwa-peristiwa beragam
judul di atas.
Dalam buku ini, kita akan menjumpai
tuturan para saksi mata terkait sejarah Sunda Kelapa terkait kesejarahan
Jakarta sebagai sentral pembahasan dalam buku ini dan latar belakang Perang
Asia Timur Raya, di mana keberadaan Jepang lebih banyak dibahas dalam bab-bab
buku ini.
Kekhawatiran dan ketegangan urat saraf
atau pertikaian para tokoh bangsa untuk berani mengambil keputusan merdeka
melalui proklamasi di tengah masa transisi kekalahan Jepang dan datangnya
Sekutu menghiasi awal-awal bab dalam buku ini. Bagaimana ketika Soekarno naik
pitam dan mengeluarkan tekadnya untuk di penggal kepalanya kepada tokoh pemuda
akibat ejekan Wikana —tokoh Kiri— yang mendesak dan mengejek sikap Soekarno
yang tidak segera memproklamirkan kemerdekaan.
Kita juga disuguhkan drama menegangkan
saat-saat di maka aksi penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok karena
khawatir Soekarno mengalami keterpengaruhan terhadap Jepang ketika para tokoh
pemuda menghendaki disegerakan pernyataan kemerdekaan dan kekhawatiran
terjadinya instabilitas di Jakarta saat itu yang ternyata tak terbukti.
Artinya, aksi penculikan dua hari tersebut sia-sia dan sempat memancing
kemarahan Fatmawati; istri Soekarno.
Di sisi lain, kisah Rengasdengklok tak
berhenti sampai di situ. Tokoh pemuda dan unsur pemuda terlatih mampu merebut
wilayah tersebut dari pendudukan Jepang. Bendera Merah-Putih pertama kali
ditegakkan di sana diiringi lagu Indonesia Raya. Praktis, Rengasdengklok
merupakan wilayah basis pertama Republik Indonesia yang bebas dan merdeka
sebelum proklamasi dibacakan.
Saat merumuskan proklamasi, kita
mengetahui bagaimana dilemanya tentara pendudukan Jepang terhadap tuntutan
kemerdekaan pihak Republiken. Sebab, pihak Jepang sudah berjanji akan memberi
kemerdekaan kepada Indonesia, tetapi Jepang ditaklukkan Sekutu sebelum tanggal
pemberian kemerdekaan itu tiba. Selain itu, kita mendapatkan informasi pemicu
mengapa muncul istilah “saudara tua” dan “saudara muda” ketika Jepang membujuk
Indonesia.
Kita juga akan disuguhkan selingan
kisah-kisah lucu seperti seorang staf Maeda; Nishijima; yang ketiduran hingga
bangun kesiangan setelah kelelahan membantu pihak Republiken berkoordinasi ke
sana-ke mari dan menyediakan tempat untuk para tokoh bangsa malam itu, sehingga
ia melewatkan momen penyusunan naskah proklamasi.
Dikisahkan pula bagaimana para barisan
mahasiswa menyiapkan rencana B untuk menghadapi kemungkinan yang tak diharapkan
saat pembacaan proklamasi. Mereka menyiapkan momen paralel di Asrama Prapatan
10, di mana susunan acara dan waktunya selalu dikabarkan dari ruang kerja
Soekarno.
Kebesaran hati para tokoh bangsa pun
diuji sehari setelah proklamasi, yakni memilih keutuhan bangsa atau memaksakan
kehendak sepihak atas beberapa pasal dalam rumusan Undang-undang Dasar 1945.
Meski ketegangan sempat mewarnai rumusan UUD 1945, selalu saja ada tokoh yang
bisa menjadi penengah dan menghadirkan kebersamaan demi kemanfaatan yang lebih
besar.
Bagi seluruh rakyat Indonesia,
keberanian Soekarno-Hatta mengambil keputusan memproklamirkan kemerdekaan atas
nama bangsa Indonesia menjadi tonggak penting. Namun begitu, beberapa bulan
setelah proklamasi, Tangerang memiliki kisah pengkhianatan sendiri. Chairoen
melakukan aksi perebutan kekuasaan dan memecat semua pamongpraja, juga
kepolisian dan mendirikan pemerintahan komunis sekaligus memutus hubungan
dengan Republik. Tokoh PKI ini memiliki sejarah pemberontakan yang sama pada
1925.
Setidaknya, ketegangan dalam buku ini
disajikan sampai akhir tahun 1945, yakni pada Perang Surabaya. Di mana bagi
pihak Republiken, apa yang dilakukan Sekutu di Surabaya sudah melampaui amanah
yang ditugaskan kepada mereka; mengamankan, mendeportasi tentara pendudukan
Jepang, dan membebaskan tawanan interniran. Pada kenyataannya mereka meneror
rakyat Surabaya, mempersenjatai para tawanan interniran, dan mendaratkan ribuan
tentara di sana. Tanah ini pula yang dinilai Kerajaan Inggris sebagai tempat
kesialan dan membuat malu di mata dunia. Sebab, Inggris —di bawah komando
Mallaby— menjadi pemenang Perang Dunia II. Kenyataan pahit terjadi ketika
Mallaby tewas di Surabaya. Tempat di mana rakyatnya tidak terlatih, tak
memiliki senjata perang canggih, terlebih ada di negara yang baru saja lahir.
Tentu ini menjadi tamparan keras dan memalukan. Lebih detail terkait
pertempuran di Surabaya, dapat dibaca dalam buku “Pertempuran Surabaya November1945” tuturan Des Alwi.
Meski tak sedetail buku-buku yang
khusus membahas tiap peristiwa, seperti Seputar Proklamasi, Agresi Militer,
Perang Ambarawa, Perang Surabaya, buku ini setidaknya mampu menanamkan rasa
patriotik dan menjadi benang merah bagi wawasan kesejarahan generasi saat ini.
Buku ini direkomendasikan untuk para
pelajar dalam mendukung proyek literasi pelajar Pancasila dengan memberikan
tugas kepada tiap kelompok untuk membaca, mendiskusikan, dan mempresentasikan
di depan kelas masing-masing satu bab.
Resume
Bab: Menunggu Musim Berganti
“Pada 22
Juni 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut Fadillah Khan alias Fatahillah;
menantu Sultan Trenggono dari Demak. Keberhasilan mengusir kekuasaan Portugis
ditandainya dengan memberikan sebuah nama baru bagi Sunda Kelapa. Dia
menamakannya Jayakarta. Sampai sekarang, tanggal itulah yang dirayakan sebagai
Hari Jadi Kota Jakarta.” —Prof. Dr. Soekanto
Awal abad
XVII, Belanda berhasil menguasai Jayakarta. Pada 1618, Jan Pieterszoon Coen
diangkat jadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Ia mengganti nama Jayakarta
dengan Nieuw Hoorn —diambil dari nama kota kelahirannya di Belanda. Tapi tidak
disetujui atasannya di negeri Belanda, dan lebih setuju dengan nama Batavia.
Jauh
sebelum Pearl Harbour diserang, Jepang sudah mempelajari ilmu hukum, peta-peta
kota di Jawa, hingga nama-nama anggota Dewan Kota-Kabupaten. Bahkan sekitar
1930-an, pakar antropologi budaya Jepang mulai mempelajari persamaan ciri fisik
dan budaya Jepang dengan masyarakat Malayo-Polinesia. Sehingga mereka ciptakan
keyakinan, bahwa leluhur mereka bermigrasi ke Selatan (Jawa). Oleh karenanya mereka
menyebut “Saudara Tua” terhadap masyarakat Jawa.
8 Maret
1942, pasukan Jepang membuang nama Batavia (dialek setempat: Betawi) dan
mengembalikan menjadi Jakarta.
Menurut
sejarawan Universitas Nagoya; Aiko Kurusawa Inomata; sejak awal pendudukan,
penguasa Jepang dengan sikap teguh memegang prinsip tidak akan memberikan
kesempatan merdeka kepada rakyat Indonesia.
Penguasa
Jepang memanfaatkan ramalan Joyoboyo sebagai alat propagandanya menguasai
“Hindia-Belanda”; “Orang-orang berkulit kuning akan datang dari Utara untuk
membebaskan Pulau Jawa dari perbudakan bangsa kulit putih.”
Segera
setelah pemerintah Hindia-Belanda bubar, warga masyarakat setempat mengibarkan
bendera Merah Putih dengan perasaan bangga.
20 Maret
1942, Jepang mengeluarkan keputusan pembubaran semua partai politik, organisasi
massa, dan organisasi mahasiswa di Jawa. Aktivitas politik dilarang, bendera
Merah Putih dilarang dikibarkan, lagu “Indonesia Raya” tidak boleh dinyanyikan.
Masyarakat Jawa pun tertipu.
Untuk
meraih simpati, tentara pendudukan Jepang membuat organisasi massa di Jawa dan
Sumatera dengan nama “Putera” (Pusat Tenaga Rakyat) dengan Soekarno sebagai
ketua.
Kebijakan
garis lunak yang diterapkan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura kepada Soekarno, mendapat
tentangan banyak pihak dari pemerintah Jepang. Hingga kemudian Imamura dimutasi
ke Papua.
5 September
1943, Saiki Shikikan; Panglima Militer Wilayah XVI; meresmikan lembaga Chuo
Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) dengan ketuanya Soekarno. Dan Jepang
memobilisasi pemuda Indonesia ikut Heiho (pembantu tentara) serta pada Oktober
1943 membentuk PETA (Pembela Tanah Air).
Menyadari
kekeliruannya tidak mengundang Indonesia dalam Konferensi Asia Timur Raya pada
November 1943, Jepang mengundang Soekarno, Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo ke
Jepang bertemu Tenno Heika. Sepulang dari Jepang, perwakilan Indonesia tidak
mendapat kepastian kapan diberi kemerdekaan.
