Sutjipto,
SH adalah seorang perwira tinggi di jajaran TNI AD, sarjana hukum, sekaligus
sarjana pejuang. Hal ini sangat jarang dijumpai di kalangan militer.
Pada
pembahasan awal buku ini tentang strategi perebutan kekuasaan yang dilakukan
oleh PKI, Sutjipto berusaha menyepakati makna ilmu politik terlebih dahulu
dengan tiga pendekatan.
Pendekatan
yuridis, ilmu politik adalah ilmu yang menyelidik lembaga-lembaga politik.
Pendekatan secara fungsional, yakni dengan melihat fungsi lembaga-lembaga dalam
peranannya maupun urusan administrasinya.
Pendekatan
ketiga adalah pendekatan dari pangkal tolak hakikat politik itu sendiri,
politik adalah perjuangan guna memperoleh kekuasaan atau cara menjalankan
kekuasaan (Karl Loewenstein; “Political
Power and the Govenrmental Process”).
Menurut
Catlin, ilmu politik itu mempelajari cara-cara pengawasan, baik pengawasan
perorangan maupun sebagai pengawasan sosial. Sedangkan menurut Prof. H.D.
Lasswell dalam “The Language of Politics”
tegas-tegas menyimpulkan, bahwa ilmu politik tidak lain ialah ilmu tentang
kekuasaan. Kekuasaan di sini identik dengan kelembagaannya berupa negara.
Sedangkan
Hegel dalam “Grundlinien der Philosophie
des Rechts” mengemukakan pendapatnya, bahwa negara adalah suatu organisme,
karena ia mampu memberikan kepada manusia kemerdekaan dan kepribadian. Negara
adalah kekuatan tertinggi dan kekuasaan tertinggi di dunia; negara adalah suatu
“irdische Gotheit” (h.20).
Ajaran
mengenai negara yang berpengaruh besar, ialah ajaran-ajaran Marx dan Engels
yang mula-mula terbentang dalam “Manifesto Komunis” (1848) yang kemudian
dikembangkan oleh W.I. Lenin dalam tulisannya “The State and the Revolution”.
Pada
bingkai berpikir Marx, permulaan pergaulan manusia (masyarakat komunal-primitif)
belum ada apa yang disebut “milik pribadi”. Satu-satunya status kepemilikan
tertinggi adalah tanah yang dimiliki bersama-sama (gezamenlijke eigendom). Tetapi sejak timbulnya pengertian “milik
pribadi atas alat-alat produksi”, sejak itulah mulai timbul ketidaksamaan
ekonomis. Lahirlah kelas-kelas atau strata di tengah masyarakat. Dari sinilah
mulai ada gesekan-gesekan. Benturan ini dipetakan oleh Marx: untuk
mempertahankan kedudukan, kelas yang berkuasa memerlukan alat guna
mempertahankan kedudukannya. Alat yang dimaksud adalah negara, yang digunakan
untuk menindas kelas yang lain. Dalam masyarakat kapitalis, negara digunakan
oleh kelas kapitalis untuk menindas kelas proletar. Jika kelas proletar dapat
merebut semua laat-alat produksi dalam masyarakat (posisi-posisi simpul
masyarakat dan kelas-kelas jabatan formal), sudah tidak ada lagi istilah “milik
pribadi” atas alat-alat produksi. Maka negara dengan sendirinya tidak
diperlukan lagi hingga kemudian tercipta satu “classless” dan “stateless
socienty”. Demikian ajaran-ajaran Marx.
Dan
untuk memaknai apa yang terkandung dalam istilah Negara Kesatuan Republik
Indonesia NKRI), ada dua sifat yang pokok lembaga negara Indonesia, yakni
1.
Sifat sebagai lembaga perjuangan; dan
2.
Sifat sebagai lembaga perumahan persatuan bangsa.
Kedua
sifat itu terdapat dalam Preambule UUD 1945; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan
perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur.”
Sebagai
lembaga perjuangan, maka negara kita harus kita letakkan dan memang mempunyai
nilai lebih tinggi daripada semua alat-alat perjuangan yang kita miliki, baik
sebelum maupun sesudah proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai lembaga perjuangan,
maka negara itu kita gunakan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dan berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Manifesto
Politik Republik Indonesia lebih menegaskan tujuan isi UUD 1945 di atas dengan
terangkum dalam 3 (tiga) kerangka tujuan Revolusi:
1.
Pembentukan satu negara Repubik Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan dan
Negara Kebangsaan yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai
Merauke;
2.
Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur, material maupun spiritual
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.
Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dengan semua
negara di dunia, terutama sekali dengan negara-negara Asia-Afrika atas dasar
hormat-menghormati satu sama lain dan atas dasar bekerja sama membentuk satu
Dunia Baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju kepada
perdamaian dunia yang sempurna (h.22-23).
Strategi Dasar PKI
1.
Dasar Penjuangan PKI
Seluruh
pekerjaan PKI didasarkan atas teori Marxisme-Leninisme dan karena
Marxisme-Leninisme bukanlah dogma melainkan suatu pedoman aksi, maka dalam
setiap aktivitasnya PKI berpegang teguh pada prinsip memadukan kebenaran umum
Marxisme-Leninisme dengan praktik yang konkrit dari pada perjuangan
Revolusioner Indonesia.
2.
Tujuan PKI dalam tingkat sekarang
Mencapai
sistem demokrasi rakyat di Indonesia, sedangkan tujuannya yang lebih lanjut
ialah mewujudkan sosialisme dan kemudian Komunis di Indonesia.
Sistem Demokrasi Rakyat ialah sistem
pemerintahan gotong-royong dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sosialisme ialah sistem masyarakat
tanpa penghisapan manusia oleh manusia.
Komunisme ialah sistem masyarakat
adil dan makmur sebagai tingkatan yang lebih tinggi dan kelanjutan daripada
sosialisme.
3.
Tujuan Revolusi Indonesia dalam tingkat sekarang.
Karena
Indonesia adalah negeri yang masih belum merdeka penuh dan masih setengah
feodal, maka Revolusi Indonesia dalam tingkat sekarang ditujukan untuk melawan
imperialisme, feodalisme, borjuis komprador, dan kaum kapitalis birokrat.
4.
Tenaga penggerak Revolusi Indonesia.
Tenaga
penggerak adalah kaum buruh, kaum tani, kelas borjuis kecil, dan elemen-elemen
demokratis lainnya. Sedangkan tenaga pokoknya adalah kaum tani.
5.
Kewajiban PKI dalam tingkat sekarang.
a.
Ke dalam: Mengorganisasi dan mempersatukan kaum buruh, kaum tani dan nelayan,
intelektual, pengusaha kecil, pengusaha nasional, warga negara keturunan asing,
semua suku bangsa, dan semua elemen anti imperialis dan anti feodal. Pendeknya,
mempersatukan keseluruhannya ini di dalam suatu Front Persatuan Nasional dengan
menjadikan persekutuan kelas buruh dan tani sebagai dasarnya dan dipimpin oleh
kelas buruh.
b.
Ke luar: Bersatu dengan proletariat internasional dengan semua rakyat yang
tertindas, bangsa-bangsa yang terjajah, dan nasion-nasion yang memandang kita
sederajat, yang mencintai kemerdekaan nasional, demokrasi, dan perdamaian
dunia.
6.
Macam-macam pemerintahan yang dikehendaki PKI.
Pemerintahan
Front Persatuan Nasional yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh dan
kaum tani di bawah pimpinan kelas, yaitu pemerintahan Demokrasi Rakyat.
7.
Taktik PKI untuk dapat memimpin revolusi.
Membawa
maju perjuangan revolusi daripada rakyat, dengan perlahan-lahan tetapi pasti
dan dengan tidak henti-hentinya melawan dua kecenderungan, yaitu kecenderungan
kapitulasi dan avonturisme.
Apa
yang menjadi penyebab gagalnya aksi kudeta oleh PKI saat itu,
“D.N.
Aidit yang oleh Politbiro PKI diserahi tugas untuk pimpinan perencanaan dan
pimpinan pelaksanaan operasi fisik, rupa-rupanya berpra-anggapan, bahwasanya
dalam hal susunan pimpinan TNI —dalam hal ini Menteri/Panglima— dan sementara
Deputi serta asisten dapat dimusnahkan, maka keseluruhan TNI akan lumpuh hingga
penguasaan atas massa rakyat dapat dengan mudah dilakukan. Sungguh, suatu
perhitungan yang ‘teknis-rasional-pengurusan-organisasi’ benar, akan tetapi ia
melupakan satu hal, yaitu jiwa TNI yang lahir bersama pertumbuhannya dan yang
tidak dapat dilihat dan diraba juga tidak akan dapat dikupas dengan pisau
analisanya Karl Marx yang tajam itu.
Tanpa
memahami falsafah ‘patah-tumbuh, hilang-berganti’ dan tanpa mempelajari Tri
Ubaya Cakti, orang tidak akan mudah mengerti mengapa demikian cepat pimpinan
TNI terkonsolidasikan setelah mengalami hantaman yang mereka harapkan
menentukan itu (h.67)”
Yang
menarik dari paparan Sutjipto tentang kekhasan negara Fasis ―seperti Uni
Soviet― adalah “menurut Undang-undang Dasarnya, orang akan melihat bahwa Dewan
Menterilah yang mengambil keputusan-keputusan sesudah mengadakan konsultasi
dengan dewan perwakilan rakyatnya yang dipilih oleh rakyat. Tetapi didalam
praktiknya, ternyata pengaruh yang menentukan justru tidak pada badan-badan
tersebut, melainkan ada pada Biro Politik Partai Komunis Uni Soviet (biasanya
disebut “Politbiro”), suatu badan yang sama sekali tidak ditetapkan untuk itu
dalam Undang-undang Dasarnya” (h.20).
Kekuasaan
adalah satu gejala sosial, gejala yang terdapat dalam pergaulan hidup manusia.
Manusia adalah pencipta kekuasaan. Tetapi bersamaan dengan itu, manusia adalah
sasaran kekuasaan.
“Kekuasaan
adalah suatu keharusan yang menjamin hidup aman dan tenteram dalam masyarakat.
Dalam penggunaannya yang tepat, maka kekuasaan itu dapat menjamin keamanan dan
menghindarkan kekacauan serta anarki.” (Prof. Hertz; “Political Realism and Political Idealism”)
Daftar Isi
Bab I―Kekuasaan dan Kewibawaan
Bab II―Penelaahan Aksi-aksi Partai Komunis Indonesia
Bab III―“Gerakan 30 September” dan Phenomena Kekuasaan
Bab IV―Persiapan Perebutan Kekuasaan dengan Physik
Bab V―Tindak Penanggulangan
Bab VI―Analisa Sebab-sebab Kegagalan
Bab VII―Tantangan untuk Babak Revolusi Selandjutnja
Bibliografi
Judul:
Gerakan 30 September; Perebutan Kekuasaan
(Bahan Studie untuk Pengamanan dan Pengamalan Revolusi 17 Agustus 1945)
Penulis:
Sutjipto, S.H., Brig. Djen. TNI
Tebal:
90 hlm.
Dimensi:
15x21,5 cm
Cetakan:
1, Februari 1966
Penerbit:
Matoa, Jakarta
0 Komentar