"Pembangunan seharusnya mengutamakan 'daulat rakyat', bukan mengutamakan 'daulat pasar'-nya neoliberalisme dan kapitalisme. Akibatnya, kita kehilangan kedaulatan nasional: kita tidak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor-impor, energi, teknologi, pertahanan, tataguna bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tidak berdaulat dalam legislasi yang serba mengerikan. Bagaimana ketakberdaulatan dan keterjajahan ini bisa terjadi? Lalu apa sebenarnya yang kita ajarkan di ruang-ruang kelas anak-anak kita, menjadi salah asuhankah para sarjana-sarjana pendidikan tinggi kita di Indonesia?" ―Prof. Dr. Ki Sri-Edi Swasono
Gagasan pokok buku ini mencoba menguraikan catatan faktual historis, sekaligus menjawab premis ketiga lembaga pendidikan yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka itu menginspirasi ide kebangsaan dan kemerdekaan. Premis itu mengandaikan tidak perlu kajian semantik seperti kebangsaan atau keindonesiaan, tetapi diandaikan langsung adanya persepsi yang sama tentang ide-ide kemerdekaan.
Kesamaan persepsi tentang ide kebangsaan (kemerdekaan) itu diimplementasikan dalam praksis pendidikan yang menempatkan kemandirian, kemerdekaan dan dengan demikian pengakuan manusia yang bermartabat. Ide kebangsaan (kemerdekaan) mungkin belum tajam dan jelas, masih embrional. Tetapi dari praksis pendidikan dengan rujukan teori pendidikan kritis Paulo Freire dari Brazil, sejak awal sudah dikonsep dan diselenggarakan dalam koridor mengembangkan dan memupuk ide kebebasan, kemandirian, dan kemartabatan.
Kehadiran tiga lembaga pendidikan dengan tokoh sentral masing-masing, ditempatkan berdasar kronologi kehadirannya ―digagas, dipelopori, dan dikembangkan sejumlah tokoh, direaktualisasi dan direvitalisasi menyangkut juga keteladanan yang ditunjukkan oleh ketiga tokoh masing-masing lembaga, yakni Willem Iskander, Ki Hadjar Dewantoro, Engku Mohammad Syafei.
Pertama, menampilkan kembali ketokohan mereka berarti mempertanyakan secara retoris apakah bagi mereka sudah diberikan hak dan kedudukan yang seharusnya, sepantasnya, dan sebaiknya?
Kedua, apa yang sebaiknya dilakukan agar reaktualisasi dan revitalisasi terselenggara dalam praksis konkret, terutama dalam hal mengembangkannya sesuai dengan tuntutan zaman, semangat kejuangan melawan arus globalisasi ―keniscayaan yang harus disikapi proaktif tanpa menindas nilai-nilai dan gagasan besar yang sudah dikembangkan jauh sebelumnya, sehingga praksis pendidikan tidak transaksional.
Ketiga, meskipun perlu menuntut studi mendalam, mungkinkah gagasan besar yang dibawa Ki Hadjar Dewantoro dengan lembaga Perguruan Tamansiswa ―dari antara ketiganya relatif yang masih hidup dan berkembang― bila disejajarkan dengan ketokohan pendidikan kritis dengan tokohnya Paulo Freire?
Keempat, sebuah imbauan yang barangkali riil menuntut niat baik dan kebijakan yang tulus pemerintah, biarkanlah sekolah-sekolah swasta berkembang ―termasuk yang diselenggarakan sebagai kekhasan masing-masing― dan tidak diposisikan sebagai saingan negeri. Sebab ketika sekolah-sekolah swasta dibiarkan berkembang, dibantu dalam pembinaan dan bantuan finansial ―bukan dibantai secara halus dengan berbagai kebijaksanaan― takkan lagi dijumpai "kebun bunga dengan jutaan warna-warni jenis bunga yang bermekaran bersama". Apa pun juga yang bernama penyeragaman justru mematikan kreativitas!
Willem Iskander mendirikan Kweekschool voor Inlandsh Onderwijers atau Sekolah Guru Bumiputera ―yang kemudian dikenal sebagai Kweekschool Tanobato (1862-1874). Willem Iskander merupakan pionir dalam pendidikan guru di Indonesia. Dalam hal memperjuangkan kesamaan derajat kemanusiaan, Willem membawa angin baru penghilangan perbudakan di daerah Mandailing masa itu. Dalam hal mendobrak kesamaan kedudukan pria dan wanita, Willem mendobrak kultur masyarakat wanita idaman adalah ahli masak dan ahli punya anak dengan mengubahnya wanita idaman adalah wanita yang berpendidikan, dalam hal ini masuk sekolah.
Ki Hadjar Dewantoro; pendiri Perguruan Tamansiswa; dan Mohammad Syafei; pendiri Inlandsche Nijverheid School (INS) di Sumatera Barat; ―selain hidup dan berkarya di awal abad ke-20 lebih dulu dibanding Willem Iskander yang hadir di akhir abad ke-19― namun mereka jauh lebih populer, lebih dikenal, lebih lestari, dan lebih besar. Tidak sedrastis nasib Willem, seperti halnya Engku Syafei, Engku Syafei memperoleh gelar doktor kehormatan, pahlawan nasional, pernah menduduki jabatan tertinggi di lembaga kementerian yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan.
Memberikan tempat dan penghargaan yang memadai kepada ketiga tokoh pendidikan ―Willem Iskander, Ki Hadjar Dewantoro, dan Engku Mohammad Syafei― sudah seharusnya, sepantasnya, sebaiknya, tetapi membiarkan sekolah-sekolah swasta terbengkalai pun, mengingatkan apa yang pernah diamanatkan Bung Karno: "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Sejarah itu fondasi kita. Membiarkan apa yang diwariskan dan pewarisnya merupakan kesalahan besar.
Lebih penting juga, penghargaan itu berupa melestarikan gagasan-gagasan yang pernah mereka lakukan dan tinggalkan, yakni mewujudkan impian banyak orang tentang proses pengembangan kebebasan, kemandirian, dan kemartabatan.
Bibliografi
Judul: Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas
Penulis: ST. Sularto
Tebal: xxx+226 hlm.
Genre: Kebangsaan dalam Pendidikan
Cetakan: I, 2016
ISBN: 978-602-412-056-6
Penerbit: Kompas Media Nusantara, Jakarta
0 Komentar