Awal 1945,
Sekutu telah mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Markas Besar Armada Selatan
II Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Makassar mendapat serangan berhari-hari,
memaksa Laksamana Yaichiro Shibata; Panglima Armada Selatan II; memindahkan
markasnya ke Singaraja, Bali Utara.
15 Agustus
1945, Kaisar Hirohito menyerah atas gempuran Sekutu.
Bab: Perjalanan Panjang Menuju Kemerdekaan
“Masyarakat
Indonesia belum memiliki kesatuan pendapat mengenai bentuk negara seandainya
kemerdekaan berhasil dicapai. Sebuah kelompok menghendaki federasi, tetapi yang
lain menginginkan negara kesatuan. Melalui perdebatan panjang, akhirnya
tercapai kesepakatan untuk memilih bentuk negara kesatuan.” —Shigetada
Nashijima (staf Kantor Penghubung Kaigun Jakarta)
Mei 1945,
tentara pendudukan Jepang membentuk PPOPKI (Panitia Penjelidik Oesaha-oesaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai Dr. K.R.T. Radjiman
Wediodiningrat.
Pada masa
pendudukan Jepang, Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah komando; Jawa dan
Madura di bawah kendali Osamu Shudan (Angkatan Darat XVI) di Jakarta, Sumatera
di bawah Tomi Shudan (Angkatan Darat XXV) di Bukittinggi, dan selainnya di
bawah kendali Dai Ni Nankenkantai (Angkatan Laut) di Makassar. Dua angkatan
militer tersebut di bawah kendali Terauchi yang bermarkas di Dalat (sekarang
Vietnam).
Laksamana
Yaichiro Shibata; Panglima Armada Selatan II Kaigun; bersimpati terhadap
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Oleh karenanya, ia membongkar gudang senjata
di Surabaya untuk pejuang republiken menghadapi gempuran Inggris pada November
1945.
Pada sidang
PPOPKI kedua 11-17 Juli 1945 dibahas bentuk negara (suara terbanyak menghendaki
Republik) dan luas negara dengan tiga pilihan; mencakup seluruh bekas wilayah
Hindia-Belanda, seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda ditambah Semenanjung
Malaya tanpa Papua, dan seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda ditambah Malaya,
Borneo Utara, Timor Portugis, Papua, dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Dan
hasil voting dominan pada pilihan ketiga. Hal yang tak disangka oleh Jepang
yang baru dikonsep sebatas kemerdekaan Jawa saja.
2 Agustus
1945, Markas Besar Militer di Tokyo membentuk Panitia Pembimbing Persiapan
Kemerdekaan.
6 Agustus
1945, bom atom menghancurkan Hiroshima. Dan 9 Agustus 1945, Nagasaki
luluhlantak oleh bom atom.
7 Agustus
1945, PPOPKI dibubarkan dan langsung didirikan Dokuritsu Junbi Inkai; Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); dengan ketuanya Soekarno.
12 Agustus
1945, Marsekal Hisaichi Terauchi; Panglima Tertinggi Militer Jepang di Asia
Tenggara; menyatakan bahwa urusan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya diserahkan
kepada rakyat Indonesia.
“Kami
orang-orang Jepang tidak menjadi ibu yang akan melahirkan anaknya. Kami hanya
bertindak sebagai bidan.” —Yasuo Ichibangase
“Peranan
Dai Nippon Teikoku dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia tidak lebih dari
peranan seorang bidan.” —Soekarno
Bab: Penggal Kepalaku Sekarang Juga
Soekarno
memiliki sifat keras kepala dan ujub (membanggakan diri sendiri). Oleh
karenanya, ia sangat menyukai sanjungan dan membenci orang-orang di sekitarnya
yang tak sepaham dengannya.
Maret 1943,
dibuka Sekolah Tinggi Kedokteran oleh Jepang yang ia beri nama Ika Daigaku.
Kebijakan pemerintah Jepang yang mewajibkan semua mahasiswa harus digunduli
menimbulkan reaksi perlawanan dari mahasiswa Indonesia. Bahkan tak jarang
mahasiswa Indonesia yang harus meringkuk dalam sel sempit karena melawan
kebijakan kampus dengan hukum Jepang tersebut. Soedarpo, Soedjatmoko, Sanjoto,
Daan Jahja, Soeroto Koentho, Poerwoko, Petir Moeharto, Oetarjo, dan Soebianto
di keluarkan dari kampus.
Daan Jahja
dan Oetarjo masuk PETA, Soebianto dan Soeroto Koentho masuk Sekolah Tinggi
Islam, Petir Moeharto jadi guru kemudian masuk militer Angkatan Udara, Sanjoto
bekerja di Kyo Keiko (Jawatan Kepenjaraan).
2 Oktober
1945 diresmikan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dengan Ketua Umum Harsono
Tjokroaminoto (yang masih dalam tahanan Kenpeitai) yang sekaligus putra dari
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan mendapat restu dari Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia).
Rencananya,
kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk hadiah dari Jepang akan segera diberikan.
Tetapi ditentang oleh Soebadio dan Soebianto yang semestinya Soekarno
menyatakan kemerdekaan Indonesia atas nama rakyat, bukan karena pemberian
Jepang.
