Resensi: Dunia Tanpa Sekolah


Tiga bulan lagi, ujian kelulusan SMP. Izza sudah bertekad bulat mengundurkan diri dari salah satu sekolah favorit di Salatiga. Jika umumnya anak-anak yang mengundurkan diri dari sekolah karena kasus kedisiplinan, tidak dengan Izza.

Delapan bulan sebelumnya, Izza sudah memikirkan matang-matang keinginannya keluar dari sekolah yang ia nilai, bahwa “pelajaran sekolah (formal) pada pendidikan dasar hanya mengotori otak karena melupakan hal-hal yang lebih esensial seperti character building atau pelejitan actus para siswa” (hal 35). Padahal sebelumnya, Izza begitu menikmati belajar di sekolah dengan strategi pembelajaran yang diterapkan beberapa gurunya. Salah satunya Bu Indri sebagai guru IPS yang menyajikan pembelajarannya menjadi sangat mengasikkan. “Kelas yang aktif adalah kelas di mana setiap anak mencoba menunjukkan kemampuannya masing-masing” (hal.23). Ia pun sepakat dengan definisi pendidikan menurut Einstein, bahwa “pendidikan adalah sesuatu yang tidak terlupakan di kepala sampai kapanpun serta memberi kesan mendalam kepada yang menimbanya” (hal.95).

Menulis adalah alasan utama mengapa Izza ingin putus dari circle sekolah formal. Kegemarannya membaca buku-buku ilmiah dan fiksi menempatkan inteligensianya pada tempat yang unik dan tidak seperti umumnya. Biografi tokoh-tokoh besar yang berhasil meraih cita-citanya tanpa memusingkan strata sekolah, sebut saja Nabi Muhammad SAW, Thomas Alva Edison, Pramoedya, HAMKA, Bill Gates adalah sederet nama besar yang —untuk menjadi maestro— tak dipusingkan dengan sekolah formal. Ini menjadi asupan bahan bakarnya untuk konsisten menempuh pendidikan sepanjang hayat, bukan wajib belajar sembilan tahun. Ia jengah dengan beragam disiplin ilmu yang dijejalkan selama di sekolah yang —menurutnya— tidak dibutuhkan sementara waktu ia menekuni kegemarannya menulis.

Gambaran kiamat dalam keluarga Izza terjadi pada rentang waktu delapan bulan itu. Bagaimana tidak? Ayahnya yang seorang guru SMA dan ibunya seorang guru TK dengan pendidikan sarjana membayangkan anaknya hanya lulusan SD akan menjadi beban psikologi bagi keduanya. Terbayang komentar miring dari orang-orang terdekat dan warga sekolah tentang ‘kegagalan’ orangtua mengantarkan anaknya lulus SMP. Suasana rumah tegang. Nada bicara nyaris selalu tinggi. Sekolah merupakan tema sensitif yang dapat meledakkan ketenangan rumah. Sudah tak terhitung berapa barang pecah-belah dan vas bunga hancur karena kemarahan sang ayah. “Heroik!”, kata Hernowo yang seorang penulis.

Izza menganggap sekolah ibarat penjara yang menghimpit impiannya. Sindrom sekolah mengalir ke seluruh peredaran darah dan serasa menekan otaknya, merampok kebahagiaannya. Izza semakin tidak betah di sekolah. Ditambah lagi dengan keberadaan guru penghancur mental. Guru yang mempermalukan murid di depan umum, guru yang tidak mempergunakan jangka sebagai alat pengajar melainkan sebagai alat menghajar. Guru yang membuat kelas menjadi sesunyi kuburan dengan dalih menciptakan suasana kondusif.

Jika disebut “sekolah”, psikisnya akan tidak nyaman. Sekolah membuatnya gelisah. Padahal sebelum daya kritis radikalnya tampil, penggemar cerita Harry Potter dan Lord of The Rings ini termasuk siswa yang cerdas. Perpustakaan dan toko buku ibarat lautan bagi jiwa ikan bernama Izza. “Buku —benda intelektual yang kurang diperhatikan keberadaannya oleh masyarakat negara ini— menjadi sebuah keagungan tersendiri” (hal.61).

Namun begitu, berbicara dari sisi keberkahan, langkah Izza yang berani melawan orangtua jangan menjadi teladan. Dan bagi orangtua yang lebih mementingkan komentar orang lain dengan berlaku diktator terhadap cita-cita anak pun salah. Maka benarlah nasihat Arief Rachman; seorang pemerhati dan praktisi pendidikan, “Pendidikan seharusnya mampu memberikan ragam kecerdasan pada anak.”

Saat berhasil mengundurkan diri dari sekolah, Izza sudah menyusun naskah novel fantasi setebal 363 halaman. Buku ini merupakan pengalaman nyata sang penulis. Di mana yang menulis Kata Pengantar dan profil penulisnya adalah ayahnya sendiri.

Bibliografi
Judul: Dunia Tanpa Sekolah
Penulis: M. Izza Ahsin
Tebal: 252 hlm.
Genre: Motivasi, Biografi
Cetakan: II, November 2007
ISBN: 979-3828-41-2
Penerbit: Read! Publishing House, Bandung

Posting Komentar

0 Komentar