“Engkau sendiri hanya sarana. Namun
tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur.” —Ramalan Parangkusumo, sekitar 1805
Sepenggal kalimat tersebut merupakan wangsit yang didapat Diponegoro sebagai penguat apa yang jadi ramalan buyutnya tentang perannya memimpin perang (Jawa) dan meninggalkan kerusakan hebat bagi Belanda.
Bukan hanya kebobrokan moral di dalam istana yang
lebih memilih takluk dan masuk dalam kendali kolonial, sikap permusuhan ibu
tirinya, maraknya penggunaan dan monopoli candu, menggurita dan menggilanya
pajak dan cukai, dan beragam provokasi dialami Diponegoro jelang aksi
perlawanannya.
Para petani, rakyat jelata, para santri, dan dua
pertiga putra istana menjadi kekuatan perlawanan Diponegoro yang paling
berharga. Terebutnya banyak meriam dari pihak Belanda tidak disertai kemampuan
penguasaan dan adaptasi yang cepat dari para prajurit. Mereka lebih piawai
dalam menggunakan keris sebagai senjata perang.
Akibat Perang Jawa, Belanda kehilangan 15.000
serdadunya, dan Diponegoro kehilangan 200.000 jiwa prajurit. Kerajaan Belanda
pun mengalami defisit parah hingga 20 juta Gulden yang setara dengan 10 tahun
kas Belanda. Selain itu, Belgia pun berhasil memerdekakan diri dari Belanda.
Soliditas menjadi kunci kemenangan. Oleh
karenanya, saat Kyai Mojo dan panglimanya; Sentot; mengambil sikap kooperatif
dengan pihak kepada kolonial, kekuatan Diponegoro menjadi pincang. Strategi de Kock
untuk menjebak Diponegoro pun berhasil melalui skenario halal bihalal.
Diponegoro pun dibuang ke Manado, dan kemudian diasingkan dan wafat di Makassar.
Pasca Perang Jawa, Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa untuk menutup kerugian selama Perang Jawa. Sistem Tanam Paksa melahirkan Politik Etis. Dan Politik Etis melahirkan tokoh-tokoh berkesadaran nasional. Tak salah jika Peter Carey menyebut, “Diponegoro adalah penendang bola salju kemerdekaan Indonesia.”
Bab 8. Memasuki Era Baru; Pemerintah
Peralihan Inggris, 1812-1816
Persekutuan melawan komplotan sepoy 1815 merupakan peristiwa terakhir yang menandai masa pemerintahan Inggris di Jawa. Dalam waktu kurang dari 5 tahun, pemerintahan itu telah menimbulkan perubahan-perubahan penting dalam perimbangan kekuatan politik di Jawa Tengah-Selatan. Warisannya akan hidup lebih lanjut berupa kantor-kantor perusahaan Inggris di Jawa. Tapi pemerintah Inggris sendiri tidak menikmati keuntungan-keuntungan itu.
Pada
Mei 1815, keputusan akhir telah diambil oleh Menteri Luar Negeri Inggris; Lord
Castlereagh; dan pemerintahan Lord Liverpool (memerintah 1812-1827) untuk
meninggalkan Jawa sesuai dengan syarat-syarat Konvensi London 13 Agustus 1814
dan Perjanjian Wina 9 Juni 1815 yang telah menyetujui kembalinya semua bekas
koloni Belanda (kecuali Tanjung Harapan dan pulau Demarara) yang dikuasai oleh
Inggris sejak 1803. Keputusan ini merupakan bagian kebijakan Inggris yang lebih
luas untuk menegakkan kembali kekuatan Belanda guna mengimbangi kemungkinan
ancaman dari pihak Prancis yang bangkit lagi sesudah Perang Revolusioner dan
Perang Napoleon. Kekuasaan Seratus Hari Napoleon (20 Maret s.d. 8 Juli 1815)
yang berakhir dengan kekalahannya 18 Juni 1815 di Waterloo menyebabkan
tertundanya pelaksanaan kebijakan ini selama 6 bulan. Namun pada 27 Oktober
1815, para Komisaris Jenderal Belanda —C.Th. Elout, Laksamana Muda A.A.
Buyskes, dan G.A.G.Ph. van der Capellen— bertolak dari Texel menuju Jawa. Dalam
kesempatan itu, van der Capellen diberi kekuasaan sebagai Gubernur Jenderal
baru Belanda dan berlayar dengan kapal yang berbeda untuk menjamin ketiganya
takkan hilang jika sampai terjadi kapal kandas. Rombongan ini tiba di Jawa
masing-masing pada 27 April dan 11 Mei 1816. Upacara resmi penyerahan Pulau
Jawa diadakan di Batavia pada 19 Agustus 1816 berdasarkan peraturan pelaksanaan
perundangan pemerintah Belanda (regeerings-reglement) Januari 1818, para
Komisaris Jenderal akan bersama-sama memimpin lahirnya pemerintah kolonial yang
baru; Hindia Belanda (1818-1942). Upacara Ini menandai awal mula kurun modern
kolonialisme Belanda di Nusantara.
Di
Yogyakarta, pengganti Crawfurd; Nahuys van Burgst; tiba pada 9 Agustus dan
bendera triwarna Belanda berkibar kembali di kota-kota keraton pada 14 Agustus.
Crawfurd meyakinkan Nahuys bahwa:
“Kejayaan Eropa di tempat ini [Yogya] diserahkan dengan utuh kepada para pengganti kita dan dalam pelaksanaan sesempurna yang direncanakan sekarang ini [...] Negeri ini [juga] menikmati ketenangan dan kemakmuran sebanyak yang bisa diharapkan dalam pola sosial yang ada sekarang. Ketangguhan dan watak pemerintahan Eropa mengimbangi kelemahan yang biasa melekat pada suatu kelompok minoritas, sementara kelompok tersebut memihak jalan-tengah dan kebebasan yang mendorong perdagangan dan kemakmuran. Suatu revolusi menyuruh dan menguntungkan telah terjadi dalam berbagai hubungan antara pemerintah Eropa dan pemerintah pribumi selama lima tahun terakhir ini yang membuat produk yang tersebut dahulu [...] tidak diragukan menjadi menjulang naik.”
Meskipun
Nahuys mengakui Crawfurd telah menyerahkan keresidenan “dalam kedamaian paling
akbar”, masih harus dilihat apakah prinsip-prinsip liberalisme ekonomi yang
dirujuk oleh Crawfurd akan cocok dengan pemerintah Belanda yang bertekad
mendapatkan laba secepat mungkin dari bekas jajahan mereka itu. Sekali lagi,
tahun-tahun selanjutnya akan terbukti merupakan masa kalut dan genting bagi
Belanda dan Jawa. Masa pemulihan kekuasaan Belanda bukannya menjadi gerbang
menuju suatu zaman baru perdagangan dan kemakmuran, melainkan justru membuka
jalan besar bagi peperangan di Jawa Tengah-Selatan. Kehancuran Jawa yang dirujuk
dalam ramalan Parangkusumo akan berdampak lebih dari keruntuhan kesultanan
Yogya saja.
Bab 9.
Memasang Belenggu Besi; Kembalinya Pemerintahan Belanda, Pemiskinan Petani Jawa
Tengah-Selatan, dan Timbulnya Gerakan-gerakan Ratu Adil
Demikianlah berakhirnya pemerintahan adik
Diponegoro. Masa ini menutup suatu bab yang menyedihkan dalam sejarah Yogya. Di
lingkungan keraton, tunas persaingan antara Diponegoro dan kelompok sekitar ibu
suri dengan cepat berkobar menjadi permusuhan terbuka. Perpecahan menyeluruh
hanya memerlukan beberapa bulan lagi.
Sementara itu, kembalinya Belanda pada Agustus
1816 memacu perubahan besar-besaran yang telah dimulai oleh Inggris. Salah satu
perubahan yang terpenting adalah penyerapan Jawa ke dalam pasar global dan
pembukaan pedesaan pulau itu untuk masuknya modal swasta Barat. Bermacam alasan
mengenai penyewaan tanah mencerminkan keraguan mendalam di pihak pemerintah van
der Capellen terhadap faedah jangka panjang penyewaan tanah itu. Hal ini
berakibat pada keputusannya melarang penyewaan lahan kepada para pemodal swasta
Eropa dan Tionghoa pada Mei 1823. Namun dalam jangka pendek, akan menciptakan
lebih banyak masalah daripada yang hendak diatasi.
Pada saat yang sama, tuntutan pemerintahnya yang
tak hentinya akan pemasukan —di samping apa yang dengan tepat telah diduga oleh
Raffles sebagai “kehausan akan laba mendadak” di pihak pemerintah kerajaan di
Den Haag dan Brussels— berarti bahwa mereka yang memiliki tanggung jawab dalam
kebijakan kolonial semakin menutup mata terhadap penderitaan para petani Jawa.
Pada Juli 1823 van der Capellen akan melaporkan bahwa berita tentang
pengangkatan senjata Diponegoro telah sampai kepadanya “dengan sangat
mengejutkan”. Namun hanya orang optimistis paling keras kepala sajalah yang
bisa menaruh kesan lunak seperti itu pada peristiwa tersebut. Laporan-laporan
yang senantiasa semakin tegang dari para pejabat Belanda mengenai kemelut di
pedesaan Jawa pada awal 1820-an semua menunjukkan satu kesimpulan: suatu
pemberontakan rakyat besar-besaran mulai bergolak. Tinggal waktu dan
pemimpinnya yang belum jelas. Paduan pajak tanah, gagal panen, sampar kolera
1821, gerbang cukai, dan penyewaan lahan perkebunan kepada orang Eropa telah
mengubah Jawa Tengah-Selatan menjadi sebuah tong mesiu.
Berbagai pemberontakan rakyat 1817-1822 berikut
harapan akan Ratu Adil mereka yang aneh-aneh merupakan gejala rasa putus asa
yang mendalam ini. Di Yogya, khususnya, banyak orang yang bersatu di bawah
perasaan terhina mendarah daging akibat berbagai peristiwa 1812. Pertama, rasa
terhina yang diperparah dengan sejumlah peristiwa selama pemerintahan Sultan
keempat. Kedua, hasrat akan pembaruan dan pemulihan tata susunan politik yang
mengatur hubungan dengan pemerintah kolonial sudah mulai menyatu dengan harapan
akan Ratu Adil tentang suatu zaman emas keadilan dan kesejahteraan. Yang
dibutuhkan sekarang adalah pemimpin yang cukup berwibawa untuk mencanangkan
dirinya dan merangkul semua yang berkeluh kesah untuk bersatu dalam
perjuangannya.
Bab 10.
Menanti Ratu Adil
Siapa gerangan yang tak tergugah dengan kepedihan
detik-detik ini? Diponegoro yang berbusana untuk perang sabil sedang meloloskan
diri lewat sawah-sawah, sementara api berkobar membakar Tegalrejo yang ia
cintai. Tatkala ia mengibarkan panji perangnya sebagai Ratu Adil Jawa yang
telah dinanti-nanti di perbukitan kapur sebelah selatan Yogya esok harinya,
pastilah dia tidak berpikir banyak tentang akibatnya. Satu langkah pantang
surut sudah diayunkan. Tiada lagi jalan mundur. Di depan terbentang nyaris lima
tahun lamanya perang yang akan menelan korban jiwa sekitar 200.000 orang jawa
dan mengharu-biru kehidupan dua juta orang lagi. Selama masa ini, sisa-sisa
tatanan lama Jawa akan musnah. Hanya seabad lebih sedikit akan berlalu sebelum
Jawa kembali mengenyam kebebasan sebagai bagian Indonesia merdeka. Inilah
sejarah bagai duka cerita seperti yang kemudian diakui oleh Diponegoro sendiri
dalam baris-baris pembuka babad karyanya tatkala ia berbicara tentang derita
dan malu yang dipaksakan ia tanggung.
Dapatkah gerangan hal itu dihindari? Drastisnya
kemerosotan taraf hidup penduduk desa Jawa Tengah-Selatan dalam tahun-tahun
sesudah Belanda kembali berkuasa pada Agustus 1816 akan memicu timbulnya
pergolakan petani yang terus-menerus dalam paruh kedua 1820-an seandainya pun
Perang Jawa tidak terjadi. Kita sudah mengetahui bagaimana sejumlah perlawanan
seperti itu, banyak di antaranya berciri syahid, menjadi semakin sering dalam
kurun 1817-1822. Yang tidak jelas adalah apakah seorang pemimpin sebobot Diponegoro
akan muncul untuk menyatukan mereka. Dalam hal ini, sepak terjang Smissaert dan
Asisten Residen jelas bersifat menentukan dalam merusak keseimbangan.
Seandainya ada pejabat yang lebih berpengalaman di Yogya; seperti Nahuys atau
Van Sevenhoven; mungkin saja beberapa tindakan sangat menyakitkan yang emmaksa
Diponegoro memberontak dapat dihindari. Sekalipun begitu, siapa pun Residen
Yogya pasca-1823, ia harus bertindak begitu rupa sehingga menimbulkan
kepercayaan di kalangan ningrat keraton terhadap niat baik gubernemen. Paduan
ganti rugi penyewaan lahan dan politik aneksasi van der Capellen memperparah
rasa tak pasti yang melanda keraton Jawa Tengah-Selatan.
Hari-hari kelangsungan keraton-keraton yang
mandiri tampaknya sudah ditentukan. Hal ini paling terasa di Yogya di mana
cepatnya kemerosotan taraf hidup kalangan atas, persaingan di dalam keraton,
dan masalah-masalah pemerintahan penguasa yang belum akil-baligh, semuanya
merusak kepercayaan terhadap kesultanan. Dengan berbagai peristiwa alam —khususnya
letusan Gunung Merapi akhir Desember 1822 dan wabah kolera tahun sebelumnya—
yang terasa sarat pertanda akan datangnya malapetaka, mengherankankah bahwa
tampilnya Diponegoro sebagai seorang Ratu Adil menggugah dukungan rakyat yang
luas?
Ramalan tersohor Raja Joyoboyo tampak akan
terwujud. Dengan latar belakang inilah penampakan dan mimpi-mimpi sebelum
perang dialami oleh Diponegoro. Semuanya itu meneguhkan apa yang mungkin telah
ia rasakan sejak masa mudanya, yaitu bahwa dirinya sudah terpilih sebagai pemimpin
penyucian Jawa. Dengan citra Raja Adil Jawa masih segar dalam jiwanya dan
dengan amanat penunjukan dirinya yang berdasarkan Al-Quran sebagai seorang wali wudhar tampak dikukuhkan dengan
dukungan golongan santri Jawa Tengah-Selatan, Pangeran memasuki peperangan pada
Juli 1825 dengan keyakinan, bahwa penampakan bersifat kerasulan yang dialaminya
akan lulus dalam ujian pertempuran.
Tetapi naik-turunnya gelombang peperangan dan
sepinya hidup di pengasingan menunggunya. Selama masa ini, ia akan mengalami
tahap-tahap tatkala ia mengubah penilaian terhadap takdirnya. Pada akhir
peperangan, ia tidak lagi memandang dirinya sebagai Ratu Adil yang dijanjikan
akan mengusir Belanda dari Jawa. Sebaliknya, ia menyiratkan akan senang dengan
pulihnya keadaan semula pra-Daendels, di mana Belanda akan membiarkan tinggal
di pulau itu sebagai saudagar dan pemukim sepanjang pantai utara. Pada saat
ini, retaknya hubungan antara golongan santri berarti harapan untuk mendapat
pengakuan sebagai seorang penata agama surut dengan cepat.
Namun ia masih gagal menyadari, bahwa sekarang
sudah mustahil memutar balik jarum waktu. Suatu zaman baru imperialisme sudah
tiba. Johannes van den Bosch; Gubernur Jenderal yang di bawah kekuasaannya
nasib Pangeran ditentukan; tidak berniat tawar-menawar. Sadar akan berbagai
bahaya internasional yang langsung diakibatkan oleh pemberontakan Belgia pada
1830 dan bertekad menegakkan suatu Pax Neerlandica di Hindia Belanda, ia akan
memastikan agar sepertiga usia Diponegoro dihabiskan di pengasingan. Pada saat
wafatnya Pangeran di Makassar pada 8 Januari 1855, rezim kolonial Belanda sudah
tak tergoyahkan dan Holland; yang bergelimang laba dari Sistem Tanam Paksa
(1830-1870); sedang berada dalam perubahan ke arah negara industri modern.
Bab 11.
Perlawanan Terakhir Tatanan Lama; Renungan tentang Perang Jawa, 1825-1830
Perang Jawa merupakan keguncangan hebat dalam
masyarakat Jawa. Perang ini mempengaruhi kehidupan dua juta orang Jawa,
sepertiga dari seluruh penduduk pulau Jawa. Diperkirakan sebanyak 200.000 orang
Jawa kehilangan nyawa dan seperempat daerah pertanian Jawa rusak. Untuk
mendapatkan kemenangan mereka yang pahit itu, Belanda kehilangan 8.000 orang
serdadu mereka sendiri dan juga 7.000 pembantu serdadu yang orang Jawa dan
penduduk Nusantara lain (Madura, Bugis, Maluku, Minahasa). Sebanyak 20 juta
gulden yang terkuras dari perbendaharaan mereka hanya bisa dikembalikan lewat
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
van den Bosch. Sistem itu menghasilkan sekitar 832 juta gulden atau sekitar 70
miliar dolar Amerika (600 triliun rupiah) dalam uang sekarang bagi
perbendaharaan negeri Belanda antara 1831 sampai 1977.
Sebagai upaya terakhir “tatanan lama” Jawa, Perang
Jawa menjadi saksi kehancuran keraton-keraton Jawa Tengah-Selatan pada 1830
saat wilayah mancanagara timur yang
tersisa akhirnyadiambil alih oleh pemerintah kolonial. Demikianlah hal itu bisa
dianggap sebagai bagian rangkaian panjang bencana militer, yang mulai pada
akhir abad ketujuh belas dengan Pemberontakan Trunojoyo (1676-1679) yang telah
menghancurkan kekuasaan kemaharajaan Mataram yang pernah jaya. Pada akhir
peperangan itu, Belanda tetap berkuasa penuh atas pulau itu. Pemerintahan
mereka akan bertahan selama 112 tahun berikutnya.
Bila dipikir kembali, tampak agak aneh bahwa Belanda
perlu begitu lama untuk memahami tantangan militer yang ditimbulkan oleh
perlawanan Diponegoro. Mengingat ketegangan yang selalu mewarnai hubungan para
pendukung Pangeran yang santri dengan kalangan keraton, persaingan keras
antardaerah, dan perselisihan mengenai tujuan peperangan yang semuanya tentunya
bisa memporakporandakan upaya perang Diponegoro, mengherankan bahwa dua tahun
berlalu sebelum Belanda menemukan strategi yang unggul —yaitu gabungan sistem
benteng Cochius dan penambahan jumlah pasukan gerak-cepat mereka hingga hampir
dua kali lipat. Sudah tidak perlu dikatakan lagi, bahwa para jenderal
senantiasa bertarung dalam perang pamungkas. Berkaitan dengan Belanda, ingatan
atas perang-perang suksesi Jawa akhir abad ketujuh belas dan kedelapan belas
agaknya telah mewarnai pertimbangan mereka. Mereka melewatkan terlalu banyak
waktu menduga-duga bahwa Diponegoro mungkin saja dapat disogok dengan wilayah
kekuasaan yang terkesan mandiri dan bahwa yang menjadi masalahnya adalah ambisi
yang tak tercapai.
Namun ia bukanlah Raden Mas Said (Mangkunegoro I)
atau bahkan Sultan Mangkubumi. Tidak juga bisa membantu menjelaskan bahwa
tentara kolonial mereka begitu tidak siap tempur dalam suatu perang gerilya dan
bahwa hubungan antara penguasa sipil dan militer Belanda —yang tergambar dalam
perselisihan antara Du Bus dan De Kock— begitu buruknya. Keadaan keuangan
kolonial yang sangat rawan selama bertahun-tahun ini juga mempersempit ruang
gerak mereka, sebagaimana halnya masalah-masalah politik yang dihadapi oleh
Kerajaan Nederland Serikat saat meningkatnya pemberontakan Belgia pada 24
Agustus 1830.
Barangkali kelemahan terbesar terletak dalam
pemahaman Belanda atas unsur Islam peperangan itu. Dalam hal ini, mereka
bertempur secara buta. Tidak ada seorang Christiaan Snouck Hurgronje
(1857-1936) yang memberi mereka nasihat. Seandainya ada, De Kock dan para
komandan militer senior lain bisa saja terdorong untuk memanfaatkan ketegangan
antara pendukung Diponegoro yang santri dan yang berasal dari kalangan keraton
sejak dini dan dengan akibat yang lebih besar. Tentunya beberapa kesalahan
memalukan yang berkaitan dengan siasat bumi-hangus Van Geen di Jawa
Tengah-Selatan selama 1825-1827 dan sikap bermusuhan penduduk desa mungkin bisa
dihindari. Kebijakan yang bersahabat berdasarkan penghormatan terhadap
lembaga-lembaga dan kebiasaan Islam; khususnya pemulihan wewenang pengadilan
Islam (surambi); boleh jadi akan
sangat membantu menghilangkan bermacam kekecewaan para pendukung Diponegoro
yang berasal dari kalangan santri.
Satu masalah yang mungkin tidak bisa ditawar-tawar
adalah yang menyangkut jati diri Jawa. Sementara kajian Valck atas
“nasionalisme” Jawa mungkin saja berlebihan, tidak diragukan lagi bahwa sifat
utama perjuangan Diponegoro adalah keteguhan membela kebudayaan Jawa. Bagaimana
pun juga, ia telah hidup dalam masa ketika masyarakat Jawa dijungkirbalikkan
oleh kebijakan kolonial Daendels dan raffles yang kejam. Pengalamannya sendiri
sewaktu serbuan Inggris ke Keraton Yogya —perlakuan terhadap dirinya oleh para wakil
pemerintahan Belanda yang pulih pasca-1816 dan gelombang pasang pengaruh Eropa
yang tampaknya tak terbendung melanda apa saja mulai dari busana ke bahasa—
telah meyakinkan dia, bahwa di samping menaikkan martabat agama Islam,
memulihkan nilai-nilai budaya khas Jawa merupakan tugasnya yang utama. Dan
karena itu, mendorong timbulnya perlakuan yang bermusuhan terhadap orang-orang
bukan Jawa selama perang; khususnya orang Belanda dan Tionghoa. Dalam banyak
hal, Perang Jawa merupakan upaya terakhir tatanan lama; ancien regime; kerajaan
Jawa untuk membendung gelombang pasang kolonialisme Belanda. Dalam pengertian
yang demikian, upaya itu mengandung kekuatan yang mengilhami generasi-generasi
selanjutnya. Diangkut pada tahap pertama perjalanannya ke pengasingan dengan
hasil zaman industri baru —kapal uap pertama dalam pelayanan umum Hindia
Belanda— Diponegoro tentunya mempunyai waktu untuk merenungkan pahit-getirnya
kekalahan dan nasib mereka yang lahir serta hidup dalam zaman yang berubah.
Bab 12.
Derita yang Tak Terpikul; Penangkapan Diponegoro di Magelang dan Pengasingannya
ke Sulawesi, 1830-1855
Benarlah adanya ucapan, bahwa orang ditempa oleh
zaman di mana mereka hidup. Tidak terkecuali Diponegoro. Sembilan tahun sebelum
Pangeran itu lahir, Thomas Paine menulis, “Inilah mas-masa yang menguji jiwa
manusia”, suatu rujukan pada masa-masa kalut awal Revolusi Amerika (1775-1783).
“Masa-masa yang menarik”, seperti dalam ungkapan Tionghoa, jelaslah memberi
ciri pada kurun tatkala Diponegoro hidup jauh di separo dunia lagi di Jawa.
Lahir dalam “tatanan lama” yang tampak sedang berlangsung di daerah kerajaan
akhir abad kedelapan belas, ia wafat dalam masa jaya Hindia Belanda di bawah
kekuasaan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist, suatu masa tatkala kapal-kapal
uap mulai menjelajahi jalur laut antarpulau dan kurun sistem niaga baru
pelabuhan bebas telah menggantikan sistem monopoli VOC. Undang-Undang Agraria
(1870) yang akan membuka lebar Hindia Belanda bagi penanaman modal swasta
besar-besaran, hanya satu setengah dasawarsa lagi akan berlaku. Inilah masa
ketika Belanda meraup kekayaan yang tak terbayangkan besarnya dari Sistem Tanam
Paksa (Cultuurstelsel) (1830-1870)
yang mengorbankan para petani penggarap Jawa yang di daerah-daerah tertentu,
seperti Grobogan dan Demak, ditimpa kelaparan yang mengerikan (1849-1850) dan
terkena wabah tipus (1846-1850), suatu masa tatkala —seperti yang dengan
singkat-padat dikatakan oleh Raden Saleh— satu-satunya bahan percakapan di
kalangan masyarakat kolonial Hindia Belanda adalah café et sucre, sucre et café (kopi dan gula, gula dan
kopi). Inilah tahun-tahun yang kemudian akan disuarakan oleh Multatuli dalam
karyanya Max Havelaar of de
Koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar atau
Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda) (1860) lewat tokohnya Droogstoppel (Si
Tunggul Kering), makelar kopi Amsterdam berhati batu yang tahu harga
segala-gala tapi tak menghargai apa pun juga.
Kemudian apa harganya seorang pangeran yang
berkebatinan dalam dunia semacam itu? Tidak begitu berharga bagi orang Belanda
bila ditimbang dari singkatan alinea dalam berbagai surat kabar kolonial dan
nasional mereka pada saat ia wafat. Tetapi bagaimana dengan orang Jawa? Apa arti
Diponegoro bagi mereka? Jelaslah bahwa dia merupakan seorang tokoh utama dalam
sejarah Jawa modern yang kematiannya terjadi hampir tepat pada titik tengah
antara Perjanjian Giyanti (1755) dan proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945).
Tapi seberapa besar hal ini berkat keutamaan pribadinya dan seberapa besar lagi
karena kurun masa di mana ia hidup? Bayangkan saja sejenak, bahwa ia lahir
seratus tahun lebih dini pada 1685 atau seabad sesudahnya pada 1885. Yang
tersebut pertama tentu akan menempatkannya benar-benar di tengah
dasawarsa-dasawarsa kalut masa awal Kartosuro (1680-1742) yang —jika dia
bertahan hidup dan tidak tertimpa nasib orang yang senama dengan dia— Pangeran
Diponegoro yang pertama (diasingkan ke Tanjung Harapan pada 1723 setelah
pemberontakan yang gagal) mungkin membuat dirinya tampil sebagai seorang di
antara tokoh-tokoh terkemuka keraton Pakubuwono II (bertakhta 1726-1749) dengan
perhatian pada kesastraan Islam-Jawa yang terilhami sufi yang digemari di
kalangan dekat ratu-ibu; Ratu Pakubuwono (wafat 1732). Namun akankah dia tampil
dalam sosok pahlawan sebagai seorang Ratu Adil yang memimpin perlawanan rakyat
terhadap kekuasaan kolonial? Rasanya sulit. Yang tersebut kedua bisa
menempatkan dirinya di jantung generasi pelopor “gerakan kebangsaan” Indonesia
mirip dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo (1885-1943), Raden Mas Soetomo
(1888-1938), dan Raden Mas Suwardi Suryoningrat alias Ki Hadjar Dewantoro
(1889-1959) sebagai rekan sezamannya. Mengingat kemampuan pribadi Diponegoro, akar
kepercayaannya yang mendalam, ketajaman nalurinya di bidang tata laksana dan
keuangan, juga perhatiannya pada dunia modern bisa saja dia mengukir nama lewat
jabatan tertentu dalam Indonesia modern: seorang pangeran republikan
barangkali? Namun tidak jelas apakah dia akan tampil sebagai tokoh yang
menentukan sebagaimana dirinya pada masa Perang Jawa.
Dengan demikian, kurun yang luar biasa di mana
Diponegoro hidup, sangat penting untuk memahami kehidupannya. Pengalamannya
menegaskan kebenaran pernyataan Karl Popper, bahwa sejarah adalah pertarungan
antara manusia dan gagasan, tidak hanya keadaan materi dalam hidup mereka:
“meskipun sejarah tidak ada artinya, kita dapat memberikan makna kepadanya.”
Seandainya tidak ada kekerasan tak semena-mena yang menimpa keraton-keraton
Jawa Tengah-Selatan oleh Daendels dan Raffles selama empat tahun antara 1808
dan 1812, kekerasan yang merobek jantung Keraton Yogya, bisa dibayangkan
Diponegoro hidup tidak begitu dikenal di Tegalrejo, melaksanakan tugas-tugas
keagamaannya, dan meninggal pada pertengahan abad sebagai seorang pangeran
santri yang aneh, menjadi momok bagi bangsawan Yogya dan Belanda yang kafir.
Meskipun dirinya jelas berkemampuan, bahwa dia tidak sekali pun dirujuk dalam
laporan-laporan Inggris (1811-1816), suatu masa tatkala ia konon bertugas
sebagai penasihat utama bagi ayahnya; Sultan ketiga; dan menjadi pembimbing
bagi adik lelakinya; Sultan keempat; menunjukkan bahwa dia bukan tokoh yang
menonjol dalam kehidupan politik kesultanan seperti yang ia coba gambarkan
dalam babad karyanya. Nahuys van Burgst mungkin menaksir bobotnya dengan lebih
tepat saat ia menggambarkan Diponegoro dan pamannya; Mangkubumi; sebelum
pecahnya Perang Jawa sebagai dua orang yang “bersikap netral dan oleh semua
pihak dianggap orang-orang tenang yang baik tanpa sedikit pun ambisi”. Kemelut
agraris 1823-1825 dan tak becusnya wakil-wakil Belanda memerintah di Yogya
selama dua tahun menjelang pecahnya Perang Jawa merupakan sepasang pelecut buat
tampilnya sang Pangeran sebagai seorang tokoh politik penting, yang banyak
kesmaannya dengan Gubernur Jenderal Van Imhoff (berkuasa 1741-1750) dan soal
penyewaan daerah-daerah pantai yang dikuasai oleh Mataram semasa pemberontakan
Mangkubumi pada 1746. Namun begitu tertempa dalam peran kepemimpinan,
Diponegoro melaksanakan tugasnya dengan kemampuan dan daya tarik yang bahkan
lebih besar daripada kakek buyutnya yang dikagumi; Mangkubumi. Seorang Muslim
yang sholih, yang percaya dirinya merupakan bagian umat sedunia, dia adalah
perwujudan “sintesa kebatinan” di Jawa —seorang Muslim Jawa yang tidak melihat
pertentangan dalam berhubungan dengan dewi laut selatan, berziarah ke
tempat-tempat keramat yang terkait dengan arwah-arwah penjaga dan penguasa
Jawa, dan minum berbotol-botol anggur manis Tanjung Harapan yang “berkhasiat
menyembuhkan” itu— dan pada saat yang sama memelihara pengabdian yang
sungguh-sungguh terhadap kewajiban-kewajiban Islamnya. Sebagai bagian “pengaruh
kekuasaan Sultan Agung”, Diponegoro berjuang untuk pulihnya masa kebesaran Jawa
dan tegaknya suatu tatanan moral baru di mana ajaran Islam; khususnya
aturan-aturan syariat; akan diberlakukan. Inilah hakikat pesona populernya bagi
berbagai golongan umat dan makna pentingnya bagi masa depan, di mana bentuk
“sintesa kebatinan”-nya yang khas akan menjadi salah satu aliran kesholihan
Islam dalam masyarakat Jawa pasca-1830. Perhatian yang ia tuntut terhadap
aturan budaya Jawa dalam berbahasa, berpakaian, dan bersopan santun juga
menampilkan dirinya dalam peran seorang penyebar benih kebangsaan Jawa. Iniah
dia yang —dengan kata-kata Nicholaus Engelhard, “dalam segala hal adalah
seorang Jawa dan mengikuti adat-istiadat Jawa”. Namun hal ini jangan sampai
dilebih-lebihkan. Tidak ada pertanda bahwa ia mempunyai pemikiran tentang
kemerdekaan nasional dalam pengertian modern, tidak ada bahkan untuk daerah
asalnya; Jawa. Memang, masih hampir satu abad berlalu setelah pecah Perang Jawa
barulah wawasan semacam itu diterima secara luas di kalangan para pemimpin
kebangsaan Indonesia. Yang paling jauh bisa dibayangkan oleh Diponegoro adalah
kembali ke keadaan abad ketujuh belas. Berdasarkan kesaksian Hasan Munadi dan
basah Pengalasan, yang ada dalam pikirannya adalah masa saat orang Belanda
bergiat hanya di pantai timur laut Jawa sebagai saudagar dan tidak terlibat
secara politik dalam urusan keraton-keraton Jawa Tengah-Selatan. Ia bahkan
berbicara —begitu Munadi menyiratkan— tentang memberikan kepada Belanda dua
kota di pantai utara; Batavia dan Semarang. Di situ mereka akan diizinkan
tinggal dan mengejar kepentingan dagang mereka tanpa hambatan, asalkan tidak
menindas penduduk setempat: tuntutan Diponegoro mengenai pembayaran berdasarkan
harga pasar untuk pembelian hasil produksi Jawa dan kontrak-kontrak penyewaan
tanah merupakan pemandangan yang tajam mengingat apa yang kemudian terjadi
dengan Sistem Tanam Paksa Van den Bosch. Hal ini mengingatkan kembali keadaan
yang timbul di bawah kekuasaan Sultan Agung (1613-1646) sebelum malapetaka
politik penggantinya; Amangkurat I (bertakhta 1646-1677); membuka pintu
lebar-lebar bagi campur tangan Belanda di pedalaman Jawa.
Bahwa hal ini adalah mimpi yang mustahil dengan
demikian sudah jelas dengan sendirinya. Pada zaman Diponegoro, Eropa sudah
menjadi semacam “kekuatan raksasa yang siap untuk menindas bangsa yang bukan
Eropa”. Meskipun rawannya peralihan Belanda dari republik kalangan atas ke
negara kebangsaan antara 1785 dan 1813 —tepat sama dengan masa muda Diponegoro
dan awal masa dewasanya— tiada kemungkinan bagi Belanda untuk surut ke keadaan
di masa awal VOC. Tangan besi kekuasaan Daendels dan keangkuhan Inggris yang tak
tertahankan itu cukup menjadi bukti bahwa sosok baru kekuasaan orang Eropa
sekarang sedang diterapkan pada urusan-urusan kolonial. Dewa Prometheus orang
Eropa telah bebas merajalela. Meskipun pemberontakannya pada 1815, pasukan
sepoy dengan sangkur-sangkurnya terus saja menunjang pemerintahan Raffles yang
rapuh itu. Bahkan kelak ketika pemerintahan Belanda pasca-1816 yang tak
berpengalaman itu nyaris runtuh, pertama karena memperparah kemelut agraris
yang memacu pecahnya Perang Jawa, dan kedua karena menyia-nyiakan dua tahun
(1825-1827) sebelum pasang surut pertempuran berhasil dibalikkan, kemungkinan
keluarnya Belanda dari Jawa tidak pernah menjadi pilihan. Pentingnya Jawa bagi
perekonomian Belanda pasca-1830 merupakan alasan yang cukup kuat untuk hal ini,
untuk mengirimkan pasukan sepoy ke Jawa pada Januari 1828 guna bantu
membalikkan pasang surut pertempuran dan menjamin keamanan bantuan mereka
sebesar 6 juta rupiah Sicca. Namun kerawanan pihak Belanda tetap bertahan.
Berhasilnya pemberontakan Belgia pada 1830 memperparah kerawanan ini, yang
untuk sementara mengancam Belanda dengan serbuan Prancis dan dengan kemungkinan
pecahnya perang baru di Eropa. Bagi Diponegoro, hal ini akan berarti
penangkapan dan pengasingan yang tak semena-mena, pengasingan di mana
kekhawatiran Belanda menyebabkan dijalankannya pengawasan yang semakin ketat
yang selama 22 tahun terakhir terus menjadikan dia dan keluarganya orang
tahanan di Benteng Rotterdam. Wafatnya Diponegoro yang menyedihkan di Makassar
adalah riwayat duka kemanusiaan yang merupakan jantung kisah ini. Penyia-nyiaan
suatu kehidupan, derita suatu keluarga, keruntuhan suatu masyarakat. Kebijakan
Van den Bosch boleh merupakan penyelamat bagi negeri Belanda, tapi semua itu
menimbulkan malapetaka bagi rakyat Jawa. Setelah 1830 lahirlah suatu dunia
baru. Itulah perubahan yang sangat mendasar dalam sejarah kolonial. Namun
perubahan itu akan menuntut biaya yang mengerikan.
Bibliografi
Judul: Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid 2
Judul asli: The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and The End of an Old Order in Java, 1785-1855 second edition
Penulis: Peter Carey
Alih bahasa: Parakitri T. Simbolon
Tebal: xx+508 hlm.
Genre: Sejarah
Cetakan: III, Agustus 2016
ISBN: 978-602-424-044-8
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
0 Komentar