Resensi: Naik Haji di Masa Silam; Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (Jilid 1: 1482-1890)


Sejarah perjalanan haji Indonesia belum ditulis. Data yang tersedia banyak, antara lain dalam arsip berbagai instansi. Tetapi kebanyakan terbatas pada abad ke-19. Jumlah jamaah haji tidak diketahui sebelum tahun 1850. Beberapa aspek perjalanan haji, antara lain kebijakan kolonial, kemampuan transportasi dan kesehatan pada masa silam, ataupun administrasi urusan haji oleh pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan, telah diteliti oleh S. Keijzer (1871), J. Eisenberger (1928), Abdoel Patah (1935), J. Vredenbregt (1962), Mr. Mursyidi & Sumuran Harahap (1984), M. Shaleh Putuhena (2007), dan M. Dien Majid (2008). Namun betapapun penting dan berbobot buku-buku tersebut, isinya hanya menyoroti aspek-aspek terbatas dari perjalanan haji.

Beberapa tahap perkembangan perjalanan haji dari Indonesia serta beberapa aspek lain dari ibadah haji sebagaimana dialami oleh jamaah Indonesia perlu diperhatikan sebagai latar belakang kisah-kisah yang diedit dalam buku ini. Keadaan politik kepulauan Indonesia pada masa silam, sikap tokoh-tokoh berpengaruh terhadap agama Islam, kondisi pelayaran mengarungi Samudra Hindia, juga ketiadaan tradisi menuliskan pengalaman diri. Semua ihwal tersebut menentukan bentuk dan isi berbagai kesaksian yang kita miliki mengenai pengalaman berhaji itu.

Hubungan antara dunia Islam dan kepulauan Nusantara mulai sedini awal perkembangan agama Islam di Tanah Arab, yaitu pada masa Sriwijaya, setidaknya mulai abad ke-9. Hubungan itu bertalian dengan perdagangan, dan sejak semula melibatkan Tiongkok dan India di samping Timur Tengah.

Raja Indonesia pertama yang masuk Islam —sejauh pengetahuan kita— adalah Raja Pasai; Sultan Malik as-Saleh; yang memerintah pada paruh kedua abad ke-13 (wafat tahun 1297). Pada waktu yang hampir sama (sekira tahun 1303), Raja Terengganu mengumumkan piagam berisi pernyataan, bahwa kerajaannya beragama Islam dan menerapkan hukum syariat. Selanjutnya, sejumlah prasasti pada nisan-nisan kuno mengisyaratkan kehadiran agama Islam di Aceh, Brunei, dan Jawa pada abad ke-14. Maka proses islamisasi kepulauan Nusantara diperkirakan mulai pada akhir abad ke-13.

Bab 2—Laksamana Melaka Naik Haji (Hang Tuah, 1482)
Teks pertama dikisahkan, bahwa pahlawan Malaka; Laksamana Hang Tuah; naik haji tahun 1482. Tetapi dari beberapa petunjuk lain disimpulkan, bahwa Hang Tuah —sebagai tokoh sejarah— sebenarnya tidak pernah naik haji. Tetapi sejarawan atau tukang cerita yang bertanggung jawab atas versi akhir hikayatnya menganggapnya perlu menambahkan adegan tersebut agar rona keislaman ceritanya lebih padat. Meskipun demikian, kisah itu nyata juga karena menceritakan seorang (lain) naik haji pada masa itu.

Bab 3—Seorang Wali ke Tanah Suci (Sunan Gunung Jati, sekitar 1520)
Teks kedua menyangkut masa beberapa dasawarsa setelah Hang Tuah, sekitar tahun 1520. Teks ini pun bersifat legendaris, di mana sebagian kenyataan (yang sulit diduga batasnya) tercampur dengan sebuah tujuan politik. Teks ini dipetik dari Hikayat Hasanuddin; sebuah teks Melayu yang diterjemahkan dari sebuah teks Jawa berjudul Sajarah Banten Rante-rante. Isinya menceritakan kisah Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayatulloh; tokoh islamisasi Jawa Barat yang amat tersohor; naik haji serta dibaiat dalam lima tarekat termasuk Kholwatiyah. Lalu beberapa tahun kemudian naik haji sekali lagi bersama anaknya; Maulana Hasanuddin; yang pada kesempatan itu dibaiat dalam tarekat Naqsyabandiyah. Maksud cerita itu kiranya adalah mengutamakan Hasanuddin; Raja Islam pertama di Banten; beserta ayahnya di atas Syekh Yusuf al-Makassari sebagai kholifah Indonesia yang pertama dalam tarekat Kholwatiyah dan Naqsyabandiyah.

Bab 4—Santri Makassar Berjumpa dengan Nabi Muhammad (Syekh Yusuf Makassar, sekitar 1650)
Menurut kronik (Lontara’ Bilang) Goa, calon haji pertama berangkat bulan Mei 1942 (tapi meninggal waktu singgah di Banten). Seorang calon lain berangkat bulan Juli 1645. Jamaah lain disebut sambil lalu, misalnya Haji Neting dan Haji Singaraq bulan Juni 1647. Beberapa orang ini diketahui karena disebut dalam kronik kerajaan, pasti ada juga orang awam lain yang juga naik haji tapi tidak disebut di mana-mana. Syekh Yusuf yang tersohor berangkat pada bulan Oktober 1644. Pengalamannya diceritakan dalam suatu kisah legendaris yang sedikit banyak bersamaan dengan kisah Sultan Agung. Keduanya sama-sama ingin mencapai kesempurnaan rohani, tetapi juga ingin membuktikan keagungan orang Nusantara atas orang Arab.

Bab 5—Perjalanan Pulang dari Mekkah (Jamaluddin ibn Al-Jawi, awal abad ke-18)
Teks dari Aceh ini merupakan lampiran berbentuk syair dalam sebuah kitab fiqih karya seorang asal Pasai bernama Jamaluddin ibn Al-Jawi sekitar awal abad ke-18. Ketika mau pulang ke Sumatera sehabis naik haji, Jamaluddin naik perahu ke Jeddah, tetapi tertinggal di Jizan (di Pantai Laut Merah) waktu naik ke darat untuk sholat. Akibatnya, ia berkelana beberapa bulan di Yaman berpindah-pindah sambil mengajar, hingga akhirnya menumpang kapal ke Mesir, lalu Aceh. Di Sumatera pun dia mengunjungi berbagai tempat sambil menyiarkan agama Islam. Jadi, teks ini bukan cerita berhaji, tetapi melengkapi gambaran perihal haji dengan pengalaman seorang haji yang mengajar, baik di Tanah Arab maupun di Sumatera setelah bermukim di Mekkah.

Bab 6—Hikayat Makah Madinah dalam Bahasa Aceh, 1723
Teks ini berbahasa Aceh. Hikayat ini dikarang oleh seorang bernama Tuan Amad tahun 1713. Seperti lazimnya “hikayat” dalam sastra Aceh, bentuknya puisi. Isinya saduran dari risalah berbahasa Arab karya Hasan Al-Basri (642-728), disusul sebuah uraian tentang ritual ibadah haji dan beberapa nasihat dan petuah moral. Di samping uraian dalam beberapa buku fiqih tentang berbagai aturan ibadah haji dari segi syariat, teks ini adalah teks kedua tentang Mekah, Ka’bah, dan haji sesudah Bustan As-Salatin.

Bab 7—Bangsawan Riau Naik Haji (Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, 1828)
Teks ini melaporkan perjalanan haji seorang petinggi Riau; Raja Ahmad, anggota keluarga Yang Dipertuan Muda atau perdana menteri kerajaan. Raja Ahmad berangkat tahun 1828 bersama dua anaknya, termasuk Raja Ali Haji yang kelak menjadi pengarang terkenal, seorang menantu, dan sepuluh ulama dan bangsawan lain. Di Makkah dan Madinah, Raja Ahmad membeli lahan dan rumah untuk diwakafkan.

Bab 8—Syair Mekah dan Madinah (Syekh Daud Sunur, 1832)
Syair Mekah dan Madinah menyerupai sebuah manasik haji, karena memaparkan situs dan ritus haji dengan terperinci. Tetapi dalam bentuk cerita, bukan risalah. Isi dan gayanya juga amat personal, sehingga dijuluki “semacam wacana tandingan” oleh Suryadi.

