Resensi: Fakta Baru Walisongo

“Apa fakta barunya?” Sebuah pertanyaan yang menggugah kesadaran ketika membaca buku ini. Karena yang kita ketahui dari jejak kisah kehidupan dan persona Walisongo begitu samar dan penuh fiksional mistis. Itu sebabnya, Habib Luthfi bin Yahya memberikan saran, bahwa sejarah Walisongo jangan hanya dilihat dari sisi mistik dan kleniknya saja, tetapi harus dilihat juga dari sejarah sosial dan intelektual mereka (hlm.134).

Prof. Dr. Hasanu Simon memberikan penegasan, bahwa akibat kisah Walisongo yang banyak memuat kisah mistik dan cerita horor serta banyak kebohongannya, membuat umat Islam Indonesia sulit mengembangkan cara berpikir dialektis untuk mengambil hikmah yang sesungguhnya dari perjuangan para pendekar dakwah Islam Tanah Jawa (hlm.135).

Tentang istilah “Walisongo”, penulis baru memaparkannya di bab III. Selain baru populer istilah tersebut di abad ke-19 oleh Ronggowarsito, keberadaan istilah “songo” itu pun ada beberapa pendapat; “tsana” yang berarti mulia, “sana” bermakna tempat. Ada pula yang menanggapi, bahwa istilah tersebut merupakan nama sebuah dewan dakwah. Jika istilah “songo” disandarkan pada jumlah wali, dalam Serat Walisana yang ditulis Sunan Giri II hanya berjumlah delapan personil.

Untuk menjawab judul “Fakta Baru” Walisongo, penulis —yang dikaruniai kemampuan memahami nyaris 130 referensi— dan pembaca diajak berpetualang menikmati kisah-kisah fiksional mistik —bahkan sampai detail percakapannya— yang oleh penulis sendiri berkali-kali ia sebutkan bahwa kisahnya tak layak menjadi bagian dari dakwah. Terlalu membuang energi dan waktu. Jika penulis sekadar ingin menyusun fakta bahwa para wali tersebut penganut ahlus sunnah wal jama’ah, tak perlu memaparkan nyaris setengah buku untuk menuangkan kisah-kisah mistis yang jauh dari faidah.

Selain itu, pembahasan tiap babnya pun kurang terstruktur, bahkan hingga membahas keberadaan era ‘manusia’ purba di bab I yang tidak ada korelasinya dengan “Fakta Baru” Walisongo.

Sampai akhir bahasan, tidak banyak perubahan dari sisi kesejatian Walisongo sendiri. Kenyataan tersebut didukung pernyataan Regnier De Graaf dan Dr. T.G.T. Pigeaud; sejarawan Belanda; yang tak mampu mencapai orgasme total history.

 

Resume Buku

Bab: Metodologi Penulisan Sejarah

• Menurut pakar sejarah, metode penulisan dan pendataan sejarah ada dua macam: metode klasik (mendeskripsikan semua peristiwa tanpa ada komentar dan ulasan) dan metode modern (menitikberatkan pada komentar, analisis, ulasan, dan komparasi tanpa memperhatikan aktualisasi sejarah yang terjadi.

• Penulisan buku ini menggunakan metode modern.

• Bukti bahwa Walisongo —pergeseran lisan dari Walitsana (yang bermakna wali-wali terpuji) atau Walisana (dinisbatkan pada tempat dakwahnya) atau Walisana (merupakan institusi dakwah)— merupakan manusia historis (bukan mitos): adanya Het boek van Bonang dan Kropak Ferrara. Di mana Heat Boek van Bonang dijadikan tesis Dr. B.J.O. Schrieke juga Drewes.

• Banyaknya unsur fiksional dalam kisah sejarah Walisongo sangat merepotkan —bahkan— oleh Regnier de Graaf dan De. T.G.T. Pigeaud untuk mengungkap kesejatian sejarah Walisongo.

• Buku ini disusun melalui penelitian 10 tahun.

• Istilah “Walisongo” baru populer pada abad ke-19 M oleh R.Ng. Ronggowarsito.

 

Bab: 1. Jawa Jantung Budaya

1. Sejak dulu, pulau Jawa sudah memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi dari pulau lainnya di Nusantara. Tempat transit sekaligus sentra perdagangan. Di mana interaksi lintas budaya terjadi di Jawa.

2. Tipologi budaya Jawa yang menjadi nilai luhur antara lain andhap asor (sopan santun, segan, lebih suka menyembunyikan perasaan), wani ngalah (lebih memilih mengalah daripada menimbulkan pertengkaran atau keributan), nrimo ing pandum (menerima ketentuan dari Tuhan, qona’ah), urip ora ngoyo (tak terlalu berambisi), gotong royong, ngajeni sing luwih tuo (menghormati orang yang lebih tua), ngluruk tanpo bolo sugih tanpo aji (kesatria dan bersyukur atas semua yang dianugerahkan Alloh). Selain itu, tradisi Jawa juga akrab dengan kepercayaan klasik yang merupakan modifikasi syariat agama. Tentu saja hal ini tak lepas dari keagamaan pribumi Jawa yang berakar dari keyakinan animisme dan dinamisme atau kepercayaan. Namun begitu, pengaruh keagamaan dan budaya dari luar pun tak pelak mewarnai Jawa. Meski begitu, jenis agama yang bersinkresi dengan kepercayaan tradisional (kejawen atau abangan) pun terjadi.

 

Bab: 2. Mengislamkan Tanah Jawa

3. Keagamaan masyarakat Jawa pada abad ke-11 adalah Hindu dan kepercayaan. Kejatuhan kerajaan Majapahit (1527 M) dengan corak keagamaan Hindu dan Buddha —bahkan menciptakan agama baru, yakni Syiwa-Buddha— disebabkan melemahnya kemampuan kepemimpinan raja, konflik internal (Perang Paregreg), krisis ekonomi, dan menguatnya pengaruh Islam sampai ke relung kerajaan.

Warna Islam pada pola pemerintahan di Jawa selalu dicirikan dengan masjid Agung, alun-alun, dan pasar/sentra dagang di sekitar keraton. Sedangkan masuknya Islam di Nusantara tidak serta-merta dalam satu waktu. Tetapi sudah berlangsung lama seiring dengan perjalanan dakwah, misi dagang, bahkan diplomasi antar-pemerintahan. Terkait dengan Islamisasi Jawa, sejarah mencatat tokoh Maulana Malik Ibrohim sebagai perintis sekaligus penghulu Walisongo di abad ke-15. Tim dakwah Walisongo terdiri dari beberapa personil tiap angkatannya. Kesultanan Islam Demak berdiri menjelang keruntuhan Majapahit 1478 M (menurut Solichin Salam), tetapi baru dapat pengakuan sah dari para sejarawan tahun 1518 M. Usia kesultanan Islam Demak selesai tahun 1549 M akibat konflik internal. Di tangan Joko Tingkir, kesultanan Islam ia pindah ke Pajang (Mataram).

Warna corak Islam di Jawa tidak sama dengan wilayah lain. Ini disebabkan dalamnya pemahaman fiqhud dakwah para wali yang piawai memadukan antara esensi dakwah dengan budaya lokal.

 

Bab: 3. Fakta Baru Walisongo

4. Istilah “Walisongo” menurut beberapa pendapat bukanlah murni berbunyi “songo” yang dalam bahasa Jawa bermakna sembilan. Tetapi pergeseran lisan dari “tsana” yang bermakna mulia. Sedangkan menurut R. Tanojo dan Hardjawidjaja berbunyi “sana” bermakna tempat (dakwahnya wali). Ada pula yang berpendapat istilah “Walisongo” merupakan nama dewan dakwah.

5. Istilah “Walisongo” baru populer pada abad ke-19 M oleh R.Ng. Ronggowarsito; pujangga sastra Jawa dari keraton Surakarta. Ditengarai, ada rekayasa atau distorsi penulisan sejarah Walisongo sesuai kepentingan keraton. Oleh karenanya, Ahmad Manshur Suryanegara menganggap Walisongo didongengkan atas nama Islam, tetapi isi ajarannya tetap Hindu atau Buddha. Prof. Simuh mencibir penggunaan istilah “sunan” untuk para wali dimaksudkan untuk menggeser penokohan wali Arab demi hegemoni kejawen (Javacentris) dan kepentingan pragmatis penguasa. Widji Saksono menyebutkan, bahwa cerita Walisongo direkayasa untuk didoktrinkan dan agar masyarakat tak berani berpikir kritis terkait Walisongo. Oleh karenanya, De Graaf dan Pigeaud kesulitan menemukan validitas kisah Walisongo.

6. Koentjaraningrat memberikan analisis, bahwa terdapat dualisme dalam tatanan sosial di Jawa. Para wali dianggap kelompok kanan dalam strata kerajaan, dan para penganut Hinduisme pada kelompok kiri. Itu sebabnya istilah “Walisongo” dipopulerkan Ronggowarsito; sastrawan keraton.

Keanehan lain —jika dikaitkan dengan istilah “songo”— adalah jumlah wali hanya delapan personil yang ditulis Sunan Giri II dalam Serat Walisana.

Menurut Damani, santri dan pesantrenlah yang memiliki andil Islamisasi di Nusantara, bukan melulu Walisongo yang hanya sedikit jumlahnya.

7. Menanggapi keluarbiasaan karomah para wali, Widji Saksono menanggapi, bahwa semua itu merupakan kisah alegori; perumpamaan atau simbolisasi; yang dikemas dalam bentuk cerita-cerita yang lebih dekat pada kultur rakyat Jawa (hlm.130). Habib Luthfi bin Yahya menyarankan, hendaknya sejarah Walisongo jangan hanya dilihat dari sisi mistik dan kleniknya saja. Tetapi harus dilihat juga dari sejarah dan intelektual mereka (hlm.134). Prof. Dr. Hasanu Simon menegaskan, bahwa akibat kisah Walisongo yang banyak distorsi dan muatan kisah mistik, umat Islam Indonesia sulit mengembangkan cara berpikir dialektis terkait perjuangan dakwah para wali (hlm.135).

 

Bab: 4. Komposisi Walisongo

8. Pangeran Sulaiman Sulendraningrat —dalam Babad Cirebon— dan Agus Sunyoto —dalam Atlas Walisongo— tidak memasukkan Syaikh Maulana Malik Ibrohim dalam jajaran Walisongo tetapi memasukkan Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang —tidak sebagaimana umumnya seperti yang dituturkan Dadan Wildan; Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Kalijogo, dan Sunan Muria.

9. Profil para Sunan:

a. Maulana Malik Ibrohim (Sunan Gresik)

• Asal: Hadramaut (Thomas Stamford Raffles dan Prof. Dr. Hamka)

• Julukan: Sunan Gresik, Kakek Bantal

• Tempat dakwah: Gresik

• Fokus dakwah: memandirikan ekonomi rakyat (waduk, irigasi, pertanian), pesantren, pengobatan.

• Wafat: Gresik, 12 Robiul Awal 882 H/9 April 1419 M.

b. Sunan Ampel

• Nama: Ali Rahmatulloh/Raden Rahmat

• Asal: Champa, 1423 M.

• Ayah: Ibrohim Samarkandi/Maulana Malik Ibrohim

• Tempat dakwah: Ampeldenta

• Putra: Sunan Bonang, Sunan Drajat

• Falsafah dakwah: ”Moh limo” (lima pantangan); moh main (pantang berjudi), moh ngombe (pantang mabuk-mabukan), moh maling (pantang korupsi), moh madat (pantang konsumsi narkoba), dan moh madon (pantang berzina).

• Wafat: 1481 (Babad Gresik), 1486 (Serat Kandha), 1484 (Sjamsudduha), 1467 (Ian Mustafa).

c. Sunan Giri

• Nama: Raden Paku

• Asal: Blambangan, 1412 M. 1433 M (Raffles), 1443 M (Prof. Dr. Hasanu Simon)

• Julukan: Prabu Satmata, Sultan Abdul Fakih, Raden Ainul Yakin, Joko Samudro

• Tempat dakwah: bukit Giri

• Amanah: diangkat sebagai ketua Walisongo, hakim.

• Putra: Sunan Dalem (Giri II), Sunan Sedomargi (Giri III), Sunan Giri Prapen (Giri IV), Sunan Kawis Guwo (Giri V), Panembahan Ageng (Giri VI), Panembahan Mas Witono (Giri VII), Pangeran Singosari (Giri IX).

• Wafat: 1506 M.

d. Sunan Gunung Jati

• Nama: Syarif Hidayatulloh

• Lahir: Mesir, 1448 M (Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon).

• Tempat dakwah: Cirebon

• Keterangan: Syarif Hidayatulloh bukanlah Faletehan atau Falatehan atau Fatahillah atau Tubagus Pasai.

• Wafat: 1568 M.

e. Sunan Bonang

• Nama: Raden Makdum, Maulana Makdum Ibrohim

• Lahir: 1465 M (Dr. Schrieke), 1450 M (Sjamsudduha)

• Julukan: Sayyid Keramat, Sunan Wadat.

• Tempat dakwah: Tuban

• Warisan: Het Boek van Bonang, Kropak Ferrara, gamelan bonang.

• Wafat: 1525 M.

f. Sunan Drajat

• Nama: Raden Syarifuddin/Raden Qosim

• Lahir: 1470 M

• Julukan: Maulana Hasyim, Masaih Munad, Mahmud, Pangeran Kadrajat, Sunan Muryapada, Raden Imam, Syaikh Masaikh, Sunan Mayang Madu.

• Tempat dakwah: Drajat

• Falsafah dakwah: “beri tongkat pada yang buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang, dan beri payung pada yang kehujanan.”

• Wafat: 1522 M.

 

Bab: 5. Sosok dan Ajaran Syekh Siti Jenar

10. Profil Syekh Siti Jenar

• Nama: Abdul Jalil atau San Ali atau Kasan Ngali Ansar (Kitab Walisana).

• Nama lain: Siti Brit, Syekh Jabaranta, San Ali Anshar, Abdul Jalil, Syekh Lemah Abang.

• Asal: debatable (Persia/Jawa/Malaka/Cirebon).

• Prinsip aqidah: wahdatul wujud (manunggaling kawulo lan Gusti)

• Tokoh: Abu Yazid Al-Bisthomi (doktrin Ittihad), Husain bin Manshur Al-Hallaj (doktrin al-hulul), Muhyiddin bin Arobi.

• Ciri ajaran: menolak semua ajaran agama yang berbau Arab. Tidak menganggap kitab suci sebagai sumber ilmu agama, dan menghina segala bentuk ibadah praktis (Munir Mulkhan; “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar”)

• Akhir hidup: dihukum mati oleh keputusan sidang Walisongo atas kesesatan aqidahnya.

• Wafat: debatable (1529/1506 M).

 

Bab: 6. Perdebatan Walisongo Seputar Makrifatullah

11. Dokumen Kropak Ferrara —yang kini tersimpan di Perpustakaan Umum Ariostea di Italia— berisi tentang tuntunan menjadi Muslim sejati (kaffah). Secara garis besar, kandungan _Kropak Ferrara_ memuat dua perkara, yakni pengertian Makrifat dan Hakikat, dan panduan etika hidup dan cara beragama.

Perdebatan alot terjadi antara para wali dengan Syekh Siti Jenar yang menganggap Alloh sudah bersemayam dalam dirinya.

 

Bab: 7. Panduan Walisongo tentang Etika Hidup dan Cara Beragama

12. Bab ini berisi terjemahan dari Kropak Ferrara lampiran kedua yang secara garis besar mewasiatkan ber-‘uzlah (menyendiri untuk merenungi diri dan fenomena sekitar untuk keperluan memperbaiki keadaan) dan beribadah. Yang perlu dikembangkan adalah kesholihah pribadi dan kesholihan sosial.

13. Wasiat Syekh Ibrohim: bertaubat, menjaga lisan, bergabung dalam komunitas kebaikan, konsisten, tundukkan nafsu, menjaga kesucian, jangan mendengki, berbuat adil.

14. Wasiat untuk para guru: menghamba hanya pada Alloh, menebar ilmu, warisi sifat rohman dan rohim-nya Alloh, memuliakan ilmu dan ahli ilmu.

15. Etika guru: memiliki pengetahuan fikih, jadilah teladan kebaikan, responsif, sayangi murid, akhirat minded, pemaaf, merahasiakan ibadah. #Selesai

 

Bibliografi

Judul: Fakta Baru Walisongo; Telaah Kritis Ajaran, Dakwah, dan Sejarah Walisongo

Penulis: Zainal Abidin bin Syamsuddin

Tebal: xxvi+422 hlm.

Genre: Sejarah

Cetakan: II, Maret 2017

ISBN: 978-602-0871-08-0

Penerbit: Pustaka Imam Bonjol; Jakarta Timur

 

Posting Komentar

0 Komentar