Resensi: Banjir Darah

Anak-anak milenial, mesti membaca tuturan almarhum Anab Afifi dan Thowaf Zuharon ini. Meskipun Anab Afifi telah mengupas kekejian Partai Komunis Indonesia (PKI) pada buku pertamanya berjudul “Ayat-ayat yang Disembelih”, buku beliau berjudul “Banjir Darah” ini benar-benar menjadi kompilasi bentuk aksi kekejian PKI yang terjadi dari kisaran pemberontakan 1948 sampai 1965.

Sejak kelahirannya tahun 1920, organisasi Komunis di Indonesia ini tak henti-hentinya meresahkan warga dengan segala bentuk terornya. Berawal dari pemberontakan terhadap pemerintah Hindia-Belanda, partai politik yang awalnya berbentuk Serikat Rakyat ini berusaha memporak-porandakan Indonesia dengan aksi kudeta berkali-kali.

Entah apa yang mereka —tokoh-tokoh PKI— dapat selama berkunjung ke ‘pentolan’ Komunis di Uni Soviet kala itu, sehingga kepulangan mereka ke tanah air makin biadab, bahkan ke saudara sendiri.

Kebijakan publik oleh penguasa politik di pusat maupun daerah (pro PKI) yang tak berkeadilan membuat rakyat menjadi sangat terbatas dan dimiskinkan, seperti finansial warga tak boleh lebih dari 500 perak. Kelebihannya menjadi hak ‘pemerintah’ untuk menguasai dan mengelola. Termasuk harta bergerak dan tak bergerak pun dibatasi kepemilikannya, seperti kepemilikan tanah yang dapat secara sepihak diambil alih oleh ‘pemerintah’ dengan eksekutor lapangannya orang-orang PKI.

Dengan beragam motif yang berangkat dari akar ideologisnya, sesiapa yang tak sejalan dan melawan, akan disembelih dan dicacah diiringi kegembiraan tanpa nurani sama sekali.

Latar kisah dalam buku ini lebih banyak dari wilayah Madiun dan sekitarnya dan juga Solo dan sekitarnya. Disusun berdasar tutur pelaku sejarah, saksi sejarah, maupun pewaris para korban, baik di lokasi peristiwa maupun di tempat lain untuk mengurangi trauma psikologis saksi sejarah. Semua korban kebiadaban PKI ada yang dipancung, digergaji, dicacah, dibakar, dipecahkan kepalanya dengan batu besar, atau di arak hingga mati. Yang jadi target pembantaian mereka —sesuai arahan Tan Malaka, yakni antiswapraja. Semua unsur pemerintah daerah hingga tokoh-tokoh agama dan masyarakat harus dibantai.

Dengan dalih memerangi perangai borjuis dan kapitalis, di saat yang sama mereka menempatkan diri sebagai borjuis sekaligus kapitalis. Itu sebabnya, pada halaman 331 sampai 338, dikisahkan Surastri Karma Trimurti (S.K. Trimurti) selaku pendiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani); organisasi di bawah PKI; sekaligus istri dari Sayuti Melik mengundurkan diri dari PKI setelah dua tahun mempelajari manajemen tenaga kerja di Yugoslavia dan berkunjung ke negara-negara penganut Komunis, ia tak menemukan kesesuaian narasi perjuangan Komunis dengan kenyataan di lapangan. Bahkan sangat berlawanan. Hal itu pula yang membuat panik Dipa Nusantara Aidit yang sudah mempersiapkan rencana besar mengkudeta pemerintah Soekarno pada 5 Oktober 1965.

Menariknya buku ini diawali dengan surat terbuka penulis kepada Maria Felicia Gunawan; anggota Paskibraka 2015 tentang jejak-jejak sejarah Indonesia. Mengulas sejarah di balik bendera Merah-Putih yang sudah lapuk dan regangan nyawa yang tak terhitung jumlahnya demi menjaganya tetap berkibar, baik oleh pihak luar maupun pihak dalam sebagai kaki-tangan dalang dari luar.

Sekali lagi, generasi milenial wajib membaca buku ini. Agar ketika menjadi pemimpin-pemimpin strategis kelak, tak kehilangan akar sejarah keindonesiaannya. Agar Indonesia tetap kokoh dengan nilai Pancasila melebihi usia emasnya nanti.


Judul: Banjir Darah

Penulis: Anab Afifi dan Thowaf Zuharon

Tebal: 415 hlm.

Genre: Sejarah

Cetakan: I, Agustus 2020

ISBN: 978-979-039-771-2

Penerbit: Istanbul, Jakarta Timur

Posting Komentar

0 Komentar