Pada suatu hari, si
Paijo yang baru kelas 1 SD pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri. Emaknya
bertanya-tanya, “Jo, kok kamu gembira sih hari ini?”
“Emangnya anak kecil
nggak boleh gembira?” tukas Paijo sambil melap keringatnya yang ada di dahinya.
“Bu, aku baru dapat ilmu baru dari guruku. Makanya aku gembira hari ini,” jelas
Paijo.
“Emang ilmu apaan, Jo?”
“Gini, Bu. Tadi bu guru
bilang bahwa Paijo harus rajin-rajin belajar biar pintar. Dapat ranking.
Sehingga bisa menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan bila perlu
agama.”
“Lho, emangnya nilai
kamu jelek ya, Jo?”
“Nah, itu dia, Bu.
Ilmunya...,” jawab Paijo dengan bersemangat.
“Ilmu yang mana, Jo?”
“Begini, Bu,” Paijo pun
merenung sejenak —di sekolah pun Paijo diajari Menulis, Membaca, Menghitung,
Merenung, dan Membual, “Paijo mendapat kesimpulan dengan akurasi dan
akuntabilitas yang amat tinggi, Bu.”
“Walah walah, Jo... Jo.
Setelah kamu sekolah, kok kata-katamu tambah sulit dimengerti sih? Ya sudah,
terus ilmu yang kamu dapat itu apa, Jo?”
“Ilmunya sederhana aja
kok, Bu. Tapi Paijo berjanji akan terus memegang kebenaran ilmu ini sampai
mati, yakni Nilai atau Ranking= orang yang berguna bagi nusa,
bangsa, dan bila perlu agama.”
Cerita dan dialog di
atas jelas sekali fiktif. Tetapi kebenarannya sudah kita rasakan.
Membaca judulnya, kita
pasti akan bertanya dengan penuh penasaran tentang alasan-alasan mengapa harus
meninggalkan sekolah, atau bahkan dengan sedikit sinis menanggapi judulnya.
Jujur. Membaca buku ini,
seperti kita menyimak segudang kekesalan dari seorang Yusran Pora. Dan itu saya
tangkap sebagai bentuk riak-riak emosional. Tetapi yang perlu kita perhatikan
adalah poin-poin penting dan mendasar seperti apakah yang menjadikan Yusran
begitu bersemangat mengajak kita "Selamat Tinggal Sekolah”.
Yusran membuka bahasan
ini dengan bab Sekolah, Sekolah, dan Sekolah. Bab ini begitu banyak ungkapan
emosional penulis. Sekolah, menurut Yusran, sudah mengalami penyimpangan makna
yang sangat fundamental. Image
masyarakat seolah sudah baku memaknai sekolah, yakni sebuah lembaga dengan
infrastruktur berupa gedung persegi yang di dalamnya terdapat perlengkapan
belajar-mengajar serta semua sistem berjalan berdasarkan kurikulum. Penulis
berusaha menggugat nilai sakral sekolah yang selama ini dianut masyarakat —umum
dan guru.
Di dalam sekolah, pasti
ada aturan dan kurikulum. Formalitas senantiasa bersanding mesra dengan
birokrasi dan prosedur. Di mana ketiga faktor tersebut berseberangan dengan
nilai-nilai kreatif. Dan umumnya kita berharap anak-anak kita bisa
tumbuh-kembang kreatifitasnya di dalam sekolah!
Pertanyaan yang sering
saya dapat seperti, “Mas, dulu kuliahnya di mana?” Saat saya ceritakan riwayat
pendidikan saya dan tiba pada jawaban, “Saya belum selesai kuliah”, terlihat
ada wajah kecewa dan mulai mengacuhkan. Atau pertanyaan, “Bapak masih belajar?”
Dan saya pun berpedoman bahwa belajar adalah proses perkembangan seumur hidup;
dari lahir hingga wafat. Itu sebabnya saya menjawab, “Saya masih terus belajar,
bu.”
Pemahaman masyarakat
sudah mendarah daging tentang makna belajar. Belajar identik dengan sekolah.
Sekolah identik dengan kelas. Kelas identik dengan kurikulum. Kurikulum identik
dengan nilai angka. Nilai angka identik dengan kompetisi. Kompetisi identik
dengan pemberangusan kepribadian (baca: keangkuhan).
Saat ini kita membedah
buku tentang sekolah, bagaimana mungkin ada guru lulusan S1 keguruan tetapi
tidak paham bagaimana membuat administrasi mengajar. Jangan-jangan, waktu
sekitar 17 tahun untuk belajar (SD hingga kuliah) sekadar “tradisi” saja.
Ketika sudah lulus, merdeka! Seolah lepas dari semua tanggung jawab
keilmuannya.
Tradisi (Inggris= tradition, Latin= traditio) memiliki makna menyerahkan, menurunkan, mengingkari,
intelek (bukan inteligensi). Sedangkan dalam keilmuan, tradisi berarti
kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian (Lorens Bagus, 1996).
Krishnamurti (1981) menyebutkan bahwa tradisi itu berarti mengingkari
inteligensi.
Kemudian, apa arti
sekolah?
Sore tadi saya dapat
artikel pendek tentang “apa itu sekolah?” dari kakak saya melalui WhatsApp.
Nah, artikel pendek tersebut ternyata nukilan dari buku ini. Qodarulloh, bertepatan sekali dengan
buku yang sedang saya baca.
Pemahaman umum tentang
sekolah adalah tempat siswa/mahasiswa dibandingkan, diukur, ditakar, dinilai
dan sekolah adalah tempat untuk memperoleh IJAZAH yang notabene adalah Surat
Tanda Tamat Belajar. Sehingga begitu selesai sekolah, siswa/mahasiswa
tak perlu lagi belajar karena sudah dinyatakan tamat.
Sekolah berasal dari
bahasa Latin skhole, scola, scolae, schola yang
berarti “waktu luang”. Maksudnya bagaimana?
“Arti senggang ialah
bahwa batin mempunyai waktu tak terbatas untuk mengamati; mengamati apa yang
terjadi di sekelilingnya dan apa yang berlangsung dalam dirinya sendiri.
Mempunyai waktu senggang unruk mendengarkan, untuk melihat dengan jelas.
Senggang berarti ada kebebasan, yang umumnya ditafsirkan sebagai berbuat
semaunya, sesuatu yang memang lazim dilakukan orang dan anggapan yang
menimbulkan kekacauan besar, penderitaan, dan kebingungan. Senggang berarti
bahwa batin tenang, tak ada motif, dan karena itu tak ada arah. Inilah
srnggang, dan hanya dalam keadaan inilah batin mungkin belajar, tidak hanya
sains, sejarah, matematik, tetapi juga tentang dirinya sendiri.” (Krishnamurti;
1981)
Jadi, sekolah merupakan
sebuah wadah bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar, sama-sama mengamati
apa yang terjadi di sekelilingnya —terlebih untuk mengamati diri masing-masing.
Semua itu harus terjadi pada saat batin tenang tanpa tekanan.
Sekolah menjadi penuh
tekanan dan mengganggu batin ketika muncul kurikulum. Yusran menyebut bahwa
kurikulum merupakan bentuk pemaksaan dan penekanan yang mengerikan. Ada
“keharusan” di sana. Tak cukup dengan keberadaan kurikulum yang pemenuhannya
saling berkejaran dengan waktu —terlebih saat school from home seperti sekarang ini, ditambah lagi dengan
atmosfir kompetisi —Robert T. Kiyosaki menyebutnya competitive institution— dengan wujud ranking. Akhirnya, yang
terjadi adalah budaya normatif dalam pendidikan. Sekadar tersampaikan, jika
perlu dihafalkan, tetapi tak dituntaskan (dikuasai).
Joseph Murphy, Ph.D;
seorang peneliti dari Andhra Research University India mengatakan, “Pikiran
tentang persaingan (kompetisi) akan menimbulkan kecemasan dan tekanan.” Itu
sebabnya, budaya kompetisi malah akan merusak pertumbuhan kepribadian. Coba
perhatikan murid-murid kita yang kita berlakukan sistem kompetisi, pasti akan
ditemui murid yang minder, takut, gelisah, atau bahkan arogan. Ada dikotomi
“pintar” dan “bodoh”. Sedangkan kita mengakui pula pembagian kecerdasan menurut
Howard Gardner, tetapi tak kita jalankan. Inilah yang dikatakan Matt Hern dalam
bukunya; “Deschooling Our Lives”
sebagai negative psychological effect of
the present school system. Sedangkan Robert T. Kiyosaki (1993) menyebutkan
bahwa model kompetisi semacam ini akan menciptakan negative psychological environment. Kemudian, bagaimana maksud dari
“kompetisi sehat”?
Kompetisi sendiri
merupakan kata serapan dari bahasa Inggris; competition;
yang berakar pada kata compete.
Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, makna compete adalah to try to win
something by defeating others who are trying to do the same (mencoba untuk
memenangkan sesuatu dengan cara mengalahkan orang lain yang mencoba melakukan
hal yang sama).
I
am better than you adalah kalimat simpul dari sebuah kompetisi.
Bahasa Iblis saat diperintahkan sujud kepada Adam!
Ini kisah fiktif tentang
kompetisi senjata tradisional lintas negara. Tersebutlah tiga finalis dengan
tantangan sebuah apel yang diletakkan di atas kepala manusia.
Finalis pertama
melesatkan anak panah dan tepat mengenai apel. “I am Robin Hood from England!”
Finalis kedua berbadan
kekar. Dengan pisau komandonya, ia melempar ke arah apel. Sesuai target. “I am Rambo from America!”
Finalis ketiga maju
dengan prolog gerakan kembang silat. Golok pun melayang ke arah apel. Crass!
Apelnya utuh, tetapi kepala manusianya terbelah. Dengan percaya diri, finalis
ini mengenalkan diri, “I am sorry... From
Indonesia!”
Yang belum baca,
bacalah!
Yang belum punya, segera
miliki!
Buku ini mengkaji
sekolah dari sudut yang tak umum, sehingga kita paham apa yang dimaksud dengan
“Selamat Tinggal Sekolah.”
Daftar Isi
1. Sekolah, Sekolah dan Sekolah
2. Apa itu Sekolah?
3. Kelemahan-kelemahan Sekolah Konvensional
4. Sudah Bertumbuhkah Anda?
5. Pengangguran Terpelajar
6. Orang-orang Sukses Tanpa Gelar Akademik
7. Pelamun yang Gemar Berpikir Abstrak
8. Stoa Mahasiswa
Bibliografi
Judul: Selamat Tinggal Sekolah
Penulis: Yusran Pora
Tebal: 172 hlm.
Dimensi: 14x21 cm
Cetakan: II, 2007
ISBN: 979-9222-91-5
Penerbit: MedPress,
Yogyakarta
0 Komentar