Seperti ungkapan Sir
John Seeley, “... we study history that we may be wise you before
the event;
kita harus mempelajari sejarah agar supaya kita bijaksana lebih dulu, agar
supaya kita tahu kemana kita harus berjalan.” Sepenggal kalimat ini pula yang
disitir Bung Karno.
Sebagaimana harapan
Jenderal TNI; Dr. A.H. Nasution; agar “generasi-generasi yang akan datang tidak
akan mengalami Lubang Buaya kedua atau Madiun ketiga.” Dan buku ini tidak
berisi ulasan. “Isinya adalah kisah belaka dan ditulis untuk Rakjat Biasa untuk
guru di pabrik-pabrik, bengkel-bengkel, pelabuhan-pelabuhan serta
perkebunan-perkebunan, untuk tani di desa-desa, untuk pradjurit di front dan
daerah-daerah operasi maupun jang sedang berada di ksatrian-ksatrian, untuk
karjawan-karjawan di kantor, untuk mahasiswa dan peladjar di
perguruan-perguruan(h.4).”
Bagaimana upaya PKI
melancarkan fitnah atau hoax yang sengaja diangkat menjadi isu keamanan nasional untuk
melibas lawan politiknya?
Tadjuk Harian Rakjat, 4 September 1965 berbunji
sebagai berikut: “... Mereka menjebarkan kampanje seakan-akan PKI mau coup.
Sesungguhnja mereka sendirilah jang menjiapkan coup itu.(h.17)”
Harian
Rakjat adalah salah satu surat kabar di bawah kendali Partai Komunis Indonesia.
Sebakda aksi “G-30-S”, pihak militer
mampu menghimpun dan menyusun potongan-potongan fitnah tersebut yang ditujukan
kepada para perwira ABRI,
Belakangan ini
dilantjarkan keterangan bahwa berita mengenai adanja “Dewan Djenderal” itu
bersumber kepada 4 orang, jakni 3 orang perwira Angkatan Darat dan seorang
pedjabat penting sipil. Dua orang diantara perwira-perwira Angkatan Darat serta
pejabat sipil itu menjangkal, bahwa mereka pernah mengetahui, mendengar,
memperbintjangkan atau melaporkan mengenai “Dewan Djenderal” itu. Perwira yang
seorang lagi menjatakan, bahwa ia mendengar istilah “Dewan Djenderal” itu dari
seorang mahasiswa Universitas Merdeka di Malang. Mahasiswa itu pada permulaan
bulan Agustus telah mengundjungi suatu rapat jang diselenggarakan oleh Pemuda
Rakjat Gubeng, Surabaja. Rapat itu membahas soal-soal “Dewan Djenderal”. Dan
sepulang dari rapat itu mahasiswa tersebut menanjakan perihal “Dewan Djenderal”
itu kepada perwira tersebut. Dengan demikian sumber mengenai adanja “Dewan
Djenderal” itu kembali kepada PKI atau ormas-ormasnja djuga.
Kampanje mengenai
“mengembangkan situasi revolusioner” dan mengenai “Dewan Djenderal” itu
ternjata djuga dilantjarkan di daerah-daerah pada waktu jang bersamaan.
Terbukti dari laporan 5 partai politik (PNI, NU, Partai Katholik, Parkindo, dan
IP-KI) di Bali ke hadapan PJM Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar
Revolusi mengenai persiapan dan kegiatan Petualangan Kontra-revolusi “G-30-S”.
Tertulis antara lain didalam laporan itu: “...mulai dilantjarkan kampanje
tentang Dewan Djenderal dan keharusan lahirnja Baji dari Revolusi jang sudah
hamil tua, dan setjara terang-terangan sudah mematjankertaskan Pemerintah dan
Menteri-menteri jang dianggap sebagai distribusi kekuasaan dan wewenang Bung
Karno”(h.19).
Perlu diketahui, bahwa
didalam lingkungan PKI, kekuasaan tertinggi berada pada kongres. Selama tidak
ada kongres, maka kekuasaan tertinggi berada pada Central Comite (CC). Selama
tidak ada sidang CC Pleno, kekuasaan tertinggi ada pada Politbiro(h.15).
Sebagai
persiapan-pendahuluan dari pihak PKI bagi pertjobaan kudetanja jang gagal itu,
dapat disebutkan pertama kali kegiatan-kegiatan spionase. Misalnja, diantara
surat-surat Sudisman (anggota CC PKI) terdapat foto dari denah (plattegrond)
Sekolah Polisi Sukabumi. Didalam arsip-arsip SBKP (Serikat Buruh Kementerian
Pertahanan) Direktoral Topografi ditemukan: bagan Direktorat Topografi dan
penundjukan tempat adanja sendjata dan amunisi. Djuga didapatkan daftar nama
perwira-perwira jang diklasifikasi: reaksioner-aktif, reaksioner, dan
netral(h.20).
Dalam hal ini jang
terutama mereka tudju adalah Angkatan Darat karena dianggap penghalang utama
bagi maksud-maksud mereka. Menurut dugaan mereka, Angkatan Darat akan dapat
dikuasai, djika djenderal-djenderal dalam pimpinannja jang sekarang di-eliminir
dan diganti dengan orang-orang jang sesuai(h.21).
Kaki-tangan PKI sudah
menggurita hingga ke dalam tubuh angkatan bersenjata. Setiap ‘kawan’ dengan
‘kawan’, tidak saling kenal. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran
misi PKI. Bahkan pada Resimen Cakrabirawa pun, tak luput dari garapan PKI
dengan mengutus dua ormas; Gerwani dan CGMI. Rencana keseluruhan dengan target
“G-30-S” adalah:
1. Mengeliminir pimpinan
Angkatan Darat jang sekarang, sehingga AD dapat berubah haluan jang
menguntungkan mereka atau setidak-tidaknja lumpuh dan tak dapat bergerak;
2. Memaksa PJM
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi untuk menjetudjui
tindakan-tindakan mereka, jakni membentuk pemerintahan jang dikuasai oleh PKI
(⅔ PKI, ⅓ golongan lain);
3. Achirnja membelokkan
arah Revolusi Indonesia sesuai dengan konsepsi mereka(h.22).
PJM= Paduka Jang Mulia.
Kekuatan kudeta oleh PKI
—seperti telah terbongkar pada tanggal 1 Oktober 1965— pada “G-30-S” diperoleh
dari empat macam sumber:
1. Bataljon I Kawal
Kehormatan/Resimen Tjakrabirawa.
2. Brigade Infanteri I
Kodam V/Djaja.
3. Resimen Pasukan
Pertahanan Pangkalan (P3) AURI.
4. Bataljon
454/Diponegoro dan Bataljon 530/Brawidjaja dari luar kota.
5. Pasukan-pasukan
Pemuda Rakjat, Gerwani, SOBSI, dls(h.23).
Secara tidak langsung, “pasukan-pasukan
Pemuda Rakjat, Gerwani, SOBSI, dls”
adalah bentuk dari keinginan PKI untuk mempersenjatai warga masyarakat
yang notabene adalah kader-kader PKI sebagaimana apa yang mereka kehendaki
dalam lobi politik dengan istilah “Angkatan V”.
Operasi Takari yang
dirancang PKI untuk memuluskan kudeta September 1965 terbagi dalam tiga komando:
1. Komando Pentjulikan
dan Penjergapan dipimpin oleh Lettu Dul Arief terdiri atas 4 team: Team
Penjelidik, Team Penjergapan/Pentjulikan, Team Pengamanan, Team Tjadangan.
2. Komando Penguasaan
Kota dipimpin oleh Kapten Suradi terdiri atas 4 team: Team Pendudukan Objek
Vital, Team Penutupan Djalan-djalan/Medan Kritik, Team Penggempur, Team
Tjadangan.
3. Komando Basis
dipimpin oleh Major Udara Gatot Sukresno, terdiri dari 3 team pasukan: Team
Pengamanan Basis, Team Tjadangan basis, Team Patroli Basis.
Ketiga komando tersebut
bertanggung djawab kepada Central Commando (Cenco)(h.26-27).
Nama samaran bagi
masing-masing komando adalah:
a. Komando Pentjulikan di bawah pimpinan Lettu Dul
Arief diberi nama PASOPATI.
b. Komando Penguasaan Kota di bawah pimpinan Kapten
Suradi diberi nama BIMASAKTI.
c. Komando Basis di bawah pimpinan Major Udara
Gatot Sukresno diberi nama GATOTKATJA.
Tugas dari PASOPATI
jalah:
1. Mengambil para
Djenderal hidup-hidup.
2. Kalau terpaksa, hidup
atau mati harus dibawa.
3. Korban di pihak
PASOPATI harus dibawa.
4. Setelah berhasil,
para Djenderal diserahkan kepada Komandan GATOTKATJA(h.28).
Pada saat dilakukan
upaya kudeta PKI di Jakarta, terjadi pula usaha yang sama di Semarang.
Pergerakan tersebut terjadi di dalam tubuh Kodam VII/Diponegoro. Dan ditengarai
D.N. Aidit —saat ABRI membersihkan anasir-anasir pergerakan PKI di Jakarta—
melarikan diri ke PAU Adisutjipto/Maguwo pada dini hari tanggal 2 Oktober 1965
dengan menggunakan salah satu pesawat; sebuah Dakota dan dua Hercules. Sesampainya
di PAU Adisutjipto, D.N. Aidit segera bergerak ke Semarang.
Aksi “Gerakan 30
September” di Semarang masih tetap bergerilya dengan bentuk sabotase dan
indoktrinasi Marxisme-Leninisme yang disalahgunakan. Di Solo, para petualang “Gerakan
30 September” melakukan pemogokan kereta api di Stasiun Balapan. Selain itu,
operasi atau gerakan 3P pun masih terus dilancarkan, yakni Penculikan,
Penganiayaan, dan Pembunuhan. Bahkan, aksi massa/demonstran di Gladak
pun tak segan mereka tembaki dari sebuah kios dengan peluru tajam oleh sniper aparat yang sekubu dengan PKI. Di
kampung Sewu, ditemukan 14 mayat dari ormas nasionalis dan agama yang diculik
dan dibunuh oleh PKI. Aksi PKI di Solo begitu terang-terangan dan
berani. Sebab,
Walikota Solo saat itu —Oetomo Ramelan— secara terang-terangan
mengumumkan pernyataan “mendukung Gerakan 30 September dan Dewan Revolusi.”
Konsentrasi PKI di
wilayah Jawa Tengah, terdapat di Semarang dan segitiga Klaten-Boyolali-Kartasura.
Bupati Boyolali saat itu —Suali—
adalah kader PKI yang menjadikan desa Sumbingan dan Musuk sebagai konsentrasi
Pemuda Rakyat.
Kenjataannja djuga jalah
bahwa tusukan dari belakang dua kali dilakukan pada waktu perhatian kita
tertudju ke luar, tatkala kita sedang mati-matian menghadapi musuh jang
mengantjam kehidupan nasional kita, jakni nekolim(h.3).
Kesimpulan apakah yang
dapat kita ambil dari sejarah singkat ini, yang melukiskan kegagalan “G-30-S”
selama 40 hari, sejak 1 Oktober hingga Hari Pahlawan tanggal 10 November?
Kesimpulan pokok jang
sesungguhnja selalu terletak pada dasar semua analisa mengenai “G-30-S” dan
selalu kita tanjakan jalah: “Mengingat proloog jang sedemikian hebat, mengapa
peristiwa 1 Oktober 1965 itu mengalami kegagalan?”
Pertama kali kita mendjawab:
THE
HANDS OF GOD. Selandjutnja, djika kita membuat analisa sedjarah dengan
mengadakan perbandingan antara Peristiwa Madiun dengan Peristiwa “G-30-S”, maka
kiranja kesimpulan jang tampil ke muka jalah:
Peristiwa
Madiun
mengalami kegagalan karena:
1. PKI Musso berusaha menjingkirkan Pimpinan
Revolusi jang ditjintai oleh Rakjat (Soekarno);
2. Mereka tidak mengenal kepribadian Rakjat
Indonesia jang tidak “collapse” meskipun mengalami penderitaan ekonomis jang
hebat karena blokade pihak kolonialis Belanda;
3. Mereka salah memperhitungkan TNI karena tidak
mengenal Kepribadian TNI, jang merupakan Tentara Nasional, Tentara Rakjat, dan
Tentara Revolusi, suatu Tentara jang berideologi, jakni PANTJASILA, lagipula
tidak kenal menjerah.
Peristiwa
“G-30-S”
djuga mengalami kegagalan karena:
1. Telah menjingkirkan Pimpinan Revolusi jang
ditjintai oleh Rakjat, jakni Pemimpin Besar revolusi Bung Karno;
2. Salah menduga bahwa Rakjat akan “collapse” (ke
pangkuan mereka) karena lesu oleh tekanan-tekanan ekonomi jang begini dahsjat.
(Di sini mereka membuat kesalahan perhitungan jang sama dengan nekolim jang
djuga selalu menggembar-gemborkan bahwa kita akan “collapse”. Keduanya adalah
hasil textbook-thinking asing).
3. Salah mengira bahwa TNI/ABRI dengan begitu
sadja akan menjerah setelah pemimpin-pemimpin mereka dibunuhi. Padahal,
TNI/ABRI selalu bersembojan “patah tumbuh, hilang berganti”, pemimpin-pemimpin
TNI dapat dibunuh, tetapi Kepribadian TNI itu sendiri bersifat abadi(h.126)!
Daftar Isi
Bab
I—Pendahuluan
[Dalang dan Wajang | “Mengembangkan OfensifRevolusioner sampai ke Puntjaknja” | Persiapan Pendahuluan |
Persiapan-persiapan Terachir]
Bab
II—Pelaksanaan
[Aniaja di Pagi Buta | Sekitar Medan Merdeka |
Halim—Polonia | Lubang Buaja]
Bab
III—Kegagalan
[ABRI Tetap Setia pada Revolusi |
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi | Jang Tegas, Jang
Plin-plan, dan Jang Kepala Batu | Mereka jang Lari | Penjelesaian]
Bab
IV—Berkerutnja Sebuah Segitiga
[Coup di Djawa Tengah | Segitiga
Semarang—Solo—Jogjakarta | Teror Dimana-mana | Segitiga
Bojolali—Klaten—Kartasura]
Bab
V—Diganjang Dimana-mana
[Sumatera | Djawa Barat dan Djawa Timur |
Kalimantan | Sulawesi dan Nusatenggara]
Bibliografi
Judul: 40 Hari Kegagalan
“G.30.S”; 1 Oktober—10 November 1965
Penyusun: Staf Angkatan
Bersendjata
Tebal: xvi+181 hlm.
Dimensi: 15x21,5 cm
Cetakan: 1965
Penerbit: Pusat Sedjarah
Angkatan Bersendjata, Djakarta
0 Komentar