Resensi: Matahari Terbit Bintang Sembilan

Fokus buku ini membandingkan pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang berlambang “matahari terbit” dan Nahdhotul Ulama yang berlambang “bintang sembilan” serta implikasinya terhadap identitas politik Islam.

Sejarah relasi Muhammadiyah dan NU tak selamanya baik. Adakalanya buram. Dan hal itu tidak mudah terhapus oleh catatan sejarah. Yang lebih difokuskan adalah mempertanyakan berbagai problematika dan faktor pemicunya. Sebab keduanya memiliki ciri yang sama; Islam, pedoman pokoknya Al-Quran dan Hadits, berkhidmat untuk umat. Hanya pada mengartikulasikan kepentingan politik, ciri utama sebagai ormas Islam menjadi samar, bahkan cenderung berlawanan.

Dalam hal pemikiran, Muhammadiyah diidentikkan sebagai gerakan modernis yang puritan. Upaya amal usahanya tersebut sudah menyentuh jantung daerah pedesaan. Sedangkan NU memiliki peran dalam proses institusional tradisi intelektualisme Islam tradisional. Hanya saja, di NU mulai bermunculan pemikir-pemikir muda yang pluralistik, yakni lintas mazhab, ideologi, dan agama.

Dalam merespons perubahan pola pikir manusia seiring perkembangan zaman, Muhammadiyah dan NU perlu mengadaptasi melalui pendekatan yang bersifat imani (believer) yang bersifat a priori (bercorak eksklusif, cenderung finalitas, dan sarat truth claim) sekaligus pendekatan historian atau scientific yang bersifat a posteriori (empirik, dialogis, dan toleran).

Pada 1937, dibentuk Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) oleh para ulama modernis dan tradisionalis di bawah pemerintahan Jepang. Akhir 1943, pemerintah Jepang membubarkan MIAI dan mendirikan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Setelah Jepang kalah dan Indonesia mengikrarkan proklamasi, Masyumi mendirikan partai Masyumi. 1947 PSII keluar dari Masyumi, 1952 NU keluar dari Masyumi.

Khusus dunia politik, Orde Baru tidak henti-hentinya mengeluarkan kebijakan yang cenderung mengecilkan peran partai politik (repolitisasi), termasuk memfusi partai politik berdasarkan identitas; golongan nasionalis, golongan spiritual, dan Golongan Karya. Medio 1982, Presiden Soeharto menetapkan dasar ideologi (termasuk organisasi kemasyarakatan) satu-satunya adalah Pancasila.

1984, NU memutuskan keluar dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan “kembali ke khiththoh 1926”. Menurut Grey Barton, keluarnya NU dari PPP karena aktivitas partai politik atas nama Islam adalah kontra produktif bagi umat, dan dapat membangkitkan sektarian yang tidak sehat.

Sarekat Islam (SI) berdiri di Solo pada 11 November 1912. Keberadaannya membangkitkan semangat nasionalisme tokoh-tokoh bangsa Indonesia.

“Semangat nasionalisme bangsa Indonesia semula masih tidur nyenyak. Maka dengan berdirinya Sarekat Islam (SI) dengan tokoh HOS Tjokroaminoto (1883-1934 M), jiwa nasionalisme di Nusantara mulai berkobar.” —Stoddart

Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Diberi nama Muhammadiyah karena gerakan ini diharapkan selalu meneladani segala jejak perjuangan dan pengabdian Nabi Muhammad SAW.

Menurut M. Amien Rais, ada dua alasan misi KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah; pertama, ingin melepaskan umat Islam dari Kungkungan khurofat, takhayul, dan bid’ah. Kedua, untuk memajukan pendidikan umat Islam dengan penggalian ilmu-ilmu dari Barat sebagai jalan kebahagiaan di dunia, di samping kebahagiaan di akhirat.

1924 tokoh Islam dari kalangan modernis dibentuk Central Committee Chilafat (CCC) berpusat di Surabaya untuk merespons keruntuhan khilafah Islam di Turki.

1926 duta CCC menghadap ke Mu’tamar Alam Islami di Hijaz. Organisasi ini pun diterima menjadi anggota sekaligus cabang MAI yang berkedudukan di Surabaya.

Di tahun yang sama (1926), para ulama dari kalangan tradisional membentuk organisasi “Komite Hijaz”. Komite Hijaz segera melahirkan organisasi Nahdhotul Ulama pada 31 Januari 1926. Sayangnya, NU gagal hadir ke Hijaz.

Perbedaan penting antara Muhammadiyah dan NU terletak pada pola yang dilakukan dalam pembinaan umat. NU lebih cenderung tetap memegang nilai-nilai tradisional, sedangkan Muhammadiyah cenderung puritan.

Dalam hal pendidikan, NU relatif enggan mengadopsi model pendidikan kolonial Belanda, sedangkan Muhammadiyah mengadopsi hampir seluruh model pendidikan kolonial Belanda dengan menggunakan kurikulum Islami.

Secara sosiologis, profil massa Muhammadiyah terdiri dari kaum bazzar (pedagang dan pengusaha di perkotaan) dan priyayi. Sedangkan profil massa NU sejak mula lebih banyak memiliki massa di daerah frontier.

Intervensi kolonial Belanda dalam hukum Islam, membuat dua organisasi Islam ini makin bersatu. Dan terbentuklah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 18-21 September 1973 di Surabaya yang diprakarsai NU, Muhammadiyah, dan Sarekat Islam. Di mana misi MIAI, yakni mempersatukan, mendamaikan, memperkokoh, dan menyelamatkan Islam dan masyarakat.

Salah satu hasil Kongres MIAI III di Solo adalah penandatanganan kerjasama dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Kemudian ditindaklanjuti dengan Kongres Rakyat Indonesia di Batavia akhir 1939 yang menuntut Indonesia berparlemen.

Setelah Jepang mengalahkan Belanda pada Maret 1942, Jepang berusaha membubarkan organisasi Islam dan juga MIAI. Jepang berusaha merayu umat Islam Indonesia dengan membentuk Badan Persatuan Umat Islam (BPUI) dan Persatuan Alim Ulama (PAU). Meski begitu, Muhammadiyah dan NU menolak bergabung. Jepang berusaha menghidupkan MIAI versi Jepang. Tetapi mendapat kritik tajam dari Muhammadiyah dan NU yang akhirnya MIAI versi Jepang ini dibubarkan untuk kemudian Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada Oktober 1943. November-nya, dibentuk Partai Masyumi yang tidak ada hubungan dengan organisasi Masyumi bentukan Jepang.

Selanjutnya, Jepang membentuk Peta (Pasukan Pembela Tanah Air) dan Masyumi membentuk organisasi kepemudaan Hizbulloh yang dilatih secara militer.

Dalam Muktamar Partai Masyumi tahun 1949, tokoh Muhammadiyah mulai sedikit yang mengisi struktur. 1952, NU keluar dari Partai Masyumi dan mendirikan Partai NU. Pada 1958, sebagian pengurus Partai Masyumi terlibat pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Dan pemerintah membubarkan Partai Masyumi tahun 1960.

Di awal Orde Baru, Muhammadiyah bergabung dalam Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), dan pada 1971 memutuskan keluar dari Parmusi.

Atas pertimbangan pembangunan ekonomi yang membutuhkan stabilitas, pasca Pemilu 1971 pemerintah Orde Baru merampingkan partai politik sesuai identifikasinya. Muhammadiyah dan NU tergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan yang deklarasi 5 Januari 1973 dengan asas tunggal; Pancasila.

Pasca gerakan Reformasi 1998, Muhammadiyah dan NU memilih keluar dari PPP dan masing-masing mengambil ijtihadnya sendiri-sendiri. Muhammadiyah menjadi massa dominan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) yang deklarasi 23 Agustus 1998. Dan NU membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998.

Misi perjuangan Muhammadiyah dalam memerangi apa yang disebut bidah berlangsung sejak awal berdirinya. Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum dasar tertinggi ialah Al-Quran. Sementara Sunnah Rosul (Hadits) berfungsi sebagai penjelas terhadap sumber hukum tertinggi. Akal atau ar-royu digunakan untuk mengungkap kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah.

Sedangkan metode qiyas, Muhammadiyah menetapkan beberapa syarat, (1) mengenai masalah yang sudah terjadi, (2) diperlukan untuk pedoman amal, (3) tidak tergolong pada ibadah mahdhoh.

NU merupakan organisasi keagamaan yang berkomitmen mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama’ah juga berpegang teguh pada mazhab. Jika ada masalah di luar jangkauan mazhab, maka dilakukan talfiq (mengambil atau mengikuti suatu hukum tentang suatu peristiwa dengan mengambilnya dari berbagai madzhab). Sedangkan jika menemui problem kemasyarakatan, NU mengutamakan rujukan kitab-kitab ulama terdahulu yang lazim disebut Al-Kutub Al-Mu’tabaroh (kitab-kitab yang populer).

Menurut KH. Ahmad Shiddiq, sejak berdiri hingga sekarang, NU hanya mengenal dua istilah dalam memutuskan masalah, yakni ijtihad (atas peristiwa yang pernah terjadi) dan taqlid.

Sedangkan dalam memutuskan ijtihad politik, NU memiliki prinsip mendahulukan menghindari kerusakan daripada melaksanakan kebaikan, memilih risiko terkecil dari pilihan dua mafsadat (kerusakan), menjadikan wajib apa yang dengannya suatu urusan tak selesai, tetap ambil manfaat meski sedikit, tetap menjaga tradisi lama jika itu baik, dan dalam kondisi darurat diperbolehkan dilakukan.

Mitsuo Nakamura menyebut, bahwa NU merupakan tradisional radikal, yakni radikal dalam organisasi, situasionalisme dalam politik, dan tradisionalisme dalam agama.

1939 terdapat dua kubu dalam tubuh NU, yakni kubu ulama terdidik yang pernah mengenyam pendidikan di Makkah dan ulama tradisional (Bousquet).

Pan-islamisme memiliki tokoh yang dicatat sejarah, yakni Ibnu Taimiyah yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghoni, Muhammad Abduh, Muhammad Rosyid Ridho, dan lainnya. Di mana konsep pemikiran Ibnu Taimiyah pada intinya mengajak memahami nilai-nilai ajaran Islam secara benar, yakni kembali kepada ajaran-ajaran Islam sejati dan melakukan ijtihad dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama.

Muhammad bin Abdul Wahhab cenderung pada pemberantasan bid’ah dan khurofat. Jamaluddin Al-Afghoni cenderung pada perjuangan melalui bidang politik dengan tujuan menangkal penetrasi bangsa Eropa. Muhammad Abduh dan muridnya; Muhammad Rosyid Ridho; berupaya memerangi kestatisan, syirik, bid’ah, khurofat, taqlid, dan mengumandangkan terbukanya pintu ijtihad. Gerakan Muhammad bin Abdul Wahab mendapat dukungan kuat dari penguasa Hijaz, sedangkan Jamaludin Al-Afghoni tidak didukung oleh penguasa pemerintahan Islam. Demikian pula Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho.

KH. Ahmad Dahlan pun menyerap pemikiran dari tokoh-tokoh modernis di atas. Dan keterlibatan KH. Ahmad Dahlan dalam Boedi Oetomo dan Jamiat Khoir menginspirasi berdirinya Muhammadiyah. Di mana tahap awalnya adalah memodernisasi pendidikan (Islam), dakwah, penerbitan media, dan mendirikan organisasi kepanduan Hizbul Wathon.

Problem awal yang mendasari lahirnya pemikiran politik keagamaan di lingkungan ahli fikih Islam adalah runtuhnya kekholifahan Abbasiyah. Ketika ahli fikih dihadapkan pada dua pilihan, antara menegakkan kekuasaan mutlak kholifah (boneka) atau menyesuaikan diri dengan penguasa baru.

Teori politik kaum Sunni —menurut Fauzi M. Najjar— ada dua faktor, yakni yang bersifat sosiologis dan yang bercorak apologetis.

Pandangan Jamaluddin Al-Afghani dan muridnya; Muhammad Abduh tentang bentuk negara, sama. Mereka cenderung memilih bentuk republik sebagai bentuk ideal bernegara dengan demokrasi sebagai sistemnya. Sedangkan murid Abduh; Muhammad Rosyid Ridho; malah sepakat dengan bentuk pemerintahan kholifah, di mana pemilihan Kholifah harus melalui lembaga ahlul halli wal ‘aqd.

Paradigma hubungan agama dengan negara dalam tradisi pemikiran politik Islam ada tiga, yakni bersifat integral, bersifat separatis/sekularistik, dan paradigma simbiosis/mutualisme.

Seteru tokoh Islam dalam perjuangan Indonesia dengan Soekarno makin definitif. Agus Salim menilai, bahwa pandangan Soekarno telah mengangkat nasionalisme sederajat dengan agama. Ahmad Hasan (Persatuan Islam) mengkritik nasionalisme ala Soekarno berwatak chauvanistik yang mengarah pada kesukuan (ashobiyah). Mohammad Natsir menilai, bahwa paham nasionalisme Soekarno dapat menjadi bentuk ashobiyah baru yang dapat memutuskan tali ukhuwah umat Islam dari berbagai bangsa. Soekarno sendiri dengan terang-terangan menentang setiap pandangan mengenai legal-formal antara Islam dengan negara. Tapi ia setuju dengan hubungan substansialistik antara Islam dan negara, bukan formalisme Islam.

Sedangkan Muhammadiyah dan NU berpihak pada formalisme Islam sebagai dasar negara. Bahkan Muhammadiyah dalam Muktamar ke-32 tahun 1953 menyusun konsepsi negara Islam.

Meski NU dalam Muktamar ke-15 tahun 1940 menyetujui Ir. Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia, bukan berarti NU menyetujui gagasan Soekarno tentang pemisahan agama dan negara sebagaimana rintisan Kemal Attaturk di Turki.

Berkaitan dengan bentuk pemerintahan, bagi NU tidak terlalu penting. Dengan pertimbangan prinsip-prinsip syuro/demokrasi dapat dipatuhi dan dilaksanakan, NU memilih bentuk pemerintahan Republik.

Jepang bersiap memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 28 Mei 1945. Unsur nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam (Muhammadiyah, NU, PSII, PUI) menjadi panitia tersebut. Seteru terjadi antara kubu sekuler dengan Islam saat membahas filosofi dan dasar negara.

Ki Bagus Hadikusumo mengajukan 3 (tiga) alasan utama saat memperjuangkan Islam sebagai dasar negara: alasan faktual, faktor historis, dan faktor ideologis.

Meski pasal krusial (Piagam Jakarta, pasal 4 ayat 2 tentang Presiden harus beragama Islam, dan pasal 29 tentang agama negara adalah Islam) dapat diredam dengan redaksi yang sekarang kita temui. Menurut Mohammad Hatta, Soekarno menilai undang-undang tersebut dipandang sementara karena dibuat secara cepat kilat; revolutiegrondwet. Artinya, ada peluang untuk diperbaiki.

Reaksi kubu nasionalis-Islam tersebut membuat Deliar Noer prihatin, karena ada pihak yang membuat framing, bahwa seolah-olah hal-hal yang berbau Islam bertentangan dengan aspirasi nasional.

Pada tahap konstituante (1956-1959), ada seteru lebih runcing antara kubu Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, kubu nasionalis tegas dengan Pancasila, dan kubu sosialis menolak Pancasila karena ambiguitas wakil-wakil Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan negara boneka Belanda; RIS. Akhirnya, Presiden Soekarno menerbitkan dekrit untuk Indonesia membubarkan konstituante dan kembali kepada UUD 1945.

Beralih ke masa Demokrasi Terpimpin, NU menyikapi biasa-biasa saja sebagai bentuk alih-kendali. Tetapi Muhammadiyah menjadi oposan bagi Demokrasi Terpimpin, meski pada waktu berikutnya mulai berhitung setelah Partai Masyumi dibubarkan pemerintahan Soekarno.

Kelahiran Orde Baru tak lepas dari peran kunci NU dan Muhammadiyah. GP Ansor terlibat aktif dengan ABRI dalam penangkap dan membasmi PKI. Muhammadiyah bersama ABRI membentuk Kokam (Komando Keamanan Muhammadiyah). Bahkan seruan Pimpinan Pusat Muhammadiyah; KH. Ahmad Badawi; bahwa menyirnakan Gestapu/PKI merupakan ibadah.

Organisasi-organisasi anti-Gestapu membentuk KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu) dan mendesak pemerintah membubarkan PKI. Salah satunya tertuang dalam Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Presiden Soekarno makin kehilangan kepercayaan rakyat ketika mengabaikan tuntutan rakyat tersebut. Hingga lahirlah Supersemar (Surat Perintah Sebelah Maret) yang merupakan penyerahan mandat dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk membubarkan PKI.

Setelah PKI dibubarkan, MPRS memutuskan untuk memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden untuk kemudian diserahkan kepada Jenderal Soeharto pada Maret 1968.

Keputusan MPRS yang menetapkan Soeharto sebagai Presiden definitif ternyata menimbulkan pro-kontra. Di tubuh NU, Sjaichu sepakat terhadap pengukuhan. Tetapi Subhan ZE tidak sepakat dengan alasan penetapan tersebut harus melalui Pemilihan Umum. Dan ia menuntut adanya pembatasan kekuasaan istimewa Presiden. Hal ini membuat hubungan Soeharto dengan NU tidak harmonis. Oleh karenanya, sejak 1971, jabatan Menteri Agama tidak diberikan kepada NU.

Konflik berlanjut ketika pemerintah mengajukan RUU Pemilu ke DPR-GR (Gotong Royong) yang menegaskan partai politik dan organisasi sosial harus berasas ideologi nasional Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Yang jika berbeda dengan ideologi Pancasila, berhak dibubarkan. Pemerintah pun bermaksud menghidupkan kembali Penetapan Presiden 2/1959 tentang larangan pejabat tinggi menjadi anggota partai. Kalangan NU risau, sebab banyak aktivis politik NU berpredikat pegawai negeri.

Lambat-laun, NU semakin meninggikan nada nyaring terhadap pemerintah.

Upaya Muhammadiyah untuk merehabilitasi Masyumi ternyata sia-sia. Pemerintah melalui ABRI pada 21 Desember 1966 menyatakan, baik Masyumi maupun PKI telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Namun begitu, pemerintah mengizinkan kepada kelompok umat Islam untuk membuat partai baru. Dan lahirlah Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang tidak boleh dipimpin oleh orang-orang eks-Masyumi.

Dalam perjalanannya, Parmusi diintervensi pemerintah. Karena hasil Muktamar I Parmusi di Malang menetapkan Mohammad Roem sebagai Ketua Parmusi. Roem adalah eks-Masyumi.

Melalui UU no.3 tahun 1975, partai politik berafiliasi Islam diharuskan berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal ini menjadi strategi sistematis Orde Baru untuk desimbolisasi Islam.

Meski NU menjadi penyumbang massa paling banyak dalam PPP, bukan otomatis tokoh NU menjadi dominan. Hal ini seperti mengulang ketika NU berada dalam barisan Masyumi. Begitu juga yang dialami Muhammadiyah dalam tubuh PPP.

Meski dalam tubuh PPP terjadi seteru pihak-pihak yang ingin mendominasi, pemerintah menilai kekritisan PPP mengancam eksistensi pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah mengesahkan UU no.3 tahun 1985 yang menetapkan partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Keputusan pemerintah tersebut didorong oleh adanya peristiwa bentrok fisik massa PPP dengan Golkar terkait kampanye Pemilu dan juga asas partai, dan juga pemaksaan pemerintah untuk menjadikan Pancasila sebagai asas ormas. Pemerintah pun mengambil kesimpulan, bahwa agama merupakan sumber konflik.

Reaksi Muhammadiyah dan NU terhadap diberlakukannya asas tunggal Pancasila sangat berhati-hati. Sebab jika mengacu pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1983, asas tunggal hanya berlaku untuk partai politik dan Golongan Karya (Golkar).

Untuk meredam gejolak dari organisasi kemasyarakatan atas paksaan asas tunggal, Presiden Soeharto turun tangan memberikan penjelasan, bahwa Pancasila tidak akan menggantikan agama, Pancasila tidak akan menjadi agama, dan Pancasila tidak disejajarkan dengan agama.

Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta memutuskan, bahwa Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

NU —pihak yang sering beroposisi— segera mengkaji maksud pemerintah sebenarnya di balik penetapan asas tunggal. Hingga muncul pernyataan dari KH. As’ad Syamsul Arifin; ulama kharismatik Madura; bahwa mengamalkan Pancasila merupakan kewajiban bagi semua umat. Beliau juga mengkonfirmasi kepada Presiden Soeharto terkait keidentikan sila pertama Pancasila dengan pengakuan tauhid yang dibalas Presiden dengan anggukan.

Ada tiga konsep yang mendasari pemikiran NU menerima Pancasila sebagai asas, yakni konsep fitrah, konsep ketuhanan, dan pemahaman sejarah.

Problem mendasar dari perbedaan NU dan Muhammadiyah terletak pada pemahaman dan pengejawantahannya terhadap doktrin ahlus sunnah wal jama’ah. Muhammadiyah cukup komitmen dengan doktrin Sunni, khususnya dari aspek teologis (kalam). Corak kalam Muhammadiyah sangat dekat dengan doktrin Asy’ariyah, meskipun pada aspek purifikasi banyak terinspirasi dari Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah. Sementara gerakan modernisasinya banyak mengadopsi dari Jamaluddin Al-Afghoni, Muhammad Abduh, dan Rosyid Ridho.

NU sejak berdirinya telah menegaskan diri sebagai penganut paham ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja). Menurut KH. Bisri Musthofa, ajaran aswaja yang dikembangkan NU berporos pada tiga ajaran pokok, yakni dalam bidang aqidah menganut ajaran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, bidang fikih mengikuti salah satu imam mazhab, dan dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Ghozali dan Iman Abu Qosim Al-Junaid.

Meskipun terdapat beberapa unsur perbedaan antara Muhammadiyah dan NU —terutama argumen teologis, tradisi, dan praktik keagamaan tertentu, namun keduanya merupakan representasi Islam di Indonesia yang cukup menonjol.

 

Bibliografi

Judul: Matahari Terbit Bintang Sembilan

Penulis: Dr. H. Suyitno, M.Ag

Tebal: xvi+352 hlm.

Genre: Gerakan Islam

Cetakan: I, Mei 2009

ISBN: 978-979-1104-24-1

Penerbit: Gema Media, Yogyakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar