Resensi: Biografi A.R. Baswedan


Menurut paideia (pendidikan)-nya Platon, untuk memunculkan seorang pemimpin yang bisa memperbarui masyarakatnya harus memiliki dua syarat; pertama, bakat alamiah. Dan kedua, lingkungan pendidikan yang baik. Kedua syarat ini ada pada seorang tokoh bernama Abdul Rahman Baswedan.

Barangkali sebagian kita tidak begitu akrab dengan nama tokoh tersebut. Terlebih generasi sekarang yang memang kurang disediakan kurikulum sejarah bangsa dan tokoh-tokohnya secara mendalam. Tetapi menyebut nama belakangnya, kita hampir pasti akan mudah mengenalinya dari seorang tokoh negeri ini saat ini. Seorang tokoh intelektual, akademisi, sekaligus pejabat publik; Anies Rasyid Baswedan.

Betul sekali. Keduanya memiliki hubungan nasab. Abdul Rahman Baswedan atau akrab di panggil A.R. Baswedan merupakan kakek Anies Baswedan.

A.R. Baswedan seorang peranakan Arab generasi ketiga dari trah Hadramaut (Yaman Selatan). Lahir di Surabaya, 9 September 1908.

Dalam buku ini, kita dikenalkan dengan strata sosial masyarakat Yaman: Keturunan Nabi (sayyid/habib), militer (gabili), Syaikh/ulama (termasuk pedagang), petani dan buruh. Klan Baswedan masuk dalam golongan pedagang, meski A.R. Baswedan sendiri lebih tertarik pada membaca dan menulis. Pada perjalanan sejarahnya kelak, A.R. Baswedan mati-matian memperjuangkan identitas warga keturunan Arab ini menjadi warga negara Indonesia.

A.R. Baswedan dididik kritis oleh ayahnya. Benturan pemikiran sudah ditemui A.R. sejak kecil; antara idealisme dengan realitas. Jika diamati, perjuangan A.R. terbagi dua: mengindonesiakan keturunan Arab dan meneguhkan kemerdekaan Indonesia.

Upaya A.R. mengindonesiakan keturunan Arab ini tidak mudah. Sebab, ia harus berhadapan dengan kultur Hadramaut yang menganggap martabat Hadramaut lebih mulia dari bumiputra, dan tanah airnya adalah Hadramaut. Dalam negeri, A.R. juga harus berhadapan dengan status identitas antara Arab totok dan Arab peranakan.

Yang paling berkesan pada A.R. Baswedan adalah pada episode rumah tangganya. Bayangkan, A.R. memiliki anak sembilan dari istrinya; Syeikhun. Asalnya A.R. berkiprah di media cetak dengan penghasilan 125 gulden (setara dengan harga 25 kuintal beras atau 156 gram emas murni saat itu), dengan mudah ia tinggalkan ketika ia didaulat sebagai Ketua Persatuan Arab Indonesia (PAI); yang pada kemudian hari berganti menjadi Partai Arab Indonesia. Demi safari dari satu tempat ke tempat lain untuk menyadarkan warga Arab dan keturunan Arab, bahwa Indonesia adalah tanah airnya. Hingga pada 4 Oktober 1934, Konferensi Peranakan Arab mencetuskan “Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab” dengan tiga butir pernyataan:

  1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia.

  2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri).

  3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Di tengah perjuangan menegaskan posisi peranakan Arab dan juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, keprihatinan kehidupan keluarga A.R. dilengkapi dengan wafatnya sang istri. Hingga beberapa saat kemudian, A.R. harus menjadi single parent untuk sembilan anaknya. Pada waktu berikutnya, A.R. menikah dengan Barkah untuk melanjutkan mendampingi perjuangan suaminya.

Pengalaman diplomasi yang diemban A.R. juga tak dapat disepelekan. Beliau menjadi salah satu duta untuk menghadiri undangan Liga Arab di Mesir sesaat setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Misi tim ini adalah menggalang pengakuan dunia internasional atas proklamasi tersebut. Dan Liga Arab pun mengakui secara de facto dan de jure.

Sayangnya, hingga kini nama Abdul Rahman Baswedan belum ‘lulus’ sebagai Pahlawan Nasional, meski jasa-jasa beliau untuk perjalanan pengokohan Republik ini tidaklah kecil.

Saya tidak menemui banyak koreksi dari penulisan dalam buku terbitan Kompas ini, kecuali pada dua hal; pada halaman xxiv disebut Syeikhun saat menikah berusia 14 tahun, sedangkan di halaman 51 ditulis berusia 12 tahun. Pada halaman 215 tertulis “1987 diboyong ke Jakarta”, sementara beliau meninggal 15 Maret 1986. Dari buku ini, kita dapat pelajaran penting bagaimana “mendidik anak-anak berarti membudayakan dan memperadabkan anak didik.” (Platon)

 

Daftar Isi

Bab I¾Peranakan Arab Berbelangkon Jawa

Bab II¾Dari Hadramaut ke Nusantara

Bab III¾Asal-Usul dan Kehidupan Rumah Tangga

Bab IV¾Dari “Sin-Tit-Po” ke “Partai Arab Indonesia”

Bab V¾Jejak Juang Seorang “Bapak Bangsa”

Bab VI¾Pemikiran dan Karya

Bab VII¾Penutup

 

Resume Baca

Bab: I¾Peranakan Arab Berbelangkon Jawa, II¾Dari Hadramaut ke Nusantara, III¾Asal-usul dan Kehidupan Rumah Tangga

• Abdul Rahman Baswedan (A.R. Baswedan); seorang peranakan Arab generasi ketiga dari trah Hadramaut (Yaman Selatan). Lahir di Surabaya, 9 September 1908.

• Strata (kasta) masyarakat Yaman terbagi empat: Keturunan Nabi (sayyid/habib), militer (gabili), Syaikh/ulama (termasuk pedagang), petani dan buruh. Klan Baswedan masuk dalam golongan pedagang, meski A.R. Baswedan sendiri lebih tertarik pada membaca dan menulis.

• A.R. Baswedan dididik kritis oleh ayahnya. Semangat tersebut bertemu dengan kurikulum pendidikan Madrasah Al-Irsyad yang puritan. Sehingga sosok A.R. Baswedan dikenal teguh, tegas, sekaligus pemberontak terhadap realita budaya Islam di lingkungannya.

• Pendidikannya tidak tinggi. Bermula di Madrasah Alkhairiyah Surabaya sejak usia 5 tahun, melanjutkan ke Madrasah Al-Irsyad Jakarta kemudian pindah ke Hadramaut School Surabaya. Selebihnya, ia belajar secara otodidak tentang kebahasaan.

• Menikah di usia 17 tahun dengan Syeikhun (12 tahun), dan dikaruniai 9 anak. Syeikhun wafat pada 1948, A.R. Baswedan menikah dengan Barkah al-Ghanis tahun 1950 dan dikaruniai 2 anak. Di usia ini pula Baswedan tertarik dunia politik. Saat menjalani kehidupan bersama Syeikhun inilah wujud rumah tangga pejuang bak rumah tangga 'Ali bin Abi Tholib dengan fathimah Az-Zahro.

 

Bab: IV—Dari “Sin Tit Po” ke “Partai Arab Indonesia”

• A.R. bergabung dengan harian Soeara Oemoem di Surabaya milik dokter Soetomo. Peranakan Arab bergabung dengan media nasionalis. Pihak Indonesia maupun Arab mengkritik langkah A.R. ini. Bahkan dokter Soetomo menjadi tameng kritik bagi A.R.

• Karena pindah ke Semarang, A.R. bergabung dengan harian Mata Hari dengan gaji 125 gulden (setara dengan harga 25 kuintal beras atau 156 gram emas murni saat itu).

• Liem Koen Hian; seorang peranakan Tionghoa nasionalis pemilik harian Sin Tit Po yang mengajak A.R. menjadi Pimred ke medianya. Tawaran itu diterima A.R., bahkan jika tak digaji pun ia rela asal dapat mereguk ilmu jurnalistik dari Koen Hian.

• Liem Koen Hian sekaligus sebagai pendiri Partai Tionghoa Indonesia pada 1932. Hal ini pula yang menginspirasi A.R. mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI).

• Motif A.R. atas pendirian PAI ini tak lepas dari panasnya friksi Arab ‘totok’ (yang merasa high class sekaligus bergelar ‘sayyid’) dan Arab peranakan (non-sayyid).

• A.R. rela meninggalkan pekerjaan dengan gaji besar demi berkeliling dari satu kota ke kita lain untuk meyakinkan tokoh-tokoh peranakan dan tokoh Arab untuk mengindonesiakan peranakan Arab. Dan A.R. pun menginisiasi dideklarasikannya “Sumpah Pemuda Keturunan Arab” oleh masyarakat Arab seluruh Indonesia.

• Isi “Sumpah Pemuda Keturunan Arab”:

  1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia.

  2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri).

  3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

 

Bab: V—Jejak Juang Seorang “Bapak Bangsa”

• 9 November 1992, A.R. Baswedan —beserta 44 anggota BPUPKI— dianugerahi Bintang Mahaputra Utama oleh Presiden Soeharto yang diterima ibu Barkah Baswedan (A.R. Baswedan wafat 15 Maret 1986).

• Zaman pendudukan Jepang di Indonesia (8 Maret 1942) awal kesulitan perjuangan. Jepang membubarkan semua partai politik, termasuk Partai Arab Indonesia dan Partai Tionghoa Indonesia. Media massa ditertibkan dan dikendalikan oleh Jepang, termasuk penguasaan kantor berita Antara (diubah nama jadi Domei).

• Keberadaan orang asing dan keturunan asing wajib memproses Kartu Tanda Penduduk dengan biaya tinggi, kecuali warga Jepang dan pribumi.

• Untuk mempertahankan idealismenya, A.R. mesti rela membaur dengan beragam organisasi bumiputra, bahkan tergabung dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

• Pada Kabinet Syahrir (pasca proklamasi), A.R. diamanahi sebagai Menteri Muda Penerangan.

• Pengalaman diplomasi luar negeri A.R. terhadap kemerdekaan Indonesia ia tempuh memenuhi undangan Liga Arab; Mesir; secara de facto dan de jure.

• A.R. pun terlibat dalam organisasi Masyumi dalam bentuk sumbangsih paham-paham modern di kalangan Islam, semangat nasionalisme, menghadang paham komunisme.

 

Bab: VI—Pemikiran dan Karya

• Bab ini kembali membahas tentang friksi Arab Peranakan dan Arab Totok. Seteru ini menggiring kepada status gelar "Sayyid”. Pada intinya, Arab Totok menghendaki kepada Arab Totok maupun Peranakan mempunyai kasta mulia di tengah bumiputra sebagaimana Arab Totok dididik menjadi anak emas sebagaimana kultur Hadrami.

• Langkah A.R. yang membuat kanal Arab Peranakan dan menjadikan Indonesia sebagai tanah air Arab Peranakan menjadikan polemik panas tersendiri di tengah kaum Arab di Indonesia maupun di Hadramaut.

• A.R. juga mendobrak hukum gender di tengah kultur Hadramaut, di mana wanita punya peran penting juga untuk bekerja di luar rumah mencari rezeki untuk keluarga. Tentang pemasangan tabir pemisah lelaki dan perempuan, A.R. mengajukan analogi wanita bebas ke pasar berinteraksi lawan jenis tanpa tabir.

• Tentang optimisme dan nasionalisme A.R., bahkan Presiden Soekarno mengatakan, “Saya membenarkan apa yang sudah dinyatakan oleh saudara A.R. Baswedan tempo hari, bahwa kamulah sendiri yang harus menentukan pandangan hidupmu. Bukan orang dari luar! Salah besar kalau nasibmu kamu pergantungkan kepada tuntutan orang luar. Karena, kamu sendirilah yang dapat mengerti perasaanmu, jiwamu, kebutuhanmu, hari kemudianmu, dan hari kemudian anak-cucumu. Dengan percaya pada dirimu sendiri, insya Alloh Tuhan akan memberkati perjuanganmu.”

• A.R. memiliki beberapa karya buku dan sajak bertema politik, sejarah Nabi, buah pikiran, dan cita-cita besar.

 

Bab: VII—Penutup

• Tugas A.R. mengindonesiakan peranakan Arab pun berhasil. Golongan keturunan Arab mendapat pengakuan yang begitu besar, bahkan banyak dari golongan ini yang dipercaya menduduki jabatan publik atau menjadi tokoh masyarakat. Harry Tjan Silalahi (analis CSIS) mengibaratkan A.R. Baswedan bak Nabi Musa: ia berhasil membawa golongan keturunan Arab keluar dari keterkungkungan dan eksklusivisme di Nusantara.

• Masa senja A.R. dihabiskan di rumah kontrakan, bukan milik sendiri. A.R. mendapat amanah sebagai pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah di Yogyakarta yang tercerahkan dengan ide-idenya tentang keterbukaan dan kebermanfaatan. Diskusi-diskusi kecil pun sering ia lakukan.

• Di usia senjanya, A.R. pun masih mengambil kuliah di Fakultas Adab (Sastra) IAIN Yogyakarta, tetapi tak beliau selesaikan. Alasannya, dosen-dosen dari Mesir yang dikira ahli sastra ternyata ahli agama.

• A.R. Baswedan diboyong ke Jakarta medio 1980. Kegemarannya menulis, membawanya merampungkan otobiografinya yang berisi kesan-kesan beliau terhadap teman-teman seperjuangan. Usai otobiografinya digarap, beliau jatuh sakit dan beberapa waktu kemudian beliau pun wafat pada 15 Maret 1986.

• Jasa beliau, peranakan Arab dengan yakin sebagai warga negara Indonesia dan bukan warga salah satu negara Arab.

• Yayasan Nabil (Nation Building) mengajukan dan melakukan seminar tentang Abrul Rahman Baswedan untuk diangkat menjadi pahlawan nasional sebanyak 3 (tiga) kali; Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Hingga buku ini diterbitkan (2014), A.R. Baswedan belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional. #selesai

 

Bibliografi

Judul: Biografi A.R. Baswedan; Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan

Penulis: Suratmin dan Didi Kwartanada

Tebal: xliv+308 hlm.

Cetakan: I, 2014

ISBN: 978-979-709-859-9

Penerbit: Kompas, Jakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar