Akhir 1994, sejumlah mahasiswa
Indonesia di Amerika Serikat dan Kanada berkumpul di Universitas Cornell kota
Ithaca untuk membahas masalah-masalah aktual terkait situasi di Indonesia di
bawah Orde Baru.
Setahun berikutnya, para mahasiswa
Indonesia di Amerika Serikat dan Kanada berkumpul di Universitas Wisconsin kota
Madison membahas dari masalah negara hukum hingga bagaimana memperkuat
masyarakat sipil (civil society) yang
kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk sebuah jaringan komunikasi untuk
mengembangkan wawasan terkait sejarah, politik, budaya, dan berbagai dimensi
tentang Indonesia; “Mengembangkan Wawasan”.
Para mahasiswa tersebut secara
bersama-sama menyiapkan bahan dan topik-topik wawancara, transkrip, dan
mensosialisasikan kepada publik yang kemudian terbitlah buku ini dengan
narasumber Sartono Kartodirdjo, Takashi Shiraishi, Benedict Anderson, George
Kahin, Clifford Geertz, Daniel Lev, Goenawan Mohamad, dan Bill Liddle.
Kepulauan Nusantara sebelum
datangnya kolonial adalah rangkaian kepulauan yang diperintah dalam sistem
feodal dan monarki yang berdiri sendiri-sendiri. Datangnya kolonial telah
membuat perubahan secara revolusioner yang hal tersebut tidak ditempuh oleh
para pedagang manca lainnya.
Menariknya, setelah berakhirnya
sistem kolonial —seiring berakhirnya Perang Dunia Kedua, para perintis dan
pejuang kemerdekaan memutuskan untuk tidak kembali ke sistem monarki atau
feodal. Mereka lebih memilih bentuk republik kesatuan dengan asas demokrasi
dengan beragam dinamikanya dari periode pra-kemerdekaan hingga periode
pertengahan 1990-an.
Dalam bagian wawancara dengan Prof.
Sartono, saya tertarik dengan pandangan beliau mengenai keberadaan Manifesto
Politik yang dihasilkan dan diproklamasikan oleh para pelajar Indonesia di
Belanda pada 1923. Peristiwa ini terasa “baru” karena dalam narasi sejarah
nasional, peristiwa dan statemen Sumpah Pemuda pada 1928-lah yang lebih
menonjol sebagai sebuah ‘signpost’
gerakan kebangsaan melawan kolonialisme. Padahal, dalam pandangan Mahaguru
Sejarah UGM itu, Sumpah Pemuda merupakan semacam amplifikasi dari Manifesto
Politik 1923.
Pandangan Prof. Geertz mengenai
dimensi budaya masyarakat dan bangsa Indonesia, saya rasa sangat relevan untuk
saat ini, ketika negeri ini sedang menghadapi semacam krisis identitas dalam
era Globalisasi. Mahaguru Antropologi dari Universitas Princeton itu
menggarisbawahi kemajemukan sebagai karakter utama bangsa Indonesia, dan
karenanya setiap upaya penyeragaman bisa menimbulkan ancaman serius terhadap
karakter dan kondisinya. Geertz memakai metafor “Awas ada buaya!” untuk
menggambarkan bahaya yang sewaktu-waktu akan muncul di atas permukaan ketika
anti-keragaman itu terjadi dalam masyarakat majemuk. Dan seperti layaknya
buaya, jika sudah muncul di atas permukaan perlu waktu lama untuk masuk ke
dalam air, bahaya yang terjadi akan memerlukan waktu lama untuk dapat diredam
dan dihilangkan.
Relevansi pandangan Prof.
Geertz untuk saat ini adalah dalam menyikapi fenomena
muncul dan berkembangnya politik identitas. Fenomena
tersebut ditandai oleh
ideologi radikal anti-keragaman seperti Khilafahisme, sebuah ideologi totaliter yang bertolak belakang dengan
karakter keindonesiaan. Ideologi-ideologi radikal dan totaliter adalah ‘buaya-buaya’
yang mengancam keindonesiaan dan NKRI. Pemberontakan komunis dan kelompok
Islamis radikal dalam sejarah Indonesia adalah contohnya. Demikian pula separatisme
dan yang kini sedang trend, transnasional jihadi dan takfiri, sangat penting
untuk dicegah.
Pak Ben menyumbangkan pemikiran yang penting terkait
semangat “pemuda” yang melandasi gerakan perjuangan anti-kolonial baik
menghadapi Belanda, Jepang, maupun pasca-kemerdekaan ketika Republik masih
menghadapi kekuatan asing yang hendak kembali. Semangat kepemudaan, yang dalam
kaitan ini bukan berarti usia demografis tetapi sebuah elan atau
etos kerja, merupakan salah satu pendorong terjadinya gerakan revolusi
nasional, yang beliau sebut Revolusi Kemerdekaan. Etos atau elan inilah yang saya rasa hilang dalam
narasi berbangsa pada pasca-reformasi, karena yang terjadi adalah narasi
kepemudaan yang berorientasi pragmatis (misalnya, wacana bonus demografi).
Semangat kepemudaan yang ‘independen’, kritis terhadap pandangan lama (tua),
kemampuan melakukan terobosan ‘liar’, dan lain-lain kini memudar atau bahkan hilang dalam
arus modernitas, kapitalisme predator, konsumerisme, dan lain-lain.
Prof. Kahin memberikan wawasan yang paling
menarik dan mendalam. Beliau mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam
perjuangan revolusi kemerdekaan adalah adanya sebuah gerakan berskala nasional
untuk melakukan perubahan demi meraih kemerdekaan dan keadilan sosial.
Leitmotif ini menjadi landasan utama yang memungkinkan muncul, berkembang, dan
konsistensi gerakan memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan. Karena itu, bagi Mahaguru Universitas Cornell itu, wacana mengenai
siapa yang lebih berperan dalam perjuangan kemerdekaan, apakah perjuangan
bersenjata atau diplomasi, menjadi kehilangan arti dan bahkan missing
the entire point. Menurut pandangan
beliau, tanpa keberadaan gerakan sosial yang massif dalam masyarakat dan bangsa
Indonesia, keduanya tidak akan punya arti.
Makna yang saya peroleh dari pandangan Prof Kahin dan
relevan pada saat ini adalah bahwa Indonesia pasca-reformasi memerlukan sebuah
gerakan nasional. Gerakan nasional tersebut berfokus pada tiga persoalan dasar: nasionalisme,
keadilan sosial (ekonomi), dan demokrasi.
Dalam titik waktu sejarah saat ini,
bangsa Indonesia mengalami persoalan eksistensial sebagai salah satu akibat
lingkungan strategis (global, regional, nasional) yang berubah cepat.
Nasionalisme nyaris tinggal slogan politik dan wacana intelektual tentangnya
pun tak berkembang. Justru yang kini marak adalah ideologi-ideologi yang
bertujuan meniadakan atau meminggirkan nasionalisme. Ideologi transnasional
radikal malah menjadi semacam ideologi alternatif (alternative ideology) yang disambut dengan antusias oleh generasi
muda ketimbang nasionalisme. Demikian pula pengaruh neoliberalisme yang
dianggap satu paket dengan perluasan sistem kapitalisme global. Perjuangan dan
revolusi Kemerdekaan yang salah satu pendorong utamanya adalah
anti-kolonialisme, yang merupakan bagian integral dari kapitalisme global, bisa
dikatakan lenyap dari memori sejarah bangsa kita.
Problem ketimpangan ekonomi adalah salah satu dampak negatif
dari model pembangunan ekonomi kapitalistik menjadi isu sangat penting sejak
kemerdekaan sampai saat ini. Fakta menunjukkan bahwa keberhasilan Indonesia
meraih peringkat negara dengan pertumbuhan tinggi sejak Orba hingga
pasca-reformasi, ternyata tidak menjadikannya sebagai
negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana yang diamanatkan
Konstitusi. Ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan rakyat masih sangat
tinggi, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai survei ekonomi belakangan ini.
