Bab 17—Tiga Catatan tentang Ibadah Haji dan Tanah Hejaz dalam Berkala Bintang Hindia (1903-1905)
Ketiga teks yang disajikan dalam bab ini adalah catatan tentang ibadah haji dan tanah Hejaz yang ditulis oleh tiga orang Indonesia. Ketiga teks itu diterbitkan dalam berkala Bintang Hindia (1903 dan 1905). Konteks sejarah ketiga teks ini adalah pada dekade terakhir abad ke-19 sampai tahun-tahun pertama abad ke-20. Teks pertama berjudul “Al-Hadji” ditulis oleh seorang yang bernama Jur. Mattheus. Teks kedua berjudul “Perdjalanan ke Tanah Soetji” ditulis oleh Dja Endar Moeda yang berdarah Batak. Dan teks ketiga berjudul “Djeddah” oleh seorang yang hanya menyebut namanya dalam singkatan: M.K.S.
Ketiga teks ini cukup unik, karena masing-masing menyorot ibadah haji dan tanah Hejaz dalam perspektif yang berbeda. Jur. Mattheus lebih menekankan sejarah dan prosesi ibadah haji itu sendiri. Dja Endar Moeda lebih banyak memberikan tips dan nasihat kepada pembaca, bagaimana agar para calon haji dari Nusantara dapat melaksanakan ibadah hajinya dengan baik. Dan sama sekali tak bercerita tentang prosesi ibadah haji itu sendiri. Ia lebih memilih mencatatkan 44 pasal (44 hal) yang harus diperhatikan oleh para calon jemaah haji Nusantara supaya perjalanan mereka ke Tanah Suci dapat berjalan lancar dan ibadah haji mereka dapat dilaksanakan dengan sukses. Sementara cerita M.K.S. lebih terfokus kepada keadaan cuaca dan aspek ekonomi kota Jeddah, dan tidak begitu tertarik untuk menceritakan prosesi ibadah haji itu sendiri, sehingga ia menulis “dari hal berhaji diringkaskan saja ceritanya.”
Bab 18—Dua Peta Kiblat
Dalam koleksi Snouck Hurgronje di perpustakaan Universitas Leiden, tersimpan dua peta yang langsung bertalian dengan perjalanan ibadah haji oleh jamaah dari Indonesia karena tertulis dalam bahasa Melayu. Kedua peta itu disusun supaya para jamaah dapat mengetahui arah kiblat di mana pun mereka berada selama dalam perjalanan, baik di belahan bumi antara Indonesia dan Tanah Suci maupun di Jeddah-Mekkah-Madinah di Hejaz.
Kedua peta itu dicetak di Mekkah tahun 1329-1330 H (1911-1912 M) oleh Muhammad Majid Al-Kurdi; direktur percetakan Atturki Al-Majidiyya. Peta yang pertama disusun oleh Muhammad Mukhtar Al-Jawi. Kedua-duanya digambar oleh seorang dosen ilmu bumi dari Suriah; Sa’id Ash-Sholahi Asy-Syami; dibantu muridnya; Husein Al-Jawi. Ini berarti bahwa dua orang Indonesia (“Al-Jawi”) terlibat dalam pembuatannya. Masih ada pertalian lain antara peta itu dan dunia Nusantara, karena pendiri percetakan itu; Muhammad Majid Al-Kurdi; adalah mertua ulama tersohor dari Minangkabau; Ahmad Khatib yang pernah menjadi guru ayah Hamka. Sebenarnya terdapat ketidakpastian disini, karena Hamka sendiri dalam karangan lain berjudul Ayahku (1950) mengatakan, bahwa Ahmad Khatib adalah menantu dari Syekh Saleh Kurdi, bukan Majid Kurdi. Dan Burhanuddin (2007) menjelaskan, bahwa Ahmad Khatib memperistrikan kedua putri Muhammad Salih Al-Kurdi.
Kiblat adalah pokok yang sangat penting dalam kehidupan orang Islam. Karena setiap Muslim menghadapnya lima kali sehari waktu sholat wajib. Demikian juga waktu melakukan sholat sunnah atau berdoa, dan kiblat tetap penting setelah orang meninggal karena jenazah diletakkan di liang lahat sedemikian rupa agar wajahnya menghadap kiblat pula.
Arah kiblat ditentukan oleh wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW dari Tuhan. Pada mulanya, arah kiblat mengikuti ketentuan lama yang telah berlaku pada nabi-nabi sebelumnya, yaitu ke arah masjid Al-Aqsho di Yerusalem. Peralihan kiblat dari masjid Al-Aqsho ke Masjidil Haram di Mekkah terjadi pada tahun kedua hijriyah. Ketika itu, Nabi Muhammad berulang-ulang berdoa memohon permintaan arah kiblat saat sholat dan akhirnya doanya dikabulkan dengan ketentuan bahwa sejak saat itu, Nabi Muhammad dan umatnya di mana pun berada diperintahkan menghadapkan diri mereka saat sholat ke arah Masjidil Haram yang sentralnya Ka’bah.
