Resensi: Lahirnja Republik Indonesia

Buku ini ditulis berdasarkan hasil liputan media-media luar negeri maupun pengalaman diplomasi penulis sendiri. Pihak luar menilai keadaan Indonesia hanya pada permukaannya saja. Sedangkan apa yang terjadi di dalam proses lahirnya Republik Indonesia, hanya pelaku sejarahlah yang dapat bercerita lebih dalam.

Pada era ‘30-an, gerakan kebangsaan untuk kemerdekaan terberangus oleh sikap represif pemerintah Kolonial.
... Rapat umum dilarang, kemerdekaan pers dibatasi. Alat-alat keamanan mendapat wewenang untuk menutup rapat-rapat partai dan menangkap pembitjara-pembitjara jang pidatonja dianggap menghasut. Tetapi senjata jang paling ampuh di tangan pemerintah adalah apa jang dinamakan “hak-hak luar biasa” (exorbitante rechten). Setiap orang jang dipandang oleh pemerintah sebagai berbahaja bagi ketertiban umum, dapat ditangkap setiap saat; adalah wewenang pemerintah untuk memutuskan apakah orang-orang sematjam itu akan dikirim ke kamp-kamp tawanan...(h.10).

Pendapat umum dunia pada waktu itu beranggapan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disiarkan melalui radio kepada seluruh dunia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan suatu Republik buatan Jepang, sebagaimana yang dinyatakan Dr. H.J. de Graaf;
“Dalam menindjau apa jang tertera di atas, orang mau tidak mau menemukan kekurangan-kekurangan pada para pelaku dalam drama pernjataan Kemerdekaan Indonesia. Satu golongan, walaupun sangat tjerdas, kekurangan prakarsa, jang lain walaupun menarik karena kegairahannja, tidak memiliki pengertian dan ketadjaman pandangan. Satu-satunya tokoh jang bertindak dengan keberanian, pada saat-saat mendjelang kehantjuran, adalah Maeda jang dengan mendirikan Republik Indonesia, pada saat-saat terachir berusaha memberikan pengabdiannja kepada tanah airnja jang djatuh kalah. Diantara sedikit orang Djepang jang menarik pada masa pendudukan, ia adalah satu-satunja jang paling menawan hati”(h.29).

Tak cukup sampai di situ, isu yang dikembangkan George Mc Turnan Kahin; asisten profesor pada Universitas Cornell di Amerika Serikat dalam bukunya berjudul “Nationalism and Revolution in Indonesia” malah lebih ‘dahsyat’ lagi,
Orang jang dianggap bertanggung djawab bagi kegiatan-kegiatan ini adalah Laksamana Muda Djepang Maeda. Ia dan perwira-perwira Angkatan Laut bawahannya dianggap merentjanakan pendirian suatu Republik Indonesia jang didasarkan pada prinsip-prinsip Marxis dengan bantuan orang-orang muda Indonesia jang akan digembleng dalam sekolah latihan jang didirikan oleh Maeda untuk maksud ini.

Apakah maksud itu? Didugakan bahwa suatu revolusi Komunis akan petjah di Djepang djika Djepang kalah perang, dan djika terdjadi perang dunia ketiga petjah segera setelah perang dunia kedua, Rusia dan Djepang akan bersekutu. Karenanya merupakan kepentingan Djepang bahwa Indonesia mendjadi suatu Republik Komunis, paling sedikit suatu Republik yang dipimpin oleh suatu pemerintah yang berketjenderungan Komunis(h.36).

5 Agustus 1945, Marsekal Terauchi (Jepang) memutuskan Sukarno, Hatta, dan Radjiman untuk terbang ke Saigon menemuinya. Ada amanat yang disampaikan Terauchi kepada ketiga orang dari Indonesia itu. Atas peristiwa ini, muncul tafsir politik antara de Graaf dengan Kahin yang berkesan saling bertolak belakang.

Dr. de Graaf menjatakan:
“Rupa-rupanja dalam amanat resminja itu Terauchi memberitahukan mereka akan tiga hal:
1. Bahwa kemerdekaan akan meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dulu;
2. Bahwa atas keleluasaan Pemerintah Keradjaan, kemerdekaan hanja akan bermulai djika pekerdjaan persiapan sudah selesai atau setara berangsur-angsur, djadi pulau Djawa dulu kemudian propinsi-propinsi di luar Djawa, seimbang dengan penjelesaian pekerdjaan panitia-panitia persiapan jang akan dibentuk di Sumatera dan Kalimantan;
3. Achirnja kemerdekaan tersebut harus sesuai dengan tuntutan peperangan. Orang-orang Indonesia harus tetap menjokong Djepang dalam pergulatannja melawan kekuatan-kekuatan Sekutu.”

Prof. Kahin:
“Tanggal 8 Agustus 1945 Sukarno, Hatta, dan Radjiman telah dipanggil oleh Djenderal Terauchi di Dapat di Indotjina. Disana pada tanggal 11 Agustus, ia mendjandjikan kepada mereka bahwa kemerdekaan akan dianugerahkan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Suatu Madjelis Konstitusi akan dipanggil bersidang pada tanggal 19 dan minggu diantara dua tanggal tersebut akan digunakan untuk mengedarkan dan mengesjahkan Undang-undang Dasar jang telah disusun oleh panitia-panitia jang didirikan untuk mempersiapkan kemerdekaan(h.46-47).”

Menyikapi perkembangan politik tersebut, Dr. de Graaf mengatakan,
“Tidak pernah Djepang mempertimbangkan maksud untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia”(h.44).

Angkatan Perang Sekutu ingin meyakinkan apa yang menjadi berita di luaran tersebut. Oleh karenanya, Badan Penyelidik (intelijen) Sekutu mendapatkan informasi ketidakbenaran berita tersebut. Hal ini dilakukan oleh seorang Perwira Intel Inggris —atas saran Ahmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri RI dan mendapat surat izin dari Presiden Sukarno— untuk berkeliling pulau Jawa tanpa senjata dan ditemani seorang perwira penghubung Indonesia untuk memverifikasi berita tersebut. Ia kumpulkan kesaksian masyarakat, berawal di Bandung, Yogyakarta, Solo, Madiun, Kediri, Surabaya, Lamongan, Gresik, Rembang, Demak, Kudus, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Karawang, Bekasi, Jakarta.

Sekembalinya dari keliling Jawa tersebut, ia menghadap Menteri Luar Negeri; Subardjo. Ia meyakinkan, bahwa suatu pengakuan de facto Republik Indonesia oleh pemerintah Inggris dapat dibenarkan.
Penjelidikan untuk mengetahui sifat sebenarnja Revolusi Indonesia ini adalah perlu mengingat anggapan pasti dari pemerintah Belanda dalam pelarian, bahwa Proklamasi tersebut hanjalah perbuatan tak berarti dari segelintir pemimpin-pemimpin Indonesia jang didalangi oleh Djepang(h.30-31).

Meskipun begitu, Belanda tetap beranggapan, “Rakjat Indonesia sebagai keseluruhan di mata Belanda belum matang untuk merdeka(h.31).

Pada kasus Laksamana Muda Maeda, ia adaah anggota militer Jepang yang pada dasar nuraninya begitu objektif dan dapat memahami bagaimana sebuah negara-bangsa seperti Indonesia membangun cita-cita tegak di kaki sendiri tanpa rasa iba dari penjajah ―dalam hal ini adalah Jepang itu sendiri. Bagi pemerintah Jepang, posisi dan prinsip Maeda ini adalah suatu kesalahan dalam hierarki komando. Tetapi begitulah Maeda. Ia berani mengambil risiko pilihan. Maeda begitu terbuka ―bahkan kooperatif― bersama tokoh-tokoh nasional Indonesia untuk merancang kemerdekaan Indonesia.

Dan Proklamasi Kemerdekaan itu lahir. Konsep yang menjadi kesepakatan ketiga tokoh nasional itu berbunyi,
“Kami rakjat Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan kami. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan tjara jang setjermat-tjermatnja serta dalam tempo jang sesingkat-singkatnja”(h.109).

Teks yang dirumuskan oleh “tiga tokoh nasional dari generasi tua”, demikian disebutkan oleh Drs. Nugroho Notosusanto selaku Kepala bagian Sejarah dari Hankam, yakni Sukarno, Hatta, dan Subardjo dengan disaksikan oleh tiga pemuda, yakni Sukarni, mbah Diro, dan B.M. Diah.

Tentang penulis, Subardjo lahir di Karawang pada 23 Maret 1896. Mendapat gelar Mr. (Meester in de Rechten= Sarjana Hukum) pada tahun 1933. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Subardjo menempati beberapa amanah sebagai Pembantu kantor Penasehat Angkatan Darat Jepang, Kepala Biro Research di Admiral Mayeda dari Angkatan Laut Jepang, Anggota Badan Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia, Anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Anggota Panitia Pembentuk Undang-undang Dasar, Anggota Panitia untuk menetapkan Lagu Kebangsaan, dan Anggota Panitia Piagam Jakarta.

Buku ini lebih banyak berkisah tentang kooptasi Jepang terhadap Indonesia dibandingkan dengan Belanda maupun Sekutu. Melalui buku ini pulalah kita dapat membaca lebih dalam konstelasi politik dan isu-isu yang meramaikan perbincangan nasional menjelang Proklamasi Kemerdekaan.

Pada akhir resensi ini, saya coba munculkan apa yang menjadi inti dari prinsip-prinsip gerakan Kemerdekaan Indonesia “yang mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur” yang diusung oleh Perhimpunan Indonesia dan disetujui dalam sidang lengkap Perhimpunan Indonesia yang diketuai Dr. Sukiman tahun 1925 antara lain:
1. berdiri pada kaki sendiri (self-reliance);
2. menolong diri sendiri (self-help);
3. penentuan nasib sendiri (self-determination);
4. tidak bekerjasama dengan Kolonial (non-cooperation).

Ada azas-azas yang menarik dari batang tubuh dari prinsip-prinsip di atas yang seolah makin hari makin langka didapati, yakni mengabdikan diri bagi tudjuan Kebebasan Nasional:
1. Hanja Indonesia jang bersatu jang mengenjampingkan semua perbedaan-perbedaan golongan, mampu mematahkan Kekuatan Kolonialisme. Tudjuan bersama kita: pembebasan Indonesia, menuntut dibangunnja suatu gerakan massa yang berazaskan Kebangsaan dan jang percaja pada diri sendiri dan bersandar pada kekuatan sendiri.
2. Ikut sertanja semua lapisan rakjat Indonesia dalam perdjuangan bersama untuk kemerdekaan ini adalah sama dan mutlak perlunja sebagai prasjarat untuk mencapai tudjuan tersebut.
3. Suatu unsur jang menentukan dan pokok dalam tiap masalah politik kolonial adalah pertentangan kepentingan-kepentingan antara pendjadjah dan jang didjadjah. Kecenderungan politik pihak pendjadjah untuk mengkaburkan dan menutup-nutupi unsur ini harus didjawab oleh jang didjadjah dengan mempertadjam dan menegaskan semua pertentangan-pertentangan tersebut.
4. Mengingat kerusakan dan demoralisasi pada keadaan-keadaan mental dan fisik dalam kehidupan Indonesia sebagai akibat kolonialisme, usaha-usaha yang kuat harus dilakukan untuk normalisasi keadaan-keadaan mental dan materiil tersebut(h.19).”

Daftar Isi
Bab 1―Pendapat Luar Negeri tentang Revolusi Indonesia
Bab 2―Politik Djepang tentang Kemerdekaan Indonesia
Bab 3―Kegagalan Misi Djepang
Bab 4―Kedjadian Menudju Proklamasi
[Pendudukan Militer Djepang | Desas-desus tentang Penjerahan Djepang | Pertemuan Malam di Rumah Kediaman Soekarno | Insiden Rangas Dengklok | Pertemuan Bersedjarah di Tempat Kediaman Mayeda | Proklamasi Kemerdekaan]

Bibliografi
Judul: Lahirnja Republik Indonesia; Suatu Tindjauan dan Kisah Pengalaman
Penulis: Mr. Ahmad Subardjo Djojoadisuryo
Tebal: iv+120 hlm.
Dimensi: 11x19,5 cm
Cetakan: 1972
Penerbit: PT. Kinta, Bandung


Posting Komentar

0 Komentar