Kemiskinan akut masih terus berjalan, yang tentu saja berkorelasi dengan
dislokasi sosial, kriminalitas, dan menurunnya kualitas manusia Indonesia.
Dengan kata lain, cita-cita perjuangan nasional menuju sebuah masyarakat yang
berkeadilan sebagaimana yang melandasi perjuangan kemerdekaan Indonesia telah diabaikan
atau bahkan dikhianati.
Itulah sebabnya peringatan Pak Dan Lev terkait dengan
ancaman kekuatan anti-demokrasi konstitusional menjadi sangat relevan dalam
menyikapi kekinian bangsa Indonesia dan masa depannya. Kekuatan-kekuatan anti-demokrasi
tersebut sudah sejak masa awal terbentuknya Republik ini ada dan dalam
perjalanan sejarah pasca-kemerdekaan selalu berusaha mendominasi wacana dan
praksis politik dan ketatanegaraan di negeri ini. Pak Dan terutama menyoroti
dinamika hubungan sipil dan militer di Indonesia dan dikaitkan dengan
kelompok-kelompok politik strategis yang ada pada era 1960an. Beliau juga
menyoroti peran masyarakat sipil Indonesia, yang sejatinya selalu tampil
kendati sering mengalami hambatan dan represi.
Saya rasa, makna dari peringatan Pak Dan adalah bahwa
dinamika kehidupan bangsa khususnya berdemokrasi memerlukan keteguhan dan
kesabaran serta konsistensi ketika menghadapi rintangan kekuatan
anti-demokrasi, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Bangsa Indonesia,
menurut pandangan beliau, memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukan
demokratisasi secara mandiri, sebagaimana yang ditunjukkan
para pemimpin dan elite politik sipil pada era demokrasi konstitusional. Memang
demokrasi tidak akan sepi dari hiruk pikuk dan pertentangan serta konflik. Namun sejatinya bisa diatasi manakala prinsip-prinsip
demokrasi tersebut diejawantahkan secara konsisten. Kekalahan sistem demokrasi
konstitusional dan munculnya rezim diktator dan otoriter di Indonesia
pasca–Dekrit Presiden 1959 sampai 1998 adalah karena kekuatan anti-demokrasi
diberi kesempatan untuk menjadi dominan.
Jadi, arti penting dari buku ini adalah
sebagai medium memaknai sejarah dengan mencari relevansinya dalam konteks
kekinian dan mengantisipasi serta merencanakan masa depan Indonesia. Dengan
kata lain, buku ini sangat penting untuk dijadikan sebagai rujukan memahami
sejarah Indonesia dan membantu membangun masa depan bangsa. Salut kepada Romo
Baskara T. Wardaya atas kerja yang brilian ini.
Resume
Bab: Pengantar
Akhir 1994,
sejumlah mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat dan Kanada berkumpul di
Universitas Cornell kota Ithaca untuk membahas masalah-masalah aktual terkait
situasi di Indonesia di bawah Orde Baru.
Setahun
berikutnya, para mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat dan Kanada berkumpul di
Universitas Wisconsin kota Madison membahas dari masalah negara hukum hingga
bagaimana memperkuat masyarakat sipil (civil
society) yang kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk sebuah jaringan
komunikasi untuk mengembangkan wawasan terkait sejarah, politik, budaya, dan
berbagai dimensi tentang Indonesia; “Mengembangkan Wawasan”.
Para
mahasiswa tersebut secara bersama-sama menyiapkan bahan dan topik-topik
wawancara, transkrip, dan mensosialisasikan kepada publik yang kemudian
terbitlah buku ini dengan narasumber Sartono Kartodirdjo, Takashi Shiraishi,
Benedict Anderson, George Kahin, Clifford Geertz, Daniel Lev, Goenawan Mohamad,
dan Bill Liddle.
