Soedardjo. Seorang perwira
tinggi dalam jajaran Angkatan Darat yang berlabuh pada Departemen Hankam
bertutur kisah hidupnya.
Dari masa kecil, ia tak
menyangka ketika peralihan penguasaan Belanda ke Jepang akan mengubah harapan
hidupnya. Yang amat menyolok adalah ia —dan banyak teman-temannya— tak dapat
lagi bersekolah dan uang pensiun orangtuanya pun dihentikan pemerintah Jepang. Ia adalah bagian
dari rakyat Indonesia yang menjadi jongos di negerinya sendiri.
Buku ini dipaparkan hampir sepenuhnya dari curahan ingatan beliau atas
pengalaman hidup beliau semasa perjuangan kebangkitan Indonesia. Meski beliau
menjalani tiga masa keadaan Indonesia —zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman
kemerdekaan, beliau hanya mengupas segmen Jepang di Indonesia.
Setiap bangsa memiliki ciri khasnya masing-masing. Sikap keras, kejam,
dan sadis adalah tontonan baru baginya oleh tentara Dai Nippon dengan
kempetai-nya. Lebih-lebih bagi yang melakukan kesalahan.
Pada awal-awal penguasaannya, Jepang begitu kejam. Seolah tak
membutuhkan pribumi. Semua warga pribumi diperbudak sesuka mereka. Hingga pada
masanya, Jepang merasa membutuhkan ‘tumbal’ dari warga pribumi di berbagai
medan pertempuran.
Awal mula perekrutan diambil dari tenaga eks-KNIL pribumi yang masih
berstatus tawanan perang. Inilah pertama kali tentara pribumi berseragam
—tentara Jepang. Mereka dinamakan Rikugun Heiho.
Seleksi Heiho untuk mendapatkan tentara handal, begitu berat. Disebutkan
kekuatan tentara Heiho sekitar 500.000 orang. Yang dapat kembali dari medan
hanya 200.000 orang.
Perekrutan lainnya, diambil dari jalur umum; dari para pemuda biasa yang
dibagi dalam beberapa satuan tempur. Tetapi yang terakhir inilah —bentukan
Jepang— yang nantinya bakal menjadi ‘senjata makan tuan’ bagi Jepang; tentara
Pembela Tanah Air (PETA). Di sana menyimpan potensi-potensi anti-penjajahan,
yakni Soedirman, Ahmad Yani, dan Sarwo Edhi, dan banyak nama lain lagi.
Sedangkan dalam bidang pembangunan infrastruktur, Jepang menyeret
penduduk pulau Jawa menjadi kuli; Romusya. Mereka diambil secara paksa dari
rakyat biasa. Mereka dikirim ke medan perang di luar Indonesia. Pulang dengan
selamat, sungguh keajaiban dari kebesaran Tuhan yang Maha Esa.
Infrastruktur dibangun bukan di danai Jepang, tapi pembiayaan itu
diambil dari harta benda berharga rakyat Indonesia juga. Jepang pun merampas
harta rakyat Indonesia untuk membiayai Perang Asia Timur Raya.
Tiap desa (Ku) harus dibentuk Keibodan dan Seinendan (semacam Hansip)
yang bertanggung jawab kepada Kepala Desa (Kuco). Perbedaan dari kedua satuan
ini hanyalah pada usia anggotanya. Keibodan didominasi orang dewasa, sedangkan
Seinendan diisi oleh usia remaja.
Penduduk pulau Jawa saat itu serba salah: tidak diambil dalam Heiho,
berpeluang diambil untuk Romusya. Jika tidak diambil Romusya, masuk Keibodan
atau Seinendan. Dan umumnya lebih memilih Keibodan atau Seinendan.
Setelah melalui beragam lapis-lapis seleksi, Soedardjo lulus dari ‘kawah
Candradimuka’ Heiho. Dan ia diangkat menjadi Komandan Peleton II Kompi IV
Batalyon I di Gombong. Hanya saja ia tak sempat ikut upacara pelantikan
kelulusan latihan karena harus dirawat di rumah sakit (sekarang RSPAD Gatot
Soebroto). Ia mengalami perlakuan pelatihnya selama di rumah sakit yang 180°
berbeda saat di medan latihan. Ia begitu baik dan santun ketika menjenguk
Soedardjo. Bahkan pelatih ini sendirilah yang mengantar sertifikat kelulusan
Heiho Soedardjo, seragam yang lengkap dengan samurai.
Pertempuran 5 hari di Semarang, mengingatkan kita pada upaya Habib
Husein Muthohhar (yang dikenal dengan nama H. Mutahar) yang diamanahi Bung
Karno untuk menyelamatkan Sang Saka Merah-Putih; ia pisahkan dwi-warna itu
dengan melepas benang jahitannya dan meletakkan masing-masing di dasar tas yang
berbeda sebagai alas pakaian-pakaian agar tak terdeteksi kecurigaan tentara Dai
Nippon.
Di akhir paparan beliau, disajikan hikmah atas apa yang beliau alami
selama di bawah penjajahan Jepang:
1. Bahwa sesungguhnya manusia itu hanya mampu pada rencana dan keinginan
saja, sedangkan semua keputusan berada sepenuhnya pada Tuhan yang Maha Kuasa.
2. Bahwa apa yang dikatakan para ulama atau kaum cerdik cendekia “Tuhan
tidak akan merubah nasib seseorang apabila manusia itu sendiri tidak berubah
untuk merubahnya” adalah benar dan harus kita yakini sepenuhnya.
3. Bahwa untuk bisa mencapai hidup bahagia di alam semesta ini
diperlukan adanya pengorbanan lahir batin dari yang bersangkutan —seperti apa
yang dikatakan dalam pepatah Jawa: ‘jer basuki mowo beo’.
4. Bahwa sesungguhnya apa yang ada di alam semesta ini tidak ada yang
bisa kekal. Oleh karenanya, ingatlah selalu kepada himbauan yang sering
diperingatkan dengan hanya dua buah kata: ‘ojo dumeh’ atau jangan
mentang-mentang. Persis seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Jepang
terhadap bangsa Indonesia; mentang-mentang dia menang, mentang-mentang dia
berkuasa, dan sebagainya lalu dengan seenaknya dia memperlakukan bangsa
Indonesia sebagai manusia yang tidak mempunyai arti apa-apa. Akhirnya, dia
harus membayarnya kembali dengan harga yang sangat tinggi.
5. Bahwa tidak semua tindakan keras dari seorang guru itu mempunyai
maksud yang negatif terhadap diri kita. Oleh karenanya, janganlah cepat-cepat
kita menilai guru itu sebagai guru yang jahat, guru yang tidak becus, atau guru
yang pilih kasih, sehingga kita melakukan hal-hal yang tidak terpuji atau
hal-hal yang merugikan kita semua. Saya tidak mengatakan apa yang dilakukan
oleh guru-guru dan pelatih-pelatih orang Jepang terhadap para pemuda itu baik;
misalnya seperti yang saya alami di Seinen Kunrenso Yogyakarta dan Boe Gyugun
Syoko Renseitai di Bogor, dimana pukulan-pukulan dan makian-makian dianggap
perlakuan yang biasa atau hukuman-hukuman yang kadang-kadang di luar
perikemanusiaan —walaupun tidak ada yang sampai cacat apalagi sampai meninggal
karenanya. Namun berbagai fakta menunjukkan, bahwa ada juga hasil yang dicapai
antara lain lahirnya pemuda dan remaja yang memiliki ketahanan fisik dan mental
yang tinggi, semangat juang yang berkobar-kobar, disiplin laksana baja, di
samping tumbuhnya keberanian, rasa harga diri, dan rasa tanggung jawab,
sehingga para pemuda dan remaja itu menjadi salah satu potensi yang dapat
diandalkan untuk merebut dan menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia
seperti yang kita nikmati sekarang ini.
Daftar Isi
I—Kenangan dari Masa Pendudukan Tentara Dai Nippon
II—Pengalaman Perang 5 Hari di Semarang, Nyaris Dibunuh Dikira Mata-mata
III—Pengalaman Pertempuran di Larangan
IV—Pengalaman di Palagan Ambarawa
V— Kenangan daei Medan Barat Semarang
Bibliografi
Judul: Kenangan dari Medan Barat
Penulis: Soedardjo
Tebal: 112 hlm.
Dimensi: 15x21 cm
Cetakan: II, 1995
ISBN: 979-407-868-9
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta
0 Komentar