Bab 9—Berbagai Versi Syair Mekah dan Madinah

Bab 10—Syair Rukun Haji, 1841
Teks syair ini ditulis tahun 1840-1841 oleh seorang pengarang dari Kedah. Syair ini tidak berjudul. Hanya ditunjukkan isinya dalam salah satu bait awal, yaitu “inilah kelebihan rukun haji”. Maka diberi judul Syair Rukun Haji. Dari tulisan naskah tersebut dikenali sebagai tulisan tangan seorang penyalin terkenal bernama Husein bin Ismail To Bilawa.

Bab 11—Seorang Menak Sunda Naik Haji (Raden Demang Panji Nagara, 1853)
Teks ini menceritakan perjalanan naik hajinya menak Sunda; Raden Demang Panji Nagara; yang berangkat dari Sumedang bersama 24 orang lainnya untuk naik haji pada bulan Agustus 1852. Teks ini malah tidak menceritakan ritus-ritus haji.

Bab 12—Pelayaran ke Titik Akhir Hayat (Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, 1854)
Teks ini bersifat personal. Sebuah catatan perjalanan haji Abdulloh bin Abdulkadir Munsyi; pengarang Malaka dan Singapura yang tersohor; pada tahun 1854 secara naratif harian. Sayangnya, catatan ini tidak sampai pada pengalaman naik haji. Sebab, Abdulloh meninggal setibanya di Makkah.

Bab 13—Buku Wulang Haji
Teks ini bukan kisah naik haji (tidak ada petunjuk bahwa pengarangnya pernah naik haji sendiri), bukan juga manasik atau deskripsi Tanah Suci, melainkan kumpulan nasihat seorang pegawai pemerintahan penjajah kepada penduduk kabupatennya.

Bab 14—Kitab Manasik Haji dan Umroh yang Pertama dalam Bahasa Melayu (Sayyid Utsman, 1875)
Teks ini merupakan teks manasik haji pertama berbahasa Melayu karya seorang ulama; Sayyid Utsman; yang terkenal karena gigih memperjuangkan posisi pemerintah.

Bab 15—Berziarah di Mesir dan Al-Quds (Syekh M. Arsyad bin Abdurrahman bin Abdullah, 1883)
Teks ini berdasarkan catatan perjalanan seorang haji, namun tidak berkenaan dengan ibadah haji. Melainkan dengan semua tempat yang dikunjungi serta makam dan masjid yang diziarahi di Tanta, Iskandariah, Mesir, dan Al-Quds.

Bab 16—Anak Minang Bersiap-siap Naik Haji (Moehammad Jasin bin H.A. Rahman, 1890-an)

Buku ini bertujuan mengumpulkan sebanyak mungkin kisah pengalaman naik haji oleh orang Nusantara pada masa silam. Buku yang berkisah tentang haji pernah ditulis oleh Rosihan Anwar, Fuad Hasan, A.A. Navis, Danarto (1984), R.A.A. Wiranatakoesoema (1925), Abdussamad (1948), Ali Hasjmy (1949), Hamka (1950, 1951), Saiful U.A. (1954). Kisah jenis itu pernah ada jauh sebelumnya, tetapi sudah ditelan zaman. Tidak diketahui oleh masyarakat umum, malah tidak dapat dibaca karena tidak tersedia edisinya.

Yang dimaksud “masa silam” awalnya dimaksudkan periode sebelum Proklamasi. Karena peristiwa ini menengarai peralihan dari masa jajahan ke masa kemerdekaan, yaitu patokan yang amat penting dalam sejarah Indonesia dan demikian juga dalam penyelenggaraan urusan haji oleh pemerintah. Namun kemudian patokan ini diundurkan sampai tahun 1964, karena ditemukan tiga teks dari tahun 1954, 1963, dan 1964 yang dianggap penting.

Untuk mengumpulkan semua kisah haji masa silam, penyusun —dari École française d’Extrême-Orient— sudah berusaha melacak semua teks yang pernah diterbitkan sebagai buku, di samping semua naskah tulisan tangan yang berisi kenangan naik haji dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tetapi koran dan majalah tidak diperiksa.


Bibliografi
Judul: Naik Haji di Masa Silam; Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (Jilid 1: 1482-1890)
Penyusun: Henri Chambert-Loir, Suryadi, Reza Idris, Oman Fathurahman, Pramono
Tebal: vi+470 hlm.
Genre: Sejarah
Cetakan: I, November 2013
ISBN: 978-979-91-0656-8
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar