Namanya Neil Postman; seorang kritikus pendidikan
dan kritikus teknologi. Salah satu bukunya yang merupakan sebuah rangkaian
kritik terhadap kemapanan pendidikan dan pola pedagogi yang selama ini kita
pahami berjudul asli “The End of
Education; Redefining the Value of School”. Buku ini bahkan sangat menarik,
karena di dalamnya —Neil— melakukan beberapa manuver dan tawaran, bahwa
pendidikan harus dibawa ke arah yang lebih baik dan lebih membebaskan.
Seperti para pendahulunya; Ivan Illich dalam bukunya
yang berjudul “Deschooling Society”
maupun “Pedagogy of The Oppressed”-nya
Paulo Freire; buku ini sama dalam hal, bahwa pendidikan bukan merupakan produk
komoditas yang seharusnya kita raih dan kita gunakan untuk bekerja. Atau kelak
kita akan sekolah, kuliah maupun menempuh pendidikan hanya untuk tunduk kepada
logika pasar maupun kapitalisme.
“Ilmu pengetahuan digambarkan sebagai sebuah komoditi yang bisa diperoleh, tidak pernah dilukiskan sebagai perjuangan umat manusia untuk memahami, mengatasi kesalahan, dan menggapai kebenaran.”
Buku ini sangat mencerahkan. Karena di dalamnya,
Neil berani tampil untuk menggugat narasi-narasi besar yang selama ini kita
anggap sebagai tuhan.
Neil sengaja memilih diksi “end” yang sangat ambigu. Sebab, “end” —dalam bahasa Inggris, memiliki makna ganda, yakni “tujuan”
dan “akhir” (mati). Neil ingin mengajak kita memprediksi masa depan pendidikan
(sekolah). Artinya, tanpa tujuan yang transenden dan bijaksana, pendidikan di
sekolah akan segera mengalami kematian.
Dalam daftar isinya pun, Neil menulis beberapa hal
yang sangat menarik. Di dalam bagian satu ia melihat bentuk-bentuk tuhan-tuhan
yang selama ini kita sembah; tuhan teknologi, tuhan efisiensi pendidikan, tuhan
konsumerisme, maupun tuhan-tuhan yang lain yang kita amini dan kita imani tanpa
ada kritik maupun argumentasi yang lebih rasional.
“Tuhan, dalam pengertian yang terkandung dalam kata yang saya gunakan, adalah nama dari sebuah narasi besar, sesuatu yang memiliki kredibilitas, kompleksitas cukup, dan kekuatan simbolis yang akan menjadikan seseorang mampu mengatur orang-orang di sekelilingnya” (hal. 6).
Neil memperhatikan, bahwa pola pendidikan yang kita
kerjakan adalah pola pendidikan yang sangat tidak terkontrol. Karena anak-anak
dididik dalam frame yang guru sebuah
sosok doktriner dan ia selalu menjejali peserta didik untuk tunduk kepada ilmu
pengetahuan yang sudah baku. Di mana di dalamnya tidak ada kritik, tidak ada
refleksi, maupun tidak ada bentuk atau pola atau konsep keilmuan baru yang bisa
dianggap dinamis; tidak statis. Selain itu, ia melihat pula tuhan-tuhan yang
kita bangun ada tuhan yang gagal dan ada tuhan yang sukses.
Kita bisa melihat, bahwa tuhan yang selama ini tetap
eksis dan kita sembah adalah tuhan konsumerisme dan tuhan efisiensi. Di dalamnya
kita selalu menggunakannya, kita amalkan setiap hari, dan kita jadikan sebagai
pedoman.
Neil juga melihat adanya tuhan-tuhan baru yang
gagal, seperti sekularisme, konsep manusia yang sama rasa, sama cinta, bahkan
sama memiliki nyawa yang harus dijaga.
Faktanya, ideologi yang telah lahir —dalam kacamata
historis, bahwa Fasisme, Komunisme, Naziisme, dan beberapa ideologi baru yang
dilahirkan oleh anak kandung sejarah, ternyata tidak pernah memberikan sebuah
postur kehidupan yang lebih kokoh. Komunisme sendiri ketika masuk ke tataran
kenegaraan, ternyata jauh menyimpang dari tujuan awalnya. Sedangkan dalam ranah
Fasisme sendiri, Neil juga melihat kontrol nasionalisme yang kokoh —bahkan
penanaman nilai-nilai nasionalis yang jauh dari konstruk kemanusiaan— akan
melahirkan fanatisme dan fasisme itu sendiri. Manusia hanya akan tunduk pada
berhala baru yang bernama ideologi. Ketika ideologi itu dilihat sebagai sebuah
bongkahan yang tidak dapat dikritisi maupun dibuat sekontekstual dengan
zamannya yang akhirnya berkembang.
Neil juga melakukan
beberapa kritik terhadap hal tersebut. Ia melihat, bahwa kesadaran kita tentang
nationcentric maupun racecentric yang akhirnya mengakibatkan
kekerasan rasial itu harus reduksi maupun dibenahi dengan beberapa pola. Misal,
penanaman pembelajaran yang “tidak menginginkan” adanya multikulturalisme,
tetapi sebagai sebuah upaya baru, yakni pluralitas kesadaran.
“Setiap tuhan dari narasi itu menawarkan janji tentang surga, tetapi ternyata hanya membawa ke neraka.”
Ada pula beberapa
kritiknya terhadap teknologi. Bagi Neil, kita melahap teknologi secara membabi
buta. Kita menggunakannya, memfungsikannya, dan memperagakannya secara efisien.
Dan kita lupa, apa hal-hal yang jauh berimplikasi dari teknologi tersebut.
Seperti halnya kita terlalu abai untuk mempelajari efek negatif gadget terhadap
saraf otak atau berdampak pada kemalasan jangka panjang. Kita dijejali
teknologi secara terapkan atau praktis, tidak secara metodologis mau pun secara
intelektual.
Neil menawarkan sebuah
bentuk pedagogy of technology;
pendidikan terhadap hakikat teknologi. Sehingga tujuan diciptakannya teknologi
dan cara penggunaannya menjadi dasar atau pondasi dalam mengoperasionalkan
teknologi dengan tepat dan berguna.
Setara juga dengan
bentuk pemikiran yang ditawarkan oleh Jean Baudrillard di dalam kosakata yang
ia kemukakan sebagai simulacra.
Teknologi itu sendiri pasti menciptakan realita semu atau hyper reality (realitas yang dilebih-lebihkan). Kita sekarang tunduk
dalam kesadaran semacam itu; kesadaran yang tervirtualkan, terdaringkan, dan
kita memberhalakan citra-citra atau hal-hal maya yang di luar jangkauan kita.
Beragam metode
pembelajaran dengan fasilitas atau perangkat teknologi saat ini, apakah kita
melihat adanya bentuk pendidikan yang benar-benar proporsional dalam pola
semacam itu?
“Pendidikan itu dimaksudkan untuk membebaskan para kaum muda dari perbudakan materialisme yang kasar.”
Hal menarik dari gagasan
tentang bentuk pendidikan teknologi yang Neil tawarkan dalam buku ini,
pendidikan teknologi tidak menyiratkan sikap negatif terhadap teknologi. Namun,
merupakan sebuah sikap kritis menjadi seorang penentang teknologi sama halnya
menjadi penentang makanan. Kita tidak bisa hidup tanpa teknologi maupun
makanan. Karena ia melihat dari sisi keprimeran dari teknologi sudah sedemikian
akut. Seperti halnya makan, kita tidak mungkin lepas dari gadget yang kita
pegang setiap hari.
Neil menyiratkan juga
bagaimana tujuan dari pendidikan teknologi tersebut; “Supaya para pelajar
mempelajari apakah teknologi itu membantu kita untuk melakukan sesuatu? Dan
apakah teknologi menghalangi untuk melakukan sesuatu?”
Dari frasa ini sendiri
Neil ingin mempertegas, bahwa ada dua implikasi yang jelas-jelas kita pahami,
bahwa kalau kita tidak dibodohi, kita dapat mengakali teknologi tersebut.
Perubahan pendidikan
menjadi teknologi-teknologi baru dengan memaksakan sebuah budaya, bagaimana
makna-makna kebenaran, makna hukum, dan makna inteligensi berbeda di antara
budaya-budaya oral, budaya-budaya tulis, budaya-budaya percetakan, dan
budaya-budaya elektronik.
Teknologi pendidikan
bukanlah pelajaran teknis. Namun pendidikan teknologi adalah salah satu cabang
dari pelajaran-pelajaran kemanusiaan.
Insyaf kita dari
beberapa hal yang diutarakan oleh Neil sebenarnya adalah upaya untuk membatasi
ataupun upaya adaptasi yang lebih proporsional. Akhirnya kita tahu, teknologi
itu tidak mungkin dapat kita berangus maupun kita hadang. Ia seperti gempuran
air bah yang selalu terbahterakan oleh kapitalisme, pasar global, dan
lain-lain. Dan kita tahu, iklan, televisi, maupun beberapa hal yang komersial
lain menggempur otak kita untuk menjadi manusia konsumeris.
Kita sadari bahwa kita
hidup di masa post-modern, maka kita harus pandai memilah beberapa tawaran yang
telah di sodorkan oleh peradaban dan kecanggihan.
Bibliografi
Judul buku: Matinya Pendidikan; Redefinisi Nilai-nilai
Sekolah
Penulis: Neil Postman
Penerjemah: Siti Farida
Tebal: xiv+294 hlm.
Genre: Pendidikan
Cetakan: I, 2019
ISBN: 978-602-5868-26-9
Penerbit: Immortal
Publishing & Octopus, Yogyakarta
0 Komentar