Fokus
buku ini membandingkan pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang berlambang
“matahari terbit” dan Nahdhotul Ulama yang berlambang “bintang sembilan” serta
implikasinya terhadap identitas politik Islam.
Sejarah
relasi Muhammadiyah dan NU tak selamanya baik. Adakalanya buram. Dan hal itu
tidak mudah terhapus oleh catatan sejarah. Yang lebih difokuskan adalah
mempertanyakan berbagai problematika dan faktor pemicunya. Sebab keduanya
memiliki ciri yang sama; Islam, pedoman pokoknya Al-Quran dan Hadits,
berkhidmat untuk umat. Hanya pada mengartikulasikan kepentingan politik, ciri
utama sebagai ormas Islam menjadi samar, bahkan cenderung berlawanan.
Dalam
hal pemikiran, Muhammadiyah diidentikkan sebagai gerakan modernis yang puritan.
Upaya amal usahanya tersebut sudah menyentuh jantung daerah pedesaan. Sedangkan
NU memiliki peran dalam proses institusional tradisi intelektualisme Islam
tradisional. Hanya saja, di NU mulai bermunculan pemikir-pemikir muda yang
pluralistik, yakni lintas mazhab, ideologi, dan agama.
Dalam
merespons perubahan pola pikir manusia seiring perkembangan zaman, Muhammadiyah
dan NU perlu mengadaptasi melalui pendekatan yang bersifat imani (believer) yang bersifat a priori (bercorak eksklusif, cenderung
finalitas, dan sarat truth claim)
sekaligus pendekatan historian atau scientific yang bersifat a posteriori (empirik, dialogis, dan
toleran).
Pada
1937, dibentuk Majelis Islam A’laa
Indonesia (MIAI) oleh para ulama modernis dan tradisionalis di bawah
pemerintahan Jepang. Akhir 1943, pemerintah Jepang membubarkan MIAI dan
mendirikan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Setelah Jepang kalah dan
Indonesia mengikrarkan proklamasi, Masyumi mendirikan partai Masyumi. 1947 PSII
keluar dari Masyumi, 1952 NU keluar dari Masyumi.
Khusus
dunia politik, Orde Baru tidak henti-hentinya mengeluarkan kebijakan yang
cenderung mengecilkan peran partai politik (repolitisasi), termasuk memfusi
partai politik berdasarkan identitas; golongan nasionalis, golongan spiritual,
dan Golongan Karya. Medio 1982, Presiden Soeharto menetapkan dasar ideologi
(termasuk organisasi kemasyarakatan) satu-satunya adalah Pancasila.
1984,
NU memutuskan keluar dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan “kembali ke khiththoh 1926”. Menurut Grey Barton,
keluarnya NU dari PPP karena aktivitas partai politik atas nama Islam adalah
kontra produktif bagi umat, dan dapat membangkitkan sektarian yang tidak sehat.
Sarekat
Islam (SI) berdiri di Solo pada 11 November 1912. Keberadaannya membangkitkan
semangat nasionalisme tokoh-tokoh bangsa Indonesia.
“Semangat nasionalisme bangsa Indonesia semula masih tidur nyenyak. Maka dengan berdirinya Sarekat Islam (SI) dengan tokoh HOS Tjokroaminoto (1883-1934 M), jiwa nasionalisme di Nusantara mulai berkobar.” —Stoddart
Muhammadiyah
didirikan pada 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Diberi
nama Muhammadiyah karena gerakan ini diharapkan selalu meneladani segala jejak
perjuangan dan pengabdian Nabi Muhammad SAW.
Menurut
M. Amien Rais, ada dua alasan misi KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah; pertama, ingin melepaskan umat Islam
dari Kungkungan khurofat, takhayul, dan bid’ah. Kedua, untuk memajukan pendidikan umat Islam dengan penggalian
ilmu-ilmu dari Barat sebagai jalan kebahagiaan di dunia, di samping kebahagiaan
di akhirat.
1924
tokoh Islam dari kalangan modernis dibentuk Central
Committee Chilafat (CCC) berpusat di Surabaya untuk merespons keruntuhan
khilafah Islam di Turki.
