Seperti kebanyakan
buku-buku karya orang Yahudi, Malcolm Gladwell ini seperti
buku-buku The Tipping Point, Blink,
Outliers, beliau dalam bukunya banyak menggunakan cerita-cerita untuk
menyampaikan pesannya kepada kita. Cerita-ceritanya berlatar nuansa ‘Barat’, sehingga
bagi kita orang ‘Timur’ agak susah menangkapnya. Tapi kalau kita
terus saja membaca, kita akan menangkap apa pesan yang ingin
disampaikan penulis.
Satu hal yang tidak
lepas dari Malcolm Gladwell ―seperti buku-buku beliau yang lain, beliau menulis
menggunakan data-data dan fakta-fakta empiris, hasil riset dan kajian yang
memakan waktu lebih dari 5 tahun bahkan data sampel-nya ada yang sampai
menggunakan data selama 40 tahun lebih. Ini yang membuat saya terpukau dengan
keuletannya dalam menulis dan meneliti. Beliau menulis jarang menggunakan
pendapat pribadi, beliau menulis sering menggunakan catatan kaki. Dan catatan
kaki itu menjelaskan secara rinci bagaimana data itu diambil, tahun berapa data
itu diambil, berapa sampel yang diuji, di mana sampel itu diambil, siapa atau
universitas apa yang melakukan percobaan. Dan terkadang suatu riset bisa
memakan waktu bisa satu generasi 10-20 tahun. Hasil riset selama 10-20 tahun
itulah yang dijadikan data oleh Malcolm Gladwell untuk menulis. Pernah saya
membaca data dari buku beliau untuk mengamati bagaimana masa kecil seseorang
mempengaruhi kesuksesan seorang di masa dewasanya. Berarti riset ini dilakukan
sejak orang ini kecil sampai orang ini dewasa. Bayangkan berapa waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan riset ini? Berapa biayanya? Betapa uletnya orang
yang melakukan riset ini? Dan inilah data-data yang digunakan Malcolm Gladwell
dalam menulis bukunya.
David and Goliath; Ketika
Si Lemah Menang Melawan Raksasa adalah buku yang antimainstream seperti kebanyakan buku beliau yang lain. Buku ini
merupakan antitesis bahwa terkadang kelemahan itu lebih menguntungkan dari
kekuatan. Beliau dengan apik sekali memulai bukunya dengan kisah pertarungan
antara Nabi Daud dan Raja Jalut. Seperti digambarkan dalam ajaran agama kita
bahwa Raja Jalut digambarkan sebagai sosok raksasa berperisai dan bersenjata
lengkap. Tubuhnya dilindungi perisai-perisai dari perunggu dan besi. Sementara
Nabi Daud adalah sosok yang kecil, seorang anak gembala, tapi ia mampu
mengalahkan Raja Jalut.
Dengan referensi yang
kuat, Malcolm Gladwell menjelaskan bahwa ada
faktor-faktor tertentu yang menyebabkan Nabi Daud bisa mengalahkan Raja Jalut.
Salah satu faktornya adalah bahwa pertarungan di antara mereka dilakukan dengan
jarak jauh. Nabi Daud menggunakan ketapel yang lemparannya sekuat dan secepat
pistol zaman sekarang. Sementara Raja Jalut menghendaki pertarungan jarak
dekat. Raja Jalut tidak siap. Nabi Daud melempar batu dengan ketapelnya tepat ke
dahi Raja Jalut yang tidak terlindung, membuat dia jatuh dan pingsan, Nabi Daud
lari mengambil pedang dan menyembelih Raja Jalut.
Pada saat Anda
dihadapkan dalam situasi yang bernuansa persaingan, misalnya dalam lomba, atau
dalam tender sekalipun, atau dalam menjalankan pertarungan merebut pangsa
pasar, apa yang biasanya Anda alami? Anda merasa selalu pada posisi paling
kuat, atau paling lemah atau sekurangnya relatif
lemah dibandingkan pesaing Anda? Kalaupun Anda hampir selalu merasa bahwa pihak
lawan selalu memiliki keunggulan ―dan untuk itu harus berhati-hati― maka Anda
berada pada pihak yang lemah secara psikologis meskipun dalam perhitungan
lapangan Anda adalah pemenangnya, misalnya pangsa pasar Anda paling besar
dibandingkan lainnya. Namun memang ada kalanya mungkin Anda merasa bahwa posisi
Anda tak tergoyahkan maka tak perlu ragu dengan pesaing lainnya ―bahkan mungkin
Anda tak menganggapnya sebagai pesaing karena mereka terlalu kecil bagi bisnis
Anda.
Apapun jawabannya, Anda
perlu membaca buku David and Goliath
karya Malcolm Gladwell ini. Bila Anda seringkali merasa kalah, bacalah buku ini
agar Anda semakin kontekstual dalam menyikapi situasi yang ada sehingga malah
bisa menemukan kreasi atau inovasi baru yang membuat posisi Anda malah jauh
lebih menguntungkan dibandingkan lawan yang jauh lebih unggul. Gladwell
menyebutnya dengan “keuntungan dari kelemahan” atau the advantages of the disadvantages. Namun bila Anda merasa selalu
di atas angin, Anda juga perlu membaca buku ini. Karena
ternyata menurut Gladwell, ada “kelemahan dari keunggulan” atau the disadvantages of advantages.
Jawabannya sudah bisa Anda tebak sendiri dari judul buku yang mengisahkan
pertarungan antara Nabi Daud dengan Raja Jalut yang raksasa.
Justru dari perspektif
si lemah inilah banyak pembelajaran yang bisa kita ambil dari kisah-kisah yang
diuraikan dengan apik oleh Malcolm Gladwell ini. Semua kisah nyata adanya dan
bersumber dari kejadian belakangan ini maupun puluhan tahun yang lalu dan telah
terekam dalam sejarah.
Jangan salah sangka,
buku ini bukan menceritakan kisah Nabi Daud melawan raksasa Jalut atau Goliath.
Kisah tersebut hanyalah sebuah analogi untuk kumpulan kisah nyata yang
dipadukan oleh Gladwell ke dalam bukunya. Kisah-kisah mengenai bagaimana
orang-orang yang diselimuti kekurangan dapat terus bertahan bahkan menjadi
salah satu yang terbaik di bidangnya. Orang-orang ini berasal dari berbagai
negara dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda pula. Mulai dari
guru, mahasiswa, dokter, dan orang sebagai warga sipil biasa (ketika bercerita
tentang pemerintah yang represif).
Pertama adalah sosok
Vivek Ranadive yang mendadak menjadi pelatih tim basket putrinya; Redwood City; meski dia
sendiri bukan pemain basket. Untuk ini, ia menerapkan dua
prinsip dalam melatih basket, yakni pertama ia tak
akan melatih dengan cara berteriak-teriak dan kedua ia akan memberlakukan
prinsip yang sama seperti ia memimpin bisnis piranti lunaknya. Dari segi
anggota tim, tak ada terlihat yang menonjol dalam bermain basket, bahkan mereka
relatif pendek dalam hal tinggi badan, tak seperti biasanya pemain basket
profesional. Namun justru tim ini malah solid dan seringkali memenangkan
pertandingan basket. Filosofi yang ditanamkan oleh Vivek ke tim bola basketnya
adalah kemauan untuk mencoba lebih keras dari yang umumnya dilakukan orang atau
pemain lain.
Kemudian Gladwell
mengambil fakta lainnya yakni tentang Teresa deBritto, seorang guru sekolah
dasar dimana di sekolahnya jumlah muridnya selalu menurun. Pada umumnya, baik orangtua
maupun ahli pendidikan berpikir bahwa yang namanya kelas semakin sedikit
jumlah muridnya maka semakin bagus kualitasnya. Banyak penelitian membuktikan
hal ini. Namun pada kenyataannya justru ada batas minimum dimana semakin
sedikit lagi proses belajar-mengajar menjadi kurang berkualitas karena
berkurangnya keragaman pendapat diantara murid karena jumlah yang sedikit.
Pada bagian inilah
justru Gladwell dengan piawainya merangkai sebuah hipotesis yang ia
lakukan dengan menukil pengalaman seorang bintang Holywood. Sang bintang
mengisahkan bahwa ia lahir dari keluarga yang miskin dan melakoni
hidup yang keras sehingga saat ia berusia sekolah dasar ia sudah harus mencari
uang. Ia membersihkan dedaun kering setelah musim gugur dan juga
membersihkan sisa salju setelah musim dingin dari rumah-rumah tetangganya
dengan harapan upah, tentunya. Bahkan sang bintang bisa mengumpulkan
teman-teman sesama anak-anak untuk
mengerjakan proyeknya. Tak ayal ketika usia sebelas tahun, ia punya
tabungan sebesar USD 600 (tahun 1950an). Sehingga jika
dihitung
saat ini, sekitar USD 5 ribu. Jumlah yang amat besar
untuk seorang bocah.
Ketika lulus SMA pun, sang bintang
disuruh kerja di tempat ayahnya yang seorang pedagang besi bekas, kumuh dan
kotor.
Ia tak kerasan
kerja di situ. “Ayah saya tahu bahwa saya tak bakal betah kerja di tempat yang
kumuh dan keras supaya saya keluar dari zona itu,” ujarnya dalam sebuah
wawancara. Akhirnya ia kuliah dan bisa bekerja di Holywood dan kaya raya.
Dari kisah sang bintang inilah
Gladwell membuat hipotesis bahwa ternyata semakin kaya kita, maka kita
semakin tak efektif menjadi orangtua bagi anak-anak kita. Bahkan ia berani
mematok angka sebesar 75 ribu dollar per-tahun merupakan titik
dimana efektivitas sebagai orangtua menjadi menurun. Ini berdasarkan hasil
penelitian dimana uang tak lagi membuat orang bertambah bahagia bila ia
berpenghasilan di atas 75 ribu dolar (sekitar 900 juta rupiah) per-tahun. Sulit
untuk menolak permintaan anak dibelikan sebuah mobil dengan alasan tak punya uang, sementara
ayah dan ibunya masing-masing mengendarai Maserati dan Porche. Ini tentu sebuah
hipotesis yang menarik dan bisa bervariasi dari orang ke
orang tergantung status ekonomu sebelumnya.
Disinilah kejeniusan
seorang Gladwell teruji karena ia memperkenalkan kurva U terbalik dengan
puncaknya pada angka 900 juta rupiah tersebut untuk menunjukkan bahwa peran
kita sebagai orangtua (parenting)
semakin efektif bila penghasilan kita naik hingga mencapai angka 900 juta
rupiah per-tahun. Selebihnya, kita semakin tak
berdaya menjadi orangtua yang efektif. Maka,
berbahagialah Anda bila penghasilan Anda setahun masih di bawah
angka 900 juta rupiah, karena selebihnya Anda tergolong sangat kaya
dan semakin tak berdaya dalam mendidik anak. Ingat, sang bintang Holywood
berasal dari keluarga miskin.
Lantas, apa hubungannya
dengan kisah Nabi Daud? Justru di sinilah pusat perenungan terjadi. Selama ini, banyak kita
mengeluh bahwa kemiskinan membuat kita menjadi tak berdaya menjadi orangtua
efektif (parenting). Namun ternyata
semakin kaya kita memang ada kecenderungan membaik efektivitas kita karena bisa
menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan
pertumbuhannya hingga sampai pada suatu titik, yakni bila
penghasilan kita mencapai Rp. 900 juta per-tahun. Di atas penghasilan ini
berlakulah hukum yang semakin menurunkan efektivitas kita sebagai orangtua atau
dalam ilmu ekonomi biasa disebut dengan ‘the
law of diminishing returns’. Artinya, jangan kita menganggap bahwa
kemiskinan kita merupakan suatu kelemahan dalam menjalankan peran sebagai
orangtua efektif, namun justru kita mencari cara mendidik terbaik disertai
dengan mencari pendapatan agar tak miskin, namun musti hati-hati ketika
mencapai Rp. 900 juta.
Banyak kisah lainnya
yang diambil dengan penyajian yang menarik dan sering membuat hati ini berdegup
melihat fakta-fakta yang ia ungkapkan, menambah kekaguman kita kepada
kejeliannya dalam mengangkat suatu isu. Bahkan pertanyaan mengenai lebih baik
menjadi ikan kecil di kolam yang besar atau menjadi ikan besar di kolam yang
kecil dari kasus mengambil jurusan kuliah yang dialami Caroline Sacks,
misalnya. Bila ingin menjadi seorang ilmuwan, lebih baik sekolah di universitas ternama
namun dengan risiko drop
out karena ketatnya persaingan saat kuliah, atau sekolah
di universitas biasa (tak terkenal) namun akhirnya memang jadi ilmuwan.
Di bagian kedua buku ini
Gladwell justru mengungkapkan teori tentang kesulitan yang diinginkan (The Theory of Desirable Difficulty).
Ternyata kelemahan seseorang yang mengalami kesulitan dalam membaca (dislexia) justru merupakan kekuatan
karena melalui hambatan yang ia jalani adalah menjadi peluang untuk
menekuni agar tak menjadi hambatan. Kisah inspiratif yang diuraikannya salah
satunya terkait dengan seorang bernama Gary Cohn. Dalam setiap mata pelajaran
atau mata kuliah yang ia ikuti, Gary selalu merasa dirinya lambat dalam
mencermati buku-buku pelajaran maupun buku kuliah. Hal ini justru merupakan
peluang baginya dimanapun ia sekolah ―bahwa bila nilainya D dalam suatu mata
kuliah, maka ia minta waktu secara personal dengan dosennya untuk negosiasi
mengapa ia mendapatkan nilai D. Dalam setiap kesempatan, akhirnya ia
selalu mendapatkan koreksi positif dari yang awalnya D
menjadi C, dari yang C bahkan bisa menjadi B, atau dari B
menjadi A. Coba bayangkan bila teman kuliahnya yang selalu mendapatkan nilai A,
maka tak ada perlunya bertemu dengan dosennya secara personal karena ia sudah
mendapatkan nilai maksimum.
Kegigihan Gary ini
sungguh membuat saya membaca kisahnya berulang-kali untuk memastikan bahwa saya
mengerti apa yang dimaksud oleh Gladwell dari kisah Gary Cohn ini. Dalam arti
luas, kita tak boleh berkecil hati bila mendapatkan suatu penilaian dari siapa pun
karena justru itulah “peluang” bagi kita untuk membahas lebih lanjut dengan
penilai sehingga hasilnya bahkan bisa terkoreksi secara positif. Gary ternyata
merupakan trader sejati karena
akhirnya ia pun bisa berkarir di sektor keuangan
melalui kisah yang unik dimana untuk menuju kota harus berani patungan
dengan
orang lain untuk biaya taksi, sehingga ia hanya perlu
membayar separuhnya saja. Gary Cohn saat ini adalah orang nomor satu di
Goldman Sach (halaman 124). Kalimat ini membuat saya tertegun, tak pernah
membayangkan bahwa seorang CEO bisa berasal dari kaum dislexia. Sungguh luar
biasa! Tetapi Gary Cohn memiliki sikap sombong yang tak pantas
untuk ditiru.
Ini adalah kisah di mana
kita tahu apa kelemahan kita apa kekuatan kita. Kita juga harus tahu apa
kekuatan lawan dan apa kelemahannya. Persis seperti apa yang disampaikan oleh
Sun Tzu. Sehingga kita bertarung dengan cara kekuatan kita tergali, kita
bertarung dengan menggali kelemahan lawan. Dan di sinilah kelemahan menjadi
kekuatan.
Menurut saya, buku ini
amat layak untuk dimiliki karena memang sangat inspiratif dan membuat kita
merasa termotivasi setelah membacanya, meski di dalamnya tak ada kalimat ajakan
dari Gladwell agar kita memiliki motivasi yang tinggi. Hebat!
Daftar
Isi
Pengantar―Goliat
Bagian I―Kekuatan dalam Kelemahan (dan
Kelemahan dalam Kekuatan)
[Vivek Ranadivé | Teresa DeBrito |
Caroline Sacks]
Bagian II―Teori Kesukaran yang Berguna
[David Boies | Emil “Jay” Freireich |
Wyatt Walker]
Bagian III―Batas-batas Kekuasaan
[Rosemary Lawlor | Wilman Derksen | André Trosmé]
Bibliografi
Judul: David and Goliath;
Ketika Si Lemah Menang Melawan Raksasa
Judul Asli: David and Goliath;
Underdogs, Misfits, and the Art of Battling Giants
Penulis:
Malcolm Gladwell
Penerjemah: Zia Anshor
Tebal: xii+301 hlm.
Dimensi: 13,5 x 20 cm
Cetakan: I, 2013
ISBN: 978-979-22-9954-0
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
0 Komentar