Resensi: Gurkha; Pejuang dari Atap Dunia

Dari kesunyian pegunungan Himalaya, dari dinginnya salju abadi puncak Everest, dan kebersahajaan masyarakat di sekitarnya, lahirlah sebuah pasukan yang berdedikasi tinggi dan memiliki keterampilan tempur mumpuni. Pasukan ini yang kemudian diberi nama sebagai Gurkha. Pada awalnya merupakan milisi rakyat yang dibentuk oleh seorang tokoh religius setempat. Dalam perjalanan sejarah, pasukan ini kemudian menjadi salah satu pasukan andalan militer Inggris Raya yang diturunkan dalam berbagai medan pertempuran.

Mereka mempunyai semboyan “kaphar hunnu bhanda marnu ramro” yang berarti “lebih baik mati ketimbang jadi pengecut.” Mereka adalah orang-orang Gurkha; tentara yang berasal dari dataran tinggi Nepal; begitu disegani kawan maupun lawan di berbagai medan. Kemampuan mereka yang hebat dan berani mati, sering digunakan Kerajaan Inggris maupun persemakmurannya sebagai pasukan mereka.

Dalam tubuh militer Inggris, pasukan Gurkha memiliki tempat yang khas —meski Nepal pernah dikuasai Inggris. Namun kehadiran pasukan Gurkha dalam tubuh militer Inggris sendiri tidak seperti lazimnya pasukan yang berasal dari negara kolonial —resimen Aljazair dalam tubuh militer Perancis, misalnya; atau pasukan Indonesia dalam KNIL. Pasukan Gurkha lebih mirip pasukan bayaran; dan tampaknya memang diciptakan sedemikian rupa sebagai pasukan bayaran. Bahkan mungkin termasuk pasukan bayaran pertama dalam sejarah militer modern.

Meski demikian, pasukan Gurkha memiliki kesetiaan dan keberanian yang tinggi —bahkan barangkali lebih tinggi dari pasukan Inggris itu sendiri. Sepanjang sejarahnya, pasukan ini selalu menunjukan kemampuan dan upaya maksimal ketika diturunkan dalam setiap medan pertempuran. Inilah yang kemudian membentuk karakteristik dan citra dari pasukan ini.

Gurkha atau Ghurka atau Gorkha berakar kata Sanskrta “Gau Raksa” yang secara harfiah bermakna Sapi Pelindung. Hal ini memang dipengaruhi pula oleh keagamaan yang dianut masyarakat Nepal saat itu, yakni Hindu. Dan di saat yang bersamaan pulalah terdapat tokoh spiritual Nepal bernama Gorakhnath. Sehingga ketangguhan para pasukan Nepal dalam membendung laju ekspansi pasukan Muslim ke Asia Selatan inilah, guru Gorakhnath menggelari pasukan ini dengan nama “Gurkha” (meski pada perkembangannya ke depan, pasukan Gurkha pun ada yang beragama Islam).

Pasukan Nepal memasuki babak baru dalam percaturan militer dunia, ketika tahun 1812 harus menghadapi 30.000 pasukan Inggris. Dan pasukan Nepal saat itu hanya berjumlah 12.000 pasukan. Sungguh, kondisi yang sangat tidak imbang. Pertempuran pada tahun 1814, pasukan Gurkha membuktikan ketangguhannya. Jumlah bukan menjadi faktor pengendur mental; meski pada akhirnya Gurkha kalah oleh Inggris.

Inggris memandang bahwa pasukan Nepal tersebut bukanlah pasukan biasa. Kemampuannya di atas rata-rata. Dan Inggris melihat peluang ekspansi wilayah Britania Raya dengan memanfaatkan ketangguhan pasukan Gurkha ini. Meski sulit, akhirnya Gurkha dapat dikalahkan Inggris melalui jalur diplomasi dan ‘dibantai’ di atas kertas perjanjian dalam perekrutan resimen East Indian Company (EIC) Inggris tahun 1817 melalui iming-iming upah; hingga kini.

Penandaan resimen-resimen yang didalamnya tergabung pasukan Gurkha, identik dengan simbol pisau kukri; senjata khas Nepal. Persebaran resimen Gurkha ini menyesuaikan dengan wilayah-wilayah yang terkooptasi di bawah pemerintahan Kerajaan Inggris.

Sebagai jawara dalam Perang Dunia II, Inggris mulai memainkan peran sebagai bagian dari pengatur dunia. Salah satunya tergabung dalam pasukan Sekutu di Indonesia dalam rangka memulangkan pasukan Jepang di Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaan.

Konflik yang terjadi antara pasukan Sekutu dengan rakyat Surabaya pada 10 November diawali dengan tertembusnya dada Brigjend A.W.S. Mallaby oleh peluru. Peristiwa ini menaikkan tensi Sekutu. Hingga kini, masih menjadi misteri siapa pelaku pembunuhan Mallaby yang begitu rapat dilindungi kawalan pasukan elit Nepal; Gurkha.

Para sejarawan mulai menerka adanya korelasi keagamaan rakyat Surabaya dengan keagamaan pasukan Gurkha —yang berbeda kubu— tersebut. Bahwa teriakan takbir arek-arek Suroboyo tersebut membangkitkan simpati keagamaan pasukan Gurkha —yang Muslim. Sehingga peluru pasukan Gurkha-lah yang menerjang Mallaby dari dalam ‘baju besi’ yang sulit ditembus dari luar itu.

Bab yang mengisahkan pertempuran Gurkha di Indonesia —meski tak detail, tapi keterlibatan mereka pra dan pasca Proklamasi begitu kental. Menjadi tangan gurita Inggris, tentunya. Dan perlawanan sengit Sekutu dapat diimbangi oleh tentara Indonesia. Meski perbandingan korban meninggal 10:1 antara Indonesia dengan Sekutu, tetapi Gurkha mengakui bahwa tentara Indonesia sangatlah tangguh; terutama RPKAD (sekarang Kopassus).

200 tentara Sekutu (SAS Inggris dan Australia) melayang nyawanya oleh tentara Indonesia, yang juga bergugur 2000 jiwa.

Meski mereka tangguh dan sadis, ada sisi ‘karma’ bagi pasukan Gurkha, yakni berlakunya pepatah “habis manis,sepah dibuang”. Begitulah nasib mereka yang sudah bisa ditebak dari saat kita membaca penaklukan Gurkha melalui meja diplomasi.

Kendala kewarganegaraan pasca pensiun, menjadi hal dilematis bagi mereka. Kembali ke Nepal, akan banyak permasalahan. Selain peranakan mereka tak mengenal bahasa Nepal, faktor keamanan di sana yang selalu bersengketa dengan Maois pun tak pernah surut. Pula fasilitas hidup dan sanitasi menjadi kendala tersendiri bagi Gurkha yang terbiasa hidup tercukupi di Inggris.

Daftar Isi
Bab I—Gurkha; Pejuang dari Dataran Tinggi Nepal
[Gurkha; Sang Pejuang Suci | Awal Keanggotaan Gurkha | Perang yang Membawa Perubahan]

Bab II—Resimen-resimen dalam Gurkha
[Resimen dalam Gurkha | Resimen Gurkha Lainnya]

Bab III—Rekrutmen Anggota Gurkha
[Lokasi Latihan | Tahap Seleksi]

Bab IV—Pengalaman Menjadi Anak Angkat
[Perang Pindari (1817-1819) | Perang Sikh I (1846) dan II (1848) | Perang Melawan ‘Saudara Tiri’; Pemberontakan Sepoy (1857-1859) | Perang Dunia I (1914-1918) | Perang Dunia II (1939-1945) | Pertempuran Front Italia yang Legendaris | Pengalaman Lain]

Bab V—Bertempur di Indonesia Bagian I; Pertempuran 10 November
[Pendaratan | Misi Sebelum Pendaratan | Melawan Arek Surabaya | Pertempuran di Sumatera | India Memprotes]

Bab VI—Bertempur di Indonesia Bagian II; Konflik Indonesia-Malaysia
[Munculnya Negara Baru; Federasi Malaysia | Awal Sebuah Konfrontasi | Kampanye “Ganyang Malaysia” | Perang pun Meletus, Gurkha di Mana-mana | Konfrontasi Berakhir]

Bab VII—Nasib, Ditentukan Oleh ‘Sang Tuan’
[Penggal Kepala | Kesejahteraan Prajurit]

Bibliografi
Judul: Gurkha; Pejuang dari Atap Dunia
Penulis: Fajar S. Kurniawan
Halaman: xx+138 hal.
Dimensi: 14x21 cm
Cetakan: I, Januari 2011
ISBN: 978-602-95337-6-7
Penerbit: MataPadi Pressindo, Yogyakarta


Posting Komentar

0 Komentar