Resensi: Gerakan 30 September


Sutjipto, SH adalah seorang perwira tinggi di jajaran TNI AD, sarjana hukum, sekaligus sarjana pejuang. Hal ini sangat jarang dijumpai di kalangan militer.

Pada pembahasan awal buku ini tentang strategi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh PKI, Sutjipto berusaha menyepakati makna ilmu politik terlebih dahulu dengan tiga pendekatan.

Pendekatan yuridis, ilmu politik adalah ilmu yang menyelidik lembaga-lembaga politik. Pendekatan secara fungsional, yakni dengan melihat fungsi lembaga-lembaga dalam peranannya maupun urusan administrasinya.

Pendekatan ketiga adalah pendekatan dari pangkal tolak hakikat politik itu sendiri, politik adalah perjuangan guna memperoleh kekuasaan atau cara menjalankan kekuasaan (Karl Loewenstein; “Political Power and the Govenrmental Process”).

Menurut Catlin, ilmu politik itu mempelajari cara-cara pengawasan, baik pengawasan perorangan maupun sebagai pengawasan sosial. Sedangkan menurut Prof. H.D. Lasswell dalam “The Language of Politics” tegas-tegas menyimpulkan, bahwa ilmu politik tidak lain ialah ilmu tentang kekuasaan. Kekuasaan di sini identik dengan kelembagaannya berupa negara.

Sedangkan Hegel dalam “Grundlinien der Philosophie des Rechts” mengemukakan pendapatnya, bahwa negara adalah suatu organisme, karena ia mampu memberikan kepada manusia kemerdekaan dan kepribadian. Negara adalah kekuatan tertinggi dan kekuasaan tertinggi di dunia; negara adalah suatu “irdische Gotheit” (h.20).

Ajaran mengenai negara yang berpengaruh besar, ialah ajaran-ajaran Marx dan Engels yang mula-mula terbentang dalam “Manifesto Komunis” (1848) yang kemudian dikembangkan oleh W.I. Lenin dalam tulisannya “The State and the Revolution”.

Pada bingkai berpikir Marx, permulaan pergaulan manusia (masyarakat komunal-primitif) belum ada apa yang disebut “milik pribadi”. Satu-satunya status kepemilikan tertinggi adalah tanah yang dimiliki bersama-sama (gezamenlijke eigendom). Tetapi sejak timbulnya pengertian “milik pribadi atas alat-alat produksi”, sejak itulah mulai timbul ketidaksamaan ekonomis. Lahirlah kelas-kelas atau strata di tengah masyarakat. Dari sinilah mulai ada gesekan-gesekan. Benturan ini dipetakan oleh Marx: untuk mempertahankan kedudukan, kelas yang berkuasa memerlukan alat guna mempertahankan kedudukannya. Alat yang dimaksud adalah negara, yang digunakan untuk menindas kelas yang lain. Dalam masyarakat kapitalis, negara digunakan oleh kelas kapitalis untuk menindas kelas proletar. Jika kelas proletar dapat merebut semua laat-alat produksi dalam masyarakat (posisi-posisi simpul masyarakat dan kelas-kelas jabatan formal), sudah tidak ada lagi istilah “milik pribadi” atas alat-alat produksi. Maka negara dengan sendirinya tidak diperlukan lagi hingga kemudian tercipta satu “classless” dan “stateless socienty”. Demikian ajaran-ajaran Marx.

Dan untuk memaknai apa yang terkandung dalam istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI), ada dua sifat yang pokok lembaga negara Indonesia, yakni
1. Sifat sebagai lembaga perjuangan; dan
2. Sifat sebagai lembaga perumahan persatuan bangsa.
Kedua sifat itu terdapat dalam Preambule UUD 1945; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”

Sebagai lembaga perjuangan, maka negara kita harus kita letakkan dan memang mempunyai nilai lebih tinggi daripada semua alat-alat perjuangan yang kita miliki, baik sebelum maupun sesudah proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai lembaga perjuangan, maka negara itu kita gunakan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dan berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Manifesto Politik Republik Indonesia lebih menegaskan tujuan isi UUD 1945 di atas dengan terangkum dalam 3 (tiga) kerangka tujuan Revolusi:
1. Pembentukan satu negara Repubik Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke;
2. Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur, material maupun spiritual dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dengan semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara-negara Asia-Afrika atas dasar hormat-menghormati satu sama lain dan atas dasar bekerja sama membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju kepada perdamaian dunia yang sempurna (h.22-23).

Strategi Dasar PKI
1. Dasar Penjuangan PKI
Seluruh pekerjaan PKI didasarkan atas teori Marxisme-Leninisme dan karena Marxisme-Leninisme bukanlah dogma melainkan suatu pedoman aksi, maka dalam setiap aktivitasnya PKI berpegang teguh pada prinsip memadukan kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktik yang konkrit dari pada perjuangan Revolusioner Indonesia.

2. Tujuan PKI dalam tingkat sekarang
Mencapai sistem demokrasi rakyat di Indonesia, sedangkan tujuannya yang lebih lanjut ialah mewujudkan sosialisme dan kemudian Komunis di Indonesia.
Sistem Demokrasi Rakyat ialah sistem pemerintahan gotong-royong dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sosialisme ialah sistem masyarakat tanpa penghisapan manusia oleh manusia.
Komunisme ialah sistem masyarakat adil dan makmur sebagai tingkatan yang lebih tinggi dan kelanjutan daripada sosialisme.

3. Tujuan Revolusi Indonesia dalam tingkat sekarang.
Karena Indonesia adalah negeri yang masih belum merdeka penuh dan masih setengah feodal, maka Revolusi Indonesia dalam tingkat sekarang ditujukan untuk melawan imperialisme, feodalisme, borjuis komprador, dan kaum kapitalis birokrat.

4. Tenaga penggerak Revolusi Indonesia.
Tenaga penggerak adalah kaum buruh, kaum tani, kelas borjuis kecil, dan elemen-elemen demokratis lainnya. Sedangkan tenaga pokoknya adalah kaum tani.

5. Kewajiban PKI dalam tingkat sekarang.
a. Ke dalam: Mengorganisasi dan mempersatukan kaum buruh, kaum tani dan nelayan, intelektual, pengusaha kecil, pengusaha nasional, warga negara keturunan asing, semua suku bangsa, dan semua elemen anti imperialis dan anti feodal. Pendeknya, mempersatukan keseluruhannya ini di dalam suatu Front Persatuan Nasional dengan menjadikan persekutuan kelas buruh dan tani sebagai dasarnya dan dipimpin oleh kelas buruh.
b. Ke luar: Bersatu dengan proletariat internasional dengan semua rakyat yang tertindas, bangsa-bangsa yang terjajah, dan nasion-nasion yang memandang kita sederajat, yang mencintai kemerdekaan nasional, demokrasi, dan perdamaian dunia.

6. Macam-macam pemerintahan yang dikehendaki PKI.
Pemerintahan Front Persatuan Nasional yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh dan kaum tani di bawah pimpinan kelas, yaitu pemerintahan Demokrasi Rakyat.

7. Taktik PKI untuk dapat memimpin revolusi.
Membawa maju perjuangan revolusi daripada rakyat, dengan perlahan-lahan tetapi pasti dan dengan tidak henti-hentinya melawan dua kecenderungan, yaitu kecenderungan kapitulasi dan avonturisme.

Apa yang menjadi penyebab gagalnya aksi kudeta oleh PKI saat itu,
“D.N. Aidit yang oleh Politbiro PKI diserahi tugas untuk pimpinan perencanaan dan pimpinan pelaksanaan operasi fisik, rupa-rupanya berpra-anggapan, bahwasanya dalam hal susunan pimpinan TNI —dalam hal ini Menteri/Panglima— dan sementara Deputi serta asisten dapat dimusnahkan, maka keseluruhan TNI akan lumpuh hingga penguasaan atas massa rakyat dapat dengan mudah dilakukan. Sungguh, suatu perhitungan yang ‘teknis-rasional-pengurusan-organisasi’ benar, akan tetapi ia melupakan satu hal, yaitu jiwa TNI yang lahir bersama pertumbuhannya dan yang tidak dapat dilihat dan diraba juga tidak akan dapat dikupas dengan pisau analisanya Karl Marx yang tajam itu.

Tanpa memahami falsafah ‘patah-tumbuh, hilang-berganti’ dan tanpa mempelajari Tri Ubaya Cakti, orang tidak akan mudah mengerti mengapa demikian cepat pimpinan TNI terkonsolidasikan setelah mengalami hantaman yang mereka harapkan menentukan itu (h.67)”

Yang menarik dari paparan Sutjipto tentang kekhasan negara Fasis ―seperti Uni Soviet― adalah “menurut Undang-undang Dasarnya, orang akan melihat bahwa Dewan Menterilah yang mengambil keputusan-keputusan sesudah mengadakan konsultasi dengan dewan perwakilan rakyatnya yang dipilih oleh rakyat. Tetapi didalam praktiknya, ternyata pengaruh yang menentukan justru tidak pada badan-badan tersebut, melainkan ada pada Biro Politik Partai Komunis Uni Soviet (biasanya disebut “Politbiro”), suatu badan yang sama sekali tidak ditetapkan untuk itu dalam Undang-undang Dasarnya” (h.20).

Kekuasaan adalah satu gejala sosial, gejala yang terdapat dalam pergaulan hidup manusia. Manusia adalah pencipta kekuasaan. Tetapi bersamaan dengan itu, manusia adalah sasaran kekuasaan.

“Kekuasaan adalah suatu keharusan yang menjamin hidup aman dan tenteram dalam masyarakat. Dalam penggunaannya yang tepat, maka kekuasaan itu dapat menjamin keamanan dan menghindarkan kekacauan serta anarki.” (Prof. Hertz; “Political Realism and Political Idealism”)

Daftar Isi
Bab I―Kekuasaan dan Kewibawaan
Bab II―Penelaahan Aksi-aksi Partai Komunis Indonesia
Bab III―“Gerakan 30 September” dan Phenomena Kekuasaan
Bab IV―Persiapan Perebutan Kekuasaan dengan Physik
Bab V―Tindak Penanggulangan
Bab VI―Analisa Sebab-sebab Kegagalan
Bab VII―Tantangan untuk Babak Revolusi Selandjutnja

Bibliografi
Judul: Gerakan 30 September; Perebutan Kekuasaan (Bahan Studie untuk Pengamanan dan Pengamalan Revolusi 17 Agustus 1945)
Penulis: Sutjipto, S.H., Brig. Djen. TNI
Tebal: 90 hlm.
Dimensi: 15x21,5 cm
Cetakan: 1, Februari 1966
Penerbit: Matoa, Jakarta


Posting Komentar

0 Komentar