Sepeninggal
kita, tidak ada yang kita harapkan dari apa yang kita punya di dunia ini
kecuali ―kata Rosululloh saw― “Apabila mati anak Adam maka terputuslah segala
amalnya kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak
yang sholih yang selalu mendoakan.”
Semakin
jauh kita meninggalkan masa-masa kenabian, ibarat sungai yang makin hari makin
tercampuri dengan kotoran yang sebagiannya telah menjadi satu. Sehingga kita
akan kesulitan untuk mencari air jernih. Dan air tampaknya paling jernih belum
tentu ia bersih. Boleh jadi kontaminasinya sangat banyak tetapi tertutupi oleh
kaporit atau hal-hal lain sehingga tidak tampak dari mata hati kita. Atau mata
hati kita yang sudah sedemikian rabun disebabkan sudah terlalu akrab dengan
kemaksiatan, kekeliruan, kerusakan maupun syubhat. Semakin jauh meninggalkan
mata air kenabian, semakin perlulah kita melihat para generasi terbaik
sepeninggal Rosululloh saw menjalani agama ini. Jika kita asing dengannya, maka
kita akan semakin sulit menemukan dan menggenggam erat apa yang sungguh-sungguh
datang dari agama ini. Atau jangan-jangan kita mudah percaya dengan perkataan
yang dinisbahkan kepada agama, padahal belum tentu ia berasal dari agama.
Padahal orang-orang yang berilmu dan mengenal agama ini dengan baik, tidak
mengenal perkataan tersebut.
وَلۡيَخۡشَ
ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ
عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩
Artinya:
Dan hendaklah takut kepada Alloh orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Alloh
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Qs. An-Nisa’ [4]: 9)
Kunci
pertama dalam mendidik anak adalah “takut” (وَلۡيَخۡشَ) yang membuat kita berbenah dan berhati-hati agar kita tidak
meninggalkan di belakang kita generasi yang kita takuti nasibnya (خَافُواْ).
Dari
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata, Rosululloh SAW bersabda, “Di akhir
zaman nanti akan muncul para Dajjal, para pendusta. Mereka mendatangi kamu
dengan perkataan yang tidak pernah kamu dengar, juga bapak-bapakmu. Hendaklah
kamu waspada, jangan sampai mereka menyesatkan kamu dan jangan sampai mereka
mendatangkan fitnah bagi kalian.” (HR. Muslim)
Tetapi
ingatlah, akan datang di akhir zaman ada kaum yang berbicara kepada kalian
dengan sesuatu yang tidak pernah kalian dengar dan tidak pernah pula didengar
oleh nenek moyang kalian (salafush sholih). Maka hati-hatilah terhadap mereka.
Tidak diampuni. Kecuali benar-benar tobat sebelum meninggal. Sebab ada dosa
yang lebih besar daripada syirik, yakni mengada-adakan, berbicara tentang Alloh
dan Rosul-Nya tanpa ilmu.
Rumus
kedua, “bertakwalah kepada Alloh” (فَلۡيَتَّقُواْ
ٱللَّهَ), yakni berusaha menetapi,
memperhatikan, melaksanakan apa yang diperintahkan Alloh SWT dan dituntunkan
oleh Rosululloh SAW berkaitan dengan urusan mendidik anak.
“Setiap
anak yang lahir ―apapun zamannya― dilahirkan dalam keadaan fitroh...” Maka
tidak ada bedanya anak zaman dulu dengan anak zaman sekarang. Jika akhir-akhir
ini gencar istilah “Millenial”, maka perlu kita pahami dulu makna dari istilah
tersebut.
Millenial
adalah kata sifat dari Millenium. Sedangkan Millenium merupakan istilah untuk
menghitung rentang waktu seribu tahun. Nabi Muhammad SAW lahir ―dalam hitungan
kalender Masehi― pada tahun 571. Artinya, Rosululloh SAW lahir pada Millenium
Pertama. Muhammad Al-Fatih lahir pada Millenium Kedua (1432 M). Jadi, kita
semua adalah sama dalam lembar hidup Millenial. Semua adalah generasi
Millenial; sesuai dengan Milleniumnya. Sedangkan saat ini, istilah “Millenial”
dikesankan dengan kemodernan dan multi-tasking (M-Generation). Jika hanya disandarkan
pada multi-tasking, orangtua dan kakek-nenek kita lebih banyak peran dalam satu
waktu: memasak, menyapu, menyuapi anak, dan mungkin pekerjaan lain yang
memungkinkan dapat dikerjakan disela pekerjaan lainnya.
Anggapan
bahwa zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu, menjadikan orangtua terjebak
pada ketidakpercayaan terhadap hadits,
“Setiap
anak yang lahir dilahirkan di atas fitroh hingga ia fasih (berbicara), maka
kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR.
Al-Baihaqi dan Ath-Thobroni)
Padahal
masa depan anak ―dalam hadits ini― disandarkan tanggung jawabnya pada kedua orangtuanya.
Dan kita menjadi semakin tidak yakin bahwa rumusnya tetaplah sama: pada kedua
orangtuanya.
Kekhawatiran
terhadap media adalah masalah terbesar terhadap pengaruh mental dan pendidikan,
bukan saja anak. Sebab tidak jarang pula orangtua ―yang sedang diajari oleh
ustadz Mohammad Fauzil Adhim dalam buku ini pun― menjadi bagian masalah yang
sama dengan sang anak di hadapan media; dalam hal ini gadget. Dan media sosial
tidak akan mendatangkan bahaya jika tidak kita izinkan dan biayai untuk kita
akses. Televisi tidak akan mendatangkan dampak negatif selama ia tidak kita
nyalakan.
Salah
satu cara menempatkan perhatian dan energi anak adalah dengan membuatnya
berpikir kritis, produktif, bergagasan. Budaya belajar. Pilarnya adalah
membaca, khususnya membaca yang bertujuan (purposive
reading). Sebab memperbanyak kegiatan ―tetapi pikiran kosong― akan menjadi
masalah baru. Padahal pendapat ini (memberikan banyak kegiatan) adalah pendapat
yang umum dianut oleh para pendidik. Sedangkan kunci perubahan ada pada apa-apa
yang ada pada jiwa mereka (مَا بِقَوۡمٍ).
...إِنَّ ٱللَّهَ لَا
يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ...
١١
Artinya:
...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri... (Qs. Ar-Ro’d [13]: 11)
Apa
catatan pentingnya? Kita punya tugas untuk mengisi ruang jiwa mereka dengan
keyakinan yang kuat dan sikap mental.
Kaya
informasi itu bermanfaat. Pengetahuan juga penting. Tapi ada yang jauh lebih
penting dari itu semua, yakni sikap mental kita terhadapnya. Karena seseorang
yang kaya informasi belum tentu punya pemahaman yang baik. Belum pasti juga
dapat mengambil pelajaran yang sama dari informasi tersebut. Maka anak-anak
kita perlu kita bekali dengan akal yang bercahaya dan jiwa yang terarah dan
terasah. Bukan sekadar berbanyak informasi, lebih-lebih sekadar tumpukan data
dari dunia maya yang oleh David Shenk disebut Data Smog (Sampah Data).
Daftar Isi
Bagian Pertama: Menjadi
Orangtua untuk Anak Kita
[Dua Anak Lebih, Baik! | Untungnya Melahirkan Itu Sakit |
Agar Anak Tak Krisis Identitas | Tiga Bekal Mengasuh Anak | Belajar Menakar
Tindakan | Mendampingi Anak Menghadapi Trauma | Mengatasi Trauma Orangtua]
Bagian Kedua: Membekali
Jiwa Anak
[Bangkitkan Jiwa Mereka! | Meletakkan Visi pada Anak | Jiwa
yang Bercahaya | Kepasrahan yang Menggerakkan | Albert Tak Pernah Kembali |
Cintai Anakmu untuk Selamanya | Keimanan Lahirkan Keteladanan | Ada Agama
Selain Islam]
Bagian Ketiga:
Menghidupkan Al-Qur'an pada Diri Anak
[Hukma Shabiyya | Kuat Memegangi Prinsip | Mendekatkan
Al-Qur'an kepada Anak | The Living Qur'an]
Bagian Keempat: Sekadar
Cerdas Belum Mencukupi
[Tak Ada Kedewasaan yang Instan | Cerdas dan Terampil Belum
Mencukupi | Bersiaplah untuk Kecewa | Masihkah Engkau Usap Anakmu? |
Kreativitas itu Penting, Tapi... | Menggali Kekuatan Anak]
Bagian Kelima: Menempa
Jiwa Anak, Menyempurnakan Bekal Masa Depan
[Tantangan Hari-hari Mendatang Anak Kita | Menjadikan
Belajar sebagai Kebutuhan Anak | Menata Pikiran Remaja | Membebaskan Anak dari
Label Negatif | Hidup Bahagia Tanpa TV | Menempa Jiwa]
Bibliografi
Judul:
Segenggam Iman Anak Kita
Penulis:
Mohammad Fauzil Adhim
Tebal:
288 hlm.
Dimensi:
14 x 20 cm
Cetakan:
2013
ISBN:
978-602-7820-07-4
Penerbit:
Pro-U Media, Yogyakarta
0 Komentar