Resensi: Don't be Angry, Mom

Setiap orangtua atau yang diberikan (atau memposisikan diri memikul) amanah sebagai pendidik anak-anak, sepertinya tidak ada yang kebal dengan rasa marah. Sebab, ia memang bagian dari kemanusiaan itu sendiri.

Era revolusi industri 4.0 memang mempunyai kekhasan dalam mewarnai dunia. Semua sektor nyaris computerized. Sehingga peran manusia di lapangan sangat diefisienkan. Akibatnya, orangtua yang bekerja pun harus mencari peluang dan sektor kerja yang baru. Mencari peruntungan lain yang dapat memaksimalkan peran mereka agar rezeki tetap dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Di tempat kerja harus berurusan dengan peningkatan produk benda mati, di rumah harus menangani tanggung jawab kepada anak. Di mana anak pastilah bukan produk benda mati semacam robot.

Di awal bab, Penulis mengenalkan dulu pada definisi “marah” menurut beberapa ahli; Rosululloh saw, Chaplin, Imam An-Nawawi, Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Imam Ghozali.

Rosululloh saw: “Ketahuilah, sesungguhnya amarah itu bara api di hati anak-cucu Adam. Bukankah kalian melihat dua mata (orang marah) memerah dan urat-urat lehernya membesar?” (HR. Tirmidzi)

“Kemarahan yang terjadi pada seseorang akan sangat berbahaya. Kemarahan akan membinasakan hati dan kebijaksanaan. Barangsiapa yang tidak dapat menguasainya, maka ia tidak akan dapat mengendalikan pikirannya.” (Harry Mills, 2005)

Penulis —dengan mengambil judul “Don’t be Angry, Mom”— tidak bermaksud melarang untuk marah atau memberikan tips jitu agar tidak marah. Tetapi beliau mendasarkan terlebih dahulu pemahaman pada sebab-sebab kemarahan dalam mendidik anak dan akibat yang ditimbulkan dari marah.

Memang secara umum, saran tentang pengendalian marah dalam buku ini sudah tidak asing lagi. Quality Time, seperti melibatkan semua anggota keluarga dalam kegiatan hatian di rumah, olahraga bersama, liburan bersama, minimalkan penggunaan gadget saat bersama, menjadi pendengar aktif, dan banyak hal lainnya.

Tentang potensi kemarahan dalam mendidik, gunakan pula istilah “konsekuensi” sebagai pengganti istilah yang berkonotasi menyeramkan, yakni “sanksi”. Istilah “konsekuensi” mengandung makna ketercapaian kesepakatan di awal sebelum aturan main itu dimainkan bersama.

“Anak yang memiliki orangtua pemarah, akan melihat bahwa kemarahan adalah suatu solusi. Sebab prinsipnya, anak belajar dari apa yang mereka dilihat. Sehingga, anak akan menjadikan marah sebagai solusi, kapan dan di mana pun.”

Saya jadi teringat paparan dalam seminar neuroparenting, bahwa anak yang mendengar suara keras dan bentakan dari orangtua, akan mengalami kerusakan milyaran sel-sel otak yang sedang berkembang. Akibatnya, volume otak anak akan mengkerut atau menciut. Tetapi sebaliknya, anak yang sering dipuji, dimotivasi, dan dicurahkan kasih sayang akan merangsang pertumbuhan sel-sel otak menjadi lebih optimal.

Dampak psikis bagi anak yang sering dimarahi pastilah ia akan sangat minder. Ia selalu diliputi rasa khawatir jika melakukan kesalahan. Akibatnya, ia akan memilih untuk menyendiri dan tertutup (introver). Tentu hal itu menandakan ia juga depresi. Dampak pada perkembangan belajar, sudah jelas akan menurun. Karena ia sibuk berfokus pada perundungan diri sendiri tersebut, ia akan kesulitan menjadi pendengar yang baik. Dan ia menjadi lebih sensitif terhadap kata dan perilaku orang-orang di sekitar yang seolah-olah ikut menghakiminya. Sikap kepada orangtua akan semakin memudar. Sebab ia akan lebih memilih menghindar dari berinteraksi dengan orang yang ‘selalu’ menyalahkannya. Ujung-ujungnya, peluang pelampiasan pun menjadi sangat terbuka lebar dan berpotensi membahayakan, baik pada dirinya sendiri maupun lingkungan.

Jika dampak marahnya orangtua kepada anak begitu dahsyat bagi psikis anak, lebih-lebih bagi orangtua yang sudahlah ringkih, pemarah pula; tekanan darah ikut naik, berefek ke kerja jantung, penurunan fungsi paru, stroke, sakit kepala, naiknya asam lambung, susah tidur, menurunnya imunitas tubuh, tekanan batin, penuaan dini. Sudah akrab dengan dampak fisiknya kan?

Pengendaliannya bagaimana? Syukur dan sabar memang terdengar klise. Tetapi begitulah kunci utamanya. Karena untuk menyiapkan penerus kita yang terbaik, tak mudah kan? Dan itu semua bukan kita serahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah. Itu tugas kita; orangtua. Jika pun kita tak begitu unggul di bidang kerja, berdo’alah bahwa mendidik anak menjadi sholih-sholihah adalah bentuk kita menciptakan lahan surga kita sendiri kelak.

Berpihaklah pada kelebihannya dibandingkan pada kekurangannya. Jika kepada jodoh hidup kita pun muncul kredo “Kita punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri agar kita saling melengkapi”, apatah lagi dengan buah hati?

Kandungan buku ini mengoreksi banyak cara-cara saya dalam mendidik anak, terutama dalam memerankan potensi marah. Dan memang saran-saran dalam buku ini sangat aplikatif. Sangat konstruktif jika aplikasi dari buku ini sering didiskusikan orangtua (ibu dengan ibu, ayah dengan ayah) agar ada progres pada masing-masing pribadi saat mengelola potensi marah tersebut.

Bunda Diva adalah nama pena dari dr. Nurul Afifah yang juga pendiri @bundatalk. Kecintaannya terhadap dunia tulis-menulis sudah ditekuni sejak di bangku SMA. Dan do’a sang ayahlah yang mengantarkan dokter kelahiran Rembang ini menerbitkan buku ini setelah belasan tahun lalu sang ayah wafat. Buku yang dibahas saat ini merupakan cetakan kelima (Oktober) dari sejak terbit perdananya (Januari 2019). Semoga ini menjadi bentuk kemakbulan do’a sang ayahanda dan kebermanfaatan kandungannya menjadi wasilah amal jariyah bagi almarhum.

Daftar Isi
For Parents: Salurkan Kemarahan dengan Benar
[Apakah Marah Itu? | Bentuk Ekspresi Marah | Nggak Boleh Marah, Ya? | Salurkan Marah dengan Benar]

Ada Sebab, Ada Akibat: Penyebab Marah
[Internal (Fisik dan Psikis) | Eksternal | Gap (Kesenjangan) | Beda Standar]

Ada Sebab, Ada Akibat: Dampak Marah Bagi Anak dan Orang Tua
[Dampak Marah bagi Anak: Dampak Fisik dan Dampak Psikis | Dampak Marah bagi Orang Tua: Dampak Fisik dan Dampak Psikis]

Kendali Marah
[Kendali agar Tidak Mudah Marah | Kendali saat Ingin Marah | Kendali saat Telanjur Marah | Metode Pukul-Rangkul]

Marah pada Anak, Normalkah?
[Tanda-tanda Marah yang Tidak Normal | Penyebab Anak Sering Marah dan Mengamuk]

Cara Mendisiplinkan Anak
[Memahami Disiplin | Tahapan Menerapkan Disiplin | Tips Mendisiplinkan Bayi dan Balita | Kiat Mendisiplinkan Anak | Cara Jitu Mendisiplinkan Remaja | Hal-hal yang Harus Diperhatikan saat Mendisiplinkan Anak | Bagaimana Mendisiplinkan Anak dengan Hukuman? | Bagaimana Menerapkan Disiplin pada Anak dalam Keluarga? | Cara Mengatasi Anak yang Tidak Mau Mendengarkan Orang Tua | Tantrum yang Selalu Menakutkan]

Bibliografi
Judul: Don’t be Angry, Mom; Mendidik Anak Tanpa Marah
Penulis: dr. Nurul Afifah @bundatalk
Tebal: 169 hlm.
Dimensi: 14x20,5 cm
Cetakan: 5, Oktober 2019
ISBN: 978-602-51563-2-8
Penerbit: Ikon, Jakarta


Posting Komentar

1 Komentar

  1. Casinos Near Me - Missouri Gaming Commission
    Casinos Near Me · 이천 출장마사지 MGM 강원도 출장샵 National Harbor 김해 출장샵 · Borgata 광명 출장마사지 Hotel Casino & Spa · Atlantic City Marina 안양 출장샵 · Foxwoods Resort Casino & Spa · Fairfield Inn & Suites

    BalasHapus