Resensi: Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid 2

“Engkau sendiri hanya sarana. Namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur.” —Ramalan Parangkusumo, sekitar 1805

Sepenggal kalimat tersebut merupakan wangsit yang didapat Diponegoro sebagai penguat apa yang jadi ramalan buyutnya tentang perannya memimpin perang (Jawa) dan meninggalkan kerusakan hebat bagi Belanda.

Bukan hanya kebobrokan moral di dalam istana yang lebih memilih takluk dan masuk dalam kendali kolonial, sikap permusuhan ibu tirinya, maraknya penggunaan dan monopoli candu, menggurita dan menggilanya pajak dan cukai, dan beragam provokasi dialami Diponegoro jelang aksi perlawanannya.

Para petani, rakyat jelata, para santri, dan dua pertiga putra istana menjadi kekuatan perlawanan Diponegoro yang paling berharga. Terebutnya banyak meriam dari pihak Belanda tidak disertai kemampuan penguasaan dan adaptasi yang cepat dari para prajurit. Mereka lebih piawai dalam menggunakan keris sebagai senjata perang.

Akibat Perang Jawa, Belanda kehilangan 15.000 serdadunya, dan Diponegoro kehilangan 200.000 jiwa prajurit. Kerajaan Belanda pun mengalami defisit parah hingga 20 juta Gulden yang setara dengan 10 tahun kas Belanda. Selain itu, Belgia pun berhasil memerdekakan diri dari Belanda.

Soliditas menjadi kunci kemenangan. Oleh karenanya, saat Kyai Mojo dan panglimanya; Sentot; mengambil sikap kooperatif dengan pihak kepada kolonial, kekuatan Diponegoro menjadi pincang. Strategi de Kock untuk menjebak Diponegoro pun berhasil melalui skenario halal bihalal. Diponegoro pun dibuang ke Manado, dan kemudian diasingkan dan wafat di Makassar.

Pasca Perang Jawa, Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa untuk menutup kerugian selama Perang Jawa. Sistem Tanam Paksa melahirkan Politik Etis. Dan Politik Etis melahirkan tokoh-tokoh berkesadaran nasional. Tak salah jika Peter Carey menyebut, “Diponegoro adalah penendang bola salju kemerdekaan Indonesia.”


Bab 8. Memasuki Era Baru; Pemerintah Peralihan Inggris, 1812-1816

Persekutuan melawan komplotan sepoy 1815 merupakan peristiwa terakhir yang menandai masa pemerintahan Inggris di Jawa. Dalam waktu kurang dari 5 tahun, pemerintahan itu telah menimbulkan perubahan-perubahan penting dalam perimbangan kekuatan politik di Jawa Tengah-Selatan. Warisannya akan hidup lebih lanjut berupa kantor-kantor perusahaan Inggris di Jawa. Tapi pemerintah Inggris sendiri tidak menikmati keuntungan-keuntungan itu.

Pada Mei 1815, keputusan akhir telah diambil oleh Menteri Luar Negeri Inggris; Lord Castlereagh; dan pemerintahan Lord Liverpool (memerintah 1812-1827) untuk meninggalkan Jawa sesuai dengan syarat-syarat Konvensi London 13 Agustus 1814 dan Perjanjian Wina 9 Juni 1815 yang telah menyetujui kembalinya semua bekas koloni Belanda (kecuali Tanjung Harapan dan pulau Demarara) yang dikuasai oleh Inggris sejak 1803. Keputusan ini merupakan bagian kebijakan Inggris yang lebih luas untuk menegakkan kembali kekuatan Belanda guna mengimbangi kemungkinan ancaman dari pihak Prancis yang bangkit lagi sesudah Perang Revolusioner dan Perang Napoleon. Kekuasaan Seratus Hari Napoleon (20 Maret s.d. 8 Juli 1815) yang berakhir dengan kekalahannya 18 Juni 1815 di Waterloo menyebabkan tertundanya pelaksanaan kebijakan ini selama 6 bulan. Namun pada 27 Oktober 1815, para Komisaris Jenderal Belanda —C.Th. Elout, Laksamana Muda A.A. Buyskes, dan G.A.G.Ph. van der Capellen— bertolak dari Texel menuju Jawa. Dalam kesempatan itu, van der Capellen diberi kekuasaan sebagai Gubernur Jenderal baru Belanda dan berlayar dengan kapal yang berbeda untuk menjamin ketiganya takkan hilang jika sampai terjadi kapal kandas. Rombongan ini tiba di Jawa masing-masing pada 27 April dan 11 Mei 1816. Upacara resmi penyerahan Pulau Jawa diadakan di Batavia pada 19 Agustus 1816 berdasarkan peraturan pelaksanaan perundangan pemerintah Belanda (regeerings-reglement) Januari 1818, para Komisaris Jenderal akan bersama-sama memimpin lahirnya pemerintah kolonial yang baru; Hindia Belanda (1818-1942). Upacara Ini menandai awal mula kurun modern kolonialisme Belanda di Nusantara.