Malam itu,
Soekarno didesak untuk membuat pernyataan kemerdekaan dan terjadi diskusi
panas. Di tengarai, di kalangan pemuda terdapat empat faksi, yakni faksi
Soekarni, faksi Sjahrir, faksi pelajar dan mahasiswa, dan faksi Kaigun.
Karena
alotnya debat antara kaum muda dengan Soekarno-Hatta, muncul ide menculik
Soekarno-Hatta dijauhkan dari keberadaan pihak Jepang di sekitarnya yang
dikhawatirkan mempengaruhi keinginan merdeka atas nama rakyat —di luar skenario
Jepang— ke Rengasdengklok pada 16 Agustus dini hari.
Bab: Rengasdengklok, Daerah Pertama Republik
Operasi
PETA menjemput paksa Soekarno dilakukan dini hari 16 Agustus 1945 yang
bertepatan dengan bulan Romadhon dengan sangat cepat.
Langkah
tersebut diambil oleh aktivis pemuda dari hasil rapat di Asrama Mahasiswa jalan
Cikini 71 pada jelang tengah malam 16 Agustus 1945 karena Soekarno menolak
desakan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dan pemindahpaksaan Soekarno dan
Hatta bertujuan agar tidak dipengaruhi Jepang.
Yang
bertugas menculik Soekarno-Hatta: Soekarni, Singgih, Moewardi, dan Joesoef
Koentho. Sedangkan Chaerul Saleh dan Wikana menyiapkan massa pemuda di Jakarta.
Moewardi
menjemput Soekarno. Saat meninggalkan rumah, Soekarno diminta berkamuflase
dengan seragam PETA dengan membawa Fatmawati dan Guntur (usia 9 bulan).
Sedangkan Soekarni dan Singgih menjemput Hatta.
Hatta
khawatir akan keselamatan revolusi jika Jepang tahu Soekarno-Hatta mengkhianati
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang sudah diagendakan akan
dilaksanakan rapat pada pukul 10:00 untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia
pada 19 Agustus 1945 dan mereka tidak ada di Jakarta.
Dengan
kendaraan power wagon, Fatmawati dan Guntur duduk di samping sopir, sedangkan
Soekarno-Hatta duduk jongkok di bak belakang bersama 20 aktivis pemuda
berseragam prajurit PETA menuju markas PETA di Rengasdengklok.
Aktivitas
di Rengasdengklok untuk pertama kali adalah membakar bendera Jepang; Hinomaru;
kemudahan an diikuti upacara penaikan benderah Merah Putih dengan menyanyikan
Indonesia Raya. Selesai upacara, Hadipranoto yang menjabat Camat, segera
dinobatkan sebagai Wedana Rengasdengklok; daerah pertama Republik Indonesia
yang sudah mereka bebaskan dari pendudukan Jepang. Dalam waktu setengah hari,
PETA Rengasdengklok berhasil membangun wilayah basis pertama Republik yang
bebas dan merdeka.
Kondisi di
Jakarta, rapat PPKI terpaksa batal karena unsur pimpinan (Soekarno-Hatta) tidak
hadir. Di sisi lain, aktivis pemuda mempersiapkan strategi menguasai Jakarta
mulai pukul 01:00 Jum’at dini hari, 17 Agustus 1945.
Tetapi
karena kondisi Jakarta ternyata aman terkendali —dan Soekarno-Hatta sudah
dijemput Ahmad Soebardjo untuk kembali ke Jakarta dengan jaminan keselamatan,
pukul 19:00 tanggal 16 Agustus tersebut, Soekarno sekeluarga dan Hatta kembali
ke Jakarta.
Sesampainya
di Jakarta —pukul 20:00, segera tokoh pergerakan tersebut rapat di rumah
Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Bab: Merancang Naskah Proklamasi
Pada 16
Agustus siang itu, Jepang sudah dicabut kekuasaannya dari Indonesia oleh
Sekutu. Sehingga, janji Dai Nippon untuk memerdekakan Indonesia tidak mampu
mereka penuhi. Andai rapat PPKI jam 10:00 terlaksana, Jepang masih memiliki
kewenangan membantu memerdekakan Indonesia.
Sehingga
jika pihak Republiken bertekad memerdekakan diri, kewenangan Sekutu dan Jepang
(yang sudah tunduk kepada Sekutu) untuk menghalangi keinginan tersebut.
Tapi
rencana pemberontakan sudah terlanjur matang dan siap eksekusi di Jakarta.
Malam itu, Soekarni sibuk keliling Jakarta bersama Sajuti Melik dan Shigerada
Nishijima —perwira staf Maeda— untuk membatalkan pemberontakan karena Soekarno-Hatta
siap menyatakan kemerdekaan Indonesia atas nama rakyat.
Di tempat
Maeda, telah berkumpul anggota PPKI untuk merumuskan naskah proklamasi. Hatta
mendiktekan redaksi proklamasi, Soekarno yang menulis kalimat Hatta tersebut
Teks
tersebut dikehendaki Hatta dan Soekarno ditandatangani semua yang ikut rapat.
Tapi Soekarni mendesak hanya dua orang saja sebagai atas nama rakyat Indonesia.
Karena secara prinsip, Soekarni tidak sudi disejajarkan dengan PPKI yang ia
nilai sebagai kolaborator Jepang.
Teks
proklamasi ditandatangani Soekarno dan Hatta sekitar pukul 04:00 pada 17
Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia. Lokasi proklamasi yang sedianya
disiapkan di Lapangan Gambir, seketika di interupsi Soekarno. Dan beliau
menginginkan pembacaan proklamasi di halaman rumah beliau.
Bab: Proklamasi Kemerdekaan
Saat Jum’at
dini hari itu tokoh-tokoh bangsa sedang menyiapkan proklamasi kemerdekaan,
Fatmawati mendapat amanah menjahit dengan tangan bendera Merah Putih untuk
dikibarkan saat proklamasi nanti.
Dini hari
itu —atas perintah Hatta, salinan naskah proklamasi sudah disebar ke pemancar
Kantor Berita Domei sebagai jalan preventif jika pihak Jepang menggagalkan
acara pembacaan proklamasi di Pegangsaan Timur No.56.
Pagi itu,
di Lapangan Gambir sudah siap untuk acara pembacaan proklamasi dan dijaga ketat
pasukan Rikugun (Angkatan Darat). Tetapi para Republiken telah mempersiapkan
tempat definitif di Pegangsaan Timur No.56.
Kondisi
Soekarno pagi itu sedang demam karena sejak penculikan hingga selesainya
pembuatan konsep proklamasi, ia belum istirahat. Dan Hatta dipahami oleh
Soekarno sebagai pribadi yang disiplin dan selalu tepat waktu.
Susunan
acara yang sudah siapkan untuk proklamasi pukul 10:00:
Pertama,
pembacaan proklamasi, dilanjutkan pidato singkat Soekarno.
Kedua,
pengibaran Sang Saka Merah Putih.
Ketiga,
sambutan Soewirjo; Ketua Panitia Penyelenggara.
Keempat,
sambutan Dr. Moewardi; Kepala Keamanan.
Peristiwa
yang spontan terjadi adalah menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sesaat setelah
bendera dikibarkan. Dan acara tersebut tanpa protokoler. Semua dilakukan atas
inisiatif dari yang hadir.
Karena
sangat singkat dan mendesaknya proklamasi itu harus dibacakan, beberapa elemen
pemuda dan tokoh terlambat mendapat berita, dan juga terlambat datang (setelah
prosesi upacara selesai). Dan Soekarno menegaskan, bahwa proklamasi hanya
sekali diucapkan dan berlaku untuk selamanya.
Momen
penting tersebut sempat diabadikan oleh Frans Mendur yang hanya membawa tiga
lembar filmplaat (bukan film rol).
Pasca
pembacaan proklamasi, Soekarno didatangi pembesar Jepang; Kepala Polisi Jakarta
dengan dua anak buahnya. Ancaman kepada Soekarno dari pihak kepolisian dapat
diatasi. Dan Soekarno segera membentuk Barisan Berani Mati untuk barikade
sekitar rumahnya.
Bab: Ketika Kemerdekaan Indonesia
Diproklamasikan
Sejak
malam, pasukan PETA segera mengamankan “ring 1” tempat pembacaan proklamasi
esok hari.
Dalam waktu
bersamaan, pembacaan proklamasi dilakukan juga secara paralel di Asrama
Prapatan 10 oleh barisan mahasiswa yang digerakkan Aboe Bakar Loebis sebagai
antisipasi jika acara di Pegangsaan Timur dibubarkan Jepang. Momen paralel
tersebut tersambung secara live melalui telepon di kamar Soekarno oleh Mamahit.
Sedangkan pembaca proklamasi di Prapatan 10 adalah Eri Soedewo; mahasiswa
kedokteran.
Jika di
Pegangsaan Timur sebagai pengibar benderanya adalah Latief Hendraningrat, di
Prapatan diserahkan pada Moehandoko.
Siang itu,
peristiwa dan redaksi proklamasi sudah termuat dalam media massa di Surabaya.
Di Semarang —jelang adzan Jum’at, pembacaan proklamasi diperdengarkan melalui
radio yang disambungkan pada pengeras suara di Masjid Besar. Bukittinggi
mengetahui proklamasi pada Sabtu tengah hari (18 Agustus).
Pasca
proklamasi, seluruh elemen PETA segera ambil inisiatif mengamankan persenjataan
untuk menghadapi perkembangan pasca proklamasi.
Jum’at
malam, Hatta menerima tamu seorang intelijen Kaigun yang menyampaikan keresahan
warga timur Kaigun (Indonesia timur) atas tujuh kata dalam rumusan
Undang-undang Dasar. Di mana UUD tersebut telah ditandatangani seluruh Panitia
Sembilan, salah satunya Mr. Maramis. Tetapi demi cita-cita mempersatukan
bangsa, Hatta bertekad menghilangkan atau merumuskan ulang dengan bijak ketujuh
kata tersebut.
