Tak banyak penulis Muslim yang menuliskan kesuksesan
terebutnya Konstantinopel ke tangan Muhammad Al-Fatih. Seolah kaum Muslimin
ingin menyampaikan pesan, bahwa cukuplah perpindahan kekuasaan tersebut sebagai
kisah realitas normal dalam rotasi kekuasaan.
Yang membuat ‘kewajaran’ itu bak luka yang
tertabur garam adalah ketika pemenang pertarungan itu adalah kaum berbeda agama
dari rahim Abrahamik.
Luka itulah yang secara emosional diwariskan dari
generasi ke generasi masyarakat Eropa tentang Islam dan orang Muslim dengan
penggambaran yang begitu mengerikan dan menjijikkan. Seperti tergambar dalam
ungkapan Thomas Stamford Raffles kepada umat Islam di Nusantara,
“Setiap orang Arab dari Makah, begitu pula orang Jawa, yang kembali menunaikan ibadah haji di sana, diterima sebagai orang suci di Jawa, dan sikap cepat percaya dari kalangan orang awam sudah sedemikian rupa sehingga mereka sangat sering menghubungkan berbagai kekuatan adialami kepada pribadi-pribadi yang demikian. Dengan demikian, tidak sulit bagi mereka membangkitkan negeri untuk memberontak... Para ulama Muhammedan hampir tanpa terkecuali ditemukan paling aktif dalam setiap pemberontakan. Banyak dari mereka, umumnya keturunan campuran Arab dan orang pribumi, pindah dari suatu negeri ke negeri lain di pulau-pulau bagian timur dan umumnya karena intrik-intrik dan desakan merekalah para pemimpin pribumi terhasut untuk menyerang atau membunuh orang-orang eropa, sebagai orang kafir dan pengacau.” (hal.118)
Dan saya belajar memahami psikologi massa di saat
itu ketika kesedihan, kekalahan, kemarahan, kebencian atas kekalahan di
Byzantium berpadu dengan kenyataan yang tak dikehendaki. Maka yang akan terjadi
adalah ragam penilaian sepihak, pembelaan diri, mengutuk pemenang, sakit hati
atas kelebihan lawan bahkan hingga membenci tanpa rasional. Sentimen negatif
itu masih terasa hingga kini ketika Turkiye tergabung dalam NATO, atau luapan
kebencian dengan membakar Al-Quran di beberapa negara mengatasnamakan kebebasan
berekspresi.
Namun begitu, buku ini begitu menarik untuk dibaca.
Bukan saja pada pokok pembahasannya, tetapi juga pada motif Karel Steenbrink
sendiri. Meski jamak ditemui kebencian terhadap Islam di Eropa, Steenbrink
—yang tumbuh dan besar dalam pendidikan seminari— tertarik melakukan dialog
dengan sumber-sumber keislaman setelah terbitnya “Nostra Aetate” (Pada
Zaman Kita); sebuah dokumen penting hasil Konsili Vatikan II tahun 1965; yang
isinya antara lain menganjurkan umat Katolik menghargai apapun yang baik dari
agama-agama lain. Bahkan menyebut Islam sebagai agama yang wajib dihormati
karena Islam menghormati Isa sebagai Nabi dan Maryam sebagai wanita suci.
Selain itu, Steenbrink memiliki kesan terhadap dua dosennya yang terbuka
terhadap Islam; Prof. Jean Houben (1904-1973); seorang Jesuit yang ahli bahasa
Arab dan Filsafat Islam; dan Prof. Arnulf Camps (1925-2006) yang mengajar mata
kuliah Missiologi.
Steenbrink memilih Indonesia (Bandung) sebagai
ladang penelitiannya dengan menggabungkan metode Houben (rasional dan reformis)
dan Camps (realitas lapangan); pada 1970. Penelitiannya bergeser tema dari
mengkaji tafsir Al-Quran dalam konteks Indonesia modern menjadi mengkaji
pesantren. Dalam proyek penelitiannya di Gontor, Steenbrink mengaku tetap dalam
agama Katolik tetapi juga ingin terlibat dalam ibadah-ibadah keislaman. Motif
Steenbrink berbeda dengan Snouck. Ini lebih tepat sebagai bentuk pergulatan
iman dan perjalanan ruhani Steenbrink (Bruinessen 2006: 191-192).
Steenbrink mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (1981-1984), kemudian berpindah ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(1984-1988). Setelah tujuh tahun itu, Steenbrink kembali ke Belanda dan bekerja
di Interuniversitair Institut voor
Missiologie en Oecumenica (IIMO) tahun 1989-2010. Ia menjembatani
kesalahpahaman anggapan Belanda terhadap Islam —terutama— di Indonesia dari
yang telah ia pelajari.
Harapan Steenbrink adalah hubungan buruk antara
Muslim dan Kristen di masa lampau, baik dalam kerangka teologis maupun politis,
harus diperbaiki melalui dialog yang menumbuhkan pandangan saling memahami,
menerima, dan menghargai.
Buku ini ditulis dalam rangka proyek penelitian
tentang prasangka yang saat itu dianggap penting dan banyak menarik perhatian
di Belanda —dan di Eropa pada umumnya. Prasangka umum yang dimiliki satu
kelompok dalam masyarakat terhadap kelompok lain dan sering menimbulkan dan
memperkuat rasa benci dan akhirnya menimbulkan konflik. Studi tentang pandangan
satu kelompok terhadap kelompok lain dianggap relevan dan diperlukan karena
tidak hanya menyangkut jiwa manusia yang bisa marah, iri hati, cemburu, suka
menyalahi, dan mencari kesalahan dan kelemahan orang lain, tetapi juga bisa
memicu konflik berdarah, yang mengancam keamanan dan ketertiban, serta
mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Buku ini berusaha menelusuri akar-akar sejarah dari
prasangka orang Belanda terhadap Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus,
Steenbrink menemukan bahwa orang-orang Eropa memiliki anggapan-anggapan yang
salah dan penuh prasangka terhadap Islam. Prasangka buruk terhadap Islam itu
tidak menimbulkan pertentangan yang berarti ketika hubungan kedua belah pihak
terbatas pada hubungan dagang yang saling menguntungkan. Tetapi ketika hubungan
tersebut menyentuh ranah politik, maka hubungan itu bisa menjelma menjadi
permusuhan hingga tindak kekerasan.
Upaya diskriminasi kolonial kepada umat Islam di
Nusantara tersebut berlangsung cukup lama dan berangsur melunak. Dari
pembatasan dan pelarangan, berangsur memberikan fasilitas dan penggajian
terhadap pejabat-pejabat agama di pemerintahan. Kondisi tersebut semacam buah
simalakama bagi kolonial di Hindia Belanda.
Bahkan dari puluhan misionaris yang diterjunkan di
Hindia Belanda, doktrin tentang “agama pagan, nabi palsu, umat tak beriman,
umat terbelakang dan tak terdidik” yang ditujukan kepada Islam dan umat Muslim,
disikapi tak seragam. Samuel Eliza Harthoorn (1831-1883) menilai, bahwa doktrin
gereja tersebut terkesan munafik.
Penilaian misionaris Carel Poensen (1836-1919)
terhadap Islam cukup adil dan positif. Bagi dia, “karena Muhammad-lah terwujud persatuan di kalangan orang Arab...
Keadaan sosial kaum wanita dan budak semakin membaik dan pembunuhan terhadap
anak bayi dapat dicegah. Kaum fakir miskin diurus, pemujaan terhadap berhala
diberantas, dan berbagai tindakan tidak bermoral dibasmi.” (hal.175)
Sedikit berbeda dengan Poensen, misionaris Frans
Lion Cachet (1835-1899) sempat mengajukan gugatan terhadap pimpinan Masyarakat
Misionaris Belanda terkait rendahnya posisi sosial dan anggaran bagi para
misionaris di mata pemerintah Belanda sendiri dan tidak terima dengan sikap
Kyai Sadrach; Kristen Jawa; yang menganggap dirinya setara dengan zending dari
Eropa.
Bahkan upaya halus dari misionaris Hendrik Kraemer
(1888-1965) untuk menarik pribumi melalui kurikulum Katolik di perkumpulan Jong Java yang ia dirikan, malah menjadi
bumerang. Kaum intelektual Muslim dalam Jong
Java; Raden Samsurijal; mengajukan protes atas dominasi muatan Katolik
dalam kurikulum. Hingga tokoh tersebut keluar organisasi dan mendirikan Jong Islamieten Bond bersama
pemuda-pemuda Muslim terdidik lainnya. Organisasi inilah embrio dari
kebangkitan Islam di Indonesia.
Hal itu pula yang membuat Guillaume Frédéric Pijper
(1893-1988) dan Georges-Henri Bousquet (1900-1978) kebingungan ketika Islam di
masa Orde Baru relatif mengakomodir pergerakan Islam, bahkan memberi panggung
dalam bentuk partai politik. Di tahun 1949, Mgr. Willekens mengungkapkan kepesimisan
peluang Katolik yang bersaing dengan Protestan, Islam, dan Freemasonry di
Indonesia.
Yang menarik, pada bab terakhir buku ini —dengan
judul “Muslim dan Kristen di Indonesia
dan Belanda dalam Periode 1945-2015: Jalur Terpisah atau Titik Temu?”—
mengungkap fakta, bahwa sejak 1945, Belanda mengalami sekularisasi drastis.
Hanya 50% penduduk Belanda yang tegas menyatakan keagamaan resmi negeri
tersebut. Jumlah umat Muslim di Belanda sendiri mengalami peningkatan karena
adanya pekerja paksa (Suriname dan Indonesia) dan migrasi (Maroko, Mesir,
Suriah, Turki, Somalia, Iran, Afghanistan). Oleh karenanya, banyak gereja
berubah fungsi dan izin mendirikan masjid tak semudah yang kita bayangkan.
Karena setiap masjid harus mempresentasikan mazhab keagamaan dalam Islam itu
sendiri. Lazim kita temui di Indonesia dalam hal pendirian gereja, di mana
Kristen memiliki kekhasannya yang beragam.
Pada tahun 2007 terbit dokumen dari istana kerajaan
Yordania yang kemudian disahkan oleh banyak orang di dunia Islam maupun di
luarnya. Dokumen 2007 ini disebut “A
Common World” atau “Kalimatun Sawa’un” seperti yang
disebut dalam Al-Quran surat Ali ‘Imron ayat 64: “Wahai Ahli Kitab, marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan)
yang sama antara kami dan kamu”, yaitu seruan supaya Muslim dan Kristen
bersatu menerima dua perintah: cinta kepada Alloh dan kepada sesama manusia.
Walaupun tetap ada konflik di sini-sana, dua dokumen
ini (“Nostra Aetate” dan “A Common Word”) sejak 50 tahun terakhir
menjadi pedoman bagi banyak penganut agama Islam maupun Kristen. Banyak juga
yang mengakui kebenaran yang ditemukan dalam agama tetangga mereka. Banyak pula
mayoritas yang tidak lagi mengharapkan bahwa akhirnya akan terjadi hanya satu
agama yang dominan, tetapi menerima kenyataan seperti sudah dicontohkan dalam
Al-Quran surat Al-Maidah ayat 48: “Sekiranya
Alloh menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Alloh
ingin menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah
untuk berbuat kebajikan.”
Terakhir, saya tertarik dengan pendapat Poensen
tentang politik keagamaan kolonial di Hindia Belanda yang ia nilai mirip dengan
politik apartheid: “Suatu masyarakat
Kristen yang hidup di Jawa (Islam), namun secara sosial dan budaya terpisah
dari masyarakat Islam.” (hal.178)
Bibliografi
Judul: Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942)
Penulis: Karel Steenbeink
Penerjemah: Prof. Dr. Mujiburrahman
Tebal: liv+298 hlm.
Genre: Sejarah
Cetakan: I, Mei 2017
ISBN: 978-602-0809-36-6
Penerbit: Gading Publishing, Yogyakarta
0 Komentar