Bab 19—Prosesi Haji Menurut Pimpinan Haji Malaysia (Abdul Majid bin Zainuddin, 1923)
Bab ini mengupas dua teks oleh Abdul Majid bin Zainuddin mengenai perjalanan haji sebagaimana dilaksanakan dari Malaya pada tahun 1920-an. Abdul Majid lahir tahun 1887 di Pudu, Kuala Lumpur. Pada tahun 1941, yakni pada usia 54 tahun, ia mengira akan meninggal dalam waktu dekat karena kena penyakit diabetes. Dan oleh karenanya, ia mulai menulis memoarnya dalam bahasa Inggris dengan judul yang pesimistis; The Wandering Thoughts of a Dying Man. Namun naskahnya tidak diselesaikan, hanya mencakup ke-40 tahun pertama dalam hidupnya. Ia meninggal dua tahun kemudian; 1943. Ia bersama Za'ba termasuk orang yang paling ternama dalam generasinya. Ia berhaji tahun 1923 di usia 36 tahun karena ditugaskan oleh badan intel Inggris untuk memantau pelaksanaan ibadah haji. Teks kedua ia tulis ketika ia baru menjadi pegawai pemerintah Inggris yang ditugaskan untuk menemani dan menjaga para jemaah sampai ke Tanah Suci.
Bab 20—Seorang Bupati Naik Haji (R.A.A. Wiranatakoesoema, 1924)
R.A.A. Wiranatakoesoema lahir di Bandung, 8 Agustus 1888 sebagai putra tunggal Raden Tumenggung Kusumadilaga; bupati Bandung ke-10. Ia pernah mengembang berbagai jabatan di tanah Pasundan; Sumedang, Sukabumi, Sukapura, Cianjur, Garut, Ciamis, dan Bandung; dengan predikat bupati termuda di Hindia Belanda.
Pengalaman perjalanan naik hajinya R.A.A. Wiranatakoesoema diketahui dari artikel koran Bandung tahun 1925 yang ditulis oleh orang Belanda; Gerardus Antonius van Bovene. Tahun perjalanan hajinya tidak disebut secara spesifik. Tetapi pada bab "Pulang", penulis menyebutkan, bahwa keberangkatannya dari Jeddah hanya beberapa waktu saja sebelum kota Mekkah jatuh ke tangan kaum Wahhabi (sekitar tahun 1924).
Bab 21—Seorang Jejaka Minangkabau Naik Haji (Hamka, 1927)
Bab ini berisikan kisah pengalaman seorang pemuda yang menunaikan ibadah haji tahun 1927 pada usia sembilan belas tahun. Malik (sebelum bernama Hamka) pergi sendiri, atas inisiatif sendiri, tanpa uang, dan tanpa dukungan atau jaminan apa pun, dengan tujuan memperoleh hormat dari lingkungan keluarga dan teman-temannya. Ini memerlukan tekad dan keberanian, dan ini juga menunjukkan bahwa dorongan untuk melaksanakan perjalanan haji ini bersifat psikologis dan sosial, di samping aspek keagamaan. Pengalaman naik hajinya ia tuangkan dalam novel yang terbit tahun 1938 berjudul Di Bawah Naungan Ka'bah.
Bab 22—Naik Haji di Masa Revolusi (K.H. Abdussamad, 1948)
Kisah naik haji yang terkandung dalam bab ini sedikit misterius. Pertama, karena penulisnya sama sekali tidak dikenal, malah namanya ditulis K.H.Adbussamad (bukan Abdussamad). Kedua, karena melaporkan sebuah perjalanan haji yang dilakukan tahun 1948, sedangkan jumlah jemaah haji Indonesia pada tahun itu sangat sedikit disebabkan berbagai kesulitan Revolusi Fisik ditambah fatwa yang dikeluarkan oleh K.H. Hasjim Asj'ari tahun 1947 yang menyatakan, bahwa ibadah haji tidak wajib, malah boleh dipandang haram, selama perang melawan Belanda masih berlangsung.
Bab 23—Naik Haji Sambil Melaksanakan Tugas Diplomasi (Ali Hasjmy, 1949)
Ali Hasjmy; orang Aceh yang terkenal di tingkat nasional; pertama kali naik haji pada usia 35 tahun, tetapi dalam kondisi khusus. Ia ikut utusan diplomatik ke dunia Islam. Kisahnya hampir tak menyinggung ibadah haji, namun juga menarik karena konteks politiknya.
Bab 24—Haji Diulas Seorang Ulama Besar
Rihlah Gaya Baru. Dengan buku Hamka ini kita maju selangkah lagi dalam perkembangan rihlah Indonesia. Buku Hamka adalah yang pertama (dan satu-satunya sampai sekarang ini) yang mengisahkan pengalaman pribadi seorang selama melaksanakan perjalanan haji sambil menguraikan maknanya secara mendalam melalui tafsir umum dan lebih personal tentang arti haji untuk seorang Muslim dalam konteks keagamaan, sejarah, dan peradaban yang seluas-luasnya.
Bibliografi
Judul: Naik Haji di Masa Silam; Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (Jilid 2: 1900-1950)
Penyusun: Henri Chambert-Loir, Suryadi, Syarie Hidayat
Tebal: v+432 hlm.
Genre: Sejarah
Cetakan: I, November 2013
ISBN: 978-979-91-0657-5
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
0 Komentar