“Terus apa maksudnya ‘Sekolah Itu Candu’?” tanya salah seorang rekan guru sesaat setelah kami berdiskusi terkait kependidikan dan membaca judul buku yang sedang saya selesaikan untuk membaca. Ringkasnya, bahwa sistem kependidikan kita telah memenjara siapapun untuk patuh dan seolah tak boleh menyelisihi dari aturan dan sistem yang ada, yakni setiap jiwa terikat ‘kewajiban’ untuk belajar sembilan tahun. Yang tak menyelesaikan kewajiban, akan tersisih dari hierarki sosial. Tak cukup dengan itu, nyaris semua posisi pekerjaan mensyaratkan bukti penyelesaian belajar secara gradual.
Seperti yang Toto Rahardjo; Ketua Dewan Pendidikan Insist
periode 2002-2008; sampaikan dalam Maklumat buku ini, bahwa buku kecil ini asal
mulanya adalah kumpulan tulisan seorang mahasiswa ilmu pendidikan yang selalu
‘gelisah’ dengan ‘dunia’-nya pada paruh kedua 1970-an.
Di awal buku ini, bab 1 mengupas makna “sekolah” sesuai
dengan asal istilah tersebut. Makna ‘sekolah’ —sebagaimana diserap dari istilah
aslinya dari Yunani; skhole, scola, scolae, atau schola—
berarti waktu luang atau waktu senggang. Di mana saat itu, anak-anak muda
memanfaatkan waktu senggang mereka untuk mendatangi orang pandai untuk
mempertanyakan dan mempelajari segala hal yang mereka butuhkan.
Seiring waktu, para orangtua mempercayakan pendidikan
anak-anaknya ke orang pandai dengan memberikan upah. Fenomena ini menggeser
fungsi scola materna (pengasuhan ibu
sampai usia tertentu) menjadi scola in
loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah).
Pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak secara
sistematis dan metodis diinisiasi oleh Uskup Agung Moravia; Johannes Amos
Comenius yang pada kemudian hari disempurnakan oleh Johann Heinrich Pestalozzi
pada abad ke-18 dengan mengelompokkan anak-anak secara berjenjang dan sesuai
disiplin ilmunya.
Itu sebabnya, di awal buku ini dibahas “Sekolah: dari
Athena ke Cuernavaca”.
Bab 2 menceritakan bagaimana masyarakat sudah terlanjur
terjebak dengan istilah “sekolah”, terlanjur menjadi pengertian stereotip,
bahkan suatu stigma kental dalam pikiran, bahwa yang namanya sekolah itu
memiliki kompetensi umum atau kejuruan. Kompetensi kejuruan pun memiliki
ketentuan dan batasan. Sehingga jika peserta didik memiliki potensi di luar
kompetensi sekolah, dianggap salah mengambil jurusan sekolah.
Bab Sekolah di Sana-sini mengangkat aduan, mengapa
sekolah harus dibebani dengan sejuta keharusan dan pembatasan yang malah makin
mempersempit ruang gerak, wawasan, dan dinamikanya?
Bab 3 tentang Seragam Sekolah. Akhir bab membelalakkan
mata akal kita pada tulisan fiksi George Orwell berjudul “Nineteen Eighty
Four”. Novel tersebut mengisahkan satu negara raksasa di kawasan Eurasia —pada
1984— yang mengendalikan sedemikian rupa totaliter semua rakyatnya, termasuk isi
hati dan isi pikiran mereka.
Novel George Orwell tersebut dimaksudkan untuk
mengilustrasikan bagaimana politik sudah mencengkeram sampai institusi
pendidikan, di mana sekolah sebagai alat ‘mewariskan dan melestarikan
nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui oleh yang berkuasa. Sampai-sampai
pakaian dibuat seragam, mata pelajaran dibuat seragam, bahasa dan cara bicara
dibuat seragam, tingkah laku dibuat seragam. Jangan-jangan, isi kepala dan isi
hati pun harus seragam!
Bab 4 membahas obrolan dua orang dewasa berbeda usia. Di
mana seorang yang lebih muda mencoba memberikan letupan-letupan ide bagi lawan
bicaranya yang lebih tua yang sedang kebingungan menghadapi masa depan.
Bab ini memang satire. Bahwa “Dirikanlah Sekolah!” adalah
jalan ’ninja’ bagi mereka-mereka yang tak tahu harus berbuat apa. Bahwa ada
institusi pendidikan yang didirikan oleh mereka yang tak memiliki kompetensi
terhadap pendidikan.
Bab 5 mencuplik kekesalan seorang Kepala Sekolah yang ia
ungkapkan kepada salah seorang guru terkait narasi yang dibangun media massa
yang menyoroti mahalnya biaya sekolah. Bahwa pengelolaan Sekolah dan Perusahaan
tak jauh beda, seperti ungkapan Ivan Illich dalam “Bebas dari Sekolah” terbitan
Sinar Harapan. “Sistem sekolah yang ada sekarang pada dasarnya menuntut
pengelolaan sebagai suatu perusahaan. Dan sekolah zaman sekarang sudah menjadi
majikan terbesar dan paling anonim dari semua majikan.”
Bab 6 berjudul Sekolah Anak-anak Tenda. Kisah seorang
relawan dari Amerika bernama Jane yang pernah terjun di tengah barak-barak
pengungsi di Palestina, Yordania, dan Lebanon Selatan. Pandangannya terhadap
masa depan Palestina —jika nanti merdeka— sangat dilematis.
Generasi ke depan adalah anak-anak di masa kini yang
dikonstruksi dengan suasana perang, slogan-slogan perlawanan, hasutan semangat
kesyahidan (martirdomship)
berlebihan, dan ‘kesantunan’ yang galak. Sebuah asupan dewasa yang belum layak dikonsumsi
olah usia anak-anak.
Apa yang direnungi Jane dari fenomena yang ia alami,
melahirkan satu kesimpulan, bahwa anak-anak di tempat ‘merdeka’ pun tak jauh
berbeda dengan anak-anak yang tumbuh di tengah konflik, yakni mengorbankan
sebagian waktu mereka yang amat berharga untuk melakukan berbagai kegiatan yang
semestinya hanya menjadi bagian pekerjaan orangtua mereka.
Bab 7 berjudul Sekolah Anak-anak Laut. Bercerita tentang
kehidupan anak-anak Bajo. Di mana fasilitas belajar di sana sangat terbatas dan
akses menuju sekolah pun tidak mudah. Meski begitu, sanksi yang dikenakan oleh
guru terhadap anak-anak yang tidak amanah dalam melayani tugas guru —karena
memfasilitasi guru dengan sampan dan semacamnya menjadi peraturan sepihak
kepada murid— bukan menyiutkan nyali mereka. Bahkan mereka sangat menikmati
sanksi tersebut —digambarkan ketika sanksi itu berupa menyetor ikan segar
kepada guru— di lautan Banda. Dari sana, muncul pertanyaan mendalam, “apakah
sekolah bagi mereka, dan apakah mereka bagi sekolah?” (hlm. 57).
Bab 8 bertajuk Robohnya Sekolah Rakyat Kami berkisah
tentang keresahan atas pergeseran budaya sekolah yang pada masa lalu memiliki
tradisi aktivitas yang kental kultur sosial —gotong royong— yang lekat dengan
budaya masyarakat bawah menjadi aktivitas sosial formalitas saja atas nama dan
dengan label-label ‘demi pembangunan, industrialisasi, modernisasi, dan
globalisasi’. Sehingga keberadaan sekolah —menurut Paulo Freire— ibarat
‘mencerabut khalayak dari akarnya’; Sekolah Rakyat.
Ungkapan kekesalan Roem sepertinya terwakili di bab 9
tentang Involusi Sekolah. Tak seperti bab-bab lainnya, kali ini bahasan terkait
involusi sekolah tak diilustrasikan dengan hal-hal berbau kelucuan sama sekali.
Involusi memiliki makna proses kembalinya suatu organ ke
ukuran semula. Jadi, upaya mengubah sistem pendidikan secara kualitatif dengan
hanya mengulang-ulang pola yang telah ada —meskipun dengan cara yang baru dan
lebih maju, maka ia disebut “involusi sekolah”.
Upaya pembaruan sistem pendidikan nasional di Indonesia
yang menggunakan dalih pendekatan analisis sistem —menuruti sabda Clarence
Beeby— bukannya makin menyederhanakan, tapi malah makin membuat kusut tak
terdeteksi lagi pangkal-ujungnya. Seperti ketika sekolah sudah menentukan
Kriteria Ketuntasan Minimal ternyata peserta didik mendapat nilai ulangan akhir
di bawah KKM, diambil langkah manipulatif dengan cara mengatrol nilai demi
citra sekolah. Tapi jika penerapannya dalam upaya pembaruan pendidikan di
Indonesia tidak membawa hasil yang diharapkan, maka hanya tersisa satu
kemungkinan, yakni sistemnya bermasalah.
Ada semacam ‘keengganan ideologis’ campur ‘kemalasan
intelektual’ dan ‘kebanggaan semu budaya’ untuk mengubah kemapanan
batasan-batasan baku yang sudah ada (hlm. 80).
Bab 10 memotret kehidupan sekolah di pelosok. Dengan
judul Jalan Sekolah, bab ini mengangkat fenomena urgensitas sekolah. Di mana
sepenting-pentingnya kehadiran sekolah, kebutuhan masyarakat pelosok hanya sebatas
dapat membaca dan menulis.
Masyarakat pelosok merasa lucu ketika dihadapkan dengan
pertanyaan, “Apakah sekolah memang begitu menentukan hidup mereka?” Sebab bagi
mereka, jika sekolah tidak mampu membantu memecahkan masalah di kampung yang
telah berlangsung bertahun-tahun, untuk apa mereka bersekolah?
Dan jika keberadaan sekolah malah mencerabut kenyataan
sosial, seperti muncul budaya malu menjadi petani setelah lulus kuliah, untuk
apa bersekolah?
“Sungguh, saya tak paham mengapa menjadi petani dan hidup
di desa dianggap sesuatu yang perlu dihindari, bahkan dijauhi?” begitu ungkapan
seorang pemuda lulusan STM jurusan Teknik Elektro yang pulang kampung menjadi
petani. Karena memang kurikulum pendidikan nasional tidak menganggap kearifan
lokal sebagai potensi.
Berbeda dengan keprihatinan sebelumnya, Roem
mengungkapkan keheranannya pada sistem pendidikan di sekolah yang —saat itu—
memilih gengsi mengakui keberadaan anak berbakat atau yang memiliki inisiatif
di atas rata-rata dengan cara mengeluarkannya dari sekolah, atau secara
sistemik bersepakat menolak menerima murid berbakat di bab 11; Sekolah itu
Candu. Padahal di satu sisi, masyarakat menyayangkan peristiwa diskriminatif
semacam itu. Tetapi apapun itu, institusi pendidikan —para guru dan para
pejabat resmi pendidikan— seolah yang paling benar dan berkuasa. Segala macam
aturan yang mereka bikin dalam pengelolaan sekolah bisa saja salah. Tapi,
sekolah itu sendiri sebagai suatu sistem dan lembaga masyarakat? Tidak!
Bab 12 mengangkat komparasi yang terjadi di Indonesia
ketika anak Indonesia memenangi olimpiade sains di luar negeri relatif sepi
pemberitaan dan apresiasi dibandingkan masifnya apresiasi terhadap putra daerah
yang mengikuti kompetisi bakat, bahkan pejabat pemerintah daerah pun ikut
berkampanye menyokong eksistensi ‘anak’ daerahnya. Kultur kehidupan bernegara
kita seolah meniadakan tahap proses yang bernilai dan lebih cenderung
memakmurkan jalan pintas untuk mencapai ketenaran dan kejayaan. Oleh karenanya,
bab ini diberi judul Selamat Tinggal, Sekolah.
Benjamin S. Bloom; seorang pakar psikologi pendidikan;
mengungkapkan, bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan pada dasarnya berfungsi
menggarap tiga wilayah —taksonomi pendidikan, yakni membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan
pengetahuan (cognitive domain), dan
melatihkan keterampilan (psychomotoric
atau conative domain). Tetapi
kenyataannya, banyak sarjana lulusan sekolah tertinggi sekarang lantas larut
jadi koruptor dan tukang peras rakyat kecil, lulusan sekolah seni jadi atlet,
sarjana ekonomi bekerja jadi guru bahasa, sarjana keguruan jadi kasir, dan
semacamnya. Lantas untuk apa semua bengkel dan laboratorium sekolah yang
mahal-mahal itu jika output-nya tak
sesuai ekspektasi? Oleh sebab itu, Everett Reimer berkesimpulan: “Sekolah Sudah
Mati!”. Dan ini dibahas dalam bab 13.
Bab 14 tentang Sekolah: dari Analogi ke Alternatif
“Sekolah, bukanlah
dan tak boleh menjadi ‘menara gading’.” —Jose Ortega y Gasset
“Sekolah...
pertama kali harus memenuhi janji atas ‘kontraknya’ dengan masyarakat.” —Derek Bok
“Sekolah, mestinya
seperti oasis.” —Gene
Bylinsky
“Sekolah adalah...
rancangan cetak-biru masyarakat dengan masa depan.” —Clark Kerr
“Sekolah itu...
kebun.” —Julius
Kambarage Nyerere
“Sekolah itu...
taman.” —Ki Hadjar
Dewantoro
Terakhir, pernahkah teman-teman berkesempatan menjadi
guru mengaji di rumah? Pesertanya biasanya anak-anak dari usia Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah. Sore atau petang hari mereka mengaji bersama-sama. Ada
emosi (empati) saat di antara mereka ada yang sulit memahami cara membaca,
sering lupa dengan beberapa huruf hijaiyah. Atau hari ini mereka bisa, pertemuan
berikutnya mereka lupa pelajaran yang lalu. Ada kesal bercampur kepedulian. Ada
usaha coba-coba untuk mencari metode mengajar agar kompetensi yang kita
kehendaki menjadi mudah mereka pahami. Ada kepuasan serta rasa syukur
tersendiri ketika Alloh mudahkan mereka memahami apa yang kita ajarkan. Nah,
semacam itulah kiranya apa yang dimaksud dengan “sekolah” di Yunani kala itu;
di waktu senggang, tanpa penentuan kompetensi dasar apa yang harus mereka
kuasai secara seragam, dan tak dibatasi dengan rentang waktu untuk
penyelesaiannya.
Buku ini berlatar belakang tahun 2222, menampilkan tokoh
Sukandal, seorang petani yang tanpa sengaja menemukan satu naskah tua di Museum
Bank Naskah Nasional yang diberi label amaran resmi sebagai “Bacaan Terlarang”.
“Buku kecil Roem
ini memang dapat digolongkan sebagai bacaan subversif, karena jelas-jelas
menggugat kemapanan sistem pendidikan yang berlangsung di republik ini sejak
lebih dari dua dasawarsa lalu.” —Roy Tjiong; Ketua Dewan Pengawas Insist periode 2005-2008
Bibliografi
Judul buku: Sekolah
Itu Candu
Penulis: Roem Topatimasang
Tebal buku: xvi+131 hlm.
Genre: Pendidikan
Cetakan: 13, Maret 2018
ISBN: 978-602-0857-55-8
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
0 Komentar