Sabtu itu,
Mr. Sartono menyiapkan naskah Undang-undang Dasar.
Masa
menunggu pasca proklamasi yang tak kunjung terbit instruksi revolusi, Dr.
Moewardi, Latief Hendraningrat, dan Soediro berencana melumpuhkan tentara
Jepang penjaga istana agar Soekarno-Hatta menempati singgasana tersebut.
Para
mahasiswa dari Asrama Prapatan bertekad memanggil Soekarno-Hatta untuk segera
menginstruksikan aksi pengambilalihan pemerintahan pada 19 Agustus.
Bab: Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Sabtu, 18
Agustus 1945, media massa Asia Raya memasang judul besar di halaman depan:
“Pengangkatan Kepala Negara”, “Indonesia Merdeka”, dan “Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta”.
Media massa
milik Jepang memilih menyensor berita tersebut. Sebab, Jepang beranggapan,
bahwa ia menyerah pada Sekutu per-15 Agustus 1945. Dan wilayah pendudukan
Jepang dialihkan dalam pengawasan dan kekuasaan Sekutu. Oleh karenanya,
proklamasi kemerdekaan dinilai sebagai langkah ilegal.
Tentara
pendudukan Jepang lupa, bahwa Perdana Menteri Koiso di Tokyo pernah menyatakan
di depan parlemen Jepang pada 7 September 1944, bahwa Kerajaan Dai Nippon sudah
memperkenankan kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari.
Sabtu itu,
Hatta yang telah lebih dari 25 tahun berjuang demi mencapai Indonesia merdeka,
bersatu, dan tidak terbagi-bagi, mengumpulkan Ki Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasjim,
Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk membahas isi rancangan UUD 1945
—Piagam Jakarta— sebelum sidang PPKI. Sekitar 15 menit, diskusi panas untuk
mendahulukan nasib bangsa dan persatuan di atas segala-galanya dengan mengganti
tujuh kata dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Pada sidang
PPKI dihasilkan keputusan mengganti istilah “Allah” dengan “Tuhan” (atas
permintaan Mr. I Goesti Ketoet Poedja), istilah “Hukum Dasar” menjadi
“Oendang-oendang Dasar”, menghapus tujuh kata pada pasal 29 ayat 1, dan mencoret
kata “yang beragama Islam” pada pasal kriteria Presiden.
Pada sidang
tersebut, Soekarno dan Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden
secara aklamasi. Dan Soekarno menegaskan batas wilayah Indonesia meliputi bekas
wilayah Hindia-Belanda.
Sidang PPKI
tanggal 19 Agustus 1945 sengaja mengagendakan pemilihan gubernur di tiap
provinsi dan organisasi negara; Komite Nasional Indonesia (KNI). Selesai rapat,
PPKI membubarkan diri karena tugas utamanya sudah selesai.
Seiring
melemahnya pengaruh Jepang, pejuang Republiken bersiap membentuk Badan Keamanan
Rakyat (BKR) pada Senin, 20 Agustus 1945 dan membubarkan PETA. Dan BKR tiap
daerah direkomendasikan bekerjasama dengan Komite Nasional Indonesia (KNI). Di
mana pada waktu berikutnya, KNI ini membentuk partai politik; Partai Nasional
Indonesia (PNI); dengan Soekarno sebagai Ketua Umumnya. Partai ini hanya
bertahan dua pekan.
11
September 1945, hasil pertemuan pengelola radio Surabaya, Malang, Jogja,
Semarang, dan Jakarta memutuskan dibentuk Persatuan Radio Republik Indonesia,
dan meminta semua pemancar Hoso Kyoku
diserahkan pada Indonesia.
Bab: Sejarah Akan Membersihkan Namaku
1 September
1945, dibentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) —yang pada perkembangannya berubah
jadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Setelah itu, dibentuk Barisan Rakyat
(Bara) dan Barisan Buruh Indonesia (BBI). Ketiga organisasi tersebut di bawah
naungan Komite Aksi yang bermarkas di jalan Menteng 31.
Isi
manifesto Komite Aksi yang meneguhkan eksistensi kemerdekaan Indonesia atas
Jepang, mendasari aksi-aksi massa selanjutnya. Seolah menegaskan isi teks
proklamasi “...pemindahan kekuasaan dan lain-lain”.
Pasca
proklamasi, dibentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberikan nasihat
mengenai penyelenggaraan pemerintahan kepada Presiden dan Wakil Presiden.
Anggota DPA saat itu adalah sembilan orang tokoh pergerakan yang paling
disegani
Untuk
membantu pembangunan ekonomi negara, dibuatlah perbankan nasional, yakni Bank
Negara Indonesia.
2 September
1945 diumumkan terbentuknya kabinet presidensial yang masih mengadopsi sistem
Jepang.
Kecenderungan
Soekarno kepada kebijakan Jepang dalam program romusha merupakan catatan kelam.
Tetapi Soekarno menyatakan, bahwa seluruh hidupnya ia orientasikan untuk
Indonesia. Hal negatif apapun yang tersematkan pada beliau, ia tak peduli.
“Sejarah pasti akan membersihkan namaku.”
Bab: Naar de Republiek Indonesia
Filosofi
warna bendera Indonesia menurut Soekarno berdasarkan awal mula penciptaan
manusia; darah seorang perempuan berwarna merah, darah seorang lelaki berwarna
putih. Ia adalah perlambang keberanian dan kesucian.
Kompleks
Monumen Nasional (Monas) dahulu —di masa Hindia-Belanda— bernama Champ de Mars
(zaman gubernur Herman William Daendels), kemudian berubah nama menjadi
Koningsplein. Tetapi masyarakat terbiasa menyebutnya lapangan Gambir (dekat
stasiun Gambir). Sebagian lapangannya digunakan arena olahraga untuk Ikatan
Atletik Djakarta (Ikada). Sebagian masyarakat menyebutnya lapangan Ikada. Saat
pendudukan Jepang, lapangan tersebut diganti nama menjadi Hoko Hiruba. Tempat
yang digunakan sebagai rapat raksasa inisiasi Ilyas Husein (nama samaran Tan
Malaka) dalam rangka “memperingati satu bulan proklamasi kemerdekaan” pada 19
September 1945, sekaligus untuk menguji ada-tidaknya dukungan rakyat Jakarta
terhadap kepemimpinan Soekarno-Hatta.
Tan Malaka
bernama asli Sutan Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka. Idenya untuk merangkul
umat Islam di wilayah terjajah atas kapitalisme menjadikannya diasingkan oleh
para komunis doktriner.
Rapat
raksasa di lapangan Gambir akhirnya terlaksana dengan singkat pada sore hari.
Bab: Kedatangan Inggris dan Hari Depan
Kemerdekaan
Jabatan
Panglima Besar Sekutu dipegang oleh Jenderal Douglas MacArthur.
Panglima
SEAC (Southeast Asia Command) dijabat
oleh Louis Mountbatten yang wilayahnya membentang dari Burma sampai Papua, dari
Hanoi sampai Pulau Timor.
Ia
blasteran Inggris-Jerman. Terlahir dengan nama Albert Victor Nicholas Louis
Francis, dengan gelar Prince Louis Battenberg. Oleh karenanya, ia diberi nama
Jerman “Battenberg”. Pada 1917, terjadi perang Inggris dengan Jerman, maka
unsur Jerman pada nama beliau diganti dari “Battenberg” (“berg” semakna dengan
“mount” yang berarti gunung) menjadi Mountbatten.
Saat
mendengar Jakarta telah memproklamirkan kemerdekaan, 24 Agustus 1945 disetujui
penggunaan NICA (Netherlands Indies Civil
Affairs Administration) kepada Mountbatten dalam melaksanakan tugas
melucuti bekas pasukan Jepang di Jawa dan Sumatera.
8 September
1945, Sekutu mengirim tim pendahulu di Kemayoran di bawah pimpinan Mayor Alan
Greenhalgh.
15
September, dikirim Resimen 29 Seaford Highlanders di Pelabuhan Tanjung Priok.
22 September,
Letnan Jenderal Sir Philip Christian mendarat di Jakarta bersama Divisi India
III. Disusul pendaratan Divisi India V di bawah komando Mayor Jenderal H.
Mansigh di Pelabuhan Tanjung Perak, dan Divisi India XXVI di bawah komando
Mayor Jenderal A.H. Chambers di Pelabuhan Belawan, Medan.
Kedatangan
Sekutu ke Jawa dan Sumatera membawa tiga tujuan, yakni melindungi dan
menyelamatkan para tawanan perang Sekutu, melucuti tentara Jepang dan
mengembalikan mereka ke negaranya, dan memelihara hukum dan menjamin
ketertiban.
Kedatangan
Sekutu yang diperintah harus menguasai sejumlah kota (Jakarta, Surabaya, Medan,
dan Padang) tanpa berpikir menguasai seluruh Indonesia menimbulkan multitafsir
bagi pihak Republiken dan Belanda. Bagi Belanda, Inggris tidak sepenuhnya
membantu sekutunya (Belanda), dan bagi Indonesia dianggap sebagai langkah
tersembunyi Belanda kembali berkuasa.
Selain itu,
datangnya kekuatan militer Inggris dan Belanda yang makin gencar di Tanjung
Priok makin menaikkan suhu kewaspadaan pihak Republiken.
Kenyataan
Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya sangat mengejutkan Mountbatten.
Dengan
keterbatasan pasukan dan logistik, Mountbatten memfokuskan kekuatannya di
Jakarta dan Jawa Barat. Akibatnya, pertahanan pasukan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur makin menguat.
Hubertus
van Mook merancang konsep Negara Indonesia Timur yang bertujuan menghancurkan
Republik Indonesia melalui dua agresi militer di Yogyakarta. Dan gagal.
Jenderal Soedirman pun mampu mengusir pasukan Inggris dari Jawa Tengah dalam
Palagan Ambarawa.
Surabaya
pada November 1945 justru menjadi ladang pembantaian lebih dari 500 anggota
resimen Fighting Cock dan dua jenderal; Mallaby dan Loder-Symonds.
Keberadaan
Badan Keamanan Rakyat (BKR) makin tidak definitif, apakah sebagai polisi yang
menjaga ketertiban atau militer yang wajib bertempur. Akhirnya pada 5 Oktober
1945, Soekarno menandatangani dekrit Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dan pada
akhir Oktober, Jenderal Oerip Soemohardjo membagi Jawa menjadi 10 divisi:
divisi I (Banten dan Bogor), divisi II (Jakarta sampai Cirebon), divisi III
(Priangan), divisi IV (Pekalongan, Semarang, Pati), divisi V (Kedu dan
Banyumas), divisi VI (Madiun dan Kediri), divisi VII (Surabaya, Madura,
Bojonegoro), divisi VIII (Malang dan Besuki), divisi IX (DIY), dan divisi X (DI
Surakarta). Di mana seluruh divisi di Jawa di bawah tiga komandemen (Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), dan ditambah satu komandemen Sumatera.
Pada sidang
“koboi” TKR di Jogja, menetapkan Soedirman sebagai Panglima Besar TKR dan
segera merencanakan strategi “capit urang/udang” untuk memukul mundur pasukan
Inggris di Magelang, Ambarawa, dan Banyubiru.
Bab: Djakarta, Kota Tak Bertuan
Aksi teror
oleh tentara Belanda yang tergabung dalam pasukan NICA di Jakarta, membuat
Soekarno marah. Terlebih pihak Inggris (Sekutu) seolah membiarkan hal itu
terjadi dengan tetap berdalih akan bertanggung jawab atas terjaminnya hukum dan
ketertiban di Jakarta.
Dengan
demikian, pihak Republiken otomatis menghadapi tiga pihak sekaligus; pasukan
NICA, tentara Jepang, dan tentara Inggris.
Dalam
kondisi semacam itu, pihak Republiken sempat dibuat repot dengan selebaran
maklumat perang misterius yang berisi ajakan memerangi Indo-Belanda, Ambon, dan
Manado yang dianggap sebagai marsose (marechaussee);
antek-antek Belanda. Dan sempat terjadi perang horizontal. Perang produk
kontraintelijen tersebut hasil karya pihak Belanda.
Ambon
semasa kedatangan Jan Pieterszoon Coen tahun 1621 mendapat perlakuan untuk
menihilkan laki-laki; dibantai atau dijadikan budak ke Jawa. Ribuan pohon pala
dan cengkeh dimusnahkan sebagai upaya mengendalikan harga rempah-rempah. Itu
sebabnya, sebagian warga Ambon memiliki mental tunduk kepada penjajah.
Medio
Oktober 1945, terjadi aksi perebutan kekuasaan di Tangerang oleh KH. Achmad
Chairoen. Ia memecat semua pamongpraja, melumpuhkan kekuatan kepolisian,
mendirikan pemerintahan komunis, dan memutuskan hubungan dengan Republik. Dalam
sejarahnya, Chairoen pernah memimpin pemberontakan PKI pada 1925.
Selain itu,
pasukan Inggris bergerak ke Bandung untuk membebaskan warga negara Sekutu yang
ditahan dan melebarkan wilayah aman. Mereka mendapat perlawanan dari pihak
Republiken. Dan rakyat Bandung memilih membumihanguskan kota daripada diduduki
Sekutu.
Di saat
yang sama, diadakan dekrit atas keberadaan KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat) pada fungsi eksekutif menjadi legislatif; sejajar dengan Presiden.
Tetapi kabinet Soekarno tersebut tidak berumur lama; hanya 10 pekan. Sebab,
rakyat yang siap mempertahankan kemerdekaan tidak sejalan dengan langkah
politik Soekarno yang terkesan tak memiliki keberanian di depan penjajah.
Bab: Ekspres Malam Menuju Djogja
Awal 1946,
Soekarno-Hatta sekeluarga meninggalkan Jakarta dengan sembunyi-sembunyi menuju
Yogyakarta dengan Kereta Luar Biasa —beroperasi di luar jadwal— agar tidak
diketahui pihak Inggris.
Awal
Desember 1956, Hatta memutuskan pengunduran diri sebagai Wakil Presiden untuk
menjadi warga negara biasa. Namun begitu, hubungan Hatta dengan Soekarno tetap
terjaga baik. Bahkan dua hari sebelum Soekarno mangkat, Hatta membesuk Soekarno
yang kondisi kesehatannya sangat menurun. Persahabatan itu tetap terjaga hingga
akhir hayat.
Bibliografi
Judul: Djakarta 1945; Awal Revolusi Kemerdekaan
Penulis: Julius Pour
Tebal: xii+464 hlm.
Genre: Sejarah
Cetakan: I, 2013
ISBN: 978-602-249-326-6
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
0 Komentar