“Mbok Ratu [Ageng], cicitmu ini/ ketahuilah
kelak/ sudah kehendak Yang Maha Kuasa/ jalan hidupnya ditakdirkan jadi lakon
luar biasa [...]” —Babad Diponegoro, II:45
Judul “Kuasa Ramalan” ini terinspirasi dari
pengharapan atau terawangan Sultan pertama; Mangkubumi; saat Diponegoro masih
bayi, bahwa kelak ia akan memimpin Perang Jawa dan memporak-porandakan Belanda
melebihi dirinya dalam Perang Giyanti. Tak ada kata “menang” atau “kalah” dalam
kalimat tersebut. Hanya memberikan penegasan akan dampak destruktif yang akan
ditimbulkan oleh aksi Kelak Diponegoro.
Pada
bab-bab awal buku ini, digambarkan bagaimana kemakmuran wilayah Jawa Tengah
kala itu dengan segala potensinya, namun salah dikelola oleh para pejabat yang
serakah. Beragam jenis pajak menempatkan rakyat. Hingga seseorang yang melintas
membawa apapun yang digendong atau dipikul, akan dikenai pajak! Belum lagi
dalih norma 'kepantasan' ketika para pejabat atau raja mempunyai hajat dengan
menyumbangkan hasil bumi atau ternak. Tentu saja hal itu di luar pajak.
Peter
Carey membutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk meneliti sejarah Pangeran yang
'ulahnya' menggemparkan dunia, dari sejarah nasabnya, wilayah kekuasaan Yogyakarta
yang membentang dari Madiun di timur sampai Banyumas di barat, kelahirannya,
masa remajanya, masa dewasanya, invasi penjajah di Tanah Jawa, dan aksi
perlawanan dari tokoh Raden Ronggo. Sampai di bab 7 di akhir buku, belum
memasuki bahasan Perang Jawa.
Bab 1. Jawa Tengah-Selatan
Sekitar 1792-1825
Dalam mengupas struktur politik di wilayah-wilayah kekuasaan
pada awal abad ke-19, pokok pikiran tertentu dapat dipetik. Yang paling jelas
adalah kesenjangan beban pajak antara kawasan negaragung dan kawasan wilayah
timur. Kesenjangan itu ujung-ujungnya bisa menyebabkan jumlah penduduk yang
merosot di kawasan pinggiran wilayah timur pada akhir abad ke-18 dan memberikan
wawasan mengenai pengelompokan daerah menurut batas kerajaan setelah 1800. Satu
lagi tema pentingnya adalah kecenderungan umum kewajiban rodi untuk diganti
dengan pajak uang. Hal ini terjadinya nyaris di mana-mana di wilayah-wilayah
kerajaan kecuali di wilayah timur, dan merupakan perkembangan yang tampaknya
disambut baik oleh para petani penggarap mandiri (sikep).
Hal itu juga menyebabkan maraknya perekonomian uang di beberapa kawasan
pedesaan Jawa Tengah-Selatan waktu itu.
Tema ketiga adalah kenaikan terus-menerus beban pajeg,
khususnya di Yogya di mana pembaruan pancas
Sultan kedua menimbulkan akibat yang keras pada tingkat lokal. Dipungut bersama
dengan sejumlah pajak luar biasa seperti taker
tedhak dan uang bekti pasumbangan yang dituntut baik oleh
penguasa tanah-jabatan dan juga oleh raja-raja, semuanya itu berarti beban
pajak yang meningkat tajam di bahu golongan sikep.
Meskipun menghadapi kesulitan-kesulitan ini, jelaslah bahwa banyak tani
penggarap mandiri (sikep) dapat
mempertahankan sebagian besar kekayaan mereka waktu itu. Ketidakmampuan
pemerintah kerajaan, kurangnya survei kadaster yang teliti, dan kecilnya jumlah
surveyor desa mengakibatkan lahan-lahan mereka yang baru dibuka dapat
disembunyikan. Baru selama lima tahun menjelang terjadinya Perang Jawa, ketika
gagal panen jadi biasa dan kekuatan pintu cukai jalan yang dilakukan oleh orang
Tionghoa mulai menimbulkan akibat buruk terhadap perdagangan setempat, keadaan
pertanian di Jawa Tengah-Selatan menjadi tak terpikul lagi dari petani. Semua
keadaan ini akan mempercepat maraknya perlawanan petani di Jawa Tengah-Selatan
yang merupakan ciri paling penting pecahnya Perang Jawa pada Juli 1825.
Dilihat dari sudut kemasyarakatan dan kebudayaan, Yogyakarta
dan pasangan; Surakarta; menampilkan suatu segi yang umumnya percaya diri dan
makmur pada dalam masa itu. Dua-duanya masih merupakan masyarakat yang lebih
condong bersifat militer, tapi sikap berani mati memainkan peranan yang kurang
penting pada saat itu, ketika hanya sedikit pertikaian besar yang terjadi.
Dalam hal ini, Yogya mempertahankan ciri aslinya lebih daripada Surakarta,
sebagian besar karena jasa Sultan pertama. Namun bahkan di sini terdapat
kecenderungan cacah menjadi ukuran satuan ekonomi daripada sebagai landasan
pelaksanaan wajib militer, dan pemanggilan pasukan-pasukan pembantu terus
merasa kecuali dalam keadaan darurat. Di pedesaan, di samping kehadiran kelas
sosial tani penggarap yang cukup makmur, ciri-ciri utama adalah banyaknya buruh
tani (numpang) dan suatu golongan
pemungut pajak (bekel, demang) yang
jumlahnya malah lebih besar lagi daripada sikep,
golongan yang bertindak atas nama penguasa tanah-jabatan yang bertempat tinggal
di ibu kota kerajaan.
Inilah dunia tempat Diponegoro dilahirkan pada 1785. Dunia
itu penuh dengan ketegangan dan dinamika, sekaligus keras, gelisah, dan makmur
dengan jurang perbedaan sosial yang cukup besar dan alam yang indah dan liar.
Dalam rentang hanya kurang dari 500 km dari provinsi yang paling barat sampai
ke provinsi paling timur, ada daerah yang terpencil namun juga ada
daerah-daerah utama yang subur dan berpenduduk padat yang membuat Jawa tampak
seperti Firdaus tropik. Inilah suatu masyarakat di mana seorang sikep yang makmur bisa mempunyai harta
karun berupa dukat perak yang disimpan untuk dipamerkan di bawah tempat
tidurnya dan seorang buruh tani atau kuli panggul tidak punya apa-apa kecuali
pakaian rombeng yang menempel di punggungnya.
Inilah Jawa perbatasan, suatu dunia yang sangat berbeda dari
masyarakat pertanian yang teratur pasca-Perang Jawa dengan sistem tanam
paksanya (1830-1870) dan para pejabat kolonial lulusan Delft dan Leiden, suatu
masyarakat yang tidak lagi siap untuk perang tapi untuk pasar dunia beserta
hasil tanaman ekspornya. Secara budaya juga hari-harinya bisa dihitung ketika
tata krama adiluhung keraton Jawa Tengah-Selatan memainkan peran penting. Suatu
tempat di mana desa-desa mempunyai cara hidup dan keraton mempunyai tata
kramanya. Ini akan segera disingkirkan oleh golongan elite pribumi baru beserta
dengan golongan priyayi bentukan Belanda pasca-1830, suatu kelas pegawai
anak-negeri yang merasa lebih tentram dalam belang-bonteng “Melayu Dinas”
daripada kehalusan bahasa Jawa tinggi keraton.
Bagi orang Eropa juga, pemerintah jajahan Belanda yang
kembali pasca-1816 akan menandai suatu perubahan besar dalam sosial dan budaya.
Para keluarga Indies terkemuka —yang telah menguasai lapisan tertinggi
pemerintahan VOC dalam abad ke-18— akan disapu bersih oleh banjirnya pegawai
upahan, para petualang, dan bekas perwira Perang Napoleon yang datang ke Hindia
Belanda dengan bantuan pemerintah Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellan
(1819-1826). Hari-hari kaum mestizo; golongan elite blasteran Indo-Portugis
pemilik budak yang digambarkan begitu hidup oleh Jean Gelman Taylor dalam
studinya tentang Batavia kolonial; sudah bisa dihitung. Dengan segera, suatu
jenis baru pejabat Hindia-Belanda; dari golongan borjuis Belanda
pasca-Revolusioner; lahir dan terdidik di Nederland, akan memerintah Jawa.
Seabad lebih akan berlalu sebelum orang-orang Indonesia —yang dipimpin oleh
mereka yang telah memetik manfaat dari pendidikan Belanda— mendapat peluang
membebaskan diri.
Untuk seorang pangeran Jawa yang lahir 15 tahun lebih dini
daripada abad baru itu, bagaimana mungkin ia bisa menangkap gelagat semua ini?
Untuk orang seperti itu keadaan yang tampak pasti adalah bahwa “tatanan lama”
Jawa di kerajaan-kerajaan Jawa Tengah-Selatan, negeri-negeri yang menggantikan
kemaharajaan Mataram yang pernah jaya dalam abad ke-17 merupakan sesuatu yang
kukuh, aman secara budaya, sekalipun bergolak secara politik dan sosial. Dalam
bayangan orang yang demikian, khususnya jika seperti Diponegoro yang dididik
untuk jadi Muslim Jawa yang sholih, kemuliaan kemaharajaan Ottoman yang pudar
dan masjid-masjid suci (haramain),
tempat-tempat yang telah dijejaki oleh Nabi, itulah yang penting. Jika ada
suatu pusat yang suci di bumi ini, pasti itu ada di Arabia di mana jantung umat
Islam berdegup. Dalam dunia yang demikian, siapa gerangan yang sampai bisa
membayangkan bahwa bukannya Turki Utsmani atau tempat-tempat suci di Hijaz yang
akan menentukan masa depan dirinya, melainkan serangkaian revolusi politik dan
industri yang ketika itu malah sedang berkecambah di kota-kota berpabrik dan
membosankan seperti Lancashire atau sudut-sudut Paris yang sarat seniman?
Serba perubahan yang dahsyat akan mengalir dari revolusi
kembar ini dan membawa ke sebuah kondisi yang disebut oleh sejarawan Kenneth
Pomeranz sebagai “The Great Divergence” (Pemisahan Besar), ketika pemutakhiran
teknik dan taraf hidup di Eropa dan di Asia —khusus di China— mulai terpisah.
Namun pada tahap dini ini perlu seorang jenius untuk menangkap hal itu.
Sementara itu, sebelum dua dunia yang berbeda ini berbenturan satu sama lain
dan Jawa Tengah-Selatan merasakan sendiri tekanan penuh tatanan Eropa baru, ada
baiknya berlangsung suatu masa singkat di mana ancien régume (rezim lama) tetap lestari. Dalam 23 tahun itu,
Diponegoro akan tumbuh dewasa dan menemukan tempatnya sendiri dalam dunia
rohani dan budaya kampung halamannya; Yogya.
Bab 2. Diponegoro;
Masa Remaja dan Pengasuhannya, 1785-1803
Pengasuhan Diponegoro di Tegalrejo di bawah Ratu Ageng yang
tegas dan sholihah membentuk tabiat sang Pangeran dalam kehidupannya kemudian.
Ungkapan lama kalangan Yesuit, “serahkan
kepada kami seorang anak tersampai ia berusia tujuh tahun dan kami akan
menunjukkan manusia dewasa” tidak begitu terbukti dalam kehidupan
Diponegoro. Karena ia baru tinggal bersama neneknya di desa permukimannya pada
umur tujuh tahun awal 1790-an. Tapi sebelum meninggalkan Keraton Yogya sangat
mungkin bahwa Diponegoro sudah mulai merasakan berbagai pengaruh yang kelak
akan menimpa watak dan tabiatnya. Hubungan antara kediaman resmi ayahnya;
Kadipaten; dengan paguyuban santri keraton mungkin sudah mulai terlihat.
Sementara itu, pangeran remaja itu tentunya sudah terpengaruh oleh kehadiran
ibu dan neneknya, dua-duanya keturunan para kyai terkemuka, selama masa
kanak-kanaknya di wisma khusus untuk perempuan.
Pengaruh-pengaruh ini tentunya akan lebih kuat lagi selama
dasawarsa yang menentukan, 1793-1803, tatkala Diponegoro tumbuh menjadi seorang
pemuda di bawah asuhan Ratu Ageng. Pangeran yang dibesarkan dalam lingkungan
desa dan dilhami rasa senasib dengan rakyat biasa sejak kanak-kanak, seorang
keturunan dinasti penguasa dengan pengetahuan yang mendalam mengenai kehidupan
petani Jawa, dunia santri desa, dan guru agama —ini semua memang merupakan
perpaduan yang langka. Mengherankankah bila pemuda seperti itu akan menemui
takdir yang luar biasa? Selagi ramalan yang diucapkan oleh Sultan pertama dan
kemudian saat ziarah Pangeran ke pantai selatan sekitar 1805 meramalkan tragedi
—“Engkau sendiri hanya sarana. Namun tidak lama. Hanya untuk disejajarkan
dengan leluhur”— bayangan yang ditimbulkannya masih akan terjadi. Masa depan
yang akan segera tiba untuk pemuda berusia delapan belas tahun itu, yang kini
memikul sendiri tanggung jawab atas permukiman Tegalrejo, tampaknya cerah.
Hidup senang jauh dari persekongkolan yang tiada habisnya di keraton Yogya, dan
dimulai mencapai kemandirian sebagai seorang muda dengan keyakinan yang makin
teguh terhadap agama, Diponegoro dapat mengharapkan suatu kehidupan rohani dan
pemenuhan cita-cita pribadi yang ditunjang oleh lingkaran pergaulan yang makin
luas dengan para santri dan priyayi sholih.
Bab 3. Awal Dewasa;
Pernikahan, Pendidikan, dan Pergaulan dengan Paguyuban Santri, 1803-1805
Sulit memilih antara kenyataan dan mitos mengenai
Diponegoro. Sumber paling berharga adalah yang paling langka, yaitu babad Jawa
karya orang-orang sezaman yang mengenal Pangeran sebelum keharuman atau
kebusukan namanya —tergantung sudut pandang seseorang— semasa Perang Jawa
membentuk sosok tertentu Diponegoro untuk selama-lamanya. Satu contoh adalah
kisah pemerintahan Inggris yang ditulis oleh saudara kakeknya; Pangeran Panular
(sekitar 1772-1826). Bahwa begitu banyak pohon dengan saudara bahan berasal
dari Perang Jawa dan akibatnya sesudah itu, tentulah tidak mengherankan
mengingat kegoncangan hebat yang ditimbulkan peristiwa tersebut bagi Belanda maupun
dari kerajaan Jawa Tengah.
Bab 4. Ziarah ke
Pantai Selatan, Sekitar 1805
Bagian-bagian dalam babad karya Diponegoro yang berkaitan dengan
berbagai penampakan yang terjadi pada dirinya dalam ziarah ke pantai selatan
sekitar 1805 dapat memberi wawasan tentang bagaimana ia memahami kedudukannya
dalam takdir kerohanian Jawa. Masih banyak yang belum terang, tapi beberapa
tema penting tampak jelas.
Pertama, pentingnya teladan sejarah para wali Islam —khususnya
Sunan Kalijogo, sang wali yang paling terkait dengan pengislaman Jawa
Tengah-Selatan— baik dalam mengabsahkan perlawanan Diponegoro kemudian maupun
dalam bentuk gaya kepemimpinan yang didambakan oleh Pangeran selama Perang
Jawa. Kedua, pengaruh Sultan Agung
—yang oleh Diponegoro dikenal sebagai raja Mataram paling layak ditiru
mengingat kesuksesannya memadukan kekuasaan duniawi dan kekuasaan rohani. Ketiga, secara sadar menolak pertolongan
dari dunia roh-roh halus Jawa —seperti yang diwakili oleh Ratu Kidul— dan
penegasan imannya sebagai seorang Muslim Jawa kepada Alloh. Keempat, dilihat dalam tema terakhir
tentang jati diri Pangeran yang melekat pada pahlawan wayang; Arjuna; yang
merupakan benang merah kehidupannya.
Pada saat ia kembali dari ziarah akhir 1805, semua ini masih
akan terjadi di masa depan. Namun yang jelas adalah, bahwa ia akan kembali ke
dunia nyata dengan wawasan yang makin jernih tentang takdirnya yang telah
diramalkan dan tempatnya dalam sejarah Jawa. Tapi ia akan kembali kepada tepat
ketika tatanan lama Jawa tempat ia tumbuh segera akan diharu-biru oleh kekuatan
imperialisme Eropa yang baru dan sangat merusak. Lahir dari arus kembar
industri dan revolusi politik di Eropa akhir abad ke-18, imperialisme Eropa itu
akan menempa ulang dunia Diponegoro dan orang-orang sezamannya dengan cara-cara
yang tak pernah mereka bayangkan.
Bab 5. Awal Runtuhnya
Tanah Jawa; Yogyakarta dan Tatanan Baru Daendels, 1808
Menjelang akhir tahun 1808, Keraton Yogya bisa saja sudah
bertanya-tanya apalagi yang akan terjadi terhadap mereka. Bagi Diponegoro,
kalau runtuhnya Tanah Jawa yang diramalkan oleh suara gaib di Parangkusumo itu
betul-betul terjadi senyata firasatnya yang paling mengerikan. Dengan setiap
penghinaan baru yang menimpa Keraton dan dengan setiap sikap meremehkan
terhadap keluarga raja dan priyayi tinggi, dunia baru Eropa Revolusioner yang
berangasan yang diwakili oleh Daendels menjadi semakin nyata.
Hal ini tidak sekadar menyangkut perubahan pada beberapa
kebiasaan lama, secuil otak-atik di pinggiran untuk membawa VOC memasuki dunia
modern. Ini adalah perombakan akar dan cabang. Untuk seterusnya, falsafah
politik Jawa tentang dua kerajaan dan pembagian yang menenangkan antara Kerajaan
Batavia/Jawa Barat dan Kerajaan Jawa pisan —kejawen— akan nyaris mustahil
dipertahankan. Dalam segala hal yang menyentuh hubungan antara Jawa
Tengah-Selatan dan Batavia —dari tuntutan politik pemerintah penjajahan hingga
pintu masuk ke sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi serta keperluan
militer dan pertahanan di masa persengketaan sejagat— jelaslah bahwa Jawa sudah
memasuki suatu zaman baru. Dan memang tidaklah begitu gampang bagi orang-orang
seperti Diponegoro —yang lahir ketika tatanan lama Jawa masih utuh— membuat
pergeseran ini masuk ke dalam kesadaran. Masih banyak yang harus terjadi
sebelum perubahan seperti itu bisa terlihat baik sebagai sesuatu yang perlu
maupun sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Di kalangan atas Jawa
Tengah-Selatan memang hanya segelintir orang yang akan mulai melakukan
penyesuaian yang perlu dengan orde kolonial baru sebelum pecahnya Perang Jawa.
Sayang, saat itu sudah sangat terlambat. Peluang untuk melakukan perubahan
dengan cara Jawa lewat sudah. Pemerintah jajahan yang akan melakukan hal itu
bagi mereka. Daendels hanyalah sebuah awal.
Bab 6. Pembela
Terakhir Tatanan Lama; Asal dan Jalannya Pemberontakan Raden Ronggo, 1809-1810
Meskipun hidup Raden Ronggo berakhir getir, pemberontakannya
merupakan peristiwa besar dalam sejarah Keraton Jawa Tengah-Selatan sebelum
pecah Perang Jawa. Sebelum 1810, sekalipun dihadapkan pada mulut besar dan
ancaman militer Daendels, perimbangan kekuatan masih belum sepenuhnya bergeser
ke pihak pemerintah kolonial. Kemampuan Sultan menolak pemberlakuan tata
upacara baru dan kemahirannya merajut berbagai jawaban terhadap tuntutan
Gubernur Jenderal akan “kepuasan” dalam berbagai sengketa perbatasan antara
Sultan dan pemerintah Daendels selama 3 tahun sebelum pemberontakan Ronggo
menunjukkan bahwa kekuatan pemerintah kolonial ada batasnya.
Di Jawa Tengah-Selatan batas tersebut berlanjut terus sampai
saat serangan Inggris ke Keraton Yogya pada 20 Juni 1812, ketika rintangan
terhadap pemerintah kolonial yang berasal dari kekuatan tentara yang berpusat
di Keraton akhirnya disingkirkan. Namun keadaan di wilayah timur agak berbeda.
Di sini Ronggo merupakan “pahlawan terakhir”. Kematiannya mempercepat perubahan
wilayah timur ini ke arah zona ekonomi di bawah kekuasaan pemerintah kolonial
sepenuhnya. Berbagai tuntutan Daendels selama 1809-1810 agar wilayah-wilayah
Timur dibuka untuk pasokan tak terbatas —monopoli kayu, beras, dan bahan-bahan
penting lain bagi kepentingan pantai utara, demikian juga bagi penanaman modal
Eropa dalam pembangunan galangan kapal baru dan perusahaan penebangan kayu—
ditolak dengan sengit oleh Ronggo dan beberapa diantara rekan bupatinya. Mereka
membungkus perlawanan mereka dengan maksud melindungi wong cilik, khususnya
yang hidup dari hutan jati dan dikenal sebagai orang blandong. Namun alasan
mereka yang lebih penting adalah mempertahankan kedudukan ekonomi mereka
sendiri. Dalam hal ini, mereka diam-diam mendapat dukungan dari Sultan, dan
jika kesaksian tokoh-tokoh seperti kyai Murmo Wijoyo bisa dipercaya, maka
dukungan juga datang dari Sunan dan Prangwedono (Mangkunegoro II).
Gagalnya pemberontakan Ronggo di wilayah timur itu merupakan
tonggak penanda bergesernya secara pasti perimbangan kekuatan di daerah-daerah
perbatasan dengan pesisir yang dikuasai oleh Belanda menjadi keunggulan di
pihak pemerintah kolonial. Sejak itu, daerah-daerah wilayah timur akan ditarik
terus-menerus ke bawah kekuasaan pihak Eropa. Dalam tempo dua dasawarsa saja,
seluruh wilayah timur akan dikuasai oleh pemerintah Eropa mulai dengan sejumlah
perjanjian yang ditekankan oleh Daendels kepada keraton-keraton pada Januari
1811 dan disusul dengan sejumlah perjanjian lagi yang dipaksakan oleh Raffles
seusai serangan Inggris ke Yogya pada Juni 1812.
Arti politik semua ini tidak luput dari kesadaran
Diponegoro. Kekagumannya pada Ronggo ditulisnya dalam babad karyanya. Inilah
seorang bangsawan muda Yogya, yang nyaris seusia dengan dirinya, seorang lelaki
seperti dia yang menikmati hubungan erat dengan berbagai paguyuban Islam-Jawa
dan yang siap terjun berjuang daripada wafat menyedihkan sebagai seorang
tawanan penguasa Eropa. Dalam banyak hal, Ronggo ialah seorang kesatria,
pangeran wirayuda. Bagi Diponegoro, Ronggo merupakan suri teladan manakala ia
menghadapi situasi ekonomi dan politik yang serupa di jantung Jawa Tengah-Selatan
dalam dasawarsa menjelang Perang Jawa. Dengan pertalian keluarga yang dekat
dengan Ronggo, pertalian yang diperkuat berkat sejumlah pernikahannya dengan
putri dan keponakan almarhum Bupati Wedana itu, dan kepercayaannya yang besar
terhadap putra almarhum yang masih remaja; Sentot; sebagai panglima kavalerinya
yang utama, tidaklah mengherankan bahwa Diponegoro telah memperlakukan Ronggo
sebagai “saudara sedarah” dan juga sebagai “pahlawan terakhir” Kasultanan
Yogya. Ketika giliran Pangeran tiba untuk maju membela keutuhan moral dan
kerohanian tatanan lama masyarakat Jawa, ia akan melakukannya di bawah Panji
yang lebih luas, yaitu Islam-Jawa, dan dengan himbauan semangat Ratu Adil.
Meski semangat itu tak tertandingi oleh Ronggo, arwah Bupati Wedana yang sudah
tewas itu dan kenangan pada raja-raja Mataram yang wirayuda (ratu pinarjurit) akan terus membayangi
perjuangan sang Pangeran, persis seperti Mangkubumi membayangi pemberontakan
Ronggo yang gagal itu.
Bab 7. Ujung Tahap
Awal; Bulan-bulan Terakhir Pemerintahan Belanda-Perancis dan Penjarahan Yogya
oleh Inggris, 1811-1812
Akhirnya Keraton Yogyakarta jatuh ke tangan Inggris hampir
57 tahun sejak pertama kali ditetapkan sebagai ibu kota Mangkubumi pada 6
November 1755. Hal itu barangkali merupakan akibat kegagalan kalangan atas
Yogya menghadapi kenyataan kolonialisme Eropa baru yang lahir dari revolusi
kembar industrialisasi dan “demokrasi borjuis”, yaitu munculnya kelas
menengah-atas yang baru kaya dari hasil industri dan profesi di Eropa untuk menggantikan
ningrat sebagai kelas politik, yang mengguncang Eropa selama akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19. Berbagai perubahan itu telah diperkenalkan ke Jawa dengan
cara yang terlalu cepat dan terlalu keras hanya dalam waktu kurang dari 4
tahun, keraton-keraton Jawa Tengah-Selatan telah dipaksa menyesuaikan diri
dengan suatu bentuk baru pemerintah Eropa yang terpusat yang tampil
bertentangan dengan falsafah politik mereka berupa kedaulatan terpisah-pisah
atas Jawa. Jika ada waktu, mereka mungkin saja sanggup mengubah wawasan
politiknya untuk menerima kenyataan-kenyataan baru itu, tapi mereka tidak dapat
melakukan hal itu dalam tempo sekejap seperti yang dipaksakan oleh Daendels dan
Raffles. Akibatnya adalah kekalahan total.
Inilah yang sesungguhnya terjadi dengan Yogya, khususnya
yang memasuki kurun perubahan yang menentukan itu dengan keraton yang jelas
tampak paling kuat dan makmur tapi ternyata sangat terpecah-belah dan
diperintah oleh seseorang yang angkuh dan berwatak kaku. Maraknya intrik-intrik
di kalangan keraton benar-benar merobek keutuhannya justru pada saat persatuan
sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang timbul akibat
kebangkitan Eropa. Kerajaan Mangkubumi telah dibangun dengan pedang, dan pada
Juni 1812 kerajaan itu dapat dikatakan telah hancur karena pedang pula.
Untuk pemerintah Inggris di Jawa, tiada keraguan mengenai
arti kemenangan mereka itu. Muntinghe memujinya sebagai suatu peristiwa yang
sama pentingnya dengan kemenangan Clive di Plassey pada 23 Juni 1757 —kemenangan
yang telah membuka seluruh India Utara untuk pemerintahan Inggris. Raffles
mencerminkan hal ini dalam suratnya kepada atasannya; Lord Minto; ketika ia
mengatakan, bahwa “kekuasaan Eropa untuk
pertama kali berjaya di Jawa (...) hingga saat ini kita tidak pernah bisa
menyebut diri kita penguasa bagi wilayah-wilayah yang lebih penting di
pedalaman. Betapa tidak, daerah kekuasaan kita di pantai-pantai akan terus
berada dalam bahaya dan —jika sampai kekuatan bersenjata kita merosot— bahaya
yang bisa timbul akan menakutkan.” Walaupun Yogyakarta dan Surakarta akan
tetap sebagai kerajaan-kerajaan yang dihancurkan sesudah 1812, dua-duanya tak
akan pernah lagi mampu menjadi ancaman terhadap kedudukan pemerintah Eropa.
Ketika suatu ancaman baru benar-benar timbul di bawah panji Islam-Jawa
Diponegoro pada Juli 1825, tantangan tersebut akan mendapatkan ilham dan
kekuatan dari berbagai pengaruh yang berada di luar tradisi besar keraton.
Dukungan yang diberikan kepada Pangeran oleh bermacam paguyuban agama dan masyarakat
tani Jawa —dua kelompok ini yang merasa diri mereka makin terkucil dari tata
kolonial baru itu— menjadi lebih berarti daripada sistem perjuraganan dan
kesetiaan keraton yang merupakan inti tradisi kerajaan. Dilihat dari berbagai
segi, Juni 1812 bukannya akhir Perang Jawa —yang seharusnya dianggap sebagai
saat munculnya masa kolonial baru di Jawa. Namun demikian, dari keruntuhan ini
dan kepahitan yang ditimbulkannya, suatu gabungan unsur-unsur yang baru dan
lebih kuat dalam masyarakat Jawa akan bangkit.
Bibliografi
Judul: Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid 1
Judul asli: The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and The End of an Old Order in Java, 1785-1855 second edition
Penulis: Peter Carey
Alih bahasa: Parakitri T. Simbolon
Tebal: xlix+398 hlm.
Genre: Sejarah
Cetakan: III, Agustus 2016
ISBN: 978-602-424-043-1
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
0 Komentar