Di Yogyakarta, pengganti Crawfurd; Nahuys van Burgst; tiba pada 9 Agustus dan bendera triwarna Belanda berkibar kembali di kota-kota keraton pada 14 Agustus. Crawfurd meyakinkan Nahuys bahwa:

“Kejayaan Eropa di tempat ini [Yogya] diserahkan dengan utuh kepada para pengganti kita dan dalam pelaksanaan sesempurna yang direncanakan sekarang ini [...] Negeri ini [juga] menikmati ketenangan dan kemakmuran sebanyak yang bisa diharapkan dalam pola sosial yang ada sekarang. Ketangguhan dan watak pemerintahan Eropa mengimbangi kelemahan yang biasa melekat pada suatu kelompok minoritas, sementara kelompok tersebut memihak jalan-tengah dan kebebasan yang mendorong perdagangan dan kemakmuran. Suatu revolusi menyuruh dan menguntungkan telah terjadi dalam berbagai hubungan antara pemerintah Eropa dan pemerintah pribumi selama lima tahun terakhir ini yang membuat produk yang tersebut dahulu [...] tidak diragukan menjadi menjulang naik.”

Meskipun Nahuys mengakui Crawfurd telah menyerahkan keresidenan “dalam kedamaian paling akbar”, masih harus dilihat apakah prinsip-prinsip liberalisme ekonomi yang dirujuk oleh Crawfurd akan cocok dengan pemerintah Belanda yang bertekad mendapatkan laba secepat mungkin dari bekas jajahan mereka itu. Sekali lagi, tahun-tahun selanjutnya akan terbukti merupakan masa kalut dan genting bagi Belanda dan Jawa. Masa pemulihan kekuasaan Belanda bukannya menjadi gerbang menuju suatu zaman baru perdagangan dan kemakmuran, melainkan justru membuka jalan besar bagi peperangan di Jawa Tengah-Selatan. Kehancuran Jawa yang dirujuk dalam ramalan Parangkusumo akan berdampak lebih dari keruntuhan kesultanan Yogya saja.


Bab 9. Memasang Belenggu Besi; Kembalinya Pemerintahan Belanda, Pemiskinan Petani Jawa Tengah-Selatan, dan Timbulnya Gerakan-gerakan Ratu Adil

Demikianlah berakhirnya pemerintahan adik Diponegoro. Masa ini menutup suatu bab yang menyedihkan dalam sejarah Yogya. Di lingkungan keraton, tunas persaingan antara Diponegoro dan kelompok sekitar ibu suri dengan cepat berkobar menjadi permusuhan terbuka. Perpecahan menyeluruh hanya memerlukan beberapa bulan lagi.

Sementara itu, kembalinya Belanda pada Agustus 1816 memacu perubahan besar-besaran yang telah dimulai oleh Inggris. Salah satu perubahan yang terpenting adalah penyerapan Jawa ke dalam pasar global dan pembukaan pedesaan pulau itu untuk masuknya modal swasta Barat. Bermacam alasan mengenai penyewaan tanah mencerminkan keraguan mendalam di pihak pemerintah van der Capellen terhadap faedah jangka panjang penyewaan tanah itu. Hal ini berakibat pada keputusannya melarang penyewaan lahan kepada para pemodal swasta Eropa dan Tionghoa pada Mei 1823. Namun dalam jangka pendek, akan menciptakan lebih banyak masalah daripada yang hendak diatasi.

Pada saat yang sama, tuntutan pemerintahnya yang tak hentinya akan pemasukan —di samping apa yang dengan tepat telah diduga oleh Raffles sebagai “kehausan akan laba mendadak” di pihak pemerintah kerajaan di Den Haag dan Brussels— berarti bahwa mereka yang memiliki tanggung jawab dalam kebijakan kolonial semakin menutup mata terhadap penderitaan para petani Jawa. Pada Juli 1823 van der Capellen akan melaporkan bahwa berita tentang pengangkatan senjata Diponegoro telah sampai kepadanya “dengan sangat mengejutkan”. Namun hanya orang optimistis paling keras kepala sajalah yang bisa menaruh kesan lunak seperti itu pada peristiwa tersebut. Laporan-laporan yang senantiasa semakin tegang dari para pejabat Belanda mengenai kemelut di pedesaan Jawa pada awal 1820-an semua menunjukkan satu kesimpulan: suatu pemberontakan rakyat besar-besaran mulai bergolak. Tinggal waktu dan pemimpinnya yang belum jelas. Paduan pajak tanah, gagal panen, sampar kolera 1821, gerbang cukai, dan penyewaan lahan perkebunan kepada orang Eropa telah mengubah Jawa Tengah-Selatan menjadi sebuah tong mesiu.

Berbagai pemberontakan rakyat 1817-1822 berikut harapan akan Ratu Adil mereka yang aneh-aneh merupakan gejala rasa putus asa yang mendalam ini. Di Yogya, khususnya, banyak orang yang bersatu di bawah perasaan terhina mendarah daging akibat berbagai peristiwa 1812. Pertama, rasa terhina yang diperparah dengan sejumlah peristiwa selama pemerintahan Sultan keempat. Kedua, hasrat akan pembaruan dan pemulihan tata susunan politik yang mengatur hubungan dengan pemerintah kolonial sudah mulai menyatu dengan harapan akan Ratu Adil tentang suatu zaman emas keadilan dan kesejahteraan. Yang dibutuhkan sekarang adalah pemimpin yang cukup berwibawa untuk mencanangkan dirinya dan merangkul semua yang berkeluh kesah untuk bersatu dalam perjuangannya.

 

Bab 10. Menanti Ratu Adil

Siapa gerangan yang tak tergugah dengan kepedihan detik-detik ini? Diponegoro yang berbusana untuk perang sabil sedang meloloskan diri lewat sawah-sawah, sementara api berkobar membakar Tegalrejo yang ia cintai. Tatkala ia mengibarkan panji perangnya sebagai Ratu Adil Jawa yang telah dinanti-nanti di perbukitan kapur sebelah selatan Yogya esok harinya, pastilah dia tidak berpikir banyak tentang akibatnya. Satu langkah pantang surut sudah diayunkan. Tiada lagi jalan mundur. Di depan terbentang nyaris lima tahun lamanya perang yang akan menelan korban jiwa sekitar 200.000 orang jawa dan mengharu-biru kehidupan dua juta orang lagi. Selama masa ini, sisa-sisa tatanan lama Jawa akan musnah. Hanya seabad lebih sedikit akan berlalu sebelum Jawa kembali mengenyam kebebasan sebagai bagian Indonesia merdeka. Inilah sejarah bagai duka cerita seperti yang kemudian diakui oleh Diponegoro sendiri dalam baris-baris pembuka babad karyanya tatkala ia berbicara tentang derita dan malu yang dipaksakan ia tanggung.

Dapatkah gerangan hal itu dihindari? Drastisnya kemerosotan taraf hidup penduduk desa Jawa Tengah-Selatan dalam tahun-tahun sesudah Belanda kembali berkuasa pada Agustus 1816 akan memicu timbulnya pergolakan petani yang terus-menerus dalam paruh kedua 1820-an seandainya pun Perang Jawa tidak terjadi. Kita sudah mengetahui bagaimana sejumlah perlawanan seperti itu, banyak di antaranya berciri syahid, menjadi semakin sering dalam kurun 1817-1822. Yang tidak jelas adalah apakah seorang pemimpin sebobot Diponegoro akan muncul untuk menyatukan mereka. Dalam hal ini, sepak terjang Smissaert dan Asisten Residen jelas bersifat menentukan dalam merusak keseimbangan. Seandainya ada pejabat yang lebih berpengalaman di Yogya; seperti Nahuys atau Van Sevenhoven; mungkin saja beberapa tindakan sangat menyakitkan yang emmaksa Diponegoro memberontak dapat dihindari. Sekalipun begitu, siapa pun Residen Yogya pasca-1823, ia harus bertindak begitu rupa sehingga menimbulkan kepercayaan di kalangan ningrat keraton terhadap niat baik gubernemen. Paduan ganti rugi penyewaan lahan dan politik aneksasi van der Capellen memperparah rasa tak pasti yang melanda keraton Jawa Tengah-Selatan.

Hari-hari kelangsungan keraton-keraton yang mandiri tampaknya sudah ditentukan. Hal ini paling terasa di Yogya di mana cepatnya kemerosotan taraf hidup kalangan atas, persaingan di dalam keraton, dan masalah-masalah pemerintahan penguasa yang belum akil-baligh, semuanya merusak kepercayaan terhadap kesultanan. Dengan berbagai peristiwa alam —khususnya letusan Gunung Merapi akhir Desember 1822 dan wabah kolera tahun sebelumnya— yang terasa sarat pertanda akan datangnya malapetaka, mengherankankah bahwa tampilnya Diponegoro sebagai seorang Ratu Adil menggugah dukungan rakyat yang luas?

