Resensi: Benturan NU-PKI 1948-1965


“Pancasila sekadar alat pemersatu. Jika rakyat sudah bersatu, maka Pancasila tidak diperlukan lagi... Jika PKI telah berkuasa mutlak, rakyat akan bisa bersatu.”

Kalimat di atas diucapkan DN. Aidit selaku Ketua CC PKI yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mengecoh lawan-lawannya.

Buku ini secara khusus memang memaparkan kronologi peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam bentuk kronik, di mana seluruh isinya berdasarkan kesaksian korban dan pelaku sejarah ini diharapkan sebagai penyambung benang merah perjalanan sejarah Nahdhotul Ulama bagi generasi muda NU. Banyaknya barisan muda NU yang terprovokasi dan termakan narasi simpatisan PKI masa kini yang membalikkan fakta sejarah, bahwa mereka adalah korban dari serangkaian upaya kudeta yang dilakukan DI/TII, Masyumi, TNI yang dibantu NU.

Bagi PKI, NU menjadi partai politik yang jauh lebih garang dan lebih tangguh dari Partai Masyumi —setelah Masyumi dibubarkan pemerintah.

Dari serangkaian aksi pemberontakan PKI dari tahun 1926, 1945, 1948, 1965, pemerintah tidak pernah berani membubarkan PKI sebagaimana bernyalinya membubarkan Masyumi. Setelah G-30-S/PKI tahun 1965 yang dinilai sudah keterlaluan, pemerintah membubarkan dan melarang Komunisme di Indonesia melalui Tap MPRS No.25 tahun 1966.

Rekonsiliasi NU terhadap PKI secara sosial telah dilakukan dengan membiayai pendidikan anak-anak PKI yang menjadi korban balasan. Bahkan rekonsiliasi politik pun dipenuhi sebagai hak warga negara yang telah menyatakan tobat dan setia terhadap Pancasila.

Hal yang dianggap ‘nyleneh’ dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang meminta maaf kepada keluarga PKI atas peristiwa balasan pasca-G-30-S/PKI. Penyataan ini menimbulkan reaksi di kalangan NU dan rakyat Indonesia, juga ditolak oleh pihak keluarga PKI yang dinilai hanya basa-basi.

Terus terang, buku ini disusun berdasarkan sudut pandang dan data dari pihak NU. Dan penerbitannya pun setelah setengah abad pasca-1965 sebagai hak jawab NU terhadap distorsi narasi sejarah yang ditulis oleh pihak PKI maupun media massa dalam negeri maupun luar negeri yang mengabaikan rentetan sejarah kekejaman PKI sebelum 1965.

 

Resensi Buku

Bab: Muqoddimah dan Iftitah

Tak seperti TNI, pemerintah RI, dan PKI yang segera menerbitkan buku terkait peristiwa berdarah 1965, NU baru menulisnya setelah sekitar setengah abad dari peristiwa tersebut.

Urgensitas NU menerbitkan buku ini terkait kesimpangsiuran penulisan sejarah yang mengarah pada tuduhan yang dialamatkan ke NU —terutama Banser— sebagai satuan penjagal. Selain itu, banyak kelompok yang melakukan pembelaan terhadap aksi PKI dan menyalahkan NU dan kaum Muslim. Campur tangan Barat dan NGO di bidang HAM semakin memperkeruh situasi.

Rois Aam PBNU; KH. MA. Sahal Mahfudz; memberikan instruksi untuk menyelidiki siapa pelaku dan apa motifnya, ambil langkah penanggulangan, dan segera koordinasi dengan TNI. Selain itu, beliau menginstruksikan ditulisnya buku sejarah Benturan NU-PKI dari sudut pandang NU. Sebab, kalangan muda NU pun banyak yang tidak paham sejarah pendahulunya, sehingga mengikuti cara berpikir orang lain.

 

Bab: 1. Pendahuluan

   Upaya merehabilitasi diri atas pengkhianatannya terhadap NKRI mampu menempatkan PKI sebagai korban. Hingga istilah G-30-S/PKI berubah menjadi G-30-S. Dan generasi muda yang tak paham sejarah pun terpengaruh dengan propaganda PKI, kemudian ikut menyalahkan para kyai dan ulama. Dan menuntut para ulama dan TNI meminta maaf kepada PKI.

   Buku ini ditulis sebagai panduan bagi warga NU, terutama kalangan muda untuk memahami kebijakan dan strategi politik NU.

   Buku ini disusun berdasarkan pengalaman dan kesaksian, bukan analisis.

   Pemberontakan PKI bukan hanya terjadi sekali di tahun 1965, tetapi sudah beberapa kali dari tahun 1926, 1945, 1948, hingga 1965.

   Sistematika tulisan: pertama, perbedaan falsafah PKI dengan Islam; kedua, strategi perjuangan politik PKI; ketiga, respons NU terhadap provokasi PKI; keempat, korban kedua pihak; kelima, proses rekonsiliasi sosial.

 

Bab: 2. Pokok Tuduhan

   PKI lahir di masa pendudukan Belanda di Indonesia oleh orang Belanda; Sneevliet; di haluan kiri tahun 1920-an. Pada tahap berikutnya, pemerintah Hindia-Belanda mengadu domba antara PKI dan Indonesia dengan tujuan menjungkalkan Soekarno. Kemudian Belanda mengambil posisi membela PKI setelah gagalnya upaya kudeta pada 1965.

   Sudisman (PKI) menyatakan korban dari kalangan PKI pada peristiwa pemberontakan PKI 1965 sebanyak 180.000. Bung Karno meyakini di angka 60.000. Adam Malik menyebut 150.000 korban, ABRI (TNI) punya angka 40.000, dan Hermawan Sulistyo (Kediri dan Jombang) sebanyak 25.000 korban. Sedangkan angka korban menurut media dan pengamat asing sangat dramatis hingga menyentuh angka jutaan; jumlah korban jauh lebih banyak ketimbang jumlah penduduk!

   Jumlah korban yang fantastis dari pengamat Barat —yang tidak dikonfrontir di lapangan— ditelan mentah-mentah oleh Mahkamah Internasional, yang kemudian mendesak pemerintah dan umat Islam untuk meminta maaf pada PKI.

 

Bab: 3. Akar-akar Pertentangan

   Ada perbedaan mendasar antara Islam dengan ideologi Komunis. Islam mempercayai keberadaan Alloh dan hal ghoib, akhirat dan kehidupan setelah mati. Sedangkan Komunis menyandarkan pada filsafat materialisme, bahwa realitas hanya satu, yaitu benda (materi). Sehingga muncul diktum “man is measure of the all of things; manusia menjadi ukuran segala sesuatu”.

   KH. Idham Chalid mengatakan, bahwa politik non-Komunis atau anti Komunis yang dijalankan NU tidak hanya untuk menghadapi Komunisme, tetapi juga segala bentuk la diniyun (sekularisme) dan zanadiqoh (ateisme) dalam Harlah NU ke-39. Oleh karenanya, para kyai tidak terkecoh memihak salah satu kubu dalam pertarungan kolonialisme dan komunisme.

   Strategi menghadapi PKI oleh KH. Saifuddin Zuhri: “Agama sebagai unsur mutlak dalam nation building, maka kita harus menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana... Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya dilawan dengan menggunakan kekerasan dan senjata, tapi harus dihadapi dengan kesadaran agama.”

   Strategi tangkal sudah dicanangkan NU sejak awal dengan sikap politik non-kooperatif total “anti-tasyabbuh”; menolak segala budaya Barat.

   Kesalahan PKI dalam mengembangkan komunisme di Indonesia adalah menyamakan budaya Indonesia yang kekeluargaan dan komunalistik dengan budaya Eropa yang individualistik, materialistik, dan kapitalistik.

   Warna politik NU yang mengutamakan harmoni bertentangan dengan watak politik PKI yang kontradiktif dan konfrontatif.

 

Bab: 4. Pembantaian Para Kiai di Madiun 1948

   Pasca pemberontakan Komunis Indonesia 1926 sampai 1945, suaranya nyaris senyap. Dan sejak diterbitkannya Maklumat X pada November 1945, kaum Komunis Indonesia mendaftarkan diri menjadi partai politik yang sah.

   Partai politik afiliasi kiri (Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak) membuat koalisi Front Demokrasi Rakyat —yang sebagian besar presidiumnya ditempati orang-orang PKI— yang pada kemudian hari masyarakat lebih sering menyebut koalisi ini dengan nama “PKI”.

   Jelang 1948, kekuatan PKI mulai kokoh “mengepung” DI Yogyakarta yang saat itu sebagai ibu kota RI. Rekrutmen dilakukan secara massif. PKI pun menebar teror dengan melakukan aksi perompakan disertai pembunuhan dengan sasaran tokoh agama dan tokoh masyarakat yang tidak mau bergabung dengan PKI.

   Dalam Muktamar ke-17 pada Mei 1947, Hadrotusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengonsolidasikan seluruh komponen NU menghadapi sepak terjang PKI. PKI pun meningkatkan frekuensi terornya dengan menyasar pesantren dan tokohnya sebagai penyangga kekuatan negara.

   18 September 1948, Soemarsono memproklamirkan Pemerintahan Front Nasional di Madiun menuju cita-citanya membangun Negara Soviet Madiun. Kemudian aksi pembantaian pejabat pemerintah dan kepolisian pun terjadi secara sadis.

   PKI makin represif dengan membantai dan menghancurkan pesantren di Madiun, Magetan, Pacitan, dan Ngawi. Sumur-sumur tua menjadi tempat khas penguburan para korban pembantaian.

   Soekarno merespons aksi inkonstitusional pengambilalihan kekuasaan oleh PKI dengan aksi penumpasan PKI (Operasi Trisula). 30 September 1948, TNI beserta Hizbulloh dan Sabilillah merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai PKI.

   Para pimpinan PKI pemberontak Madiun mengingkari kenyataan telah melakukan aksi pembunuhan secara massif ketika di sidang. Meski begitu, pemerintah tidak membubarkan PKI sebagai partai politik, bahkan ikut Pemilu 1955. Berbeda perlakuan pemerintah terhadap partai Masyumi yang dibubarkan. Hal ini dimanfaatkan PKI untuk menebarkan propaganda yang membalikkan fakta. Dan PKI menempati partai politik empat besar.

 

Bab: 5. Aksi Pemanasan PKI 1950-1965

   Tidak dibubarkannya PKI oleh pemerintah digunakan sebaik-baiknya oleh kader-kader PKI. Salah satunya mengubah strategi dari partai massa ke partai kader.

   Di bawah kepemimpinan Aidit pada awal tahun 1951, PKI mulai menyatukan kekuatan yang porak-poranda pasca pemberontakan. Kemudian mereka menjalankan kebijakan partai dengan sangat agresif pada sektor industri dan perkebunan. Dan tak segan menyerang markas Brimob. Lagi-lagi, sikap pemerintah hanya menangkap pelaku dan membiarkan eksistensi partainya. Dan seperti biasa, mereka pun dilepas dan mengalihkan tuduhan kepada DI/TII sebagai pelaku perampokan dan penyerbuan.

   Akhir 1952, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Dan kehadirannya menambah daftar musuh tangguh PKI selain Masyumi. Dan bagi NU, PKI adalah target utama yang pergerakan ideologinya harus dibendung. Dalam kaidah fikih, “bencana harus disingkirkan”. Dan Komunisme sebagai sumber bencana, harus disingkirkan.

   Hasil Pemilu 1955, kursi legislatif diduduki PNI 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi.

   PKI pun makin eksis dengan menguasai posisi strategis di pemerintah daerah. Dan pada ultah PKI ke-45 pada 23 Mei 1965, DN. Aidit mencanangkan menghabisi tujuh “setan desa”, tiga “setan kota”, dibentuk kabinet Gotong Royong, dan dibentuknya Angkatan Kelima.

   Teror pun digencarkan PKI kepada simbol agama; menista masjid, menikam kyai, banjir darah di mana-mana, mengadakan pementasan di depan masjid, mengadakan pementasan seni di depan masjid saat waktu sholat, mementaskan seni dengan tema provokatif, menjarah tanah dan tanaman warga (konflik agraria).

 

Bab: 6. Meletusnya Gerakan 30 September

   Di tengah ketidakmenentuan jaminan keamanan pihak negara kepada rakyat atas teror yang dilakukan PKI, 1 Oktober 1965 terdengar kabar terjadi aksi pembunuhan para pimpinan tinggi ABRI (sekarang TNI) di ibu kota negara oleh PKI. Gerakan 30 September oleh PKI (G-30-S/PKI). Hal ini makin membuat panik rakyat.

   Narasi yang dibuat oleh PKI atas perbuatannya tersebut adalah dalam rangka mencegah rencana kudeta pemerintahan oleh para "Dewan Jenderal" pada 5 Oktober 1965; Hari Angkatan Perang. Liciknya, PKI mencatut nama NU sebagai bagian dari operasi pembasmian Dewan Jenderal.

   Dibentuknya Dewan Revolusi oleh Letkol. Untung seiring pembunuhan para jenderal. PBNU mengambil sikap mengutuk aksi tersebut dan menolak Dewan Revolusi.

   RPKAD segera bertindak merebut kembali RRI dan Kantor Telepon dari tangan PKI. Dan menggiring pelaku G-30-S ke Lubang Buaya. Dan pada 4 Oktober, ditemukan dan di evakuasi jenazah para jenderal dari sumur di daerah Lubang Buaya.

   5 Oktober 1965, NU menerbitkan resolusi mengutuk Gestapu dengan salah satunya menuntut pemerintah membubarkan PKI dan media massa di bawah pengelolaan PKI.

   NU Jawa Timur merespons keputusan NU Pusat dengan men-sweeping besar-besaran rumah dan kantor tokoh-tokoh PKI. Bentrokan antara NU dan PKI di Jawa Timur menelan korban jiwa dari pihak Banser. Berbagai dokumen dengan daftar nama tokoh yang akan dibunuh pun bermunculan dari arsip PKI.

   Respons NU Sumatera Utara terhadap keputusan PBNU sangat berhati-hati dan berkonsolidasi dengan tentara non-PKI. Banyak anggota PKI militan dibantai oleh pergerakan rakyat secara sporadis.

 

Bab: 7. Rekonsiliasi NU-PKI

   Konflik horizontal antara NU dan PKI bukan disulut oleh pihak ketiga, tetapi oleh ulah PKI sendiri.

   Bentuk rekonsiliasi sosial NU terhadap PKI adalah mereka disambut baik ketika bertobat dan mau menekuni agamanya sendiri, ikut mendoakan (tahlilan) jika ada anggota PKI yang meninggal, menyerahkan anggota PKI ke aparat pemerintah, dan tidak asal membunuh PKI. Karena mereka (PKI) ada yang menjadi anggota karena ketidaktahuan (akibat kebohongan PKI) atau didaftarkan sebagai anggota tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Bahkan anak-anak korban pengkhianatan orangtuanya banyak yang diadopsi oleh para kyai untuk disekolahkan dan dididik di pesantren sebagai bentuk rehabilitasi pemikiran.

   Rekonsiliasi politik dijalani agak berat. Karena mereka yang dibebaskan setelah menjalani masa penahanan, menulis buku memoar atau pledoi. Bahkan mereka cuci tangan dengan menunjuk NU dan TNI sebagai dalang peristiwa berdarah saat itu. Komnas HAM pun meminta pemerintah meminta maaf kepada PKI. Dan Presiden Abdurrahman Wahid secara pribadi meminta maaf kepada PKI, di mana keputusan tersebut di tentang banyak pihak dan juga ditolak tokoh PKI. Gus Dur pun di somasi PKI. Dan PKI menuntut ganti rugi material dan imaterial kepada pemerintah. Dan membawa kasus pembantaian pasca G-30-S/PKI ke Mahkamah Internasional.

   Sikap NU dalam menghadapi propaganda PKI: jangan melakukan snapshot dalam menuliskan sejarah, jangan bersikap anakronis, jangan mendramatisasi jumlah korban, menyesali munculnya suasana mencekam, tidak akan meminta maaf dalam peristiwa pasca-G-30-S/PKI, menjaga dan melanjutkan rekonsiliasi, mewaspadai provokasi baru, menjaga konsolidasi bangsa, dan memperjuangkan Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

 

Bab: 8. Penutup

   Apa yang menjadi sebab keresahan masyarakat terhadap sepak terjang PKI adalah sebuah pemaksaan kultur luar untuk diterapkan di dalam budaya Indonesia yang kekeluargaan dan gotong royong. Benturan antara kondisi sosial di tengah masyarakat menjadikan PKI berada pada posisi perusuh. Meski begitu, pemerintah dan NU tetap memberikan ruang dan kesempatan bagi anggota PKI yang insyaf dan memperbaiki ideologi dan jalan hidup yang sejalan dengan nilai Pancasila.

 

Bab: Ikhtitam

   NU konsisten dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Indonesia. Bukan saja menyelamatkan aqidah warga Nahdhiyin, tetapi juga organisasi di luar NU pun dibantu sebagaimana filosofi satu tubuh.

   NU menuntut pembubaran PKI dan semua perangkat organisasi di bawahnya yang hendak mengubah ideologi dan haluan negara.

   Kondisi politik saat ini, munculnya propaganda pro-PKI sebagai akibat perkembangan politik global, peristiwa pasca-G-30-S/PKI hanya dilihat dari sudut demokratis, dan soal pluralisme. #Selesai

 

 

Judul: Benturan NU-PKI 1948-1965

Penulis: H. Abdul Mun’im DZ

Tebal: xvi+239 halaman

Genre: Sejarah

Cetakan: II, Maret 2014

ISBN: 978-979-16662-2-0

Penerbit: Langgar Swadaya Nusantara, Depok

 

Posting Komentar

0 Komentar