Resensi: Tragedi Nasional; Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia

Saat beberapa tahun sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) tampak mengalami perkembangan yang pesat. Dari partai kecil dengan latar belakang yang diragukan itikad baiknya karena peristiwa Pemberontakan Madiun tahun 1948. PKI tumbuh menjadi partai massa yang hebat dan memiliki pengaruh dalam segala bidang. Bidang politik pengaruhnya hingga pada kekuasaan parlementer. Pengaruhnya juga terasa dibidang sosial, pendidikan hingga kesenian.

Semua itu berkat kepemimpinan D.N. Aidit sebagai ketua Partai pada tahun 1951. Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan itu adalah persahabatannya dengan Presiden Soekarno. Dengan kharismatik Presiden Soekarno PKI mendapat perlindungan dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Salah satu musuh PKI yang paling utama adalah golongan agama karena alasan ideologis yang berlawanan. Namun Angkatan Darat lebih dianggap musuh yang terpenting bukan karena ancaman terhadap fisik, tetapi juga terdapat alasan ideologis. Angkatan Darat menganggap PKI yang berfaham komunisme sangat bertentangan dengan ideologis bangsa, yaitu Pancasila. Komunis melambangkan pertentangan kelas dan penumbangan sistem tata hidup yang non-komunis. Dan Pancasila melambangkan kegotongroyongan dan toleransi. Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa sedangkan komunisme melambangkan atheis yang anti-Ketuhanan.

PKI memikirkan tentang bagaimana menghindari ancaman penumpasan dari Angkatan Darat dan mereka mengerti bahwa akan ada saatnya kekuasaan rezim Soekarno akan berakhir. Kekuatan Angkatan Bersenjata, dari Angkatan Udara sudah membuat PKI puas karena Menteri/Panglima Angkatan Udara; Omar Dhani; cenderung bersimpati kepada PKI. Angkatan Laut dianggap sebagai kesatuan yang tidak begitu penting bagi PKI, sedangkan Kepolisian mengalami perpecahan dalam tubuhnya sehingga tidak dapat berfungsi efektif saat darurat. Dan Angkatan Darat yang paling dikhawatirkan kekuatan oleh PKI.

Semakin menurunnya kesehatan Presiden Soekarno semenjak tanggal 5 Agustus 1965, membuat suasana semakin tegang mendorong PKI untuk secepatnya mempersiapkan pasca Soekarno. Persiapan awal berupa pertemuan dengan Politbiro yang diketuai oleh D.N. Aidit. Operasi 1 Oktober 1965 di ibukota oleh G 30 S telah direncanakan dalam serentetan pertemuan yang dihadiri biro khusus PKI dan simpatisan dari Angkatan Darat. Semua rencana dibuat agar harus nampak sebagai masalah intern Angkatan Darat sendiri.

Letnan Satu Dul Arief selaku pimpinan Kesatuan Pasopati dari Gerakan 30 September membagi pasukannya menjadi 7 sub kesatuan. Setiap kesatuan bertanggungjawab untuk menculik serta membawa ke Pangkalan Lubang Buaya. Masing-masing satu Jenderal dalam daftar yang dibuat para pengkhianat. Para Jenderal harus ditangkap walau dalam keadaan hidup atau mati. Tipu muslihat digunakan untuk melancarkan penculikan dengan cara mengatakan bahwa para Jenderal dipanggil oleh Presiden.

Sesuai dengan perintah Letnan Dul Arief, korban penculikan dan pembunuhan di bawa ke Lubang Buaya. Para korban mengalami penganiayaan oleh anggota kesatuan Pasopati dan Pringgadani termasuk beberapa oknum Tjakrabirawa dan pasukan para Angkatan Udara serta Pemuda Rakyat dan Gerwani. Berdasarkan visum et refertum atas jenazah, para korban mengalami penganiayaan yang sangat kejam.

Pada tangggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, Batalyon L dipimpin oleh Wisnuradji menculik Kolonel Katamso dan juga kepala stafnya Letnan Kolonel Sugijono dari Markas Komando. Mereka berdua dibawa ke ksatrian batalyon di Kentungan sebuah desa di sebelah utara Yogyakarta. Penculikan tersebut dipimpin oleh Pembantu Letnan Satu Sumardi. Kedua perwira kemudian dibunuh ditempat tersebut.

Data
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) hasil interogasi dari tokoh-tokoh PKI, baik sipil maupun militer, yang didapatkan dalam sebuah upacara bernama “Mahkamah Militer Luar Biasa”. BAP tokoh-tokoh yang dijadikan acuan: Njono (Jakarta), Sakirman (Jakarta), Sudisman (Jakarta), Sujono Pradigdo, Mayor Muljono Soerjowardojo (Jogja), Josep Rapidi (Surakarta), Letnan Satu Ngadimo Hadisuwignjo (Jakarta), Mayor Udara Sujono (Jakarta), Letnan Kolonel Untung Samsuri (Jakarta), Marsekal Udara Omar Dhani (Jakarta), Brigjend Soeparjo (Jakarta), Jatim Sudirahardjo (Surakarta), Soemarto (Surakarta). Termasuk belasan saksi yang dihadirkan walau tak pernah divonis pengadilan mana pun.

Tapi di mana BAP Sjam Kamaruzaman dan Pono? Tak ada.

Sumber-sumber lain adalah Laporan Kronologis yang disusun Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi Angkatan Darat tentang G30S, seperti “Catatan/Fakta sekitar Peristiwa ‘Gerakan 30 September’ yang terjadi di daerah Jawa Tengah” atau “Laporan tentang “G 30 S/PKI Surakarta”.

Sistematika Buku
Bagian pertama “Kisah Kejadian” yang direkonstruksi Nugroho Notosusanto yang pernah menjadi Anggota Detasemen Staf Brigade 17 (1948), pengajar pada Sesko ABRI, dan Rektor UI. Nugroho adalah serdadu cum sejarawan cum sastrawan.

Di bagian inilah, rekonstruksi berdasarkan BAP yang diambil dari operasi pembunuhan massal dan penyiksaan dibentuk. Pembaca akan “menikmati” bagaimana PKI merencanakan pengambilalihan kekuasaan. PKI adalah satu-satunya pengambil inisiatif dan pelaku. Semua unsur lain tak terdeteksi di sini.

Bagian Kedua adalah “Pembuktian”. Bagian ini disusun Ismail Saleh. Ia meniti karier militer sejak sersan tahun 1945 hingga Letnan Jenderal TNI AD pada 1981. Adapun keahlian hukumnya diperoleh dari Perguruan Tinggi Hukum Militer. Ia juga pada 1976 memimpin Kantor Berita ANTARA, Sekretaris Kabinet pada 1979. Pada 1981 menjadi Jaksa Agung dan tiga tahun kemudian ditunjuk sebagai Menteri Kehakiman RI.

Di bagian ini, Ismail Saleh membuka tiga halaman pertama papernya dengan legalitas Mahkamah Militer Luar Biasa yang dipusatkan di Gedung Bappenas Jl. Suropati, Jakarta. Bahwa apa yang dilakukan rezim ini benar secara hukum. Bahwa seorang sipil sah dihadapkan di Mahkamah Militer yang umumnya menangani perkara anggota militer kalau keadaan dinyatakan membahayakan keselamatan dan keamanan negara.

Tujuannya tiada lain adalah “tidak dengan maksud membalas dendam atas kematian beberapa perwira Angkatan Darat... tidak pula membatasi diri hanya mengadili personil militer saja. Apabila Mahmillub berbuat demikian, berarti sama saja dengan mengakui bahwa Gerakan 30 September semata-mata adalah urusan intern Angkatan Darat, yang memang menjadi tujuan PKI” (h.68-69).

Bagian Ketiga adalah “Lampiran-Lampiran”. Ada sembilan belas surat atau berkas yang terdiri dari Undang-undang, Keputusan-keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan, Surat Keputusan Panglima Kostrad, salinan berita acara, hingga Dekrit No. 1 Komando Gerakan 30 September yang dibacakan pada 1 Oktober oleh Letkol Untung di corong RRI. Lalu ada pula bagan kudeta, bagan susunan Staf Umum AD, bagan susunan Kodam, hingga bagan jalannya berkas perkara sampai penyerahan ke pengadilan.

Pola Penulisan
Buku ini disusun secara kronologis dengan catatan kaki melimpah yang dijadikan rujukan penulisan. Dimulai penggambaran peristiwa yang dirancang Biro Khusus PKI dengan gembong-gembongnya yang lain di tubuh militer hingga proses pengadilan di Mahmillub.

Nyaris seluruh penjelasan dalam buku ini mengarah pada satu titik yang begitu gamblang: PKI adalah aktor perancang dan eksekusi semua perebutan kekuasaan.

Catatan Kaki
Buku ini tak memberi celah bagi kecenderungan faktor-faktor yang lain di Jumat subuh berdarah itu. Karena fokusnya hanya satu, bahwa satu-satunya penanggung jawab “kup” itu adalah PKI, maka gerakan yang semula hanya bertitel “Gerakan 30 September” itu kemudian diberi akronim lengkap G30S/PKI ―sebelumnya tak ada tambahan “/PKI”.

Selain itu, buku ini sama sekali tak menyentuh pembunuhan massal masyarakat Indonesia oleh peristiwa G30S ini. Judul “Tragedi Nasional” yang dibubuhkan penulisnya mesti dipahami tidak sebagai Tragedi Pembantaian Massal, tapi “sekadar” terbunuhnya 8 perwira Angkatan Darat di Jakarta dan Yogyakarta. Terbunuhnya Jenderal-jenderal itu adalah tragedi nasional, pembantaian yang lain bukan tragedi dan karenanya tak perlu dicatat.

Berdasarkan fakta dan kondisi yang ada pada saat itu, Penulis mencoba untuk mencerita peristiwa kup G 30 S/PKI secara lengkap dan terpercaya, disertai dengan hasil persidangan para tersangka percobaan kup G 30 S dan berbagai lampiran yang mendukung isi buku tersebut. Dengan bahasa yang ringan buku ini dapat dijadikan rujukan bagi generasi muda untuk mengenal dan mengerti sejarah khususnya pada Peristiwa G 30 S/PKI. Tetapi penyajian buku yang menpunyai uraiannya terlalu panjang dengan bahasa yang sedikit monoton menjadikan buku ini terasa membosankan saatnya membacanya.

Daftar Isi
Bagian Pertama―Kisah kejadian (Nugroho Notosusanto)
[Kisah Pendahuluan (Prolog) | Kejadian di Jakarta | Kejadian di Jawa Tengah | Kisah Akhir (Epilog)]

Bagian Kedua―Pembuktian (Ismail Saleh)
[Mahkamah Militer Luar Biasa | Proses Peradilan | Pengadilan sebagai Sumber Bukti]

Bagian Ketiga―Lampiran

Bibliografi
Judul: Tragedi Nasional; Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia
Penulis: Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh
Tebal: xiv+220 hlm.
Dimensi: 15,5x23 cm
Cetakan: I, 1989
Penerbit: Intermasa, Jakarta


Posting Komentar

0 Komentar