John Man mengawali paparan kisah Sholahuddin Al-Ayyubi dengan
mengisahkan kondisi politik dan keamanan nasional dan internasional. Terutama
seteru antara Sunni yang berpusat di Baghdad (Abbasiyah) dan Syi’ah yang
berpusat di Mesir (Fathimiyah). Kedatangan pasukan Frank merupakan bentuk
puncak gejolak perlawanan atas penguasaan Muslim terhadap wilayah imperium
Romawi. Pasukan Frank —atau lebih dikenal dengan sebutan tentara Salib—
mengetahui saat-saat kelemahan raksasa berjuluk Muslim, yaitu ketika menikmati
perseteruan bersaudara. Ironinya, John Man bercerita bahwa kedatangan pasukan
Salib bahkan nyaris dirasakan bukan sebuah ancaman akan sebuah entitas, tetapi
malah diharapkan keberpihakannya kepada salah satu pihak yang sedang bertarung.
Ibarat dua domba sedang beradu kemudian datang serigala yang diharapkan
berpihak kepada salah satu di antara mereka berdua. Padahal kedatangan serigala
adalah untuk melahap keduanya.
Dalam suasana seperti itulah Sholahuddin tumbuh. Ia lahir di Tikrit
(Irak) sekitar 1137 M. Masa-masa di mana kejayaan Abbasiyah mulai redup dan
wilayahnya mulai berkeping. Ditambah lagi hadirnya Hasyasyin —di Barat
menyebutnya Assassin— dalam kancah konflik kekuasaan. Ayahnya; Ayyub;
mendapatkan amanah Gubernur Tikrit pada tahun 1130-an. Masa kecil Sholahuddin
tidaklah tercatat detail, bahkan tak tertemui sama sekali. Sebab, para pujangga
dan penulis saat itu hanya mengungkapkan sisi-sisi kebaikan seseorang melalui
bahasa sastra.
Saya akui, paparan John Man tentang sejarah Islam dan biografi Sholahuddin
begitu dalam. Paparannya sangat objektif; pengakuan yang jarang ditemui oleh
sejarawan Barat tentang Islam.
Bahkan John Man mengisahkan secara singkat bagaimana dinasti Zangi (ada
yang menyebutnya Zengi, ada pula Zanki) memimpin pemerintahan dan mewariskan
wilayahnya kepada anak-anaknya.
Bagaimana para perampok, pemabuk, penjahat, dan semua komponen keresahan
masyarakat waktu itu digerakkan oleh fatwa Urbanus, “Hendaklah mereka yang
telah terbiasa secara tidak adil mengobarkan perang pribadi melawan orang-orang
beriman, sekarang pergi melawan orang-orang kafir” yang terangkum dalam sebuah
slogan “Deus Vult; Tuhan menghendakinya”. Dan fatwa, "Siapa yang menang
akan mendapat kemuliaan dan yang mati mendapat surga” semakin menyemangati
mereka.
Selain merebut Yerusalem dan mengkristenkan orang kafir, tujuan setelah
perang kaum Frank tidaklah jelas. Sebab, sedikit pemimpin di antara mereka yang
bermoral tinggi. Sejarawan John Roberts mengatakan, “Mereka dapat menjarah
orang-orang kafir tanpa merasa bersalah” dan mereka leluasa mengaku bermoral
tinggi dengan menunjukkan Salib sebagai simbol Kristen.
Penggambaran tentang ‘moral tinggi’ tentara Salib setidaknya dapat kita
simak dari penuturan Raymond d’Aguilers; seorang pencatat tarikh,
“Sebagian orang kafir dipenggal dengan belas kasih. Yang lain ditusuk
panah yang dijatuhkan dari menara, dan yang lain disiksa dalam waktu lama,
dibakar sampai mati dalam kobaran api. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki
tergeletak di rumah-rumah dan jalan-jalan; bahkan para tentara dan ksatria
berjalan ke sana-ke mari di atas mayat-mayat itu.”
Salah satu kunci kesuksesan Sholahuddin adalah menggabungkan dua gaya
kepemimpinan, yakni kekuatan keras dan lembut. Beberapa kali dalam
sejarah, kepemimpinan disamakan dengan
penggunaan kekuasaan secara kejam. Shang Yang menulis di Cina sekitar tahun 400
SM, bahwa dia menyarankan bagi mereka yang memerintah, kekuatan adalah
kebenaran, kekuasaan adalah segala-galanya. Menurutnya, manusia itu pemalas,
serakah, pengecut, pengkhianat, bodoh, dan licik. Satu-satunya cara untuk
berurusan dengan mereka adalah dengan cara membujuk, menakut-nakuti, dan
menghukum mereka. Sholahuddin bisa saja menerapkan pendekatan kekuatan
kekerasan semacam itu, seperti menyerang tentara Salib dengan kekejaman tanpa
henti. Namun ia memilih jalan lain. Ia memadukan paksaan dan ajakan. Kehalusan
seperti itu menjadikan ia teladan kepemimpinan modern.
Kunci kesuksesan kedua adalah adanya mentor. Dalam buku “Outliners”
karya Malcolm Gladwell, ia menganalisis apa yang diperlukan untuk mencetak
orang-orang yang sangat sukses. Dikatakan bahwa salah satu unsur pendukung
sukses adalah adanya mentor; cahaya yang memberikan pemandu dan uluran tangan.
Dalam kehidupan Sholahuddin, ayahnya memberikan contoh perilaku yang baik kemudian
dua mentor Sholahuddin, yakni Syirkuh —paman yang merupakan pejuang tangguh—
dan Nuruddin —penguasa Aleppo dan Mosul calon pemersatu Islam dan orang yang
memberikan kesempatan untuk meraih kekuasaan di Mesir.
Tak hanya itu, kunci kesuksesan yang lain adalah kekuatan visi. Visi
yang menggugah merupakan perpaduan yang langka dari situasi yang tepat, orang
yang tepat, mampu mengomunikasikannya, dan mendapatkan pengikut yang
mempercayainya. Untuk itu, Sholahuddin memiliki visi, yakni dunia Islam yang bebas
dari orang luar non-Islam dan anti Islam. Pemimpin yang memiliki visi yang
beresonansi, memiliki semangat yang terus menyala kemudian semangat itu
menular.
Terakhir, unsur yang tak lepas dari diri Sholahuddin dalam
kepemimpinannya adalah kesiapannya untuk menanggung kesulitan. Setiap
kepemimpinan revolusioner menuntut akan hal itu. Dalam kata-kata James McGregor
Burns, “Pemimpin harus benar-benar mengabdi pada tujuannya dan mampu
menunjukkan komitmen tersebut dengan meluangkan waktu dan usaha untuk itu,
mempertaruhkan nyawa mereka, menjalani hukuman penjara, pengasingan,
penganiayaan, dan kesulitan tanpa henti.”
Daftar Isi
1. Dunia dalam
Konflik
2. Seorang
Remaja di Damaskus
3. Menuju Mesir
4. Membangun
Basis Kekuatan
5. Kembali ke
Suriah, dan Jalan Buntu
6. Kemunculan
Sang Penjahat
7. Kekalahan
dan Kemenangan: Arus Berbalik Arah
8. Penyerbuan
Reynald
9. Menuju
Pertempuran yang Menentukan
10. Tanduk
Hattin
11. Merebut
Kembali Kota Suci
12. Perang
Salib Ketiga: Badai yang Berkumpul
13. Acre
14. Akhir Perang
Salib Ketiga
15. Kematian,
dan Kehidupan Abadi
16. Riwayat
Singkat Kepemimpinan
17. Warisan:
Cinta yang Berkilau, Kenyataan yang Suram
Bibliografi
Judul: Shalahuddin Al-Ayyubi;
Riwayat Hidup, Legenda, dan Imperium Islam
Penulis: John Man
Penerjemah: Adi Toha
Tebal: xii+380 hlm.
Dimensi: 13x20 cm
Cetakan: 3, April 2018
ISBN: 978-602-6577-09-2
Penerbit: Pustaka Alvabet, Tangerang
0 Komentar