1926
duta CCC menghadap ke Mu’tamar Alam
Islami di Hijaz. Organisasi ini pun diterima menjadi anggota sekaligus
cabang MAI yang berkedudukan di Surabaya.
Di
tahun yang sama (1926), para ulama dari kalangan tradisional membentuk
organisasi “Komite Hijaz”. Komite Hijaz segera melahirkan organisasi Nahdhotul
Ulama pada 31 Januari 1926. Sayangnya, NU gagal hadir ke Hijaz.
Perbedaan
penting antara Muhammadiyah dan NU terletak pada pola yang dilakukan dalam
pembinaan umat. NU lebih cenderung tetap memegang nilai-nilai tradisional,
sedangkan Muhammadiyah cenderung puritan.
Dalam
hal pendidikan, NU relatif enggan mengadopsi model pendidikan kolonial Belanda,
sedangkan Muhammadiyah mengadopsi hampir seluruh model pendidikan kolonial
Belanda dengan menggunakan kurikulum Islami.
Secara
sosiologis, profil massa Muhammadiyah terdiri dari kaum bazzar (pedagang dan
pengusaha di perkotaan) dan priyayi. Sedangkan profil massa NU sejak mula lebih
banyak memiliki massa di daerah frontier.
Intervensi
kolonial Belanda dalam hukum Islam, membuat dua organisasi Islam ini makin
bersatu. Dan terbentuklah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 18-21
September 1973 di Surabaya yang diprakarsai NU, Muhammadiyah, dan Sarekat
Islam. Di mana misi MIAI, yakni mempersatukan, mendamaikan, memperkokoh, dan
menyelamatkan Islam dan masyarakat.
Salah
satu hasil Kongres MIAI III di Solo adalah penandatanganan kerjasama dengan
GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Kemudian ditindaklanjuti dengan Kongres
Rakyat Indonesia di Batavia akhir 1939 yang menuntut Indonesia berparlemen.
Setelah
Jepang mengalahkan Belanda pada Maret 1942, Jepang berusaha membubarkan
organisasi Islam dan juga MIAI. Jepang berusaha merayu umat Islam Indonesia
dengan membentuk Badan Persatuan Umat Islam (BPUI) dan Persatuan Alim Ulama
(PAU). Meski begitu, Muhammadiyah dan NU menolak bergabung. Jepang berusaha
menghidupkan MIAI versi Jepang. Tetapi mendapat kritik tajam dari Muhammadiyah
dan NU yang akhirnya MIAI versi Jepang ini dibubarkan untuk kemudian Jepang
membentuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada Oktober 1943.
November-nya, dibentuk Partai Masyumi yang tidak ada hubungan dengan organisasi
Masyumi bentukan Jepang.
Selanjutnya,
Jepang membentuk Peta (Pasukan Pembela Tanah Air) dan Masyumi membentuk
organisasi kepemudaan Hizbulloh yang dilatih secara militer.
Dalam
Muktamar Partai Masyumi tahun 1949, tokoh Muhammadiyah mulai sedikit yang
mengisi struktur. 1952, NU keluar dari Partai Masyumi dan mendirikan Partai NU.
Pada 1958, sebagian pengurus Partai Masyumi terlibat pembentukan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Dan pemerintah
membubarkan Partai Masyumi tahun 1960.
Di
awal Orde Baru, Muhammadiyah bergabung dalam Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia), dan pada 1971 memutuskan keluar dari Parmusi.
Atas
pertimbangan pembangunan ekonomi yang membutuhkan stabilitas, pasca Pemilu 1971
pemerintah Orde Baru merampingkan partai politik sesuai identifikasinya.
Muhammadiyah dan NU tergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan yang deklarasi
5 Januari 1973 dengan asas tunggal; Pancasila.
Pasca
gerakan Reformasi 1998, Muhammadiyah dan NU memilih keluar dari PPP dan
masing-masing mengambil ijtihadnya sendiri-sendiri. Muhammadiyah menjadi massa
dominan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) yang deklarasi 23 Agustus 1998.
Dan NU membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998.
Misi
perjuangan Muhammadiyah dalam memerangi apa yang disebut bid’ah
berlangsung sejak awal berdirinya. Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum dasar
tertinggi ialah Al-Quran. Sementara Sunnah Rosul (Hadits) berfungsi sebagai
penjelas terhadap sumber hukum tertinggi. Akal atau ar-ro’yu digunakan untuk
mengungkap kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah.
Sedangkan
metode qiyas, Muhammadiyah menetapkan
beberapa syarat, (1) mengenai masalah yang sudah terjadi, (2) diperlukan untuk
pedoman amal, (3) tidak tergolong pada ibadah mahdhoh.
NU
merupakan organisasi keagamaan yang berkomitmen mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama’ah juga berpegang
teguh pada mazhab. Jika ada masalah di luar jangkauan mazhab, maka dilakukan talfiq (mengambil atau mengikuti suatu
hukum tentang suatu peristiwa dengan mengambilnya dari berbagai madzhab). Sedangkan
jika menemui problem kemasyarakatan, NU mengutamakan rujukan kitab-kitab ulama
terdahulu yang lazim disebut Al-Kutub
Al-Mu’tabaroh (kitab-kitab yang populer).
Menurut
KH. Ahmad Shiddiq, sejak berdiri hingga sekarang, NU hanya mengenal dua istilah
dalam memutuskan masalah, yakni ijtihad
(atas peristiwa yang pernah terjadi) dan taqlid.
Sedangkan
dalam memutuskan ijtihad politik, NU memiliki prinsip mendahulukan menghindari
kerusakan daripada melaksanakan kebaikan, memilih risiko terkecil dari pilihan
dua mafsadat (kerusakan), menjadikan
wajib apa yang dengannya suatu urusan tak selesai, tetap ambil manfaat meski
sedikit, tetap menjaga tradisi lama jika itu baik, dan dalam kondisi darurat
diperbolehkan dilakukan.
Mitsuo
Nakamura menyebut, bahwa NU merupakan tradisional radikal, yakni radikal dalam
organisasi, situasionalisme dalam politik, dan tradisionalisme dalam agama.
1939
terdapat dua kubu dalam tubuh NU, yakni kubu ulama terdidik yang pernah
mengenyam pendidikan di Makkah dan ulama tradisional (Bousquet).
Pan-islamisme
memiliki tokoh yang dicatat sejarah, yakni Ibnu Taimiyah yang kemudian
dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghoni, Muhammad
Abduh, Muhammad Rosyid Ridho, dan lainnya. Di mana konsep pemikiran Ibnu Taimiyah
pada intinya mengajak memahami nilai-nilai ajaran Islam secara benar, yakni
kembali kepada ajaran-ajaran Islam sejati dan melakukan ijtihad dalam
menafsirkan doktrin-doktrin agama.
Muhammad
bin Abdul Wahhab cenderung pada pemberantasan bid’ah dan khurofat. Jamaluddin
Al-Afghoni cenderung pada perjuangan melalui bidang politik dengan tujuan
menangkal penetrasi bangsa Eropa. Muhammad Abduh dan muridnya; Muhammad Rosyid
Ridho; berupaya memerangi kestatisan, syirik, bid’ah, khurofat, taqlid, dan
mengumandangkan terbukanya pintu ijtihad. Gerakan Muhammad bin Abdul Wahab
mendapat dukungan kuat dari penguasa Hijaz, sedangkan Jamaludin Al-Afghoni
tidak didukung oleh penguasa pemerintahan Islam. Demikian pula Muhammad Abduh
dan Rosyid Ridho.
KH.
Ahmad Dahlan pun menyerap pemikiran dari tokoh-tokoh modernis di atas. Dan
keterlibatan KH. Ahmad Dahlan dalam Boedi Oetomo dan Jamiat Khoir menginspirasi
berdirinya Muhammadiyah. Di mana tahap awalnya adalah memodernisasi pendidikan
(Islam), dakwah, penerbitan media, dan mendirikan organisasi kepanduan Hizbul
Wathon.
Problem
awal yang mendasari lahirnya pemikiran politik keagamaan di lingkungan ahli
fikih Islam adalah runtuhnya kekholifahan Abbasiyah. Ketika ahli fikih
dihadapkan pada dua pilihan, antara menegakkan kekuasaan mutlak kholifah
(boneka) atau menyesuaikan diri dengan penguasa baru.
Teori
politik kaum Sunni —menurut Fauzi M. Najjar— ada dua faktor, yakni yang
bersifat sosiologis dan yang bercorak apologetis.
Pandangan
Jamaluddin Al-Afghani dan muridnya; Muhammad Abduh tentang bentuk negara, sama.
Mereka cenderung memilih bentuk republik sebagai bentuk ideal bernegara dengan
demokrasi sebagai sistemnya. Sedangkan murid Abduh; Muhammad Rosyid Ridho;
malah sepakat dengan bentuk pemerintahan kholifah, di mana pemilihan Kholifah
harus melalui lembaga ahlul halli wal
‘aqd.
Paradigma
hubungan agama dengan negara dalam tradisi pemikiran politik Islam ada tiga,
yakni bersifat integral, bersifat separatis/sekularistik, dan paradigma
simbiosis/mutualisme.
Seteru
tokoh Islam dalam perjuangan Indonesia dengan Soekarno makin definitif. Agus
Salim menilai, bahwa pandangan Soekarno telah mengangkat nasionalisme sederajat
dengan agama. Ahmad Hasan (Persatuan Islam) mengkritik nasionalisme ala
Soekarno berwatak chauvanistik yang mengarah pada kesukuan (ashobiyah). Mohammad Natsir menilai,
bahwa paham nasionalisme Soekarno dapat menjadi bentuk ashobiyah baru yang dapat memutuskan tali ukhuwah umat Islam dari
berbagai bangsa. Soekarno sendiri dengan terang-terangan menentang setiap
pandangan mengenai legal-formal antara Islam dengan negara. Tapi ia setuju
dengan hubungan substansialistik antara Islam dan negara, bukan formalisme
Islam.
Sedangkan
Muhammadiyah dan NU berpihak pada formalisme Islam sebagai dasar negara. Bahkan
Muhammadiyah dalam Muktamar ke-32 tahun 1953 menyusun konsepsi negara Islam.
Meski
NU dalam Muktamar ke-15 tahun 1940 menyetujui Ir. Soekarno sebagai presiden
pertama Republik Indonesia, bukan berarti NU menyetujui gagasan Soekarno
tentang pemisahan agama dan negara sebagaimana rintisan Kemal Attaturk di
Turki.
Berkaitan
dengan bentuk pemerintahan, bagi NU tidak terlalu penting. Dengan pertimbangan
prinsip-prinsip syuro/demokrasi dapat dipatuhi dan dilaksanakan, NU memilih
bentuk pemerintahan Republik.
Jepang
bersiap memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Dibentuklah BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 28 Mei 1945. Unsur
nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam (Muhammadiyah, NU, PSII, PUI) menjadi
panitia tersebut. Seteru terjadi antara kubu sekuler dengan Islam saat membahas
filosofi dan dasar negara.
Ki
Bagus Hadikusumo mengajukan 3 (tiga) alasan utama saat memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara: alasan faktual, faktor historis, dan faktor ideologis.
Meski
pasal krusial (Piagam Jakarta, pasal 4 ayat 2 tentang Presiden harus beragama
Islam, dan pasal 29 tentang agama negara adalah Islam) dapat diredam dengan
redaksi yang sekarang kita temui. Menurut Mohammad Hatta, Soekarno menilai
undang-undang tersebut dipandang sementara karena dibuat secara cepat kilat; revolutiegrondwet. Artinya, ada peluang
untuk diperbaiki.
Reaksi
kubu nasionalis-Islam tersebut membuat Deliar Noer prihatin, karena ada pihak
yang membuat framing, bahwa
seolah-olah hal-hal yang berbau Islam bertentangan dengan aspirasi nasional.