Ramalan tersohor Raja Joyoboyo tampak akan terwujud. Dengan latar belakang inilah penampakan dan mimpi-mimpi sebelum perang dialami oleh Diponegoro. Semuanya itu meneguhkan apa yang mungkin telah ia rasakan sejak masa mudanya, yaitu bahwa dirinya sudah terpilih sebagai pemimpin penyucian Jawa. Dengan citra Raja Adil Jawa masih segar dalam jiwanya dan dengan amanat penunjukan dirinya yang berdasarkan Al-Quran sebagai seorang wali wudhar tampak dikukuhkan dengan dukungan golongan santri Jawa Tengah-Selatan, Pangeran memasuki peperangan pada Juli 1825 dengan keyakinan, bahwa penampakan bersifat kerasulan yang dialaminya akan lulus dalam ujian pertempuran.

Tetapi naik-turunnya gelombang peperangan dan sepinya hidup di pengasingan menunggunya. Selama masa ini, ia akan mengalami tahap-tahap tatkala ia mengubah penilaian terhadap takdirnya. Pada akhir peperangan, ia tidak lagi memandang dirinya sebagai Ratu Adil yang dijanjikan akan mengusir Belanda dari Jawa. Sebaliknya, ia menyiratkan akan senang dengan pulihnya keadaan semula pra-Daendels, di mana Belanda akan membiarkan tinggal di pulau itu sebagai saudagar dan pemukim sepanjang pantai utara. Pada saat ini, retaknya hubungan antara golongan santri berarti harapan untuk mendapat pengakuan sebagai seorang penata agama surut dengan cepat.

Namun ia masih gagal menyadari, bahwa sekarang sudah mustahil memutar balik jarum waktu. Suatu zaman baru imperialisme sudah tiba. Johannes van den Bosch; Gubernur Jenderal yang di bawah kekuasaannya nasib Pangeran ditentukan; tidak berniat tawar-menawar. Sadar akan berbagai bahaya internasional yang langsung diakibatkan oleh pemberontakan Belgia pada 1830 dan bertekad menegakkan suatu Pax Neerlandica di Hindia Belanda, ia akan memastikan agar sepertiga usia Diponegoro dihabiskan di pengasingan. Pada saat wafatnya Pangeran di Makassar pada 8 Januari 1855, rezim kolonial Belanda sudah tak tergoyahkan dan Holland; yang bergelimang laba dari Sistem Tanam Paksa (1830-1870); sedang berada dalam perubahan ke arah negara industri modern.

 

Bab 11. Perlawanan Terakhir Tatanan Lama; Renungan tentang Perang Jawa, 1825-1830

Perang Jawa merupakan keguncangan hebat dalam masyarakat Jawa. Perang ini mempengaruhi kehidupan dua juta orang Jawa, sepertiga dari seluruh penduduk pulau Jawa. Diperkirakan sebanyak 200.000 orang Jawa kehilangan nyawa dan seperempat daerah pertanian Jawa rusak. Untuk mendapatkan kemenangan mereka yang pahit itu, Belanda kehilangan 8.000 orang serdadu mereka sendiri dan juga 7.000 pembantu serdadu yang orang Jawa dan penduduk Nusantara lain (Madura, Bugis, Maluku, Minahasa). Sebanyak 20 juta gulden yang terkuras dari perbendaharaan mereka hanya bisa dikembalikan lewat Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) van den Bosch. Sistem itu menghasilkan sekitar 832 juta gulden atau sekitar 70 miliar dolar Amerika (600 triliun rupiah) dalam uang sekarang bagi perbendaharaan negeri Belanda antara 1831 sampai 1977.

Sebagai upaya terakhir “tatanan lama” Jawa, Perang Jawa menjadi saksi kehancuran keraton-keraton Jawa Tengah-Selatan pada 1830 saat wilayah mancanagara timur yang tersisa akhirnyadiambil alih oleh pemerintah kolonial. Demikianlah hal itu bisa dianggap sebagai bagian rangkaian panjang bencana militer, yang mulai pada akhir abad ketujuh belas dengan Pemberontakan Trunojoyo (1676-1679) yang telah menghancurkan kekuasaan kemaharajaan Mataram yang pernah jaya. Pada akhir peperangan itu, Belanda tetap berkuasa penuh atas pulau itu. Pemerintahan mereka akan bertahan selama 112 tahun berikutnya.

Bila dipikir kembali, tampak agak aneh bahwa Belanda perlu begitu lama untuk memahami tantangan militer yang ditimbulkan oleh perlawanan Diponegoro. Mengingat ketegangan yang selalu mewarnai hubungan para pendukung Pangeran yang santri dengan kalangan keraton, persaingan keras antardaerah, dan perselisihan mengenai tujuan peperangan yang semuanya tentunya bisa memporakporandakan upaya perang Diponegoro, mengherankan bahwa dua tahun berlalu sebelum Belanda menemukan strategi yang unggul —yaitu gabungan sistem benteng Cochius dan penambahan jumlah pasukan gerak-cepat mereka hingga hampir dua kali lipat. Sudah tidak perlu dikatakan lagi, bahwa para jenderal senantiasa bertarung dalam perang pamungkas. Berkaitan dengan Belanda, ingatan atas perang-perang suksesi Jawa akhir abad ketujuh belas dan kedelapan belas agaknya telah mewarnai pertimbangan mereka. Mereka melewatkan terlalu banyak waktu menduga-duga bahwa Diponegoro mungkin saja dapat disogok dengan wilayah kekuasaan yang terkesan mandiri dan bahwa yang menjadi masalahnya adalah ambisi yang tak tercapai.

Namun ia bukanlah Raden Mas Said (Mangkunegoro I) atau bahkan Sultan Mangkubumi. Tidak juga bisa membantu menjelaskan bahwa tentara kolonial mereka begitu tidak siap tempur dalam suatu perang gerilya dan bahwa hubungan antara penguasa sipil dan militer Belanda —yang tergambar dalam perselisihan antara Du Bus dan De Kock— begitu buruknya. Keadaan keuangan kolonial yang sangat rawan selama bertahun-tahun ini juga mempersempit ruang gerak mereka, sebagaimana halnya masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Kerajaan Nederland Serikat saat meningkatnya pemberontakan Belgia pada 24 Agustus 1830.

Barangkali kelemahan terbesar terletak dalam pemahaman Belanda atas unsur Islam peperangan itu. Dalam hal ini, mereka bertempur secara buta. Tidak ada seorang Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) yang memberi mereka nasihat. Seandainya ada, De Kock dan para komandan militer senior lain bisa saja terdorong untuk memanfaatkan ketegangan antara pendukung Diponegoro yang santri dan yang berasal dari kalangan keraton sejak dini dan dengan akibat yang lebih besar. Tentunya beberapa kesalahan memalukan yang berkaitan dengan siasat bumi-hangus Van Geen di Jawa Tengah-Selatan selama 1825-1827 dan sikap bermusuhan penduduk desa mungkin bisa dihindari. Kebijakan yang bersahabat berdasarkan penghormatan terhadap lembaga-lembaga dan kebiasaan Islam; khususnya pemulihan wewenang pengadilan Islam (surambi); boleh jadi akan sangat membantu menghilangkan bermacam kekecewaan para pendukung Diponegoro yang berasal dari kalangan santri.

Satu masalah yang mungkin tidak bisa ditawar-tawar adalah yang menyangkut jati diri Jawa. Sementara kajian Valck atas “nasionalisme” Jawa mungkin saja berlebihan, tidak diragukan lagi bahwa sifat utama perjuangan Diponegoro adalah keteguhan membela kebudayaan Jawa. Bagaimana pun juga, ia telah hidup dalam masa ketika masyarakat Jawa dijungkirbalikkan oleh kebijakan kolonial Daendels dan raffles yang kejam. Pengalamannya sendiri sewaktu serbuan Inggris ke Keraton Yogya —perlakuan terhadap dirinya oleh para wakil pemerintahan Belanda yang pulih pasca-1816 dan gelombang pasang pengaruh Eropa yang tampaknya tak terbendung melanda apa saja mulai dari busana ke bahasa— telah meyakinkan dia, bahwa di samping menaikkan martabat agama Islam, memulihkan nilai-nilai budaya khas Jawa merupakan tugasnya yang utama. Dan karena itu, mendorong timbulnya perlakuan yang bermusuhan terhadap orang-orang bukan Jawa selama perang; khususnya orang Belanda dan Tionghoa. Dalam banyak hal, Perang Jawa merupakan upaya terakhir tatanan lama; ancien regime; kerajaan Jawa untuk membendung gelombang pasang kolonialisme Belanda. Dalam pengertian yang demikian, upaya itu mengandung kekuatan yang mengilhami generasi-generasi selanjutnya. Diangkut pada tahap pertama perjalanannya ke pengasingan dengan hasil zaman industri baru —kapal uap pertama dalam pelayanan umum Hindia Belanda— Diponegoro tentunya mempunyai waktu untuk merenungkan pahit-getirnya kekalahan dan nasib mereka yang lahir serta hidup dalam zaman yang berubah.

