Resensi: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942)

Tak banyak penulis Muslim yang menuliskan kesuksesan terebutnya Konstantinopel ke tangan Muhammad Al-Fatih. Seolah kaum Muslimin ingin menyampaikan pesan, bahwa cukuplah perpindahan kekuasaan tersebut sebagai kisah realitas normal dalam rotasi kekuasaan.

Yang membuat kewajaran’ itu bak luka yang tertabur garam adalah ketika pemenang pertarungan itu adalah kaum berbeda agama dari rahim Abrahamik.

Luka itulah yang secara emosional diwariskan dari generasi ke generasi masyarakat Eropa tentang Islam dan orang Muslim dengan penggambaran yang begitu mengerikan dan menjijikkan. Seperti tergambar dalam ungkapan Thomas Stamford Raffles kepada umat Islam di Nusantara,

“Setiap orang Arab dari Makah, begitu pula orang Jawa, yang kembali menunaikan ibadah haji di sana, diterima sebagai orang suci di Jawa, dan sikap cepat percaya dari kalangan orang awam sudah sedemikian rupa sehingga mereka sangat sering menghubungkan berbagai kekuatan adialami kepada pribadi-pribadi yang demikian. Dengan demikian, tidak sulit bagi mereka membangkitkan negeri untuk memberontak... Para ulama Muhammedan hampir tanpa terkecuali ditemukan paling aktif dalam setiap pemberontakan. Banyak dari mereka, umumnya keturunan campuran Arab dan orang pribumi, pindah dari suatu negeri ke negeri lain di pulau-pulau bagian timur dan umumnya karena intrik-intrik dan desakan merekalah para pemimpin pribumi terhasut untuk menyerang atau membunuh orang-orang eropa, sebagai orang kafir dan pengacau.” (hal.118)

Dan saya belajar memahami psikologi massa di saat itu ketika kesedihan, kekalahan, kemarahan, kebencian atas kekalahan di Byzantium berpadu dengan kenyataan yang tak dikehendaki. Maka yang akan terjadi adalah ragam penilaian sepihak, pembelaan diri, mengutuk pemenang, sakit hati atas kelebihan lawan bahkan hingga membenci tanpa rasional. Sentimen negatif itu masih terasa hingga kini ketika Turkiye tergabung dalam NATO, atau luapan kebencian dengan membakar Al-Quran di beberapa negara mengatasnamakan kebebasan berekspresi.

Namun begitu, buku ini begitu menarik untuk dibaca. Bukan saja pada pokok pembahasannya, tetapi juga pada motif Karel Steenbrink sendiri. Meski jamak ditemui kebencian terhadap Islam di Eropa, Steenbrink —yang tumbuh dan besar dalam pendidikan seminari— tertarik melakukan dialog dengan sumber-sumber keislaman setelah terbitnya “Nostra Aetate” (Pada Zaman Kita); sebuah dokumen penting hasil Konsili Vatikan II tahun 1965; yang isinya antara lain menganjurkan umat Katolik menghargai apapun yang baik dari agama-agama lain. Bahkan menyebut Islam sebagai agama yang wajib dihormati karena Islam menghormati Isa sebagai Nabi dan Maryam sebagai wanita suci. Selain itu, Steenbrink memiliki kesan terhadap dua dosennya yang terbuka terhadap Islam; Prof. Jean Houben (1904-1973); seorang Jesuit yang ahli bahasa Arab dan Filsafat Islam; dan Prof. Arnulf Camps (1925-2006) yang mengajar mata kuliah Missiologi.

Steenbrink memilih Indonesia (Bandung) sebagai ladang penelitiannya dengan menggabungkan metode Houben (rasional dan reformis) dan Camps (realitas lapangan); pada 1970. Penelitiannya bergeser tema dari mengkaji tafsir Al-Quran dalam konteks Indonesia modern menjadi mengkaji pesantren. Dalam proyek penelitiannya di Gontor, Steenbrink mengaku tetap dalam agama Katolik tetapi juga ingin terlibat dalam ibadah-ibadah keislaman. Motif Steenbrink berbeda dengan Snouck. Ini lebih tepat sebagai bentuk pergulatan iman dan perjalanan ruhani Steenbrink (Bruinessen 2006: 191-192).

Steenbrink mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981-1984), kemudian berpindah ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1984-1988). Setelah tujuh tahun itu, Steenbrink kembali ke Belanda dan bekerja di Interuniversitair Institut voor Missiologie en Oecumenica (IIMO) tahun 1989-2010. Ia menjembatani kesalahpahaman anggapan Belanda terhadap Islam —terutama— di Indonesia dari yang telah ia pelajari.

Harapan Steenbrink adalah hubungan buruk antara Muslim dan Kristen di masa lampau, baik dalam kerangka teologis maupun politis, harus diperbaiki melalui dialog yang menumbuhkan pandangan saling memahami, menerima, dan menghargai.

Buku ini ditulis dalam rangka proyek penelitian tentang prasangka yang saat itu dianggap penting dan banyak menarik perhatian di Belanda —dan di Eropa pada umumnya. Prasangka umum yang dimiliki satu kelompok dalam masyarakat terhadap kelompok lain dan sering menimbulkan dan memperkuat rasa benci dan akhirnya menimbulkan konflik. Studi tentang pandangan satu kelompok terhadap kelompok lain dianggap relevan dan diperlukan karena tidak hanya menyangkut jiwa manusia yang bisa marah, iri hati, cemburu, suka menyalahi, dan mencari kesalahan dan kelemahan orang lain, tetapi juga bisa memicu konflik berdarah, yang mengancam keamanan dan ketertiban, serta mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Buku ini berusaha menelusuri akar-akar sejarah dari prasangka orang Belanda terhadap Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus, Steenbrink menemukan bahwa orang-orang Eropa memiliki anggapan-anggapan yang salah dan penuh prasangka terhadap Islam. Prasangka buruk terhadap Islam itu tidak menimbulkan pertentangan yang berarti ketika hubungan kedua belah pihak terbatas pada hubungan dagang yang saling menguntungkan. Tetapi ketika hubungan tersebut menyentuh ranah politik, maka hubungan itu bisa menjelma menjadi permusuhan hingga tindak kekerasan.

Upaya diskriminasi kolonial kepada umat Islam di Nusantara tersebut berlangsung cukup lama dan berangsur melunak. Dari pembatasan dan pelarangan, berangsur memberikan fasilitas dan penggajian terhadap pejabat-pejabat agama di pemerintahan. Kondisi tersebut semacam buah simalakama bagi kolonial di Hindia Belanda.

Bahkan dari puluhan misionaris yang diterjunkan di Hindia Belanda, doktrin tentang “agama pagan, nabi palsu, umat tak beriman, umat terbelakang dan tak terdidik” yang ditujukan kepada Islam dan umat Muslim, disikapi tak seragam. Samuel Eliza Harthoorn (1831-1883) menilai, bahwa doktrin gereja tersebut terkesan munafik.

Penilaian misionaris Carel Poensen (1836-1919) terhadap Islam cukup adil dan positif. Bagi dia, “karena Muhammad-lah terwujud persatuan di kalangan orang Arab... Keadaan sosial kaum wanita dan budak semakin membaik dan pembunuhan terhadap anak bayi dapat dicegah. Kaum fakir miskin diurus, pemujaan terhadap berhala diberantas, dan berbagai tindakan tidak bermoral dibasmi.” (hal.175)

Sedikit berbeda dengan Poensen, misionaris Frans Lion Cachet (1835-1899) sempat mengajukan gugatan terhadap pimpinan Masyarakat Misionaris Belanda terkait rendahnya posisi sosial dan anggaran bagi para misionaris di mata pemerintah Belanda sendiri dan tidak terima dengan sikap Kyai Sadrach; Kristen Jawa; yang menganggap dirinya setara dengan zending dari Eropa.

Bahkan upaya halus dari misionaris Hendrik Kraemer (1888-1965) untuk menarik pribumi melalui kurikulum Katolik di perkumpulan Jong Java yang ia dirikan, malah menjadi bumerang. Kaum intelektual Muslim dalam Jong Java; Raden Samsurijal; mengajukan protes atas dominasi muatan Katolik dalam kurikulum. Hingga tokoh tersebut keluar organisasi dan mendirikan Jong Islamieten Bond bersama pemuda-pemuda Muslim terdidik lainnya. Organisasi inilah embrio dari kebangkitan Islam di Indonesia.

Hal itu pula yang membuat Guillaume Frédéric Pijper (1893-1988) dan Georges-Henri Bousquet (1900-1978) kebingungan ketika Islam di masa Orde Baru relatif mengakomodir pergerakan Islam, bahkan memberi panggung dalam bentuk partai politik. Di tahun 1949, Mgr. Willekens mengungkapkan kepesimisan peluang Katolik yang bersaing dengan Protestan, Islam, dan Freemasonry di Indonesia.

Yang menarik, pada bab terakhir buku ini —dengan judul “Muslim dan Kristen di Indonesia dan Belanda dalam Periode 1945-2015: Jalur Terpisah atau Titik Temu?”— mengungkap fakta, bahwa sejak 1945, Belanda mengalami sekularisasi drastis. Hanya 50% penduduk Belanda yang tegas menyatakan keagamaan resmi negeri tersebut. Jumlah umat Muslim di Belanda sendiri mengalami peningkatan karena adanya pekerja paksa (Suriname dan Indonesia) dan migrasi (Maroko, Mesir, Suriah, Turki, Somalia, Iran, Afghanistan). Oleh karenanya, banyak gereja berubah fungsi dan izin mendirikan masjid tak semudah yang kita bayangkan. Karena setiap masjid harus mempresentasikan mazhab keagamaan dalam Islam itu sendiri. Lazim kita temui di Indonesia dalam hal pendirian gereja, di mana Kristen memiliki kekhasannya yang beragam.

Pada tahun 2007 terbit dokumen dari istana kerajaan Yordania yang kemudian disahkan oleh banyak orang di dunia Islam maupun di luarnya. Dokumen 2007 ini disebut “A Common World” atau “Kalimatun Sawa’un” seperti yang disebut dalam Al-Quran surat Ali ‘Imron ayat 64: “Wahai Ahli Kitab, marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu”, yaitu seruan supaya Muslim dan Kristen bersatu menerima dua perintah: cinta kepada Alloh dan kepada sesama manusia.

Walaupun tetap ada konflik di sini-sana, dua dokumen ini (Nostra Aetate dan A Common Word) sejak 50 tahun terakhir menjadi pedoman bagi banyak penganut agama Islam maupun Kristen. Banyak juga yang mengakui kebenaran yang ditemukan dalam agama tetangga mereka. Banyak pula mayoritas yang tidak lagi mengharapkan bahwa akhirnya akan terjadi hanya satu agama yang dominan, tetapi menerima kenyataan seperti sudah dicontohkan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 48: “Sekiranya Alloh menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Alloh ingin menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah untuk berbuat kebajikan.”

Terakhir, saya tertarik dengan pendapat Poensen tentang politik keagamaan kolonial di Hindia Belanda yang ia nilai mirip dengan politik apartheid: “Suatu masyarakat Kristen yang hidup di Jawa (Islam), namun secara sosial dan budaya terpisah dari masyarakat Islam.” (hal.178)

 

Bibliografi

Judul: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942)

Penulis: Karel Steenbeink

Penerjemah: Prof. Dr. Mujiburrahman

Tebal: liv+298 hlm.

Genre: Sejarah

Cetakan: I, Mei 2017

ISBN: 978-602-0809-36-6

Penerbit: Gading Publishing, Yogyakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar