Resensi: Memudarnya Supremasi Barat di Tengah Kebangkitan Asia

Program Amerika membantu pemulihan Eropa pasca Perang Dunia II disebut program Marshall Plan. Negara-negara yang dapat bangkit dalam restorasi tersebut pada dekade 70-an berkumpul dalam koloni negara G7 (Jerman, Prancis, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Italia, Jepang). Tetapi resesi ekonomi global 2008 tak satu pun negara Eropa dan Amerika yang bisa saling mengentaskan. Tampillah Xi Jinping dengan program pembangunan infrastruktur terbesar sepanjang sejarah manusia; Belt and Road Initiative (BRI); yang membentang dari kawasan Baltic hingga Pasifik.

Salah satu kejadian paling menarik di awal abad ke-21 adalah pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi global dari Barat ke Timur ditandai dengan kebangkitan korporasi raksasa Asia seperti Samsung, Toyota, Sony, Bank HDFC, Bank ICBC, dan menjamurnya bisnis Barat yang jauh lebih eksis di wilayah Timur. Negara-negara di Asia (terlebih anggota ASEAN) menjadi pilar-pilar kebangkitan ekonomi global dengan China sebagai punggawanya. Dengan beragam kajian melalui proyeksi rencana pembangunan ekonomi, India berpotensi menjadi bagian dari kekuatan ekonomi global di urutan keempat di atas Jepang.

Bahwa karena Amerika memenangkan Perang Dingin —terlebih Uni Soviet terpecah, Francis Fukuyama dan Huntington berasumsi bahwa Barat akan menjadi penguasa tunggal. Fukuyama melambangkan sistem demokrasi liberal-nya Barat akan mendominasi dunia. Sedangkan Huntington memaknainya sebagai perang di peradaban selanjutnya antara Barat melawan kekuatan Timur (Konghuchu dan Islam).

The Great Recession (krisis ekonomi global) tahun 2008 yang menghantam negara-negara maju membuat Barat kehilangan momentum. Kelemahan pilar-pilar Barat paling fundamental dinyatakan oleh Wolfgang Ischinger; Ketua Munich Security Conference (MSU) tahun 2017, adalah krisis kepercayaan masyarakat demokrasi Barat. Bahkan Immanuel Macron; Presiden Prancis; pun mengakui berakhirnya hegemoni Barat dalam urusan internasional pada akhir Agustus 2019.

Tahun 2008 tersebut beriringan dengan akhir masa pemerintahan Bush yang menjadikan masa kepemimpinannya identik dengan masa Perang Salib yang menghabiskan anggaran keuangan negara untuk membiayai perang yang dipaksakan.

Penarikan mundur pasukan militer Amerika dari Timur Tengah di masa Obama dimanfaatkan oleh Rusia, China, dan Iran untuk mengisi kekosongan kendali di Timur Tengah tersebut. Iran merupakan penumpang bebas dalam invasi Amerika ke Irak dan dipercaya Amerika untuk menguasai Irak. Peran Rusia di Suriah sebagai mitra Bashar Al-Assad menumpas para anti-Assad. Kehadiran China sebagai investor terbesar dalam pembangunan wilayah Timur Tengah. Rusia dan China menjadi kekuatan baru yang mandiri dan berani mengambil posisi berseberangan dengan Amerika. Bahkan sebagian besar negara-negara Eropa —sebagai mitra Amerika— segera menyambut bantuan China untuk segera bangkit dari krisis keuangan global.

Resesi tersebut ditambah lagi dengan mewabahnya virus corona. Di mana lagi-lagi China (dan Turki) yang bergerak cepat memberikan pertolongan bagi beberapa negara —termasuk Eropa dan Amerika. Hal ini menunjukkan kemerosotan kepemimpinan Amerika yang tak mampu memainkan kepemimpinan global.

Kapitalisme pasar bebas pertama kali dicanangkan oleh Adam Smith; guru besar filsafat moral Universitas Glasgow, Inggris; pada abad ke-18. Cara pandang materialismenya membawanya untuk tega mengeksploitasi kemiskinan untuk kekayaan pribadi. Sistem kapitalisme liberal pun menciptakan malapetaka yang menurunkan kredibilitas kapitalisme itu sendiri —terutama di Amerika, yakni terjadinya ketimpangan pendapatan disebabkan kebijakan politik (Joseph Stiglitz), kerusakan lingkungan hidup karena eksploitasi alam, abai terhadap kepentingan rakyat demi mengutamakan kaum elite, krisis keuangan global 2008, menggantungkan pertumbuhan ekonomi pada utang, dan penolakan dolar AS sebagai mata uang global.

Rencana mendasar militer Amerika di bawah kepemimpinan Donald Trump tidak memiliki sumber daya yang memadai. Di sisi lain, Rusia dan China mengalokasikan dana besar-besaran untuk mengembangkan strategi sains dan teknologi. Bahkan —menurut survei Pew Research Center— Amerika menjadi sumber persoalan bagi dunia. Bahkan sejak krisis ekonomi global 2008, keseriusan Amerika memelihara superioritasnya di bidang militer terbilang gagal.

Narasi teroris yang dibangun Bush untuk menggempur Timur Tengah menuai banyak kerugian, di antaranya biaya perang yang cukup besar dan korban nyawa yang banyak. Sedangkan hasil yang diharapkan dari digulirkannya narasi tersebut jauh dari kehendak. Kishore Mahbubani menyebut, bahwa perang yang dilancarkan Bush ini sebagai perang bunuh diri. Tetapi di sisi lain, ditariknya pasukan dan peran militer Amerika di Timur Tengah —sebagai komitmen janji kampanye Obama— dimanfaatkan Rusia, China, dan Iran untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah.

Kecamuk perang saudara di Suriah dimanfaatkan Rusia, China, dan Iran untuk mengokohkan eksistensinya melalui bantuan dana hingga menjadikan daerah konflik tersebut sebagai pasar bisnis persenjataan dengan membela Bashar Al-Assad melawan pihak yang anti-Assad. Sedangkan Obama (Amerika) hanya membatasi diri menggempur ISIS. Sedangkan China mengambil langkah kerja sama di bidang ekonomi dengan negara-negara Timur Tengah.

Kerja sama yang dibangun pasca penarikan pasukan Amerika dari Timur Tengah oleh Rusia dan China berupa kerja sama militer (latihan gabungan), ekonomi, energi, teknologi, dan teknologi tinggi.

Hegemoni Uni Eropa yang diharapkan akan berjaya menjadi kiblat dunia pun hanya bertahan beberapa tahun saja. Keterancaman eksistensi geopolitik dan geoekonomi Uni Eropa diawali dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), krisis ekonomi yang disebabkan oleh perang dagang antara Amerika dengan China, datangnya pengungsi dan keagamaan pengungsi Suriah ke Eropa meningkatkan sentimen tersendiri bagi penduduk Eropa ekstrem kanan, resesi ekonomi di beberapa negara Uni Eropa menyebabkan mereka mengalihkan harapan pemulihan ekonomi ke Timur; Rusia dan China.

Semula, perang dagang yang dicanangkan Trump hanyalah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dengan China. Ternyata China lebih kreatif dan massif dalam pengembangan teknologi. Bahkan perkembangan kemampuan teknologi China makin tak terbendung, baik dari sisi inovasi dan kualitasnya.

“China saat ini sesungguhnya telah sebanding atau bahkan telah mengungguli Amerika di berbagai sektor teknologi tinggi seperti teknologi hipersonik, ruang angkasa, satelit, teknologi 5G maupun artificial intelligence.” —Michael Brown; mantan CEO Symantec

Perang dagang yang bermetamorfosis menjadi perang teknologi antara China dan Amerika sesungguhnya merupakan awal dari perebutan supremasi silicon. Bahkan China sedang mewujudkan obsesi menguasai teknologi chip komputer hingga eksplorasi ruang angkasa (visi 2049). Di sisi lain, China juga mengalami beberapa kendala terkait obsesi teknologi, yakni meningkatnya jumlah usia tua, menurunnya jumlah pertumbuhan (bayi lahir), meningkatnya belanja perawatan kesehatan (awet muda dan penyakit tidak menular). Pemerintah China mengambil langkah mengembangkan bioteknologi (visi 2025), juga mengembangkan teknologi kereta api cepat di beberapa negara (visi 2025), dan dominasi artificial intelligence (AI) sebagai wujud visi 2030.

Kekhawatiran Amerika dan Eropa terkait penggunaan teknologi Huawei (5G) di dunia disebabkan pemiliknya adalah mantan perwira tentara Pembebasan Rakyat China; Ren Zhengfei. Sehingga ancaman keamanan data menjadi main issue Amerika ke Uni Eropa maupun Asia.

Sebenarnya buku ini merupakan trilogi dari “Strategi China Merebut Status Superpower” (2018) dan “Ambruknya Kredibilitas Demokrasi” (2019).

 

Bibliografi

Judul: Memudarnya Supremasi Barat di Tengah Kebangkitan Asia

Penulis: Prof. Dr. Bambang Sucipto, M.A.

Tebal: xii+348 hlm.

Genre:

Cetakan: I, April 2020

ISBN: 978-623-236-064-8

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar