“Menjadi sekolah yang belajar adalah pesan dari buku
ini,” kata Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D ketika memberikan sambutan pada buku
ini.
Tak jarang muncul kesadaran bagaimana menjadikan
sekolah yang bermutu dimulai dari tingkat satuan pendidikan atau sekolah itu
sendiri. Sekaligus pula keinginan tersebut menjadi bahan “pertengkaran”,
terutama ketika menyusun skala prioritasnya.
Buku ini terdiri dari 13 bab yang terbagi dalam dua
pembahasan besar, yakni bab 1-2 berisi paparan pemikiran makro mengenai dimensi
dan masalah pendidikan dalam dinamika struktural, kultural, dan ekonomis serta
tanggung jawab sosial untuk pendidikan. Sedangkan sepuluh bab selanjutnya
merupakan perspektif mikro pendidikan yang terangkum dalam bagian “Menjadi
Sekolah yang Belajar”.
Sebagaimana lazim kita pahami, bahwa dinamika bidang
pendidikan di Indonesia melibatkan tiga dimensi, yakni kultural, struktural,
dan ekonomis. Partisipasi masyarakat punya peran penting dalam memajukan
pendidikan. Sebab kurikulum dan produk pendidikan memang selayaknya tak lepas
dari peran kultural di sekitar sekolah. Termasuk di dalamnya masih adanya
kesenjangan antara sekolah kaya dan miskin dan otonomi daerah terkait
pembiayaan pendidikan dasar. Bagaimana dengan standar kurikulum pendidikan? Itu
sebabnya peran negara secara struktural penting dalam menentukan capaian
pembelajaran dan pembangunan fisik institusi. Sedangkan daya jangkau secara
pembiayaan, baik persebaran sekolah hingga kebutuhan pasar bebas terhadap
output, menjadi bagian dari dimensi ekonomis.
Yayasan Tanoto menyuguhkan pembimbingan pendidikan terhadap
guru di bawah Prof. Anita Lie berupa workshop,
implementasi, dan presentasi penelitian tindakan kelas.
Anita Lie memanfaatkan konsep pemetaan kondisi dan
posisi sekolah rumusan Reeves berupa empat kuadran, yaitu sekolah yang
“beruntung”, sekolah yang “kalah”, sekolah yang “belajar”, dan sekolah yang
“memimpin”. Di mana tiap kualifikasi memiliki dua variabel penting, yakni
tingkat pencapaian keberhasilan dan strategi dan tindakan penentu hasil.
Kualifikasi sekolah yang “kalah” tentu saja tidak memenuhi kedua variabel
tersebut. Hal tersebut tentu saja berbanding terbalik dengan kualifikasi
sekolah yang “memimpin”. Jika sekolah yang “belajar” memiliki kekuatan pada
strategi dan tindakan penentu hasil, justru variabel tersebut menjadi kelemahan
sekolah yang “beruntung”. Berbeda dengan kuadran “beruntung” —yang jika tidak
hati-hati akan merosot pada kuadran “kalah”, kuadran “belajar” dan “memimpin”
memiliki peluang mengulang keberhasilan karena sekolah memiliki pemahaman
tentang pentingnya strategi yang tepat dan rencana tindakan yang disusun
berdasarkan data dan fakta.
Dalam buku ini juga dijelaskan pola kepemimpinan
transaksional menurut Leithwood (2007) yang memiliki ciri-ciri pemimpin yang
selalu menganggap apresiasi dalam bentuk material sangat penting, memandang
teguh ketentuan-ketentuan hierarki dalam organisasi secara kaku, memiliki
kecenderungan kuat untuk bersikap mekanistik, ketat dalam peraturan dan
strategi pengawasan, dan mendasari segala sesuatu dengan kecurigaan atau
kekurangpercayaan.
Berbeda dengan pola kepemimpinan transaksional,
pemimpin transformatif selalu menekankan visi, misi, nilai-nilai, dan budaya
sekolah. Selain itu, ia lebih memperhatikan pada komitmen, karakter, dan
kompetensi pribadi guru. Ia juga memberikan keleluasaan untuk mengembangkan
kreativitas dan inovasi di sekolah. Seorang pemimpin transformatif juga
mendorong tumbuhnya semangat belajar dan kewirausahaan di antara guru serta
lebih mudah beradaptasi dengan perubahan.
Seorang pemimpin sekolah dalam supervisi pendidikan
harus memahami prinsip-prinsip praktis, sistematis, objektif, realistis,
antisipatif, konstruktif, kooperatif, kekeluargaan, demokratis, aktif, humanis,
berkesinambungan, terpadu, dan komprehensif.
Sekolah yang “belajar” memiliki 5 (lima) disiplin
sebagai cirinya, yaitu penguasaan pribadi. Guru mengajarkan kepada para peserta
didik keterampilan belajar, keterampilan berpikir, dan keterampilan hidup
sehingga para peserta didik bisa menjadi warga masyarakat yang bisa memberi
kontribusi bagi bangsa dan negara. Tetapi di sisi lain, guru identik dengan
belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional, kultural, dan spiritual
yang membuat guru kehilangan identitas dan integritas. Kedua, model mental. Guru
yang mempunyai model mental yang positif mempunyai daya dan kekuatan luar biasa
untuk mengubah situasi yang buruk dan menciptakan lingkungan belajar yang aman
dan nyaman bagi para peserta didik.
Ciri ketiga, visi bersama. Visi yang baik harus
menyentuh hati setiap orang yang terlibat di sekolah, sehingga visi itu
membangkitkan komitmen dan menggerakkan orang untuk mencapai tujuan. Ciri
keempat adalah berpikir sistemik. Pendidikan memiliki sistem yang kompleks dan
saling terkait. Oleh karenanya, berpikir sistemik membantu melihat keterkaitan,
memeriksa akar masalah, dan menemukan jalur tindakan konstruktif. Dan komunitas
belajar. Setiap guru butuh saling berbagi pengalaman dan metode agar motivasi
mendidik terus terjaga melalui komunitas belajar.
Sistem pendidikan nasional memerlukan standar dalam
pengertian bukan standar yang kaku dan statis, melainkan standar yang fleksibel
dan dinamis (H.A.R. Tilaar, 2006). Sedangkan urgensi standar kualitas
pendidikan dipengaruhi oleh tuntutan kepentingan politik nasional, tuntutan
globalisasi, dan tuntutan kemajuan.
Padahal yang dibutuhkan peserta didik di sekolah
secara mendasar adalah lingkungan belajar yang aman dan nyaman melalui proses
pembelajaran, peneladanan, pembiasaan, pembudayaan, perubahan dan bukan pemberitahuan,
pelatihan, pengulangan, penghukuman, pelanggaran.
Kedua, rumah kedua. Kehadiran seorang guru bukan
hanya sebagai pengajar, melainkan juga sebagai pendamping dan model inspirasi
(Thomas Lickona, 2004). Oleh karenanya dibutuhkan komunitas teman sebaya dan
kesempatan merancang masa depan. Tujuan awal lembaga pendidikan adalah membawa
kearifan masa lalu kepada para peserta didik masa kini. Sekolah perlu
mengajarkan sejarah, budaya, dan kearifan manusia dari masa lalu agar para
peserta didik bisa memperoleh akar dan orientasi keberadaan mereka.
Sentra utama sistem pendidikan menyeluruh: orangtua,
masyarakat, sekolah (Ki Hajar Dewantoro), dan media (globalisasi). Sentra
keempat (media) mulai menggeser peran keluarga dan masyarakat (Anita Lie,
2008). Media telah menggeser peran sekolah (Karsidi, 2005).
Penelitian menunjukkan, tingginya perhatian orangtua
pada pendidikan anak berbanding sejajar dengan prestasi anak (Henderson dan
Berla, 1994; Olmstead dan Rubin, 1982)
Faktor pendukung minat belajar anak di rumah
dipengaruhi tingkat sosial-ekonomi, pendidikan, dan pendampingan orangtua.
Sedangkan faktor pendukung minat belajar anak di lingkungan sekolah dipengaruhi
oleh kompetensi dan kepribadian guru, fasilitas penunjang, sarana belajar,
pengaruh budaya, dan iklim belajar.
Manfaat yang diharapkan didapat oleh guru dalam
program Tanoto Foundation antara lain meningkatkan motivasi dalam mengembangkan
kompetensi, memahami konsep, paradigma, dan best
practices. Selain itu, menguasai metodologi dan media pembelajaran,
menyusun strategi pembelajaran, menulis RPP berdasar silabus, dan menjadi guru
damping bagi rekan guru.
Tak terkecuali Kepala Sekolah. Program Tanoto
Foundation memberikan manfaat pula kepada Kepala Sekolah, di antaranya memahami
konsep, paradigma, dan best practices
dalam bidang pendidikan, menyusun strategi pengelolaan sekolah yang lebih
efektif, membimbing para guru untuk menulis RPP, dan menambah kemampuan
manajerial.
Secara tersirat, buku ini menyampaikan bahwa semua
orang bisa berperan serta dalam memajukan pendidikan.
Judul: Menjadi
Sekolah Terbaik; Praktik-praktik Strategis dalam Pendidikan
Penulis: Prof. Anita Lie, Ed.D, Takim Andriono,
Ph.D, Sarah Prasasti, M.Hum
Tebal: iv+188
Genre: Pendidikan
Cetakan: I, 2014
ISBN: 978-979-013-205-4
Penerbit: Tanoto Foundation, Jakarta
0 Komentar