Pada
tahap konstituante (1956-1959), ada seteru lebih runcing antara kubu Islam yang
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, kubu nasionalis tegas dengan Pancasila,
dan kubu sosialis menolak Pancasila karena ambiguitas wakil-wakil Indonesia
dalam Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan negara boneka Belanda; RIS.
Akhirnya, Presiden Soekarno menerbitkan dekrit untuk Indonesia membubarkan
konstituante dan kembali kepada UUD 1945.
Beralih
ke masa Demokrasi Terpimpin, NU menyikapi biasa-biasa saja sebagai bentuk
alih-kendali. Tetapi Muhammadiyah menjadi oposan bagi Demokrasi Terpimpin,
meski pada waktu berikutnya mulai berhitung setelah Partai Masyumi dibubarkan
pemerintahan Soekarno.
Kelahiran
Orde Baru tak lepas dari peran kunci NU dan Muhammadiyah. GP Ansor terlibat
aktif dengan ABRI dalam penangkap dan membasmi PKI. Muhammadiyah bersama ABRI
membentuk Kokam (Komando Keamanan Muhammadiyah). Bahkan seruan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah; KH. Ahmad Badawi; bahwa menyirnakan Gestapu/PKI merupakan ibadah.
Organisasi-organisasi
anti-Gestapu membentuk KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu) dan
mendesak pemerintah membubarkan PKI. Salah satunya tertuang dalam Tritura (Tri
Tuntutan Rakyat). Presiden Soekarno makin kehilangan kepercayaan rakyat ketika
mengabaikan tuntutan rakyat tersebut. Hingga lahirlah Supersemar (Surat Perintah
Sebelah Maret) yang merupakan penyerahan mandat dari Presiden Soekarno kepada
Jenderal Soeharto untuk membubarkan PKI.
Setelah
PKI dibubarkan, MPRS memutuskan untuk memberhentikan Soekarno dari jabatan
Presiden untuk kemudian diserahkan kepada Jenderal Soeharto pada Maret 1968.
Keputusan
MPRS yang menetapkan Soeharto sebagai Presiden definitif ternyata menimbulkan
pro-kontra. Di tubuh NU, Sjaichu sepakat terhadap pengukuhan. Tetapi Subhan ZE
tidak sepakat dengan alasan penetapan tersebut harus melalui Pemilihan Umum.
Dan ia menuntut adanya pembatasan kekuasaan istimewa Presiden. Hal ini membuat
hubungan Soeharto dengan NU tidak harmonis. Oleh karenanya, sejak 1971, jabatan
Menteri Agama tidak diberikan kepada NU.
Konflik
berlanjut ketika pemerintah mengajukan RUU Pemilu ke DPR-GR (Gotong Royong)
yang menegaskan partai politik dan organisasi sosial harus berasas ideologi
nasional Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Yang jika berbeda dengan
ideologi Pancasila, berhak dibubarkan. Pemerintah pun bermaksud menghidupkan
kembali Penetapan Presiden 2/1959 tentang larangan pejabat tinggi menjadi
anggota partai. Kalangan NU risau, sebab banyak aktivis politik NU berpredikat
pegawai negeri.
Lambat-laun,
NU semakin meninggikan nada nyaring terhadap pemerintah.
Upaya
Muhammadiyah untuk merehabilitasi Masyumi ternyata sia-sia. Pemerintah melalui
ABRI pada 21 Desember 1966 menyatakan, baik Masyumi maupun PKI telah menyimpang
dari Pancasila dan UUD 1945. Namun begitu, pemerintah mengizinkan kepada
kelompok umat Islam untuk membuat partai baru. Dan lahirlah Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia) yang tidak boleh dipimpin oleh orang-orang eks-Masyumi.
Dalam
perjalanannya, Parmusi diintervensi pemerintah. Karena hasil Muktamar I Parmusi
di Malang menetapkan Mohammad Roem sebagai Ketua Parmusi. Roem adalah
eks-Masyumi.
Melalui
UU no.3 tahun 1975, partai politik berafiliasi Islam diharuskan berfusi ke
dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal ini menjadi strategi sistematis
Orde Baru untuk desimbolisasi Islam.
Meski
NU menjadi penyumbang massa paling banyak dalam PPP, bukan otomatis tokoh NU
menjadi dominan. Hal ini seperti mengulang ketika NU berada dalam barisan
Masyumi. Begitu juga yang dialami Muhammadiyah dalam tubuh PPP.
Meski
dalam tubuh PPP terjadi seteru pihak-pihak yang ingin mendominasi, pemerintah
menilai kekritisan PPP mengancam eksistensi pemerintah. Oleh karenanya,
pemerintah mengesahkan UU no.3 tahun 1985 yang menetapkan partai-partai politik
dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Keputusan
pemerintah tersebut didorong oleh adanya peristiwa bentrok fisik massa PPP
dengan Golkar terkait kampanye Pemilu dan juga asas partai, dan juga pemaksaan
pemerintah untuk menjadikan Pancasila sebagai asas ormas. Pemerintah pun
mengambil kesimpulan, bahwa agama merupakan sumber konflik.
Reaksi
Muhammadiyah dan NU terhadap diberlakukannya asas tunggal Pancasila sangat
berhati-hati. Sebab jika mengacu pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1983, asas tunggal hanya berlaku untuk partai politik dan Golongan Karya
(Golkar).
Untuk
meredam gejolak dari organisasi kemasyarakatan atas paksaan asas tunggal,
Presiden Soeharto turun tangan memberikan penjelasan, bahwa Pancasila tidak
akan menggantikan agama, Pancasila tidak akan menjadi agama, dan Pancasila tidak
disejajarkan dengan agama.
Muktamar
Muhammadiyah ke-41 di Surakarta memutuskan, bahwa Muhammadiyah menerima
Pancasila sebagai asas tunggal.
NU
—pihak yang sering beroposisi— segera mengkaji maksud pemerintah sebenarnya di
balik penetapan asas tunggal. Hingga muncul pernyataan dari KH. As’ad Syamsul
Arifin; ulama kharismatik Madura; bahwa mengamalkan Pancasila merupakan
kewajiban bagi semua umat. Beliau juga mengkonfirmasi kepada Presiden Soeharto
terkait keidentikan sila pertama Pancasila dengan pengakuan tauhid yang dibalas
Presiden dengan anggukan.
Ada
tiga konsep yang mendasari pemikiran NU menerima Pancasila sebagai asas, yakni
konsep fitrah, konsep ketuhanan, dan pemahaman sejarah.
Problem
mendasar dari perbedaan NU dan Muhammadiyah terletak pada pemahaman dan
pengejawantahannya terhadap doktrin ahlus
sunnah wal jama’ah. Muhammadiyah cukup komitmen dengan doktrin Sunni,
khususnya dari aspek teologis (kalam). Corak kalam Muhammadiyah sangat dekat
dengan doktrin Asy’ariyah, meskipun pada aspek purifikasi banyak terinspirasi
dari Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah. Sementara gerakan
modernisasinya banyak mengadopsi dari Jamaluddin Al-Afghoni,
Muhammad Abduh, dan Rosyid Ridho.
NU
sejak berdirinya telah menegaskan diri sebagai penganut paham ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja).
Menurut KH. Bisri Musthofa, ajaran aswaja yang dikembangkan NU berporos pada
tiga ajaran pokok, yakni dalam bidang aqidah menganut ajaran Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, bidang fikih mengikuti salah satu imam
mazhab, dan dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Ghozali dan Iman Abu Qosim
Al-Junaid.
Meskipun
terdapat beberapa unsur perbedaan antara Muhammadiyah dan NU —terutama argumen
teologis, tradisi, dan praktik keagamaan tertentu, namun keduanya merupakan
representasi Islam di Indonesia yang cukup menonjol.
Bibliografi
Judul:
Matahari Terbit Bintang Sembilan
Penulis:
Dr. H. Suyitno, M.Ag
Tebal:
xvi+352 hlm.
Genre:
Gerakan Islam
Cetakan:
I, Mei 2009
ISBN:
978-979-1104-24-1
Penerbit:
Gema Media, Yogyakarta
0 Komentar