 

Bab 12. Derita yang Tak Terpikul; Penangkapan Diponegoro di Magelang dan Pengasingannya ke Sulawesi, 1830-1855

Benarlah adanya ucapan, bahwa orang ditempa oleh zaman di mana mereka hidup. Tidak terkecuali Diponegoro. Sembilan tahun sebelum Pangeran itu lahir, Thomas Paine menulis, “Inilah mas-masa yang menguji jiwa manusia”, suatu rujukan pada masa-masa kalut awal Revolusi Amerika (1775-1783). “Masa-masa yang menarik”, seperti dalam ungkapan Tionghoa, jelaslah memberi ciri pada kurun tatkala Diponegoro hidup jauh di separo dunia lagi di Jawa. Lahir dalam “tatanan lama” yang tampak sedang berlangsung di daerah kerajaan akhir abad kedelapan belas, ia wafat dalam masa jaya Hindia Belanda di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist, suatu masa tatkala kapal-kapal uap mulai menjelajahi jalur laut antarpulau dan kurun sistem niaga baru pelabuhan bebas telah menggantikan sistem monopoli VOC. Undang-Undang Agraria (1870) yang akan membuka lebar Hindia Belanda bagi penanaman modal swasta besar-besaran, hanya satu setengah dasawarsa lagi akan berlaku. Inilah masa ketika Belanda meraup kekayaan yang tak terbayangkan besarnya dari Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830-1870) yang mengorbankan para petani penggarap Jawa yang di daerah-daerah tertentu, seperti Grobogan dan Demak, ditimpa kelaparan yang mengerikan (1849-1850) dan terkena wabah tipus (1846-1850), suatu masa tatkala ­—seperti yang dengan singkat-padat dikatakan oleh Raden Saleh­— satu-satunya bahan percakapan di kalangan masyarakat kolonial Hindia Belanda adalah café et sucre, sucre et café (kopi dan gula, gula dan kopi). Inilah tahun-tahun yang kemudian akan disuarakan oleh Multatuli dalam karyanya Max Havelaar of de Koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda) (1860) lewat tokohnya Droogstoppel (Si Tunggul Kering), makelar kopi Amsterdam berhati batu yang tahu harga segala-gala tapi tak menghargai apa pun juga.

Kemudian apa harganya seorang pangeran yang berkebatinan dalam dunia semacam itu? Tidak begitu berharga bagi orang Belanda bila ditimbang dari singkatan alinea dalam berbagai surat kabar kolonial dan nasional mereka pada saat ia wafat. Tetapi bagaimana dengan orang Jawa? Apa arti Diponegoro bagi mereka? Jelaslah bahwa dia merupakan seorang tokoh utama dalam sejarah Jawa modern yang kematiannya terjadi hampir tepat pada titik tengah antara Perjanjian Giyanti (1755) dan proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945). Tapi seberapa besar hal ini berkat keutamaan pribadinya dan seberapa besar lagi karena kurun masa di mana ia hidup? Bayangkan saja sejenak, bahwa ia lahir seratus tahun lebih dini pada 1685 atau seabad sesudahnya pada 1885. Yang tersebut pertama tentu akan menempatkannya benar-benar di tengah dasawarsa-dasawarsa kalut masa awal Kartosuro (1680-1742) yang —jika dia bertahan hidup dan tidak tertimpa nasib orang yang senama dengan dia— Pangeran Diponegoro yang pertama (diasingkan ke Tanjung Harapan pada 1723 setelah pemberontakan yang gagal) mungkin membuat dirinya tampil sebagai seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka keraton Pakubuwono II (bertakhta 1726-1749) dengan perhatian pada kesastraan Islam-Jawa yang terilhami sufi yang digemari di kalangan dekat ratu-ibu; Ratu Pakubuwono (wafat 1732). Namun akankah dia tampil dalam sosok pahlawan sebagai seorang Ratu Adil yang memimpin perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial? Rasanya sulit. Yang tersebut kedua bisa menempatkan dirinya di jantung generasi pelopor “gerakan kebangsaan” Indonesia mirip dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo (1885-1943), Raden Mas Soetomo (1888-1938), dan Raden Mas Suwardi Suryoningrat alias Ki Hadjar Dewantoro (1889-1959) sebagai rekan sezamannya. Mengingat kemampuan pribadi Diponegoro, akar kepercayaannya yang mendalam, ketajaman nalurinya di bidang tata laksana dan keuangan, juga perhatiannya pada dunia modern bisa saja dia mengukir nama lewat jabatan tertentu dalam Indonesia modern: seorang pangeran republikan barangkali? Namun tidak jelas apakah dia akan tampil sebagai tokoh yang menentukan sebagaimana dirinya pada masa Perang Jawa.

Dengan demikian, kurun yang luar biasa di mana Diponegoro hidup, sangat penting untuk memahami kehidupannya. Pengalamannya menegaskan kebenaran pernyataan Karl Popper, bahwa sejarah adalah pertarungan antara manusia dan gagasan, tidak hanya keadaan materi dalam hidup mereka: “meskipun sejarah tidak ada artinya, kita dapat memberikan makna kepadanya.” Seandainya tidak ada kekerasan tak semena-mena yang menimpa keraton-keraton Jawa Tengah-Selatan oleh Daendels dan Raffles selama empat tahun antara 1808 dan 1812, kekerasan yang merobek jantung Keraton Yogya, bisa dibayangkan Diponegoro hidup tidak begitu dikenal di Tegalrejo, melaksanakan tugas-tugas keagamaannya, dan meninggal pada pertengahan abad sebagai seorang pangeran santri yang aneh, menjadi momok bagi bangsawan Yogya dan Belanda yang kafir. Meskipun dirinya jelas berkemampuan, bahwa dia tidak sekali pun dirujuk dalam laporan-laporan Inggris (1811-1816), suatu masa tatkala ia konon bertugas sebagai penasihat utama bagi ayahnya; Sultan ketiga; dan menjadi pembimbing bagi adik lelakinya; Sultan keempat; menunjukkan bahwa dia bukan tokoh yang menonjol dalam kehidupan politik kesultanan seperti yang ia coba gambarkan dalam babad karyanya. Nahuys van Burgst mungkin menaksir bobotnya dengan lebih tepat saat ia menggambarkan Diponegoro dan pamannya; Mangkubumi; sebelum pecahnya Perang Jawa sebagai dua orang yang “bersikap netral dan oleh semua pihak dianggap orang-orang tenang yang baik tanpa sedikit pun ambisi”. Kemelut agraris 1823-1825 dan tak becusnya wakil-wakil Belanda memerintah di Yogya selama dua tahun menjelang pecahnya Perang Jawa merupakan sepasang pelecut buat tampilnya sang Pangeran sebagai seorang tokoh politik penting, yang banyak kesmaannya dengan Gubernur Jenderal Van Imhoff (berkuasa 1741-1750) dan soal penyewaan daerah-daerah pantai yang dikuasai oleh Mataram semasa pemberontakan Mangkubumi pada 1746. Namun begitu tertempa dalam peran kepemimpinan, Diponegoro melaksanakan tugasnya dengan kemampuan dan daya tarik yang bahkan lebih besar daripada kakek buyutnya yang dikagumi; Mangkubumi. Seorang Muslim yang sholih, yang percaya dirinya merupakan bagian umat sedunia, dia adalah perwujudan “sintesa kebatinan” di Jawa —seorang Muslim Jawa yang tidak melihat pertentangan dalam berhubungan dengan dewi laut selatan, berziarah ke tempat-tempat keramat yang terkait dengan arwah-arwah penjaga dan penguasa Jawa, dan minum berbotol-botol anggur manis Tanjung Harapan yang “berkhasiat menyembuhkan” itu— dan pada saat yang sama memelihara pengabdian yang sungguh-sungguh terhadap kewajiban-kewajiban Islamnya. Sebagai bagian “pengaruh kekuasaan Sultan Agung”, Diponegoro berjuang untuk pulihnya masa kebesaran Jawa dan tegaknya suatu tatanan moral baru di mana ajaran Islam; khususnya aturan-aturan syariat; akan diberlakukan. Inilah hakikat pesona populernya bagi berbagai golongan umat dan makna pentingnya bagi masa depan, di mana bentuk “sintesa kebatinan”-nya yang khas akan menjadi salah satu aliran kesholihan Islam dalam masyarakat Jawa pasca-1830. Perhatian yang ia tuntut terhadap aturan budaya Jawa dalam berbahasa, berpakaian, dan bersopan santun juga menampilkan dirinya dalam peran seorang penyebar benih kebangsaan Jawa. Iniah dia yang —dengan kata-kata Nicholaus Engelhard, “dalam segala hal adalah seorang Jawa dan mengikuti adat-istiadat Jawa”. Namun hal ini jangan sampai dilebih-lebihkan. Tidak ada pertanda bahwa ia mempunyai pemikiran tentang kemerdekaan nasional dalam pengertian modern, tidak ada bahkan untuk daerah asalnya; Jawa. Memang, masih hampir satu abad berlalu setelah pecah Perang Jawa barulah wawasan semacam itu diterima secara luas di kalangan para pemimpin kebangsaan Indonesia. Yang paling jauh bisa dibayangkan oleh Diponegoro adalah kembali ke keadaan abad ketujuh belas. Berdasarkan kesaksian Hasan Munadi dan basah Pengalasan, yang ada dalam pikirannya adalah masa saat orang Belanda bergiat hanya di pantai timur laut Jawa sebagai saudagar dan tidak terlibat secara politik dalam urusan keraton-keraton Jawa Tengah-Selatan. Ia bahkan berbicara —­begitu Munadi menyiratkan­— tentang memberikan kepada Belanda dua kota di pantai utara; Batavia dan Semarang. Di situ mereka akan diizinkan tinggal dan mengejar kepentingan dagang mereka tanpa hambatan, asalkan tidak menindas penduduk setempat: tuntutan Diponegoro mengenai pembayaran berdasarkan harga pasar untuk pembelian hasil produksi Jawa dan kontrak-kontrak penyewaan tanah merupakan pemandangan yang tajam mengingat apa yang kemudian terjadi dengan Sistem Tanam Paksa Van den Bosch. Hal ini mengingatkan kembali keadaan yang timbul di bawah kekuasaan Sultan Agung (1613-1646) sebelum malapetaka politik penggantinya; Amangkurat I (bertakhta 1646-1677); membuka pintu lebar-lebar bagi campur tangan Belanda di pedalaman Jawa.

Bahwa hal ini adalah mimpi yang mustahil dengan demikian sudah jelas dengan sendirinya. Pada zaman Diponegoro, Eropa sudah menjadi semacam “kekuatan raksasa yang siap untuk menindas bangsa yang bukan Eropa”. Meskipun rawannya peralihan Belanda dari republik kalangan atas ke negara kebangsaan antara 1785 dan 1813 —tepat sama dengan masa muda Diponegoro dan awal masa dewasanya— tiada kemungkinan bagi Belanda untuk surut ke keadaan di masa awal VOC. Tangan besi kekuasaan Daendels dan keangkuhan Inggris yang tak tertahankan itu cukup menjadi bukti bahwa sosok baru kekuasaan orang Eropa sekarang sedang diterapkan pada urusan-urusan kolonial. Dewa Prometheus orang Eropa telah bebas merajalela. Meskipun pemberontakannya pada 1815, pasukan sepoy dengan sangkur-sangkurnya terus saja menunjang pemerintahan Raffles yang rapuh itu. Bahkan kelak ketika pemerintahan Belanda pasca-1816 yang tak berpengalaman itu nyaris runtuh, pertama karena memperparah kemelut agraris yang memacu pecahnya Perang Jawa, dan kedua karena menyia-nyiakan dua tahun (1825-1827) sebelum pasang surut pertempuran berhasil dibalikkan, kemungkinan keluarnya Belanda dari Jawa tidak pernah menjadi pilihan. Pentingnya Jawa bagi perekonomian Belanda pasca-1830 merupakan alasan yang cukup kuat untuk hal ini, untuk mengirimkan pasukan sepoy ke Jawa pada Januari 1828 guna bantu membalikkan pasang surut pertempuran dan menjamin keamanan bantuan mereka sebesar 6 juta rupiah Sicca. Namun kerawanan pihak Belanda tetap bertahan. Berhasilnya pemberontakan Belgia pada 1830 memperparah kerawanan ini, yang untuk sementara mengancam Belanda dengan serbuan Prancis dan dengan kemungkinan pecahnya perang baru di Eropa. Bagi Diponegoro, hal ini akan berarti penangkapan dan pengasingan yang tak semena-mena, pengasingan di mana kekhawatiran Belanda menyebabkan dijalankannya pengawasan yang semakin ketat yang selama 22 tahun terakhir terus menjadikan dia dan keluarganya orang tahanan di Benteng Rotterdam. Wafatnya Diponegoro yang menyedihkan di Makassar adalah riwayat duka kemanusiaan yang merupakan jantung kisah ini. Penyia-nyiaan suatu kehidupan, derita suatu keluarga, keruntuhan suatu masyarakat. Kebijakan Van den Bosch boleh merupakan penyelamat bagi negeri Belanda, tapi semua itu menimbulkan malapetaka bagi rakyat Jawa. Setelah 1830 lahirlah suatu dunia baru. Itulah perubahan yang sangat mendasar dalam sejarah kolonial. Namun perubahan itu akan menuntut biaya yang mengerikan.


Bibliografi
Judul: Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid 2
Judul asli: The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and The End of an Old Order in Java, 1785-1855 second edition
Penulis: Peter Carey
Alih bahasa: Parakitri T. Simbolon
Tebal: xx+508 hlm.
Genre: Sejarah
Cetakan: III, Agustus 2016
ISBN: 978-602-424-044-8
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar