Langsung ke konten utama

Resensi: 40 Hari Kegagalan "G.30.S"

Seperti ungkapan Sir John Seeley, “... we  study history that we may be wise you before the event; kita harus mempelajari sejarah agar supaya kita bijaksana lebih dulu, agar supaya kita tahu kemana kita harus berjalan.” Sepenggal kalimat ini pula yang disitir Bung Karno.

Sebagaimana harapan Jenderal TNI; Dr. A.H. Nasution; agar “generasi-generasi yang akan datang tidak akan mengalami Lubang Buaya kedua atau Madiun ketiga.” Dan buku ini tidak berisi ulasan. “Isinya adalah kisah belaka dan ditulis untuk Rakjat Biasa untuk guru di pabrik-pabrik, bengkel-bengkel, pelabuhan-pelabuhan serta perkebunan-perkebunan, untuk tani di desa-desa, untuk pradjurit di front dan daerah-daerah operasi maupun jang sedang berada di ksatrian-ksatrian, untuk karjawan-karjawan di kantor, untuk mahasiswa dan peladjar di perguruan-perguruan(h.4).”

Bagaimana upaya PKI melancarkan fitnah atau hoax yang sengaja diangkat menjadi isu keamanan nasional untuk melibas lawan politiknya?
Tadjuk Harian Rakjat, 4 September 1965 berbunji sebagai berikut: “... Mereka menjebarkan kampanje seakan-akan PKI mau coup. Sesungguhnja mereka sendirilah jang menjiapkan coup itu.(h.17)”
Harian Rakjat adalah salah satu surat kabar di bawah kendali Partai Komunis Indonesia.

Sebakda aksi “G-30-S”, pihak militer mampu menghimpun dan menyusun potongan-potongan fitnah tersebut yang ditujukan kepada para perwira ABRI,
Belakangan ini dilantjarkan keterangan bahwa berita mengenai adanja “Dewan Djenderal” itu bersumber kepada 4 orang, jakni 3 orang perwira Angkatan Darat dan seorang pedjabat penting sipil. Dua orang diantara perwira-perwira Angkatan Darat serta pejabat sipil itu menjangkal, bahwa mereka pernah mengetahui, mendengar, memperbintjangkan atau melaporkan mengenai “Dewan Djenderal” itu. Perwira yang seorang lagi menjatakan, bahwa ia mendengar istilah “Dewan Djenderal” itu dari seorang mahasiswa Universitas Merdeka di Malang. Mahasiswa itu pada permulaan bulan Agustus telah mengundjungi suatu rapat jang diselenggarakan oleh Pemuda Rakjat Gubeng, Surabaja. Rapat itu membahas soal-soal “Dewan Djenderal”. Dan sepulang dari rapat itu mahasiswa tersebut menanjakan perihal “Dewan Djenderal” itu kepada perwira tersebut. Dengan demikian sumber mengenai adanja “Dewan Djenderal” itu kembali kepada PKI atau ormas-ormasnja djuga.

Kampanje mengenai “mengembangkan situasi revolusioner” dan mengenai “Dewan Djenderal” itu ternjata djuga dilantjarkan di daerah-daerah pada waktu jang bersamaan. Terbukti dari laporan 5 partai politik (PNI, NU, Partai Katholik, Parkindo, dan IP-KI) di Bali ke hadapan PJM Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar Revolusi mengenai persiapan dan kegiatan Petualangan Kontra-revolusi “G-30-S”. Tertulis antara lain didalam laporan itu: “...mulai dilantjarkan kampanje tentang Dewan Djenderal dan keharusan lahirnja Baji dari Revolusi jang sudah hamil tua, dan setjara terang-terangan sudah mematjankertaskan Pemerintah dan Menteri-menteri jang dianggap sebagai distribusi kekuasaan dan wewenang Bung Karno”(h.19).

Perlu diketahui, bahwa didalam lingkungan PKI, kekuasaan tertinggi berada pada kongres. Selama tidak ada kongres, maka kekuasaan tertinggi berada pada Central Comite (CC). Selama tidak ada sidang CC Pleno, kekuasaan tertinggi ada pada Politbiro(h.15).

Sebagai persiapan-pendahuluan dari pihak PKI bagi pertjobaan kudetanja jang gagal itu, dapat disebutkan pertama kali kegiatan-kegiatan spionase. Misalnja, diantara surat-surat Sudisman (anggota CC PKI) terdapat foto dari denah (plattegrond) Sekolah Polisi Sukabumi. Didalam arsip-arsip SBKP (Serikat Buruh Kementerian Pertahanan) Direktoral Topografi ditemukan: bagan Direktorat Topografi dan penundjukan tempat adanja sendjata dan amunisi. Djuga didapatkan daftar nama perwira-perwira jang diklasifikasi: reaksioner-aktif, reaksioner, dan netral(h.20).

Dalam hal ini jang terutama mereka tudju adalah Angkatan Darat karena dianggap penghalang utama bagi maksud-maksud mereka. Menurut dugaan mereka, Angkatan Darat akan dapat dikuasai, djika djenderal-djenderal dalam pimpinannja jang sekarang di-eliminir dan diganti dengan orang-orang jang sesuai(h.21).

Kaki-tangan PKI sudah menggurita hingga ke dalam tubuh angkatan bersenjata. Setiap ‘kawan’ dengan ‘kawan’, tidak saling kenal. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran misi PKI. Bahkan pada Resimen Cakrabirawa pun, tak luput dari garapan PKI dengan mengutus dua ormas; Gerwani dan CGMI. Rencana keseluruhan dengan target “G-30-S” adalah:
1. Mengeliminir pimpinan Angkatan Darat jang sekarang, sehingga AD dapat berubah haluan jang menguntungkan mereka atau setidak-tidaknja lumpuh dan tak dapat bergerak;
2. Memaksa PJM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi untuk menjetudjui tindakan-tindakan mereka, jakni membentuk pemerintahan jang dikuasai oleh PKI (⅔ PKI, ⅓ golongan lain);
3. Achirnja membelokkan arah Revolusi Indonesia sesuai dengan konsepsi mereka(h.22).
PJM= Paduka Jang Mulia.

Kekuatan kudeta oleh PKI —seperti telah terbongkar pada tanggal 1 Oktober 1965— pada “G-30-S” diperoleh dari empat macam sumber:
1. Bataljon I Kawal Kehormatan/Resimen Tjakrabirawa.
2. Brigade Infanteri I Kodam V/Djaja.
3. Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan (P3) AURI.
4. Bataljon 454/Diponegoro dan Bataljon 530/Brawidjaja dari luar kota.
5. Pasukan-pasukan Pemuda Rakjat, Gerwani, SOBSI, dls(h.23).

Secara tidak langsung, “pasukan-pasukan Pemuda Rakjat, Gerwani, SOBSI, dls”  adalah bentuk dari keinginan PKI untuk mempersenjatai warga masyarakat yang notabene adalah kader-kader PKI sebagaimana apa yang mereka kehendaki dalam lobi politik dengan istilah “Angkatan V”.

Operasi Takari yang dirancang PKI untuk memuluskan kudeta September 1965 terbagi dalam tiga komando:
1. Komando Pentjulikan dan Penjergapan dipimpin oleh Lettu Dul Arief terdiri atas 4 team: Team Penjelidik, Team Penjergapan/Pentjulikan, Team Pengamanan, Team Tjadangan.
2. Komando Penguasaan Kota dipimpin oleh Kapten Suradi terdiri atas 4 team: Team Pendudukan Objek Vital, Team Penutupan Djalan-djalan/Medan Kritik, Team Penggempur, Team Tjadangan.
3. Komando Basis dipimpin oleh Major Udara Gatot Sukresno, terdiri dari 3 team pasukan: Team Pengamanan Basis, Team Tjadangan basis, Team Patroli Basis.
Ketiga komando tersebut bertanggung djawab kepada Central Commando (Cenco)(h.26-27).

Nama samaran bagi masing-masing komando adalah:
a.  Komando Pentjulikan di bawah pimpinan Lettu Dul Arief diberi nama PASOPATI.
b.  Komando Penguasaan Kota di bawah pimpinan Kapten Suradi diberi nama BIMASAKTI.
c.  Komando Basis di bawah pimpinan Major Udara Gatot Sukresno diberi nama GATOTKATJA.

Tugas dari PASOPATI jalah:
1. Mengambil para Djenderal hidup-hidup.
2. Kalau terpaksa, hidup atau mati harus dibawa.
3. Korban di pihak PASOPATI harus dibawa.
4. Setelah berhasil, para Djenderal diserahkan kepada Komandan GATOTKATJA(h.28).

Pada saat dilakukan upaya kudeta PKI di Jakarta, terjadi pula usaha yang sama di Semarang. Pergerakan tersebut terjadi di dalam tubuh Kodam VII/Diponegoro. Dan ditengarai D.N. Aidit —saat ABRI membersihkan anasir-anasir pergerakan PKI di Jakarta— melarikan diri ke PAU Adisutjipto/Maguwo pada dini hari tanggal 2 Oktober 1965 dengan menggunakan salah satu pesawat; sebuah Dakota dan dua Hercules. Sesampainya di PAU Adisutjipto, D.N. Aidit segera bergerak ke Semarang.

Aksi “Gerakan 30 September” di Semarang masih tetap bergerilya dengan bentuk sabotase dan indoktrinasi Marxisme-Leninisme yang disalahgunakan. Di Solo, para petualang “Gerakan 30 September” melakukan pemogokan kereta api di Stasiun Balapan. Selain itu, operasi atau gerakan 3P pun masih terus dilancarkan, yakni Penculikan, Penganiayaan, dan Pembunuhan. Bahkan, aksi massa/demonstran di Gladak pun tak segan mereka tembaki dari sebuah kios dengan peluru tajam oleh sniper aparat yang sekubu dengan PKI. Di kampung Sewu, ditemukan 14 mayat dari ormas nasionalis dan agama yang diculik dan dibunuh oleh PKI. Aksi PKI di Solo begitu terang-terangan dan berani. Sebab, Walikota Solo saat itu —Oetomo Ramelan— secara terang-terangan mengumumkan pernyataan “mendukung Gerakan 30 September dan Dewan Revolusi.”

Konsentrasi PKI di wilayah Jawa Tengah, terdapat di Semarang dan segitiga Klaten-Boyolali-Kartasura. Bupati Boyolali saat itu Suali adalah kader PKI yang menjadikan desa Sumbingan dan Musuk sebagai konsentrasi Pemuda Rakyat.

Kenjataannja djuga jalah bahwa tusukan dari belakang dua kali dilakukan pada waktu perhatian kita tertudju ke luar, tatkala kita sedang mati-matian menghadapi musuh jang mengantjam kehidupan nasional kita, jakni nekolim(h.3).

Kesimpulan apakah yang dapat kita ambil dari sejarah singkat ini, yang melukiskan kegagalan “G-30-S” selama 40 hari, sejak 1 Oktober hingga Hari Pahlawan tanggal 10 November?
Kesimpulan pokok jang sesungguhnja selalu terletak pada dasar semua analisa mengenai “G-30-S” dan selalu kita tanjakan jalah: “Mengingat proloog jang sedemikian hebat, mengapa peristiwa 1 Oktober 1965 itu mengalami kegagalan?”

Pertama kali kita mendjawab: THE HANDS OF GOD. Selandjutnja, djika kita membuat analisa sedjarah dengan mengadakan perbandingan antara Peristiwa Madiun dengan Peristiwa “G-30-S”, maka kiranja kesimpulan jang tampil ke muka jalah:

Peristiwa Madiun mengalami kegagalan karena:
1.  PKI Musso berusaha menjingkirkan Pimpinan Revolusi jang ditjintai oleh Rakjat (Soekarno);
2.  Mereka tidak mengenal kepribadian Rakjat Indonesia jang tidak “collapse” meskipun mengalami penderitaan ekonomis jang hebat karena blokade pihak kolonialis Belanda;
3.  Mereka salah memperhitungkan TNI karena tidak mengenal Kepribadian TNI, jang merupakan Tentara Nasional, Tentara Rakjat, dan Tentara Revolusi, suatu Tentara jang berideologi, jakni PANTJASILA, lagipula tidak kenal menjerah.

Peristiwa “G-30-S” djuga mengalami kegagalan karena:
1.  Telah menjingkirkan Pimpinan Revolusi jang ditjintai oleh Rakjat, jakni Pemimpin Besar revolusi Bung Karno;
2.  Salah menduga bahwa Rakjat akan “collapse” (ke pangkuan mereka) karena lesu oleh tekanan-tekanan ekonomi jang begini dahsjat. (Di sini mereka membuat kesalahan perhitungan jang sama dengan nekolim jang djuga selalu menggembar-gemborkan bahwa kita akan “collapse”. Keduanya adalah hasil textbook-thinking asing).
3.  Salah mengira bahwa TNI/ABRI dengan begitu sadja akan menjerah setelah pemimpin-pemimpin mereka dibunuhi. Padahal, TNI/ABRI selalu bersembojan “patah tumbuh, hilang berganti”, pemimpin-pemimpin TNI dapat dibunuh, tetapi Kepribadian TNI itu sendiri bersifat abadi(h.126)!

Daftar Isi
Bab I—Pendahuluan
[Dalang dan Wajang | “Mengembangkan OfensifRevolusioner sampai ke Puntjaknja” | Persiapan Pendahuluan | Persiapan-persiapan Terachir]

Bab II—Pelaksanaan
[Aniaja di Pagi Buta | Sekitar Medan Merdeka | Halim—Polonia | Lubang Buaja]

Bab III—Kegagalan
[ABRI Tetap Setia pada Revolusi | Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi | Jang Tegas, Jang Plin-plan, dan Jang Kepala Batu | Mereka jang Lari | Penjelesaian]

Bab IV—Berkerutnja Sebuah Segitiga
[Coup di Djawa Tengah | Segitiga Semarang—Solo—Jogjakarta | Teror Dimana-mana | Segitiga Bojolali—Klaten—Kartasura]

Bab V—Diganjang Dimana-mana
[Sumatera | Djawa Barat dan Djawa Timur | Kalimantan | Sulawesi dan Nusatenggara]

Bibliografi
Judul: 40 Hari Kegagalan “G.30.S”; 1 Oktober—10 November 1965
Penyusun: Staf Angkatan Bersendjata
Tebal: xvi+181 hlm.
Dimensi: 15x21,5 cm
Cetakan: 1965
Penerbit: Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata, Djakarta


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim

Kalau ada buku yang amat mempengaruhi saya untuk segera menulis adalah buku yang tengah saya buat resensinya ini, ada begitu banyak alasan mengapa buku ini juga yang telah memberikan sentuhan tersendiri bagi saya tatkala menikmati dan mencoba tenggelam dalam lautan buku-buku yang berkutat tentang masalah identitas keislaman seseorang di tengah masyarakat atau masyarakat itu sendiri yang tengah bertransformasi menuju masyarakat I slami. Identitas selalu menjadi kebangg a an tiap orang, identitas yang meliputi simbol, slogan-slogan, bendera, dan lain-lain tanpa jelas bagaimana hakikatnya yang kabur atau bahkan merupakan simbol-simbol yang merupakan penghinaan terhadap agama All o h dan R o sulNya . Buku yang berjudul “Saksikan b ahwa Aku Seorang Muslim ” ini menurut yang menulisnya , yakni Salim A. Fillah pada mulanya merupakan karya pertama yang ia buat sebelum karya-karya lain muncul dan berinduk pada buku ini. Mungkin bagi sebagian pembaca yang telah lebih dahulu membaca b

Resensi: Sejarah Peradaban Islam

Buku Sejarah Per a daban Islam yang dikarang oleh Dr. Badri Yatim , MA ini membahas sejarah perkembangan atau peradaban Islam mulai zaman klasik (Nabi Muhammad), pertengahan (Khulafaurr o syidin dan tabi’in), dan modern (saat ini). Pada masa klasik, peran b angsa Arab sangat dominan , sebab memang Islam lahir di Arab. Pada masa pertengahan , muncul tiga kerajaan besar yang mewakili tiga kawasan budaya, yaitu Kerajaan ‘ U t smani di Turki, kerajaan S y afawi di Persia, dan kerajaan Mugh o l di India. Pembahasan pada masa pertengahan ini dititikberatkan pada persaingan politik yang terjadi. Pada masa modern , yang dibahas adalah kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia). Perlu diketahui bahwa pembahasan kerajaan Islam di Indonesia walaupun mendapat porsi besar di dalam buku ini tetapi sebenarnya Islam di Indonesia belum termasuk dalam satu kesatuan kajian sejarah peradaban Islam. Buku menitikberatkan pada masalah percaturan politik karena politik adalah salah satu ikon penting adan

Resensi: Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri

Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir. Demikian tertulis dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Tapi, buku-buku sejarah umumnya tak menjelaskan lebih lanjut, mengapa dan bagaimana Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan dari negara lain, merupakan syarat penting berdirinya sebuah negara. Dan untuk itu, bangsa ini pantas berterima kasih kepada tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Sebab, merekalah yang melobi agar pemerintahnya mendukung kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Ikhwanul Muslimin yang saat itu jaringannya telah tersebar, juga menggalang dukungan negara-negara Arab lainnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Dan setelah Mesir, negara-negara Timur Tengah lain pun mendukung kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin Mesir dan negara-negara Arab saat itu, bahkan membentuk Panitia Pembela Indonesia. Mereka mendorong pembahasan soal isu Indonesia di berbagai lembaga internasional, seperti Perserikatan Bangsa-bangsa dan Liga Arab. Dal