Kepulauan
Nusantara sebelum datangnya kolonial adalah rangkaian kepulauan yang diperintah
dalam sistem feodal dan monarki yang berdiri sendiri-sendiri. Datangnya
kolonial telah membuat perubahan secara revolusioner yang hal tersebut tidak
ditempuh oleh para pedagang manca lainnya.
Menariknya,
setelah berakhirnya sistem kolonial —seiring berakhirnya Perang Dunia Kedua,
para perintis dan pejuang kemerdekaan memutuskan untuk tidak kembali ke sistem
monarki atau feodal. Mereka lebih memilih bentuk republik kesatuan dengan asas
demokrasi dengan beragam dinamikanya dari periode pra-kemerdekaan hingga
periode pertengahan 1990-an.
Bab: 1. Feodalisme, Korupsi, dan Kolusi
(Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo)
Prof. Dr.
Sartono Kartodirdjo. Beliau membalik penulisan sejarah dari berorientasi
Nerlando-sentris ke penulisan yang berorientasi Indonesia-sentris; dari
berorientasi elitis ke berorientasi kerakyatan; dari berorientasi pada
“orang-orang besar” ke berorientasi rakyat kebanyakan.
Menurut Pak
Sartono, para sejarawan direkomendasikan mempelajari “Manifesto Politik” yang
dicanangkan para perintis pergerakan Nasional (para pemuda Indonesia yang
belajar di Belanda) pada 1923 —lima tahun sebelum diumumkannya Sumpah Pemuda
yang ditekankan dalam Manifesto Politik itu adalah “dalam keadaan Indonesia yang terdiri dari pelbagai unsur etnik, tak
adanya persatuan, perjuangan kemerdekaan tidak akan berhasil. Jadi, ini adalah
masalah kesatuan yang nantinya menjadi akar gagasan persatuan dan kesatuan.”
Tiga pokok
yang dicanangkan Manifesto Politik adalah, 1) pemerintahan Indonesia dipimpin
oleh orang-orang Indonesia hasil pilihan rakyat Indonesia sendiri; 2) dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak perlu dibantu oleh orang-orang luar; dan
3) sadar akan perlunya persatuan demi perjuangan bersama.
Pak Sartono
juga menambahkan, “dilihat dari itu maka
Sumpah Pemuda itu hanyalah merupakan amplifikasi saja dari Manifesto Politik.”
Pak Sartono
juga mengingatkan kita, bahwa praktik korupsi di Indonesia itu merupakan bagian
dari praktik feodalisme masa lalu. Bahkan dalam Kongres pertama Budi Utomo di
Yogyakarta dihapuslah segala bentuk perbedaan peserta yang dasarnya adalah
status sosial-politik.
Tentang
korupsi, Pak Sartono berujar, “Dari
sistem feodalisme itu antara lain adalah birokrasinya... yang diteruskan di
Indonesia oleh republik. di oper begiru saja birokrasinya, sehingga timbul
korupsi. Tidak ada pemisahan antara milik publik dan milik pribadi.”
Bab: 2. Digul sebagai Signpost (Dr. Takashi Shiraishi)
Dr.
Shiraishi seorang ahli tentang Indonesia, asli Jepang. Berbincang tentang
bagaimana pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk menjadikan Digul di
Papua sebagai tempat pembuangan orang-orang Indonesia yang memusuhi penjajah
Belanda.
Awalnya
untuk membuang orang-orang muda anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
tahun 1926-1927. Sekitar tahun 1930-an, Digul menjadi tempat pembuangan
orang-orang muda yang dipandang membahayakan kekuasan kolonial di Hindia
Belanda.
Dr.
Shiraishi, “Menurut gubernur provinsi
Maluku, Boven Digul itu ideal sebagai tempat buangan karena 100% terisolasi.
Jaraknya dari muara sungai Digul itu 455 kilometer ke arah hulu ke pedalaman.
Itu sama dengan jarak Jakarta ke Semarang atau dari Amsterdam ke Paris. Tapi
semuanya hutan lebat, rawa-rawa yang banyak nyamuk malaria dan di sungainya
banyak buaya.”
Kondisi
Digul yang begitu mengerikan ternyata tidak menyurutkan semangat para pejuang
untuk mewujudkan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Bab: 3. Revolusi Pemuda (Prof. Dr. Benedict
R. O’G Anderson)
Dr.
Benedict Anderson dari Cornell University, AS. mengajak kita untuk bicara
mengenai 1) pemuda dalam konteks revolusi; 2) seluk-beluk alat-alat perjuangan
yang digunakan oleh para pemuda (partai politik); 3) latar belakang dinamika
tentara; dan 4) istilah “revolusi” itu sendiri.
Menurut Dr.
Benedict, “Pemuda adalah mereka yang
merasa diri siap terjun dalam suatu pergerakan yang maha besar untuk merebut
kemerdekaan.” (hal.50)
Sedangkan
keterlibatan pemuda dalam revolusi, tentu saja tidak lepas dari peran Jepang
yang menjadikan pemuda dengan sedikit noda etika politik Belanda sebagai aset
bela negara. Ratusan ribu pemuda Indonesia dilatih berpolitik secara militer
oleh Jepang.
Sedangkan
alat perjuangan para pemuda, tidak mesti melalui jalur politik seperti yang
ditempuh organisasi pemuda “resmi” dalam Kongres Pemuda. Arek-arek Surabaya bahkan tak peduli dengan itu. Mereka bersatu dan
bergerak dengan satu komando dari Bung Tomo yang hanya mengandalkan radio
sebagai alat perjuangan.
“Tentara dianggap lambang kemerdekaan.”
Anggaran negara bagi tentara saat itu sangat minim, juga ketersediaan senjata.
Oleh karenanya, untuk kecukupan senjata dan logistik, mereka bahkan memeras
rakyat.
Istilah
“revolusi” sendiri muncul sebagai slogan atau semboyan ketika pemerintahan
Sukarno makin tidak bersifat revolusioner.
Dr.
Benedict memberi saran bagi para pemuda masa kini (dengan mengambil pembanding
para pemuda masa kemerdekaan), 1) orang-orang Indonesia sekarang bisa belajar
dari dinamisme; 2) para pemuda tidak mau menerima sistem garis orangtua; 3)
para pemuda mestinya memiliki jiwa nekat; dan 4) jangan terlalu percaya kepada
kelompok orangtua.
Bab: 4. Equitable
Distribution (Dr. George McTurnan Kahin)
Senior Dr.
Benedict di Universitas Cornell ini mengajak kita berbagi pengetahuan tentang
bagaimana elit politik pada dekade 1940-an, 1950-an, dan 1960-an berkiprah
dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dan membangun sebuah republik yang
bagus.
Selain
kokoh dan berkesinambungan, republik yang diperjuangkan para elit politik saat
itu juga sebuah republik yang berhaluan kerakyatan.
“Sebagian besar pemimpin revolusi mendukung bentuk-bentuk
tertentu sosialisme.” —Dr. George Kahin
Menurut Dr.
Kahin, banyak pemimpin Masyumi seperti Natsir, Sjafrudin Prawiranegara, dan
Mohammad Roem yang memandang dirinya sebagai ‘sosialis-relijius”.
Bab: 5. Awas Buaya! (Dr. Clifford Geertz)
Clifford
Geertz adalah seorang antropolog dari Amerika, sekaligus peneliti tentang
Indonesia. Beliau mengingatkan betapa dinamisnya situasi di tingkat masyarakat
di Indonesia pada dekade 1950-an, baik di ranah sosial, ekonomi maupun politik.
Clifford
menekankan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang bersifat majemuk. Setiap
upaya untuk mengurung kemajemukan itu ke dalam kerangka apapun yang ketat
—entah ideologi tinggi seperti yang dilakukan oleh Presiden Soeharto atau
nasionalisme seperti yang dilakukan oleh Presiden Soekarno atau komunisme oleh
Partai Komunis Indonesia atau negara Islam oleh kelompok-kelompok Islam— akan
membawa ke bencana. Alasannya, karena Indonesia terdiri dari begitu banyak
macam orang.
Menurut
Clifford, pelopor Revolusi Kemerdekaan Indonesia adalah kalangan intelektual,
bukan atas nama pemuda.
Maksud dari
istilah “buaya” oleh Clifford adalah masih banyaknya persoalan politik yang ada
di pemerintahan Orde Baru (sebagai warisan Orde Lama) dan belum terpecahkan.
Masih adanya kemajemukan, perpecahan, dan ketegangan sebagai makna dari “buaya”
itu sendiri.
Sebagai
contoh, pemberontakan PRRI menyimpan dua hal yang mengherankan, yakni 1)
penggunaan cara ekstrim oleh pihak pemberontak, sedangkan tuntutan yang mereka
ajukan sama sekali tidak memenuhi syarat sebuah aksi radikal (disintegrasi),
dan 2) reaksi keras Sukarno yang dinilai terlalu berlebihan.
Berbeda
dengan analisis George Kahin yang menekankan peranan Amerika dalam
pemberontakan PRRI, Clifford lebih cenderung menyatakan bahwa pemberontakan
PRRI lebih karena masalah internal.
Clifford
lebih percaya, bahwa orang-orang Indonesia —dan bukan pihak-pihak asing— yang
menentukan sejarah Indonesia. “Mereka
sendirilah yang membuat sejarah,” tegasnya.
Bab: 6. Lembaga, Elite, dan Kontrol (Dr.
Daniel S. Lev)
Lev seorang
alumnus Universitas Cornell dan dosen di Universitas Washington. Beliau
mengajak kita untuk mencermati sejarah Indonesia pada periode 1950-an. Bertolak
dari studinya tentang politik Indonesia antara 1958 dan 1959 ia sempat menyebut
sejumlah syarat penting yang harus dipenuhi untuk bisa membangun sebuah
republik yang kokoh.
Lev sama
sekali tidak tertarik untuk membicarakan terkait demokrasi. Sebab, seringkali
yang dimaksud orang tentang “demokrasi” hanyalah soal pemilihan pemimpin saja.
Ia lebih tertarik untuk memikirkan bagaimana membangun sebuah republik.
Ada enam
pokok gagasan Lev terkait upaya membangun republik: 1) dalam setiap negara
modern, sistem politik demokrasi dalam arti semua orang turut dalam mengambil
keputusan tidak akan mungkin terwujud; 2) sebuah republik adalah suatu lembaga
yang terdiri atas lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga -lembaga masyarakat;
3) meskipun sistem demokrasi dalam suatu negara modern itu tidak mungkin
terwujud, lembaga-lembaga masyarakat demokrasi itu mungkin diwujudkan; 4)
sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap lembaga selalu akan
ada elitenya; 5) dalam sebuah republik yang baik, elite ini harus bisa
dikontrol oleh lembaga-lembaga masyarakat yang demokratis; 6) keberadaan
modal/kapital tidak bisa dielakkan.
Selain
demokrasi dan kuatnya lembaga-lembaga pemerintah serta lembaga-lembaga
masyarakat, syarat penting itu menurutnya juga menyangkut perlunya kontrol atas
kelompok elite politik disertai pengelolaan yang cerdas atas modal/kapital yang
ada.
“Harus diakui,
dari segi politik-sosial-kebudayaan, Indonesia itu merupakan salah satu negara
dan masyarakat yang paling kompleks di seluruh dunia.” —Daniel S. Lev (hal.186)
Menurut
Lev, Republik Indonesia harus dikelola dengan baik dan melibatkan sebanyak
mungkin warga masyarakat.
Tentang
membangun republik di Indonesia periode 1950-an, Lev memandang: 1) sistem
parlementer bisa berhasil jika tidak dihalangi; 2) pentingnya peranan politik,
dan bukan budaya.
Sedangkan
menyikapi petaka 1965, Lev menilai: 1) sistem politik Indonesia waktu Demokrasi
Terpimpin kekurangan kontrol; 2) ketika tentara memainkan peran politik, secara
alamiah akan memakai keahliannya; 3) diperlukan lembaga-lembaga yang dapat
melayani kepentingan masyarakat.
Menurut
Lev, republik yang baik itu sangat tergantung pada adanya tentara yang
betul-betul bisa dikontrol.
“Dalam hidup
bermasyarakat, kita harus selalu memikirkan: apa tujuan negara itu? Siapa yang
bakal mendapat untung dari negara itu? Untuk apa masyarakat berkumpul membuat
negara itu?” —Daniel S. Lev (hal.188)
Bab: 7. Menyalakan Lilin dalam Kegelapan
(Goenawan Mohamad)
Goenawan
Mohamad membahas dinamika perjuangan melawan pemerintahan otoriter Orde Baru di
bawah Presiden Soeharto.
“Pemerintah yang tidak pernah dihadapi oleh
pertanyaan-pertanyaan moral dan tidak biasa bertanggung jawab semakin lama akan
semakin hilang kapasitasnya untuk bisa bersikap persuasif.” (hal.192)
Tentang
fenomena dwi-fungsi ABRI (sekarang TNI) dalam perannya sebagai pertahanan juga
sekaligus mengambil peran pengendali dalam manajemen pemerintahan, Goenawan
menilai ada benang merah historis terhadap terbentuknya Angkatan Darat, yakni
sejak naiknya Jenderal Soedirman yang tak serta merta patuh pada kekuasaan
sipil.
“Bung Karno dan pimpinan sipil itu sudah menyerah waktu
Belanda menyerbu Jogja. Sedangkan kami gerilya. Padahal Bung Karno janji akan
ikut gerilya.” (hal.203)
Goenawan
juga merasa prihatin atas kurangnya kesadaran sejarah di kalangan anak muda.
“Pengalaman dari generasi ke generasi itu tidak
dihubungkan. Karena yang menyimpan memori ini tidak ada, kita pun harus belajar
dari nol lagi. Karena tidak ada institutional
memory itu kita jadi gampang mengulang
lagi kesalahan sejarah.” (hal.191)
Banyak membaca
menjadi anjuran Goenawan untuk memperkuat kesadaran sejarah.
Bab: 8. Militer dan Orde Baru (Dr. R.
William Liddle)
Dr. Liddle
seorang pengajar ilmu politik di Ohio State University. Beliau dalam wawancara
ini menyampaikan pandangan-pandangannya tentang Indonesia pada pertengahan
tahun 1990-an, ketika menurutnya Orde Baru sedang menguat.
Menurutnya,
sejak tahun 1993, Orde Baru mengalami penguatan.
“Soeharto telah berhasil mengontrol kembali ABRI setelah
menggunakan beberapa perwira ABRI 'hijau' untuk mengusir yang 'merah-putih'.” (hal.227)
Menurut Dr.
Liddle, lembaga yang berkuasa di Indonesia adalah ABRI, dan Presiden Soeharto
adalah pemimpinnya.
Bab: 9. The
Making of Southeast Asian Studies: Cornell's Experience (Dr. George
McTurnan Kahin)
Dr. Kahin
berusaha menepis anggapan, bahwa para ilmuwan sosial yang melakukan penelitian
di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) memiliki kaitan dengan dinas
intelijen Amerika Serikat atau perusahaan-perusahaan tertentu yang memiliki
kepentingan di negara-negara tersebut. Bahkan ia sempat ditekan agen intelijen
Amerika Serikat untuk bergabung. Pilihannya untuk tetap pada profesinya dan
menolak, melahirkan tuduhan jika ia sebagai simpatisan komunis.
Bibliografi
Judul buku:
Membangun Republik:
Editor: Baskara
T. Wardaya, SJ
Tebal: xxviii+268
hlm
Genre:
Sejarah Politik
Cetakan: II,
2017
ISBN: 978-602-8174-19-0
Penerbit:
Galangpress, Yogyakarta
0 Komentar