“Pancasila sekadar alat pemersatu. Jika rakyat sudah bersatu, maka Pancasila tidak diperlukan lagi... Jika PKI telah berkuasa mutlak, rakyat akan bisa bersatu.”
Kalimat di atas diucapkan DN.
Aidit selaku Ketua CC PKI yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk
mengecoh lawan-lawannya.
Buku ini secara khusus memang
memaparkan kronologi peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
dalam bentuk kronik, di mana seluruh isinya berdasarkan kesaksian korban dan
pelaku sejarah ini diharapkan sebagai penyambung benang merah perjalanan
sejarah Nahdhotul Ulama bagi generasi muda NU. Banyaknya barisan muda NU yang
terprovokasi dan termakan narasi simpatisan PKI masa kini yang membalikkan
fakta sejarah, bahwa mereka adalah korban dari serangkaian upaya kudeta yang
dilakukan DI/TII, Masyumi, TNI yang dibantu NU.
Bagi PKI, NU menjadi partai
politik yang jauh lebih garang dan lebih tangguh dari Partai Masyumi —setelah
Masyumi dibubarkan pemerintah.
Dari serangkaian aksi
pemberontakan PKI dari tahun 1926, 1945, 1948, 1965, pemerintah tidak pernah
berani membubarkan PKI sebagaimana bernyalinya membubarkan Masyumi. Setelah
G-30-S/PKI tahun 1965 yang dinilai sudah keterlaluan, pemerintah membubarkan
dan melarang Komunisme di Indonesia melalui Tap MPRS No.25 tahun 1966.
Rekonsiliasi NU terhadap PKI
secara sosial telah dilakukan dengan membiayai pendidikan anak-anak PKI yang
menjadi korban balasan. Bahkan rekonsiliasi politik pun dipenuhi sebagai hak
warga negara yang telah menyatakan tobat dan setia terhadap Pancasila.
Hal yang dianggap ‘nyleneh’
dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang meminta maaf kepada keluarga PKI
atas peristiwa balasan pasca-G-30-S/PKI. Penyataan ini menimbulkan reaksi di
kalangan NU dan rakyat Indonesia, juga ditolak oleh pihak keluarga PKI yang
dinilai hanya basa-basi.
Terus terang, buku ini disusun
berdasarkan sudut pandang dan data dari pihak NU. Dan penerbitannya pun setelah
setengah abad pasca-1965 sebagai hak jawab NU terhadap distorsi narasi sejarah
yang ditulis oleh pihak PKI maupun media massa dalam negeri maupun luar negeri
yang mengabaikan rentetan sejarah kekejaman PKI sebelum 1965.
Resensi Buku
Bab: Muqoddimah dan Iftitah
Tak seperti TNI, pemerintah RI, dan PKI yang segera menerbitkan buku
terkait peristiwa berdarah 1965, NU baru menulisnya setelah sekitar setengah
abad dari peristiwa tersebut.
Urgensitas NU menerbitkan buku ini terkait kesimpangsiuran penulisan
sejarah yang mengarah pada tuduhan yang dialamatkan ke NU —terutama Banser—
sebagai satuan penjagal. Selain itu, banyak kelompok yang melakukan pembelaan
terhadap aksi PKI dan menyalahkan NU dan kaum Muslim. Campur tangan Barat dan
NGO di bidang HAM semakin memperkeruh situasi.
Rois Aam PBNU; KH. MA. Sahal Mahfudz; memberikan instruksi untuk
menyelidiki siapa pelaku dan apa motifnya, ambil langkah penanggulangan, dan
segera koordinasi dengan TNI. Selain itu, beliau menginstruksikan ditulisnya
buku sejarah Benturan NU-PKI dari sudut pandang NU. Sebab, kalangan muda NU pun
banyak yang tidak paham sejarah pendahulunya, sehingga mengikuti cara berpikir
orang lain.
Bab: 1. Pendahuluan
• Upaya merehabilitasi diri atas
pengkhianatannya terhadap NKRI mampu menempatkan PKI sebagai korban. Hingga
istilah G-30-S/PKI berubah menjadi G-30-S. Dan generasi muda yang tak paham
sejarah pun terpengaruh dengan propaganda PKI, kemudian ikut menyalahkan para
kyai dan ulama. Dan menuntut para ulama dan TNI meminta maaf kepada PKI.
• Buku ini ditulis sebagai panduan bagi warga
NU, terutama kalangan muda untuk memahami kebijakan dan strategi politik NU.
• Buku ini disusun berdasarkan pengalaman dan
kesaksian, bukan analisis.
• Pemberontakan PKI bukan hanya terjadi sekali
di tahun 1965, tetapi sudah beberapa kali dari tahun 1926, 1945, 1948, hingga
1965.
• Sistematika tulisan: pertama, perbedaan falsafah PKI dengan Islam; kedua, strategi perjuangan politik PKI; ketiga, respons NU terhadap provokasi PKI; keempat, korban kedua pihak; kelima,
proses rekonsiliasi sosial.
Bab: 2. Pokok Tuduhan
• PKI lahir di masa pendudukan Belanda di
Indonesia oleh orang Belanda; Sneevliet; di haluan kiri tahun 1920-an. Pada
tahap berikutnya, pemerintah Hindia-Belanda mengadu domba antara PKI dan
Indonesia dengan tujuan menjungkalkan Soekarno. Kemudian Belanda mengambil
posisi membela PKI setelah gagalnya upaya kudeta pada 1965.
• Sudisman (PKI) menyatakan korban dari
kalangan PKI pada peristiwa pemberontakan PKI 1965 sebanyak 180.000. Bung Karno
meyakini di angka 60.000. Adam Malik menyebut 150.000 korban, ABRI (TNI) punya
angka 40.000, dan Hermawan Sulistyo (Kediri dan Jombang) sebanyak 25.000
korban. Sedangkan angka korban menurut media dan pengamat asing sangat dramatis
hingga menyentuh angka jutaan; jumlah korban jauh lebih banyak ketimbang jumlah
penduduk!
• Jumlah korban yang fantastis dari pengamat
Barat —yang tidak dikonfrontir di lapangan— ditelan mentah-mentah oleh Mahkamah
Internasional, yang kemudian mendesak pemerintah dan umat Islam untuk meminta
maaf pada PKI.
Bab: 3. Akar-akar Pertentangan
• Ada perbedaan mendasar antara Islam dengan
ideologi Komunis. Islam mempercayai keberadaan Alloh dan hal ghoib, akhirat dan
kehidupan setelah mati. Sedangkan Komunis menyandarkan pada filsafat
materialisme, bahwa realitas hanya satu, yaitu benda (materi). Sehingga muncul
diktum “man is measure of the all of
things; manusia menjadi ukuran segala sesuatu”.
• KH. Idham Chalid mengatakan, bahwa politik
non-Komunis atau anti Komunis yang dijalankan NU tidak hanya untuk menghadapi
Komunisme, tetapi juga segala bentuk la
diniyun (sekularisme) dan zanadiqoh
(ateisme) dalam Harlah NU ke-39. Oleh karenanya, para kyai tidak terkecoh
memihak salah satu kubu dalam pertarungan kolonialisme dan komunisme.
• Strategi menghadapi PKI oleh KH. Saifuddin
Zuhri: “Agama sebagai unsur mutlak dalam nation
building, maka kita harus menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana... Setiap
ideologi yang berbahaya tidak hanya dilawan dengan menggunakan kekerasan dan
senjata, tapi harus dihadapi dengan kesadaran agama.”
• Strategi tangkal sudah dicanangkan NU sejak
awal dengan sikap politik non-kooperatif total “anti-tasyabbuh”; menolak segala
budaya Barat.
• Kesalahan PKI dalam mengembangkan komunisme
di Indonesia adalah menyamakan budaya Indonesia yang kekeluargaan dan
komunalistik dengan budaya Eropa yang individualistik, materialistik, dan
kapitalistik.
• Warna politik NU yang mengutamakan harmoni
bertentangan dengan watak politik PKI yang kontradiktif dan konfrontatif.
Bab: 4. Pembantaian Para Kiai di
Madiun 1948
• Pasca pemberontakan Komunis Indonesia 1926
sampai 1945, suaranya nyaris senyap. Dan sejak diterbitkannya Maklumat X pada
November 1945, kaum Komunis Indonesia mendaftarkan diri menjadi partai politik
yang sah.
• Partai politik afiliasi kiri (Partai Komunis
Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Partai Buruh
Indonesia, dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak) membuat koalisi Front Demokrasi
Rakyat —yang sebagian besar presidiumnya ditempati orang-orang PKI— yang pada
kemudian hari masyarakat lebih sering menyebut koalisi ini dengan nama “PKI”.
• Jelang 1948, kekuatan PKI mulai kokoh
“mengepung” DI Yogyakarta yang saat itu sebagai ibu kota RI. Rekrutmen
dilakukan secara massif. PKI pun menebar teror dengan melakukan aksi perompakan
disertai pembunuhan dengan sasaran tokoh agama dan tokoh masyarakat yang tidak
mau bergabung dengan PKI.
• Dalam Muktamar ke-17 pada Mei 1947, Hadrotusy
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengonsolidasikan seluruh komponen NU menghadapi
sepak terjang PKI. PKI pun meningkatkan frekuensi terornya dengan menyasar
pesantren dan tokohnya sebagai penyangga kekuatan negara.
• 18 September 1948, Soemarsono memproklamirkan
Pemerintahan Front Nasional di Madiun menuju cita-citanya membangun Negara
Soviet Madiun. Kemudian aksi pembantaian pejabat pemerintah dan kepolisian pun
terjadi secara sadis.
• PKI makin represif dengan membantai dan
menghancurkan pesantren di Madiun, Magetan, Pacitan, dan Ngawi. Sumur-sumur tua
menjadi tempat khas penguburan para korban pembantaian.
• Soekarno merespons aksi inkonstitusional
pengambilalihan kekuasaan oleh PKI dengan aksi penumpasan PKI (Operasi
Trisula). 30 September 1948, TNI beserta Hizbulloh dan Sabilillah merebut
kembali wilayah-wilayah yang dikuasai PKI.
• Para pimpinan PKI pemberontak Madiun
mengingkari kenyataan telah melakukan aksi pembunuhan secara massif ketika di
sidang. Meski begitu, pemerintah tidak membubarkan PKI sebagai partai politik,
bahkan ikut Pemilu 1955. Berbeda perlakuan pemerintah terhadap partai Masyumi
yang dibubarkan. Hal ini dimanfaatkan PKI untuk menebarkan propaganda yang
membalikkan fakta. Dan PKI menempati partai politik empat besar.
Bab: 5. Aksi Pemanasan PKI 1950-1965
• Tidak dibubarkannya PKI oleh pemerintah
digunakan sebaik-baiknya oleh kader-kader PKI. Salah satunya mengubah strategi
dari partai massa ke partai kader.
• Di bawah kepemimpinan Aidit pada awal tahun
1951, PKI mulai menyatukan kekuatan yang porak-poranda pasca pemberontakan.
Kemudian mereka menjalankan kebijakan partai dengan sangat agresif pada sektor
industri dan perkebunan. Dan tak segan menyerang markas Brimob. Lagi-lagi,
sikap pemerintah hanya menangkap pelaku dan membiarkan eksistensi partainya.
Dan seperti biasa, mereka pun dilepas dan mengalihkan tuduhan kepada DI/TII
sebagai pelaku perampokan dan penyerbuan.
• Akhir 1952, NU keluar dari Masyumi dan
mendirikan partai politik sendiri. Dan kehadirannya menambah daftar musuh
tangguh PKI selain Masyumi. Dan bagi NU, PKI adalah target utama yang
pergerakan ideologinya harus dibendung. Dalam kaidah fikih, “bencana harus
disingkirkan”. Dan Komunisme sebagai sumber bencana, harus disingkirkan.
• Hasil Pemilu 1955, kursi legislatif diduduki
PNI 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi.
• PKI pun makin eksis dengan menguasai posisi
strategis di pemerintah daerah. Dan pada ultah PKI ke-45 pada 23 Mei 1965, DN.
Aidit mencanangkan menghabisi tujuh “setan desa”, tiga
“setan kota”, dibentuk kabinet Gotong Royong, dan dibentuknya Angkatan
Kelima.
• Teror pun digencarkan PKI kepada simbol
agama; menista masjid, menikam kyai, banjir darah di mana-mana, mengadakan
pementasan di depan masjid, mengadakan pementasan seni di depan masjid saat
waktu sholat, mementaskan seni dengan tema provokatif, menjarah tanah dan
tanaman warga (konflik agraria).
Bab: 6. Meletusnya Gerakan 30
September
• Di tengah ketidakmenentuan jaminan keamanan
pihak negara kepada rakyat atas teror yang dilakukan PKI, 1 Oktober 1965
terdengar kabar terjadi aksi pembunuhan para pimpinan tinggi ABRI (sekarang
TNI) di ibu kota negara oleh PKI. Gerakan 30 September oleh PKI (G-30-S/PKI).
Hal ini makin membuat panik rakyat.
• Narasi yang dibuat oleh PKI atas perbuatannya
tersebut adalah dalam rangka mencegah rencana kudeta pemerintahan oleh para
"Dewan Jenderal" pada 5 Oktober 1965; Hari Angkatan Perang. Liciknya,
PKI mencatut nama NU sebagai bagian dari operasi pembasmian Dewan Jenderal.
• Dibentuknya Dewan Revolusi oleh Letkol.
Untung seiring pembunuhan para jenderal. PBNU mengambil sikap mengutuk aksi
tersebut dan menolak Dewan Revolusi.
• RPKAD segera bertindak merebut kembali RRI
dan Kantor Telepon dari tangan PKI. Dan menggiring pelaku G-30-S ke Lubang
Buaya. Dan pada 4 Oktober, ditemukan dan di evakuasi jenazah para jenderal dari
sumur di daerah Lubang Buaya.
• 5 Oktober 1965, NU menerbitkan resolusi
mengutuk Gestapu dengan salah satunya menuntut pemerintah membubarkan PKI dan
media massa di bawah pengelolaan PKI.
• NU Jawa Timur merespons keputusan NU Pusat
dengan men-sweeping besar-besaran
rumah dan kantor tokoh-tokoh PKI. Bentrokan antara NU dan PKI di Jawa Timur
menelan korban jiwa dari pihak Banser. Berbagai dokumen dengan daftar nama
tokoh yang akan dibunuh pun bermunculan dari arsip PKI.
• Respons NU Sumatera Utara terhadap keputusan
PBNU sangat berhati-hati dan berkonsolidasi dengan tentara non-PKI. Banyak
anggota PKI militan dibantai oleh pergerakan rakyat secara sporadis.
Bab: 7. Rekonsiliasi NU-PKI
• Konflik horizontal antara NU dan PKI bukan
disulut oleh pihak ketiga, tetapi oleh ulah PKI sendiri.
• Bentuk rekonsiliasi sosial NU terhadap PKI
adalah mereka disambut baik ketika bertobat dan mau menekuni agamanya sendiri,
ikut mendoakan (tahlilan) jika ada anggota PKI yang meninggal, menyerahkan
anggota PKI ke aparat pemerintah, dan tidak asal membunuh PKI. Karena mereka
(PKI) ada yang menjadi anggota karena ketidaktahuan (akibat kebohongan PKI)
atau didaftarkan sebagai anggota tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Bahkan
anak-anak korban pengkhianatan orangtuanya banyak yang diadopsi oleh para kyai
untuk disekolahkan dan dididik di pesantren sebagai bentuk rehabilitasi
pemikiran.
• Rekonsiliasi politik dijalani agak berat.
Karena mereka yang dibebaskan setelah menjalani masa penahanan, menulis buku
memoar atau pledoi. Bahkan mereka cuci tangan dengan menunjuk NU dan TNI
sebagai dalang peristiwa berdarah saat itu. Komnas HAM pun meminta pemerintah
meminta maaf kepada PKI. Dan Presiden Abdurrahman Wahid secara pribadi meminta
maaf kepada PKI, di mana keputusan tersebut di tentang banyak pihak dan juga
ditolak tokoh PKI. Gus Dur pun di somasi PKI. Dan PKI menuntut ganti rugi
material dan imaterial kepada pemerintah. Dan membawa kasus pembantaian pasca
G-30-S/PKI ke Mahkamah Internasional.
• Sikap NU dalam menghadapi propaganda PKI:
jangan melakukan snapshot dalam menuliskan sejarah, jangan bersikap anakronis,
jangan mendramatisasi jumlah korban, menyesali munculnya suasana mencekam,
tidak akan meminta maaf dalam peristiwa pasca-G-30-S/PKI, menjaga dan
melanjutkan rekonsiliasi, mewaspadai provokasi baru, menjaga konsolidasi
bangsa, dan memperjuangkan Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Bab: 8. Penutup
• Apa yang menjadi sebab keresahan masyarakat
terhadap sepak terjang PKI adalah sebuah pemaksaan kultur luar untuk diterapkan
di dalam budaya Indonesia yang kekeluargaan dan gotong royong. Benturan antara
kondisi sosial di tengah masyarakat menjadikan PKI berada pada posisi perusuh.
Meski begitu, pemerintah dan NU tetap memberikan ruang dan kesempatan bagi
anggota PKI yang insyaf dan memperbaiki ideologi dan jalan hidup yang sejalan
dengan nilai Pancasila.
Bab: Ikhtitam
• NU konsisten dalam menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Indonesia. Bukan saja menyelamatkan aqidah warga Nahdhiyin, tetapi
juga organisasi di luar NU pun dibantu sebagaimana filosofi satu tubuh.
• NU menuntut pembubaran PKI dan semua
perangkat organisasi di bawahnya yang hendak mengubah ideologi dan haluan
negara.
• Kondisi politik saat ini, munculnya
propaganda pro-PKI sebagai akibat perkembangan politik global, peristiwa
pasca-G-30-S/PKI hanya dilihat dari sudut demokratis, dan soal pluralisme.
#Selesai
Judul: Benturan NU-PKI 1948-1965
Penulis: H. Abdul Mun’im DZ
Tebal: xvi+239 halaman
Genre: Sejarah
Cetakan: II, Maret 2014
ISBN: 978-979-16662-2-0
Penerbit: Langgar Swadaya
Nusantara, Depok
0 Komentar