Namanya Christiaan Snouck Hurgronje. Ia seorang
orientalis Belanda. Ia dikenal memiliki keahlian dalam studi Islam, terutama
hukum Islam. Sehingga oleh Kolonial Belanda ditugaskan sebagai penasihat urusan
terkait kaum pribumi Indonesia. Tentu ada banyak cerita tentang sosoknya mulai
dari belajar di Makkah dengan ganti nama Arab kemudian bersahabat dengan ulama
di Tatar Sunda.
Snouck sebagai pakar ketimuran menulis karya
“Mohammedanism: Lectures on its Origin, its Religious and Political Growth, and
its Present StatePutman” tahun 1916. Karya ini disusun dari materi kuliah tentang
keislaman yang disampaikan Snouck pada 1914. Bahkan menjadi andalan Snouck saat
mengisi kuliah di beberapa universitas di Amerika. Kini buku tersebut
diterjemahkan dengan judul “Muhammadanisme” dan diterbitkan IRCiSoD Yogyakarta
tahun 2019. Tebal buku 142 halaman.
Bab pertama ini sangat menarik lantaran Snouck
menghadirkan pandangan dari banyak sarjana Barat mengenai Islam awal, kedudukan
Muhammad, autentisitas kitab suci Al-Quran, dan peranan Hadits Nabi sebagai
penjelas bagi firman Tuhan.
Gambaran tentang sejarah masa lalu tentu saja tidak
pernah luput dari penyimpangan dan kepentingan. Munculnya berbagai penyimpangan
dalam sejarah —menurut Snouck— karena penulisnya tidak lagi bertujuan untuk
mengetahui dan menghadirkan masa lalu sebagaimana adanya, tetapi mengonstruksi
gambaran tentang bagaimana seharusnya masa lalu itu sesuai dengan pandangan dan
kepentingan mereka.
Anggapan bahwa Islam berkembang melalui pedang dan
kitab suci juga tidak sepenuhnya dibenarkan oleh Hurgronje. Anggapan-anggapan
negatif mengenai Islam awal dan perkembangannya lebih banyak berasal dari rasa
terancam karena kedatangan Islam sebagai agama baru. Dalam sejarah agama-agama,
agama yang baru datang selalu dianggap sebagai ancaman dan bid’ah oleh agama
yang sudah ada sebelumnya.
Bagian kedua buku ini menguraikan perkembangan dan
penyebaran Islam serta peran Islam dalam kehidupan orang-orang Hadramaut,
Yaman. Buku ini dibuka dengan gambaran kemiskinan dan derita yang menghimpit
masyarakat Hadramaut akibat keyakinan pagan serta sifat picik, pemikiran yang
sempit, ortodoksi, dan permusuhan diantara para pemimpin sosial, agama, dan
politik di sana.
Selain perkembangan Islam secara
sosial-politis-spiritual, bab ini juga menjelaskan lima rukun Islam dari
perspektif sejarah agama-agama. Artinya, keberadaan lima rukun Islam sejatinya
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh ajaran-ajaran agama yang ada
sebelum Islam, terutama Yahudi dan Kristen.
Hal menarik dari uraian dari Snouck tentang poligami
yang mengutip beberapa pendapat ulama. Menguraikan juga opini orientalis
lainnya yang bersikap subjektif terhadap kehidupan Nabi Muhammad SAW dan
berupaya menuduh agama Islam sebagai agama yang mendorong konflik dengan sesama
manusia, bahkan dengan keluarga.
Dari uraian tentang pemikiran Islam modern, seakan
Snouck mendukung gerakan purifikasi atau pembaruan dalam beragama seperti yang
digaungkan kaum pembaru di Timur Tengah abad 18-19 Masehi. Kemudian ada juga
uraian terkait Syi’ah dan keyakinan akan hadirnya Al-Mahdi.
Menurut Snouck, Islam terbagi menjadi tiga ranah
aktivitas, yakni keagamaan murni atau ibadah, kemasyarakatan, dan kenegaraan.
Pembagian aktivitas umat Islam ini menentukan bagaimana Pemerintah Belanda
merespons atau menanggapi situasi yang ada dalam masyarakat saat itu. Terhadap
aktivitas ibadah, Pemerintah Belanda harus berlepas tangan. Untuk aktivitas
kemasyarakatan, Pemerintah Belanda akan ikut terlibat jika sekiranya diperlukan
melalui jalur administrasi pemerintah. Namun untuk aktivitas perpolitikan atau
kenegaraan, Pemerintah Belanda harus bersikap keras dan tegas agar tidak
terjadi pan-Islamisme.
Sedangkan pada bahasan terakhir, Snouck membagi
pemikiran modern dalam Islam menjadi tiga, yaitu pemikiran formalis yang lebih
menonjolkan Islam sebagai ajaran yang memuat aturan dan hukum bagi penganutnya,
para pemikir esensialis yang berusaha mencari hakikat dan esensi setiap ajaran
Islam tanpa terjebak pada bentuk formal dan logika hukum, dan kelompok
spiritualis yang memaknai Islam sebagai jalan untuk mendekatkan manusia kepada
Tuhan.
Terakhir, awalnya saya mengira Snouck menulis
tentang sejarah Nabi Muhammad SAW pada buku tersebut. Ketertarikan saya pada
judulnya karena melekatkan nama Muhammad. Ternyata tidak seperti yang disangka.
Snouck menulis yang dipahaminya tentang Islam dan sejarah umat Islam yang
dibaca serta praktik atau kehidupan umat Islam yang dilihatnya di Makkah dan
Indonesia.
Barangkali karena faktor teologi Nasrani yang
diyakininya, menamai agama Islam dilekatkan pada pembawanya. Sehingga agama
Islam disebut “Muhammadanisme”. Dengan
istilah itu saya menebak, bahwa Snouck menganggap seluruh ajaran Islam yang
diyakini, dipahami, dan dipraktikkan dalam kehidupan umat Islam dari sejak
wafat Rosululloh SAW sampai abad ke-19 Masehi adalah dibuat dan diciptakan oleh
Muhammad bin Abdulloh.
Nah, ini khas cara pandang orientalis yang ingin
menempatkan Islam bukan agama universal dan Ilahiah, tetapi sebagai agama yang
berasal dari seorang Arab dari bani Quroisy di Makkah. Saya kira ini kesalahan
dari seorang Snouck dalam memahami agama Islam dan sumber doktrinnya.
Jujur saja buku terjemahan ini susah dicerna dan
tidak mudah dipahami dengan sekali baca. Mungkin harus lebih dari satu kali
baca bukunya.
Judul: Muhammadanisme
Penulis: C. Snouck Hurgronje
Tebal: xx+142 hlm.
Genre: Religion & Spiritually
Cetakan: I, Januari 2019
ISBN: 978-602-7696-69-3
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta
0 Komentar