Resensi: Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid 1

“Mbok Ratu [Ageng], cicitmu ini/ ketahuilah kelak/ sudah kehendak Yang Maha Kuasa/ jalan hidupnya ditakdirkan jadi lakon luar biasa [...]” —Babad Diponegoro, II:45


Judul “Kuasa Ramalan” ini terinspirasi dari pengharapan atau terawangan Sultan pertama; Mangkubumi; saat Diponegoro masih bayi, bahwa kelak ia akan memimpin Perang Jawa dan memporak-porandakan Belanda melebihi dirinya dalam Perang Giyanti. Tak ada kata “menang” atau “kalah” dalam kalimat tersebut. Hanya memberikan penegasan akan dampak destruktif yang akan ditimbulkan oleh aksi Kelak Diponegoro.

Pada bab-bab awal buku ini, digambarkan bagaimana kemakmuran wilayah Jawa Tengah kala itu dengan segala potensinya, namun salah dikelola oleh para pejabat yang serakah. Beragam jenis pajak menempatkan rakyat. Hingga seseorang yang melintas membawa apapun yang digendong atau dipikul, akan dikenai pajak! Belum lagi dalih norma 'kepantasan' ketika para pejabat atau raja mempunyai hajat dengan menyumbangkan hasil bumi atau ternak. Tentu saja hal itu di luar pajak.

Peter Carey membutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk meneliti sejarah Pangeran yang 'ulahnya' menggemparkan dunia, dari sejarah nasabnya, wilayah kekuasaan Yogyakarta yang membentang dari Madiun di timur sampai Banyumas di barat, kelahirannya, masa remajanya, masa dewasanya, invasi penjajah di Tanah Jawa, dan aksi perlawanan dari tokoh Raden Ronggo. Sampai di bab 7 di akhir buku, belum memasuki bahasan Perang Jawa.


Bab 1. Jawa Tengah-Selatan Sekitar 1792-1825

Dalam mengupas struktur politik di wilayah-wilayah kekuasaan pada awal abad ke-19, pokok pikiran tertentu dapat dipetik. Yang paling jelas adalah kesenjangan beban pajak antara kawasan negaragung dan kawasan wilayah timur. Kesenjangan itu ujung-ujungnya bisa menyebabkan jumlah penduduk yang merosot di kawasan pinggiran wilayah timur pada akhir abad ke-18 dan memberikan wawasan mengenai pengelompokan daerah menurut batas kerajaan setelah 1800. Satu lagi tema pentingnya adalah kecenderungan umum kewajiban rodi untuk diganti dengan pajak uang. Hal ini terjadinya nyaris di mana-mana di wilayah-wilayah kerajaan kecuali di wilayah timur, dan merupakan perkembangan yang tampaknya disambut baik oleh para petani penggarap mandiri (sikep). Hal itu juga menyebabkan maraknya perekonomian uang di beberapa kawasan pedesaan Jawa Tengah-Selatan waktu itu.

Tema ketiga adalah kenaikan terus-menerus beban pajeg, khususnya di Yogya di mana pembaruan pancas Sultan kedua menimbulkan akibat yang keras pada tingkat lokal. Dipungut bersama dengan sejumlah pajak luar biasa seperti taker tedhak dan uang bekti pasumbangan yang dituntut baik oleh penguasa tanah-jabatan dan juga oleh raja-raja, semuanya itu berarti beban pajak yang meningkat tajam di bahu golongan sikep. Meskipun menghadapi kesulitan-kesulitan ini, jelaslah bahwa banyak tani penggarap mandiri (sikep) dapat mempertahankan sebagian besar kekayaan mereka waktu itu. Ketidakmampuan pemerintah kerajaan, kurangnya survei kadaster yang teliti, dan kecilnya jumlah surveyor desa mengakibatkan lahan-lahan mereka yang baru dibuka dapat disembunyikan. Baru selama lima tahun menjelang terjadinya Perang Jawa, ketika gagal panen jadi biasa dan kekuatan pintu cukai jalan yang dilakukan oleh orang Tionghoa mulai menimbulkan akibat buruk terhadap perdagangan setempat, keadaan pertanian di Jawa Tengah-Selatan menjadi tak terpikul lagi dari petani. Semua keadaan ini akan mempercepat maraknya perlawanan petani di Jawa Tengah-Selatan yang merupakan ciri paling penting pecahnya Perang Jawa pada Juli 1825.

Dilihat dari sudut kemasyarakatan dan kebudayaan, Yogyakarta dan pasangan; Surakarta; menampilkan suatu segi yang umumnya percaya diri dan makmur pada dalam masa itu. Dua-duanya masih merupakan masyarakat yang lebih condong bersifat militer, tapi sikap berani mati memainkan peranan yang kurang penting pada saat itu, ketika hanya sedikit pertikaian besar yang terjadi. Dalam hal ini, Yogya mempertahankan ciri aslinya lebih daripada Surakarta, sebagian besar karena jasa Sultan pertama. Namun bahkan di sini terdapat kecenderungan cacah menjadi ukuran satuan ekonomi daripada sebagai landasan pelaksanaan wajib militer, dan pemanggilan pasukan-pasukan pembantu terus merasa kecuali dalam keadaan darurat. Di pedesaan, di samping kehadiran kelas sosial tani penggarap yang cukup makmur, ciri-ciri utama adalah banyaknya buruh tani (numpang) dan suatu golongan pemungut pajak (bekel, demang) yang jumlahnya malah lebih besar lagi daripada sikep, golongan yang bertindak atas nama penguasa tanah-jabatan yang bertempat tinggal di ibu kota kerajaan.

Inilah dunia tempat Diponegoro dilahirkan pada 1785. Dunia itu penuh dengan ketegangan dan dinamika, sekaligus keras, gelisah, dan makmur dengan jurang perbedaan sosial yang cukup besar dan alam yang indah dan liar. Dalam rentang hanya kurang dari 500 km dari provinsi yang paling barat sampai ke provinsi paling timur, ada daerah yang terpencil namun juga ada daerah-daerah utama yang subur dan berpenduduk padat yang membuat Jawa tampak seperti Firdaus tropik. Inilah suatu masyarakat di mana seorang sikep yang makmur bisa mempunyai harta karun berupa dukat perak yang disimpan untuk dipamerkan di bawah tempat tidurnya dan seorang buruh tani atau kuli panggul tidak punya apa-apa kecuali pakaian rombeng yang menempel di punggungnya.

Inilah Jawa perbatasan, suatu dunia yang sangat berbeda dari masyarakat pertanian yang teratur pasca-Perang Jawa dengan sistem tanam paksanya (1830-1870) dan para pejabat kolonial lulusan Delft dan Leiden, suatu masyarakat yang tidak lagi siap untuk perang tapi untuk pasar dunia beserta hasil tanaman ekspornya. Secara budaya juga hari-harinya bisa dihitung ketika tata krama adiluhung keraton Jawa Tengah-Selatan memainkan peran penting. Suatu tempat di mana desa-desa mempunyai cara hidup dan keraton mempunyai tata kramanya. Ini akan segera disingkirkan oleh golongan elite pribumi baru beserta dengan golongan priyayi bentukan Belanda pasca-1830, suatu kelas pegawai anak-negeri yang merasa lebih tentram dalam belang-bonteng “Melayu Dinas” daripada kehalusan bahasa Jawa tinggi keraton.

Bagi orang Eropa juga, pemerintah jajahan Belanda yang kembali pasca-1816 akan menandai suatu perubahan besar dalam sosial dan budaya. Para keluarga Indies terkemuka —yang telah menguasai lapisan tertinggi pemerintahan VOC dalam abad ke-18— akan disapu bersih oleh banjirnya pegawai upahan, para petualang, dan bekas perwira Perang Napoleon yang datang ke Hindia Belanda dengan bantuan pemerintah Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellan (1819-1826). Hari-hari kaum mestizo; golongan elite blasteran Indo-Portugis pemilik budak yang digambarkan begitu hidup oleh Jean Gelman Taylor dalam studinya tentang Batavia kolonial; sudah bisa dihitung. Dengan segera, suatu jenis baru pejabat Hindia-Belanda; dari golongan borjuis Belanda pasca-Revolusioner; lahir dan terdidik di Nederland, akan memerintah Jawa. Seabad lebih akan berlalu sebelum orang-orang Indonesia —yang dipimpin oleh mereka yang telah memetik manfaat dari pendidikan Belanda— mendapat peluang membebaskan diri.

Untuk seorang pangeran Jawa yang lahir 15 tahun lebih dini daripada abad baru itu, bagaimana mungkin ia bisa menangkap gelagat semua ini? Untuk orang seperti itu keadaan yang tampak pasti adalah bahwa “tatanan lama” Jawa di kerajaan-kerajaan Jawa Tengah-Selatan, negeri-negeri yang menggantikan kemaharajaan Mataram yang pernah jaya dalam abad ke-17 merupakan sesuatu yang kukuh, aman secara budaya, sekalipun bergolak secara politik dan sosial. Dalam bayangan orang yang demikian, khususnya jika seperti Diponegoro yang dididik untuk jadi Muslim Jawa yang sholih, kemuliaan kemaharajaan Ottoman yang pudar dan masjid-masjid suci (haramain), tempat-tempat yang telah dijejaki oleh Nabi, itulah yang penting. Jika ada suatu pusat yang suci di bumi ini, pasti itu ada di Arabia di mana jantung umat Islam berdegup. Dalam dunia yang demikian, siapa gerangan yang sampai bisa membayangkan bahwa bukannya Turki Utsmani atau tempat-tempat suci di Hijaz yang akan menentukan masa depan dirinya, melainkan serangkaian revolusi politik dan industri yang ketika itu malah sedang berkecambah di kota-kota berpabrik dan membosankan seperti Lancashire atau sudut-sudut Paris yang sarat seniman?

Serba perubahan yang dahsyat akan mengalir dari revolusi kembar ini dan membawa ke sebuah kondisi yang disebut oleh sejarawan Kenneth Pomeranz sebagai “The Great Divergence” (Pemisahan Besar), ketika pemutakhiran teknik dan taraf hidup di Eropa dan di Asia —khusus di China— mulai terpisah. Namun pada tahap dini ini perlu seorang jenius untuk menangkap hal itu. Sementara itu, sebelum dua dunia yang berbeda ini berbenturan satu sama lain dan Jawa Tengah-Selatan merasakan sendiri tekanan penuh tatanan Eropa baru, ada baiknya berlangsung suatu masa singkat di mana ancien régume (rezim lama) tetap lestari. Dalam 23 tahun itu, Diponegoro akan tumbuh dewasa dan menemukan tempatnya sendiri dalam dunia rohani dan budaya kampung halamannya; Yogya.

 

Bab 2. Diponegoro; Masa Remaja dan Pengasuhannya, 1785-1803

Pengasuhan Diponegoro di Tegalrejo di bawah Ratu Ageng yang tegas dan sholihah membentuk tabiat sang Pangeran dalam kehidupannya kemudian. Ungkapan lama kalangan Yesuit, “serahkan kepada kami seorang anak tersampai ia berusia tujuh tahun dan kami akan menunjukkan manusia dewasa” tidak begitu terbukti dalam kehidupan Diponegoro. Karena ia baru tinggal bersama neneknya di desa permukimannya pada umur tujuh tahun awal 1790-an. Tapi sebelum meninggalkan Keraton Yogya sangat mungkin bahwa Diponegoro sudah mulai merasakan berbagai pengaruh yang kelak akan menimpa watak dan tabiatnya. Hubungan antara kediaman resmi ayahnya; Kadipaten; dengan paguyuban santri keraton mungkin sudah mulai terlihat. Sementara itu, pangeran remaja itu tentunya sudah terpengaruh oleh kehadiran ibu dan neneknya, dua-duanya keturunan para kyai terkemuka, selama masa kanak-kanaknya di wisma khusus untuk perempuan.

Pengaruh-pengaruh ini tentunya akan lebih kuat lagi selama dasawarsa yang menentukan, 1793-1803, tatkala Diponegoro tumbuh menjadi seorang pemuda di bawah asuhan Ratu Ageng. Pangeran yang dibesarkan dalam lingkungan desa dan dilhami rasa senasib dengan rakyat biasa sejak kanak-kanak, seorang keturunan dinasti penguasa dengan pengetahuan yang mendalam mengenai kehidupan petani Jawa, dunia santri desa, dan guru agama —ini semua memang merupakan perpaduan yang langka. Mengherankankah bila pemuda seperti itu akan menemui takdir yang luar biasa? Selagi ramalan yang diucapkan oleh Sultan pertama dan kemudian saat ziarah Pangeran ke pantai selatan sekitar 1805 meramalkan tragedi —“Engkau sendiri hanya sarana. Namun tidak lama. Hanya untuk disejajarkan dengan leluhur”— bayangan yang ditimbulkannya masih akan terjadi. Masa depan yang akan segera tiba untuk pemuda berusia delapan belas tahun itu, yang kini memikul sendiri tanggung jawab atas permukiman Tegalrejo, tampaknya cerah. Hidup senang jauh dari persekongkolan yang tiada habisnya di keraton Yogya, dan dimulai mencapai kemandirian sebagai seorang muda dengan keyakinan yang makin teguh terhadap agama, Diponegoro dapat mengharapkan suatu kehidupan rohani dan pemenuhan cita-cita pribadi yang ditunjang oleh lingkaran pergaulan yang makin luas dengan para santri dan priyayi sholih.

 

Bab 3. Awal Dewasa; Pernikahan, Pendidikan, dan Pergaulan dengan Paguyuban Santri, 1803-1805

Sulit memilih antara kenyataan dan mitos mengenai Diponegoro. Sumber paling berharga adalah yang paling langka, yaitu babad Jawa karya orang-orang sezaman yang mengenal Pangeran sebelum keharuman atau kebusukan namanya —tergantung sudut pandang seseorang— semasa Perang Jawa membentuk sosok tertentu Diponegoro untuk selama-lamanya. Satu contoh adalah kisah pemerintahan Inggris yang ditulis oleh saudara kakeknya; Pangeran Panular (sekitar 1772-1826). Bahwa begitu banyak pohon dengan saudara bahan berasal dari Perang Jawa dan akibatnya sesudah itu, tentulah tidak mengherankan mengingat kegoncangan hebat yang ditimbulkan peristiwa tersebut bagi Belanda maupun dari kerajaan Jawa Tengah.

 

Bab 4. Ziarah ke Pantai Selatan, Sekitar 1805

Bagian-bagian dalam babad karya Diponegoro yang berkaitan dengan berbagai penampakan yang terjadi pada dirinya dalam ziarah ke pantai selatan sekitar 1805 dapat memberi wawasan tentang bagaimana ia memahami kedudukannya dalam takdir kerohanian Jawa. Masih banyak yang belum terang, tapi beberapa tema penting tampak jelas.

Pertama, pentingnya teladan sejarah para wali Islam —khususnya Sunan Kalijogo, sang wali yang paling terkait dengan pengislaman Jawa Tengah-Selatan— baik dalam mengabsahkan perlawanan Diponegoro kemudian maupun dalam bentuk gaya kepemimpinan yang didambakan oleh Pangeran selama Perang Jawa. Kedua, pengaruh Sultan Agung —yang oleh Diponegoro dikenal sebagai raja Mataram paling layak ditiru mengingat kesuksesannya memadukan kekuasaan duniawi dan kekuasaan rohani. Ketiga, secara sadar menolak pertolongan dari dunia roh-roh halus Jawa —seperti yang diwakili oleh Ratu Kidul— dan penegasan imannya sebagai seorang Muslim Jawa kepada Alloh. Keempat, dilihat dalam tema terakhir tentang jati diri Pangeran yang melekat pada pahlawan wayang; Arjuna; yang merupakan benang merah kehidupannya.

Pada saat ia kembali dari ziarah akhir 1805, semua ini masih akan terjadi di masa depan. Namun yang jelas adalah, bahwa ia akan kembali ke dunia nyata dengan wawasan yang makin jernih tentang takdirnya yang telah diramalkan dan tempatnya dalam sejarah Jawa. Tapi ia akan kembali kepada tepat ketika tatanan lama Jawa tempat ia tumbuh segera akan diharu-biru oleh kekuatan imperialisme Eropa yang baru dan sangat merusak. Lahir dari arus kembar industri dan revolusi politik di Eropa akhir abad ke-18, imperialisme Eropa itu akan menempa ulang dunia Diponegoro dan orang-orang sezamannya dengan cara-cara yang tak pernah mereka bayangkan.

 

Bab 5. Awal Runtuhnya Tanah Jawa; Yogyakarta dan Tatanan Baru Daendels, 1808

Menjelang akhir tahun 1808, Keraton Yogya bisa saja sudah bertanya-tanya apalagi yang akan terjadi terhadap mereka. Bagi Diponegoro, kalau runtuhnya Tanah Jawa yang diramalkan oleh suara gaib di Parangkusumo itu betul-betul terjadi senyata firasatnya yang paling mengerikan. Dengan setiap penghinaan baru yang menimpa Keraton dan dengan setiap sikap meremehkan terhadap keluarga raja dan priyayi tinggi, dunia baru Eropa Revolusioner yang berangasan yang diwakili oleh Daendels menjadi semakin nyata.

Hal ini tidak sekadar menyangkut perubahan pada beberapa kebiasaan lama, secuil otak-atik di pinggiran untuk membawa VOC memasuki dunia modern. Ini adalah perombakan akar dan cabang. Untuk seterusnya, falsafah politik Jawa tentang dua kerajaan dan pembagian yang menenangkan antara Kerajaan Batavia/Jawa Barat dan Kerajaan Jawa pisan —kejawen— akan nyaris mustahil dipertahankan. Dalam segala hal yang menyentuh hubungan antara Jawa Tengah-Selatan dan Batavia —dari tuntutan politik pemerintah penjajahan hingga pintu masuk ke sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi serta keperluan militer dan pertahanan di masa persengketaan sejagat— jelaslah bahwa Jawa sudah memasuki suatu zaman baru. Dan memang tidaklah begitu gampang bagi orang-orang seperti Diponegoro —yang lahir ketika tatanan lama Jawa masih utuh— membuat pergeseran ini masuk ke dalam kesadaran. Masih banyak yang harus terjadi sebelum perubahan seperti itu bisa terlihat baik sebagai sesuatu yang perlu maupun sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Di kalangan atas Jawa Tengah-Selatan memang hanya segelintir orang yang akan mulai melakukan penyesuaian yang perlu dengan orde kolonial baru sebelum pecahnya Perang Jawa. Sayang, saat itu sudah sangat terlambat. Peluang untuk melakukan perubahan dengan cara Jawa lewat sudah. Pemerintah jajahan yang akan melakukan hal itu bagi mereka. Daendels hanyalah sebuah awal.

 

Bab 6. Pembela Terakhir Tatanan Lama; Asal dan Jalannya Pemberontakan Raden Ronggo, 1809-1810

Meskipun hidup Raden Ronggo berakhir getir, pemberontakannya merupakan peristiwa besar dalam sejarah Keraton Jawa Tengah-Selatan sebelum pecah Perang Jawa. Sebelum 1810, sekalipun dihadapkan pada mulut besar dan ancaman militer Daendels, perimbangan kekuatan masih belum sepenuhnya bergeser ke pihak pemerintah kolonial. Kemampuan Sultan menolak pemberlakuan tata upacara baru dan kemahirannya merajut berbagai jawaban terhadap tuntutan Gubernur Jenderal akan “kepuasan” dalam berbagai sengketa perbatasan antara Sultan dan pemerintah Daendels selama 3 tahun sebelum pemberontakan Ronggo menunjukkan bahwa kekuatan pemerintah kolonial ada batasnya.

Di Jawa Tengah-Selatan batas tersebut berlanjut terus sampai saat serangan Inggris ke Keraton Yogya pada 20 Juni 1812, ketika rintangan terhadap pemerintah kolonial yang berasal dari kekuatan tentara yang berpusat di Keraton akhirnya disingkirkan. Namun keadaan di wilayah timur agak berbeda. Di sini Ronggo merupakan “pahlawan terakhir”. Kematiannya mempercepat perubahan wilayah timur ini ke arah zona ekonomi di bawah kekuasaan pemerintah kolonial sepenuhnya. Berbagai tuntutan Daendels selama 1809-1810 agar wilayah-wilayah Timur dibuka untuk pasokan tak terbatas —monopoli kayu, beras, dan bahan-bahan penting lain bagi kepentingan pantai utara, demikian juga bagi penanaman modal Eropa dalam pembangunan galangan kapal baru dan perusahaan penebangan kayu— ditolak dengan sengit oleh Ronggo dan beberapa diantara rekan bupatinya. Mereka membungkus perlawanan mereka dengan maksud melindungi wong cilik, khususnya yang hidup dari hutan jati dan dikenal sebagai orang blandong. Namun alasan mereka yang lebih penting adalah mempertahankan kedudukan ekonomi mereka sendiri. Dalam hal ini, mereka diam-diam mendapat dukungan dari Sultan, dan jika kesaksian tokoh-tokoh seperti kyai Murmo Wijoyo bisa dipercaya, maka dukungan juga datang dari Sunan dan Prangwedono (Mangkunegoro II).

Gagalnya pemberontakan Ronggo di wilayah timur itu merupakan tonggak penanda bergesernya secara pasti perimbangan kekuatan di daerah-daerah perbatasan dengan pesisir yang dikuasai oleh Belanda menjadi keunggulan di pihak pemerintah kolonial. Sejak itu, daerah-daerah wilayah timur akan ditarik terus-menerus ke bawah kekuasaan pihak Eropa. Dalam tempo dua dasawarsa saja, seluruh wilayah timur akan dikuasai oleh pemerintah Eropa mulai dengan sejumlah perjanjian yang ditekankan oleh Daendels kepada keraton-keraton pada Januari 1811 dan disusul dengan sejumlah perjanjian lagi yang dipaksakan oleh Raffles seusai serangan Inggris ke Yogya pada Juni 1812.

Arti politik semua ini tidak luput dari kesadaran Diponegoro. Kekagumannya pada Ronggo ditulisnya dalam babad karyanya. Inilah seorang bangsawan muda Yogya, yang nyaris seusia dengan dirinya, seorang lelaki seperti dia yang menikmati hubungan erat dengan berbagai paguyuban Islam-Jawa dan yang siap terjun berjuang daripada wafat menyedihkan sebagai seorang tawanan penguasa Eropa. Dalam banyak hal, Ronggo ialah seorang kesatria, pangeran wirayuda. Bagi Diponegoro, Ronggo merupakan suri teladan manakala ia menghadapi situasi ekonomi dan politik yang serupa di jantung Jawa Tengah-Selatan dalam dasawarsa menjelang Perang Jawa. Dengan pertalian keluarga yang dekat dengan Ronggo, pertalian yang diperkuat berkat sejumlah pernikahannya dengan putri dan keponakan almarhum Bupati Wedana itu, dan kepercayaannya yang besar terhadap putra almarhum yang masih remaja; Sentot; sebagai panglima kavalerinya yang utama, tidaklah mengherankan bahwa Diponegoro telah memperlakukan Ronggo sebagai “saudara sedarah” dan juga sebagai “pahlawan terakhir” Kasultanan Yogya. Ketika giliran Pangeran tiba untuk maju membela keutuhan moral dan kerohanian tatanan lama masyarakat Jawa, ia akan melakukannya di bawah Panji yang lebih luas, yaitu Islam-Jawa, dan dengan himbauan semangat Ratu Adil. Meski semangat itu tak tertandingi oleh Ronggo, arwah Bupati Wedana yang sudah tewas itu dan kenangan pada raja-raja Mataram yang wirayuda (ratu pinarjurit) akan terus membayangi perjuangan sang Pangeran, persis seperti Mangkubumi membayangi pemberontakan Ronggo yang gagal itu.

 

Bab 7. Ujung Tahap Awal; Bulan-bulan Terakhir Pemerintahan Belanda-Perancis dan Penjarahan Yogya oleh Inggris, 1811-1812

Akhirnya Keraton Yogyakarta jatuh ke tangan Inggris hampir 57 tahun sejak pertama kali ditetapkan sebagai ibu kota Mangkubumi pada 6 November 1755. Hal itu barangkali merupakan akibat kegagalan kalangan atas Yogya menghadapi kenyataan kolonialisme Eropa baru yang lahir dari revolusi kembar industrialisasi dan “demokrasi borjuis”, yaitu munculnya kelas menengah-atas yang baru kaya dari hasil industri dan profesi di Eropa untuk menggantikan ningrat sebagai kelas politik, yang mengguncang Eropa selama akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Berbagai perubahan itu telah diperkenalkan ke Jawa dengan cara yang terlalu cepat dan terlalu keras hanya dalam waktu kurang dari 4 tahun, keraton-keraton Jawa Tengah-Selatan telah dipaksa menyesuaikan diri dengan suatu bentuk baru pemerintah Eropa yang terpusat yang tampil bertentangan dengan falsafah politik mereka berupa kedaulatan terpisah-pisah atas Jawa. Jika ada waktu, mereka mungkin saja sanggup mengubah wawasan politiknya untuk menerima kenyataan-kenyataan baru itu, tapi mereka tidak dapat melakukan hal itu dalam tempo sekejap seperti yang dipaksakan oleh Daendels dan Raffles. Akibatnya adalah kekalahan total.

Inilah yang sesungguhnya terjadi dengan Yogya, khususnya yang memasuki kurun perubahan yang menentukan itu dengan keraton yang jelas tampak paling kuat dan makmur tapi ternyata sangat terpecah-belah dan diperintah oleh seseorang yang angkuh dan berwatak kaku. Maraknya intrik-intrik di kalangan keraton benar-benar merobek keutuhannya justru pada saat persatuan sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang timbul akibat kebangkitan Eropa. Kerajaan Mangkubumi telah dibangun dengan pedang, dan pada Juni 1812 kerajaan itu dapat dikatakan telah hancur karena pedang pula.

Untuk pemerintah Inggris di Jawa, tiada keraguan mengenai arti kemenangan mereka itu. Muntinghe memujinya sebagai suatu peristiwa yang sama pentingnya dengan kemenangan Clive di Plassey pada 23 Juni 1757 —kemenangan yang telah membuka seluruh India Utara untuk pemerintahan Inggris. Raffles mencerminkan hal ini dalam suratnya kepada atasannya; Lord Minto; ketika ia mengatakan, bahwa “kekuasaan Eropa untuk pertama kali berjaya di Jawa (...) hingga saat ini kita tidak pernah bisa menyebut diri kita penguasa bagi wilayah-wilayah yang lebih penting di pedalaman. Betapa tidak, daerah kekuasaan kita di pantai-pantai akan terus berada dalam bahaya dan —jika sampai kekuatan bersenjata kita merosot— bahaya yang bisa timbul akan menakutkan.” Walaupun Yogyakarta dan Surakarta akan tetap sebagai kerajaan-kerajaan yang dihancurkan sesudah 1812, dua-duanya tak akan pernah lagi mampu menjadi ancaman terhadap kedudukan pemerintah Eropa. Ketika suatu ancaman baru benar-benar timbul di bawah panji Islam-Jawa Diponegoro pada Juli 1825, tantangan tersebut akan mendapatkan ilham dan kekuatan dari berbagai pengaruh yang berada di luar tradisi besar keraton. Dukungan yang diberikan kepada Pangeran oleh bermacam paguyuban agama dan masyarakat tani Jawa —dua kelompok ini yang merasa diri mereka makin terkucil dari tata kolonial baru itu— menjadi lebih berarti daripada sistem perjuraganan dan kesetiaan keraton yang merupakan inti tradisi kerajaan. Dilihat dari berbagai segi, Juni 1812 bukannya akhir Perang Jawa —yang seharusnya dianggap sebagai saat munculnya masa kolonial baru di Jawa. Namun demikian, dari keruntuhan ini dan kepahitan yang ditimbulkannya, suatu gabungan unsur-unsur yang baru dan lebih kuat dalam masyarakat Jawa akan bangkit.


Bibliografi
Judul: Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid 1
Judul asli: The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and The End of an Old Order in Java, 1785-1855 second edition
Penulis: Peter Carey
Alih bahasa: Parakitri T. Simbolon
Tebal: xlix+398 hlm.
Genre: Sejarah
Cetakan: III, Agustus 2016
ISBN: 978-602-424-043-1
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar